Kamis, 30 September 2010

Konflik Etnis: Pengingkaran Terhadap Komitmen Luhur Kesatuan Bangsa

Hari ini mestinya saya bertolak ke Tarakan untuk menghadiri Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kalimantan Timur di kota itu. Namun agaknya rencana tersebut urung terwujud karena acara tidak jadi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Acara yang seyogyanya akan digelar sejak mulai tanggal 30 September sampai 2 Oktober itu ditunda karena alasan keamanan. Acara yang sedianya digabung berbarengan dengan Musywil Muhammadiyah itu batal dilaksanakan karena baru saja pecah bentrokan yang melibatkan massa dalam sekala besar di kota tersebut. Kabar pembatalan acara tersebut saya terima melalui pesan yang disampaikan hanya beberapa jam sebelum keberangkatan. Jika saja kabar itu datang dua jam lebih lama, mungkin saat ini saya sudah terdampar bersama 1.000 pengungsi dinegeri yang tengah dilanda konflik yang di klaim sebagai konflik antara suku Bugis dan Tanatidung tersebut.

Entah perasaan apa yang mesti saya ungkapkan atas peristiwa ini. Di satu sudut hati, ada semacam perasaan syukur karna biar bagaimanapun juga saya baru saja terhindar dari konflik massa yang memilukan. Sementara jauh didasar ruang batin tak bisa aku sangkali adanya perasaan miris yang begitu dalam mendengar kabar yang menyesakkan sekaligus membekaskan pilu mendalam ini. Dalam benak ini, masih saja aku tak habis pikir, kenapa bentrokan etnis semacam ini masih –dan makin- marak terjadi? kenapa pendekatan kekerasan semacam ini seolah menjadi favorit pilihan dalam menyelesaikan masalah?

Ungkapan reflektif tersebut mungkin menjadi pertanyaan klise yang cenderung retoris. Namun, bagiku konyol rasanya setelah berbilang abad bangsa ini terbentuk masih saja ada terjadi bentrokan antar etnis pembentuknya. Bentrokan etnis semacam ini merupakan sebuah tindak pengingkaran atas eksistensi ‘Bangsa Indonesia’, karena tak bisa disangkali bahwa 82 tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober 1928, segenap elemen bangsa ini yang di motori para pemudanya telah meneguhkan kommitmen bersama melalui ikrar sumpah pemuda. Dimana jelas dalam momen sacral tersebut secara sadar telah di sepakati langkah persatuan seluruh etnis di bumi nusantara ini dalam satu tenda besar yang bernama Bangsa Indonesia, sebagaimana terabadikan dalam kalimat sakti, Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.

Dengan sumpah pemuda ini, segenap pemuda dari berbagi etnis telah sepakat untuk membangun rumah bersama yang bisa menjadi peneduh dari segala macam ancaman (penjajahan dalam bentuk apapun), dan mampu menjadi tempat bertolak menuju cita-cita bersama untuk mewujudkan manusia yang merdeka seutuhnya. Dalam upaya pembentukan bengsa ini, setiap etnis di negeri ini punya investasi yang sama -dalam porsinya- masing-masing sebagai batu bata yang tersatukan dalam bangunan yang kokoh bernama Indonesia. Ketika berbalok-balok bata telah tersusun menjadi sebuah bangunan yang padu, maka pastinya eksistensinya akan dilihat sebagai tembok bangunan, bukan lagi pecahan bata. Tak ada lagi eksistensi bata sebagai dirinya sendiri, yang ada adalah sebuah bangunan kokoh nan Nampak indah.

Menonjolkan sentiment etnis yang berujung pada arogansi merupakan sebuah tindakan mengerdilkan identitas bersama sebagai sebuah kesatuan yang utuh, bangsa Indonesia. Hal ini sama saja dengan sebuah pengingkaran atas eksistensi bangsa Indonesia sebagai rumah bersama. Konyol rasanya, jika masih saja mempersoalkan batu bata padahal sudah terbentuk rumah nan Indah. Rasanya tak ada orang yang akan mengenang-kenang bata setelah terbentuk rumah, kecuali orang yang teramat kerdil penglihatannya
Sebagai sebuah komitmen bersama, sumpah pemuda semestinya dimaknai sebagai sebuah penyatuan identitas diri secara penuh, seutuhnya dalam sebuah kesatuan bangsa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah, sentimen etnis mesti direduksi untuk kemudian ditransformasikan menjadi sebuah identitas bersama di bawah bendera Indonesia. Ketika berbicara persatuan maka yang mesti dinampakkan adalah perasaan kebersamaan sebagai satu bangsa, bukan menonjolkan perbedaan dan sentiment yang melahirkan arogansi dan perpecahan.

Jika saja seluruh masyarakat tanpa terkecuali, entah dari suku apapun, golongan manapun, telah menyadari benar makna ketersatuan ini, maka tak akan mungkin terjadi bentrok ataupun pertentangan etnis dalam bentuk apapun di negeri ini. Karena persinggungan sebesar apapun akan mudah luruh jika perasaan persatuan, persaudaraan itu telah tertanam dan menghujan dalam palung kesadaran kita.
Bentrokan etnis selalu bermula dari solidaritas kesukuan yang seringkali diidentikkan dengan harga diri sebuah suku. Dalam kasus Bentrok Tarakan, bentrokan yang melibatkan suku bugis dan tanatidung ini bermula dari pemalakan yang dilakukan oleh segerombol pemuda mabuk dari satu suku pada pemuda lain yang kebetulan berasal dari suku sebrang. Atas nama solidaritas etnis kemudian terjadi balasan yang akhirnya jadi konflik antar etnis ini. Dengan sentiment etnis, sekala konflik dengan cepatnya meluas dan makin mendalam hingga menewaskan lima korban jiwa. Betapa besar harga yang mesti dibayar untuk sesuatu yang bermula dari hal sepele.
Semestinya, solidaritas etnis semacam ini bisa ditransformasikan menjadi solidaritas kebangsaan sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Karena solidarita yang berangkat atas nama suku, atau golongan tertentu akan sangat mudah diprovokasi menjadi sebuah arogansi etnis yang pada sangat potensial melahirkan konflik.

Maraknya konflik etnis semacam ini merupakan sebuah ancaman serius bagi bangsa yang terdiri dari begitu ragam suku semacam Indonesia. Konflik antar suku di Tarakan ini mestinya dijadikan sebagai titik tolak bagi pemerinhtah sebagai pemegang kuasa di negeri ini, untuk melakukan pembenahan agar tak ada lagi kecemburuan(juga narsisme disisi yang lain) etnis satu atas yang lain, internalisasi nilai-nilai perdamaian urgen untuk dilakukan sebagai counter cultur atas budaya kekerasan yang sampai saat ini masih menjadi favorit. Pemerintah mesti tampil digaris depan, untuk dengan segera melalui semua lini, melakukan upaya represif dan preventi atas konflik yang lain. Prefentif bisa berupa tindakan tegas atas semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk memberikan efek jera agar tidak menjadi pereseden buruk, dan langkah preventif bisa berupa pelaksanaan peace education untuk membunuh benih-benih konflik. Upaya ini (peace education) akan sangat efektif jika bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita.

Bangsa ini telah lelah dan jenuh dengan segala macam konflik yang mewarnai jatuh bangun sejarah perjalananya. Sudah saatnya pemerintah melakukan langkah tegas untuk memutus mata rantai konflik dan memusnahkan segala factor yang bisa menjadi pemicu lahirnya potensi konflik. Di luar itu, kita sebagai putra bangsa tanpa terkecuali, mesti ikut melibatkan diri untuk secara aktif ikut menghalau segala potensi kekerasan dari muka bumi agar terwujud kehidupan berkeadaban yang penuh kedamaian. Mari!!!!!!

Read More..

Rabu, 29 September 2010

Berkaca Pada Lidi

Di sebidang halaman yang tak begitu luas, tanahnya ditumbuhi sepohon nangka sepuh yang bersanding bersama serumpun bamboo dewasa yang batangnya mulai meninggi, menjulang ke langit. Daunnya yang lebat nan rindang meneduhi tanah alasnya dari sengatan surya. Sementara tanahnya tampak kusut digenangi guguran dedaunan kering yang berbagi tempat bersama sampah plastic, serta beruntai lidi yang berurai bertebaran. Datanglah seorang kakek dengan menenteng sebungkus rokok di satu tangan dan gulungan tikar di tangan lainnya. Sesampai di dekat pohon sang kakek berhenti sejenak, bola matanya bergerak kekanan dan kekiri, mengamati keadaan sekitar dirinya berpijak, sebelum kembali mengayunkan langkahnya menghampiri pohon nangka.

Dibatang pohon, disandarkannya gulungan tikar yang dibawanya, dan ditaruhnya bungkus rokok persis disebelahnya. Dengan tangan keriputnya, dipungutnya batang demi batang lidi yang berurai, disatukannya dalam satu ikatan, dan di kuncinya dengan simpul mati. Dengan seikat lidi tersebut disapunya tanah kusut, digiringnya dedaunan kering beserta sampah plastic menjadi satu tumpukan sampah untuk selanjutnya dibakar.

Dengan sisa tenaga senja yang disepuh dengan kebijaksanaan yang matang, uraian lidi yang mengortori halaman sebagaimana sampah kering lainnya, ditangan sang kakek di ubah menjadi sarana yang mampu merobah keadaan(dari yang tadinya kumuh menjadi bersih asri).

Dalam kondisi awalnya yang berserakan, seuntai lidi hanya menjadi beban lingkungan yang mengotori sebagaimana sampah lainnya. Keadaan jauh berbeda ketika batang demi batang lidi terikatkan dalam satu kesatuan yang utuh, dengan kesatuan seikat lidi menjadi sapu yang menyeka segala sampah dan mewujudkan lingkungan yang asri.
Kurang lebih begitulah gambaran kita, sebagaimana nasib sang lidi. Tanpa adanya kesatuan yang kokoh, selamanya kita akan tercecer diantara derap langkah peradaban yang melaju begitu derasnya. Jangankan membidani perubahan, eksistensinya saja tak ternilai, bahkan tak ubahnya daki peradaban(meminjam isrilah Buya Syafii) hanya akan menjadi beban sejarah peradaban manusia.

Disini, kata kuncinya adalah kesatuan. Kesatuan yang dibangun diatas lahan kearifan moral yang lapang dan kejujuran hati dengan wahyu ilahi sebagai bingkainya. Karena persatuan hanya akan terwujud jika kita bersedia membuka mata, mengakui adanya keragaman, untuk kemudian dengan kearifan moral berkenan menghargai kelompok yang berbeda, selanjutnya bangunan ini akan sempurna dengan wahyu langit sebagai pagar yang membingkainya.

Sayangnya, nampaknya cita-cita kesatuan itu masih terlampau melangit dari bumi realitas. Sejarah mencatat (tanpa bermaksud terjebak dalam determined retrospectif), manusia kebanyakan cenderung lebih suka perpecahan daripada persatuan. Jika tidak, tak akan akan mungkin ada konflik atas nama agama, ras, etnis, atau bangsa, termasuk perang dunia baik I maupun II yang memilukan. Senyatanya, sejarah peradaban manusia tak pernah luput dari pertumpahan darah(entah apapun motif yang melatarinya).

Dalam sejarah islam(Tarikh) sendiri, segera setelah Rasul wafat, hampir saja para sahabat bertengkar di Saqifah Bani Sa’adah. Ketika Utsman berkuasa, perpecahan memuncak dengan terbunuhnya sang Khalifah R.A. Sementara pada periode berikutnya, Ali R.A di hadapkan pada pemberontakan Aisyah dan sahabat lainnya. Segera setelah Aisyah dipadamkan, giliran Mu’awiyyah yang menyerang. Perpecahan seperti ini terus berulang dalam sejarah Islam.

Jika memang demikian, benarkah ini takdir?benarkah perpecahan memang sudah menjadi fitrah bagi manusia? Yang jelas, pilihan ada di tangan kita, akankah kita melebur dalam satu kesatuan utuh dan menjadi kekuatan utama mampu mendobrak kejumudan peradaban, atau tetap terserak dan tercecer di buritan peradaban? Silahkan pilih yang mana saja.
(Pernah dimuat dlm buletin Bening, Juli 2010)

Read More..

Selasa, 28 September 2010

Pesan Dari Balik Pagar Kampus

Mengisi akhir pekan pertama di bulan Ramadhan, BEM FISIPOL UMY melaksanakan agenda bakti social yang bertempat di dukuh Donotirto, Bangun Jiwo. Dengan I’tikad ibadah yang dibingkai dalam semangat untuk berbagi, BEM FISIPOL UMY yang dimotori Departemen Pengabdian Masyarakatnya menyambangi warga dukuh yang letaknya tak jauh di barat daya kampus terpadu UMY ini.
Seharian membaur dalam hangatnya kebersamaan dengan warga donotirto menggelitik rasa kemanusiaan kita, betapa tidak, hanya dibalik tembok pagar kampus kita ada sekumpul warga yang hidup dalam kesederhanaan ruang, keterbatasan sandang, ketrbatasan akses, bahkan meski naik turun bukit untuk sekedar mereguk seteguk air bersih.
Ketidakmerataan pembangunan di negeri ini adalah realita empirik yang tak bisa dinafikan. donotirto merupakan bukti konkret gambaran peta pembangunan di negeri merah putih ini.

Sebagai mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang setiap saat senantiasa bergumul dengan diskursus seputar dinamika sosial politik baik referensi klasik maupun wacana aktual mutakhir yang berkembang sedemikian cepatnya, ada semacam urgensitas tersendiri yang menuntut kita untuk secra kritis membuka mata menatap realita sosial di sekitaran untuk kemudian mengupayakan berlangsungnya sebuah perbaikan.

Hari ini, masyarakat telah lelah-atau bahkan muak- dengan perilaku aparat pengelola negara yang semakin hari semakin konyol. Tuturan Bapak Mujiono sebagai sesepuh warga munkin bisa menjadi ungkapan kontemplatif bagi kita, dengan gaya jawanya yang khas ia menuturkan upaya warga untuk mengupayakan penyediaan air bersih yang tak kunjung terwujudkan. "masalah utama warga sini(donotirto) itu adalah kebutuhan air bersih mas. Dlam lingkup satu dukuh ini, hanya ada dua sumber mata air mas. untuk mencapainya, warga mesti berjalan tidak kurang dari 800meter(yang notabene jalannya perbukitan nan terjal). Sekarang alhamdulillah sudah ada sepeda motor, jadi warga bisa lumayan sedikit menghemat tenaga. Lha kalo dulu wah kita ngangsu 2 ember sampe rumah dapet empat ember, yang dua ember lagi keringat kita".
Ketika saya tanyakan usaha yang telah dilakukan warga selama ini, Pak Muji hanya bias mengelus dada sambil menuturkan perjalanan panjang usaha yang dkgagas warga. ”sudah sejak tiga tahun ini, kami(warga donotirto) mengajukan proposal untuk program pengadaan pompa dan bak penampungan untuk mengatasi kebutuhan air bersih warga. Tidak hanya sekali mas, terhitung empat kali kami mengajukan proposal, baik kepada pemerintah daerah, maupun lewat anggota DPRD yang sempat kami datangi. Hasilnya nihil sampai detik ini”, demikian tuturnya.
Realitas miris sekaligus ironis ini adalah PR bagi kita sebagai selapis tipis bagian negeri ini yang berkesempatan mereguk kenikamatan akses pengetahuan, keberlimpahan wacana aktual di bangku kuliah untuk mengambil posisi terdepan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bagi segenap tumpah darah bangsa ini tanpa terkecuali.

Read More..

Peran Ulil Albab Dalam Konsolidasi Demokrasi Indonesia

Realitas di dunia saat ini menunjukkan bahwa demokrasi--dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat--menjadi perhatian seius kemanusiaan sejagad raya. Ia adalah sebuah peradaban, obyek misi kemanusiaan, dan tidak ada satu kelompok atau bangsa pun yang menolaknya sejauh demokrasi diartikan sebagai usaha mewujudkan kedaulatan rakyat secara penuh. Di Indonesia yang tercinta ini, gagasan demokrasi dan demokrastisasi terus menggulir seiring dengan dinamika perpolitikan Indonesia.
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis "demokrasi" terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu "demos" yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan "cratein" yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. (Dede Rosyada dkk, 2005:110). Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Lebih jauh lagi, Hendry B. Mayo memaknai terminology demokrasi sebagai sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Joseph A. Schumpeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Afan Gafar memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
Dalam tataran normatif (demokrasi normatif) teori demokrasi adalah sesuatu yang sangat bagus, namun dalam tataran empiriknya (demokrasi empirik) demokrasi sulit-sulit susah untuk diwujudkan. Jika kita menilik konsep demokrasi yang memberikan perhatian besar kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kebebasan, dan keadilan sosial dalam mengatur kemaslahatan bermasyarakat dan bernegara, tentu siapapun orang dan apapun agamanya tidak akan menolak. Namun kemudian pertanyaannya kenapa praksis di lapangan tak seindah konsepsi yang di idealkan? Pasang surut demokratisasi Indonesia sangat menarik dalam hal ini, untuk di telaah.
Eksperimentasi Demokrasi Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di Indonesia, sampai kemudian presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebgai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptkan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk ke dalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 2004.
Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal di masa kemerdekaan. Kedua adalah demkrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi. Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lama konstituante mengeluarkan undang-undang baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebgaia salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang diperhatikan akibat berbagai kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun, tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM sehinga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintah yang ada di legislatif, eksekutif, dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu itu telah terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bula mei 1998. selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8 bulan terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlanya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Kejatuhan rezim otoriter Soeharto memberikan harapan baru bagi terbukanya kran demokrasi yang telah lama didambakan digbenak rakyat dari ujung Sabang sampai hilir Merauke. Impian yang telah lama terpasung oleh belenggu otoritarianisme yang di bangun Soeharto selama kurun 32 tahun. Penggulingan Soeharto kala itu memberikan angin segar bagi semangat semokratisasi Indonesia yang telah lama terselubung tirai hipocritarian Soeharto, sebuah upaya yang mesti harus di bayar dengan ongkos mahal.
Kejatuhan Soeharto pada saat itu menjadi siklus negatif penuntasan kekuasaan di negeri ini. Kita seakan tidak tahu tata cara menuntaskan sebuah kekuasaan, kecuali dengan marah dan darah. Karenanya reformasi tidak hanya bicara soal pergantian kekuasaan yang sudah berdiri selama tiga dekade, tetapi juga menata bagaimana kita memulai dan mengakhiri sebuah kekuasaan. Intinya kita ingin menegakkan demokrasi di negeri ini, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, bukan di tangan rezim tiran yang korup.
Karenanya salah satu amanat penting reformasi adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat lewat pemilu yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Maka, sebuah Pemilu yang adil diselenggarakan oleh Presiden BJ. Habibie, pengganti Soeharto, pada 1999. Sebelumnya, Habibie sudah menyiapkan perangkat penting untuk mewujudkan sebuah pemilu yang adil, yakni undang-undang tentang partai politik dan kebebasan pers. Sebuah pemilu yang dianggap paling adil setelah pemilu 1955 diselenggarakan dengan mengikutsertakan 48 partai politik. Terjadi perubahan peta politik yang selama enam pemilu sebelumnya di rezim Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golkar. Pemilu ini menandai kembalinya kedaulatan rakyat dalam mengkespresikan aspirasi politiknya.
Dari pemilu ini kemudian dihasilkan sebuah pemerintahan baru dimana Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden keempat RI. Namun tidak lama setelah itu, menyusul buruknya hubungan presiden dengan parlemen, kekuasaan Gus Dur terguncang. Gus Dur akhirnya tak berdaya menghadapi kekuatan parlemen yang berhasil menyelenggarakan Sidang Istimewa. Megawati Soekarno-Putri kemudian diangkat menjadi presiden kelima menggantikan Gus Dur yang sudah dimakzul.
Pada titik ini kita masygul, inikah kedaulatan rakyat yang kita cita-citakan. Suara rakyat telah diombang-ambing oleh hasrat sekelompok orang di senayan. Kekuasaan MPR untuk mengangkat presiden akhirnya dicabut dan diserahkan kepada rakyat melalui pemilu langsung. Tidak hanya untuk memilih presiden, tetapi juga gubernur, bupati dan walikota. Maka kini pemilu kita mendapat label baru sebagai pemilu paling mahal. Tingginya ongkos yang harus ditanggung baik oleh panitia pemilu atau kandidat membuat sebagian orang resah. Pemilu semacam ini hanya memberi peluang kepada mereka yang memiliki kecukupan modal untuk maju sebagai kandidat.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah menegakkan kedaulatan rakyat. Keriuhan demokrasi kita masih menyisakan banyak tanda tanya. Tidak heran bila sebagan orang mulai ragu dengan capaian reformasi selama 11 tahun terakhir. Memang bukan hal mudah mewujudkan sesuatu yang ideal menjadi kenyataan. Kenyataan selalu menghadirkan batasan-batasan sehingga antara yang ideal dan yang nyata kemudian berjarak.

Konsolidasi Demokrasi
Salah satu agenda yang luput dalam proses transisi demokrasi ini adalah konsolidasi demokrasi. Setidaknya konsolidai demokrasi harus di bangun atas dua hal: pendalaman (deepening) dan perluasan (widening) demokrasi. Demokrasi mengalami pendalam jika terdapat institusi politik dan performa partai politik yang baik secara kualitatif. Selain itu, demokrasi juga diharapkan mampu memperbaiki kualitas hidup, mencapai kesejahteraan ekonomi, keadilan, dan kedamaian dengan begitu barulah ia dianggap mengalami perluasan.
Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi merepresentasikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi (Shin, 1999). Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness). Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi mensyaratkan perubahan mendasar berdimensi struktural dan kultural.
Proses pendalaman demokrasi juga mesti didukung oleh budaya politik yang kondusif sesuai dengan tuntutan demokrasi sebagai perangkat lunaknya (software). Budaya untuk bisa bekerja sama dengan orang lain dari berbagai latar belakang suku dan agama (the culture of tolerance) demi membangun suatu komunitas politik yang sama adalah yang dimaksudkan di sini. Inilah alasan mengapa hingga kini sebagai sebuah bangsa kita masih memiliki satu imajinasi yang sama tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Melalui upaya itu seharusnya kita dapat memperkecil jarak antara harapan dengan kenyataan. Harapan rakyat, demokrasi memberikan manfaat nyata bagi kehidupan mereka. Demokrasi seharusnya berimplikasi pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. Amartya Sen pernah berujar, sistem demokrasi dapat menutup ruang tindakan semena-mena dari sebuah rezim dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan.
Kebebasan politik yang kita nikmati saat ini seharusnya tidak sekadar untuk memuaskan nafsu politik yang kerap berhenti pada perolehan kekuasaan belaka. Akses terhadap kekuasaan yang terbuka lebar adalah ruang untuk mewujudkan harapan rakyat. Kekuasaan yang hanya dimaknai sebagai kesempatan untuk memperoleh kekayaan dengan jalan pintas akan membuat rakyat makin antipati terhadap politik dan politisi.
Upaya untuk menjadikan kebebasan politik sebagai jalan untuk merealisasikan harapan rakyat tampaknya tidak terjadi selama satu decade terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, kita mendapati banyak anggota dewan, bupati, gubernur dan mantan menteri yang terjerat kasus korupsi. Di satu sisi kita bangga karena kini semua orang tidak bisa lepas begitu saja dari hukum. Namun di sisi lain kita semakin sadar bahwa ternyata tidak banyak perubahan perilaku antara sebelum dan setelah reformasi.
Proses suksesi kekuasaan melalui pemilu legislatif yang baru berlalu mengisyaratkan satu keraguan atas kualitas para wakil rakyat yang terpilih. Sistem yang ada lebih memberi kesempatan besar kepada mereka yang populer dan memiliki uang. Pemilu 2009 tidak akan bermakna banyak kecuali sebagai rutinitas bagi para politisi. Di tengah skeptisisme banyak orang atas masa depan demokrasi Indonesia, ada baiknya bila anggota legislatif yang baru melakukan perbaikan atas kekurangan yang terjadi di masa lalu. Mereka harus menangkap harapan yang ada di benak rakyat, bukan harapan pribadi. Ini memang tidak mudah mengingat harga kursi yang mereka beli dalam pemilu kali ini tidaklah murah. Ratusan juta, bahkan miliaran rupiah sudah mereka gelontorkan selama masa kampanye kemarin.
Namun demi masa depan demokrasi yang sudah kita beli dengan harga yang mahal seharusnya kita melakukan penyelamatan dengan jiwa besar. Tanpa kerelaan itu, sulit bagi kita untuk mewujudkan masa depan demokrasi yang lebih baik. Pada titik inilah letak urgensitas peran pribadi yang mempunyai karakteristik ulil albab dibutuhkan. Dengan kedalaman ilmu, kecerdasan sosial dan ketajaman moral yang disepuh ketebalan iman, figur yang mempunyai karakter sebagai seorang ulil albab merupakan figure kunci dalam membangun kepemimpinan moral-intelektual di tengah politik nir-etika nan tuna moral yang makin karut ini.

Peran Ulil Albab dalam Konsolidasi Demokrasi
Ulil Albab adalah para pemikir yang memiliki kedalaman ilmu, sebuah karakteristik pribadi muslim yang ideal sebagaimana sering disinggung dalam Al- Qur’an. Dalam Surat Ali Imran:190-191 Allah menyatakan, “ Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi dan dalam pergantian malan dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir (ulil albab). Yakni orang-orang yang berdzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring, serta memikirkan penciptaan langit dan bumi….” Dzikir (mengingat Allah) dan pikir merupakan titik tekan yang di tegaskan Al-Qur’an dalammendefinisikan ulil albab.
Zikir dan pemikiran dalam hal ini mengantarkan manusia mengetahui rahasia alam raya ini, baik yang ada didalam maupun di luar dirinya. Dengan berpikir dan merenung manusia bisa menangkap ayat-ayat Kuasa-Nya baik secara literal dari Qur’an (ayat qauniyah) maupun yang tergambar di semesta (ayat-ayat qauliyah). Hanya dengan jalan demikianlah manusia mampu mendekati Tuahannya sebagai tujuan akhir perjalanan hidupnya.
Ali Asghar engineer secara kritis memaknai ayat tersebut dengan menyatakan adanya pesan tersirat yang mengimplikasikan keyakinan pada suatu potensi yang tak terbatas yang tak terbatas yang belum diaktualisasikan dan tidak terlihat. Oleh karena itu manusia harus yakin bahwa dirinya mampu mengembangkan potensi-potensi dan kreativitas yang terletak di dalam dirinya dan tersembunyi dari pandangan umum tersebut. Dengan berpikir dan merenungkan realitas hidupnya, seorang akan memiliki kepekaan dan kecerdasan social yang mengantarkannya pada sikap kritis dalam menghadapi realitas hidupnya.
Sikap dzikir yang selalu melingkari harinya, membuatnya selalu terjaga dan senantiasa menyadari akan adanya eksistensi Tuhan yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan demikian sikapnya akan senantiasa dihiasi dengan ketaeladanan atas sifat Kemahasempurnaan Tuhan untuk selanjutnya membumikannya dalam realitas kehidupannya karena sadar benar atas misi hidupnya sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi. Karakteristik inilah yang menjadi ruh yang memberikan vitalitas pada peradaban islamm masa awal sehingga mampu memeberikan sumbangan tak ternilai bagi peradaban jahiliyah yang hampir membusuk kala itu. Penghambaannya atas tuhan tidak menjebaknya dalam goa sufistik yang menjauhkannya dari peradaban. Justru dengan semangat tauhid itu, ia hadir di tengah realitas social memberikan tawaran alternatif orisinal untuk peradaban yang berkeadilan social.
Insan cita ulil albab tidak akan betah hidup di tengah ketimpangan, penindasan, ketidak adilan, dan kesenjangan social, karena dimatanya setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama sejajar dimata Tuhan. Hanya kualitas imanlah yang menentukan derajat kemuliaan makhluk di hadapan Sang Khalik. Begitulah insane ulil albab, keberadannya merupakan perlawanan atas penindasan, nafasnya adalah energy bagi tegaknya keadilan, dan derap langkahnya adalah jaminan atas transformasi social.
Di tengah skeptisisme banyak orang atas masa depan demokrasi Indonesia, orisnalitas karakter ulil albab dengan integritas antara iman dan amal merupakan jawaban dalam penegakan kepemimpinan moral-intelektual di tengah politik nir-etika nan tuna moral yang makin karut ini. Moral dalam arti ini ialah nilai-nilai kolektif suprastruktural yang mengatasi basis material. Intelektual di sini berarti aktor yang relatif mampu mentransendenkan diri dari kepentingan korporatis maupun kelas (golongan). Hal ini tidak berarti bahwa intelektual mengabaikan kepentingannya demi suatu ide kolektif. Yang terjadi, aneka kepentingan ideal intelektual (yang muncul dari proses rasionalisasi) mengimbangi, adakalanya mendahului, bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan praktis dan material mereka.
Kepemimpin moral-intelektual dengan karakteristik ulili albab diharapkan bisa mengkonsolidasikan demokrasi dengan memperbaiki kualitas institusi demokrasi, memperkuat cita-cita ideal politiknya, mampu membangkitkan kepercayaan rakyat pada kemampuan sendiri, dan sanggup menyusun tenaga rakyat demi tujuan politik. Membangkitkan semangat dan kemauan kolektif bangsa majemuk bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan energy yang besar yang ditunjang dengan kepemimpinan yang kuat untuk merangkum keragaman posisi, keragaman faktor penentu, dan keragaman aliansi. Disinilah urgensitas pribadi ulil albab dibutuhkan.

Read More..

Berdamai Dengan Alam Demi Keberlanjutan Ekologi dan Masa Depan Kerajaan Bumi

Setiap kali membaca berita aktual dimedia massa akhir-akhir ini, selalu saja ada kolom yang memuat soal banjir yang tengah melanda sebagian wilayah Indonesia, bahkan sebagian wilayah Jember sempat lumpuh gara-gara luapan air bah Sungai Bengawan Madiun. Banjir memang bukan peristiwa luar biasa bagi Negeri ini, bahkan bagi sebagian kota seperti Jakarta, Semarang, Jember, Banjiir adalah sebuah keniscayaan yang mesti disambut setiap kali datang musim hujan.
Namun yang agak menggangguku adalah bahwa di tengah musim hujan seperti ini masih saja tak sedikit orang yang mengeluh "huh panase ra pantes" (panas banget!!). sebenarnya apa yang terjadi dengan bumiku???Sebagian diantara kita mungkin mengkambinghitamkan bumi sebagai penyebabnya, bahwa planet singgah trah adam ini nampaknya semakin tua semakin tak bersahabat dengan para penghuninya. Namun bagi sebagian yang lain yang mempunyai kesadaran reflektif, mereka akan lebih arif menyikapi pemanasan global yang merupakan salah satu wujud dari gejala perubahan iklim ini dengan secara jantan mengakui bahwa manusia lah yang tak bershabat dengan lingkungan alam tempat tinggalnya.

Perlakuan tak bersahabat manusia berupa eksploitasi berlebihan atas kekayaan alam tanpa disertai upaya pemulihan yang cukup adalah determinan utama yang mengakibatkan ketimpangan alam yang mengganggu keharmonisan ekosistem dan berujung pada perubahan perilaku alam(baca:perubahan iklim). Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya ( Anwar, 2007 ). Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Jika ada satu elemen saja dari tatanan dalam suartu ekosistem ini terganggu, maka akan berdampak pada kelangsungan keseluruhan ekosistem tersebut. Dalam perspektif Cappra, menusia bukanlah entitas diluar ekosistem, melainkan bagian inheren dalam ekosistem bumi yang tak terpisahkan. Atas asumsi relasi ekologi ini, bisa dikatakan jika alam ( baik tumbuhan, maupun isi perut bumi ) mengalami kerusakan, maka kelangsungan hidup manusia pun akan terancam. Disinilah letak urgensitas atas laku dan tindakan untuk menjaga keseimbangan ekosistem (baca alam) jika tak ingin mempercepat akhir dari dunia.

Selama ini manusia memang cenderung teramat abai dengan alam(akui sajalah), demi ambisi pengejaran materi, nafsu perut, atau sekedar sensasi mulut, dengan keji manusia memperkosa habis kecantikan dan keanggunan alam. Penjarahan sumberdaya alam yang telah melampaui batas telah mengakibatkan makin meningkatnya ancaman krisis ekologis dan tingginya kerentanan pada masyarakat, termasuk berbagai macam bencana alam sebagaimana yang akhir-akhir ini tak henti menyapa negeri ini. Banjir, tanah longsor, abrasi pesisir, dan bencana alam lainnya nampaknya semakin akrab saja dengan negeri ini. Jika musim hujan datang seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan berita di TV, Koran, media online, atau radio, selalu saja di penuhi pemberitaan tentang banjir bandang yang melanda beberapa daerah di negeri ini. Yang masih hangat adalah reportase tentang sebagian wilayah Jawa Barat termasuk DKI Jakarta yang di genangi air bah yang meluap dari sungai Ciliwung yang merupakan buah dari perusakan kawasan puncak oleh pemegang kuasa modal yang di amini aparat yang dihinggapi pragmatisme egoistik. Tak ketinggalan Ngawi, Jember, Madiun, Banjarnegara, dan Semarang adalah kota-kota lain di Jawa yang menjadi langganan tetap banjir.

Disinyalir kerusakan hutan adalah sumber utama dari berbagai bencana yang melanda sebagian daerah di Jawa. Kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa saat ini hanya sekitar 3 juta hektar, 2,4 juta hektar dikuasai Perum Perhutani dan 0,6 juta hektar lainnya dalam bentuk taman nasional dan cagar alam yang dikuasai Departemen Kehutanan atau hanya 20 persen dari luas daratannya. Padahal, Undang-Undang Kehutanan No. 40 tahun 1999 mengamanatkan 30 persen dari luas daratan adalah hutan. Artinya, dilihat dari daya dukung ekologi, dibanding luas daratannya, kawasan hutan Jawa belum mencukupi hingga perlu ditambah luasannya. Dari hutan Jawa seluas itu, 1,767 juta hektar (59%) merupakan hutan produksi miskin jenis (monokultur) yang sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai penyangga kehidupan, penyimpan air, apalagi penahan banjir. Hutan monokultur ini tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, dari Ciamis hingga Banyuwangi. Berdasarkan data Perum Perhutani, dari 2,4 juta hektar kawasan hutannya di Pulau Jawa, 80 persen lebih merupakan hutan monokultur yang didominasi tanaman jati (51,73%) dan pinus (35,14%) (BritaBumi, 28 Maret 2008). Dengan luasnya hutan monokultur, daya dukung lingkungan Pulau Jawa semakin menurun dan mudah sekali memicu banjir. Atas kenyataan memilukan ini, siapakah yang mesti bertanggung jawab?

Memang sebagian kerusakan hutan itu dilakukan oleh rakyat miskin yang terjepit oleh penderitaan. Tetapi skalanya tidak seberapa dibandingkan dengan pembalakan liar yang dilakukan pengusaha hitam, tentu via kongkalikong dengan aparat. Sebuah kolaborasi amoral minoritas yang berimbas kerusakan dan kepedihan dahsyat bagi mayoritas penduduk. Jika sudah demikian, siapa yang patut kita persalahkan? atau kepada siapa kita mesti mengadu? Sudah saatnya semua pihak berbenah, pemerintah sebagai pemegang tampu kekuasaan, mesti memainkan peran semestinya, menindak tegas dan keras para Mafioso penghisap hasil alam ini. Disamping itu juga perlu adanya implementasi kebijakan yang terpadu (di semua lini) yang berorientasi pada keberlanjutan ekologi, mulai dari kebijakan HPH sampai regulasi planologi (rancana tata kota), karena kepadatan penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan area permukiman yang memadai, yang seringkali berimbas pada ekspansi atas lahan-lahan konservasi. Dalam hal ini, pemerintah mesti lebih ketat dalam pelaksanaan perizinan mendirikan bangunan, pemukiman, terlebih untuk industry. Di daerah kita sendiri (di sekitaran UMY) saja, sama-sama kita seksikan, percepatan pembangunan telah menciutkan lahan-lahan persawahan. Area yang dulu merupakan lahan sawah yng menghampar hijau berubah menjadi kampus, kantor, ruko, atau rumah. Apakah pendirian bangunan-bangunan ini memenuhi AMDAL(analiisa dampak lingkungan) yang memadai? Wallhau alam.

Lebih jauh lagi, agaknya perlu dilakukan pembenahan atas paradigma dan laku aksi manusia yang selama ini cenderung dangkal dan tak ramah lingkungan. Cara pandang dangkal yang dijiwai pragmatism egoistic mesti segera digusur, digantikan dengan paradigma yang lebih arif, ramah lingkungan, dan berorientasi pada keberlanjutan ekologi. Hal ini menuntut upaya keras dari segenap unsure pemerintah dan masyarakat untuk menyemaikan nilai-nilai kesadaran lingkungan karena nampaknya yang satu ini juga merupakan problem mendasar masyarakat kita. Di lingkungan kita saja –tak usah jauh-jauh-, setiap saat kita dapati sampah berceceran dimana-mana. Di lobi, kamar mandi, plataran, lorong kelas, lift, secretariat organisasi mahasiswa (termasuk BEM, KOMAHI mungkin), ruang kelas, lubang angin, kolong meja, bahkan dicelah engsel bangku kuliah. Huft…sampah konsumsi dengan segala wujudnya bisa kita jumpai di tiap sudut kampus yang elok ini. Inilah realita miris sekaligus ironis di kampus kita, apalagi jika mengingat kredo yang selalu dibanggakan “unggul dan islami”. Seperti inikah karakter pribadi “unggul dan Islami”? tentunya tidak.

Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk merubah perilaku yang lama mengendap dan menjadi kebiasaan. Karenanya penanaman kesadaran ekologi memang mesti ditanamkan sejak dini untuk menyemai dam menghujamkan nilai-nilai kearifan lingkungan dan kelestarian ekologi agar generasi mendatang bisa memandang dan memperlakukan alam secara arif dan bijak demi kelangsungan sistem kehidupan di bumi ini. Atas yang satu ini, nampaknya pemerintah juga mulai menyadari hal tersebut, awal tahun ini bekerja sama dengan British Council Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan materi ajar Cimate4klassrooms (C4C) yang menekankan kesadaran perubahan iklim bagi siswa sekolah mulai tingkat dasar (SD) hingga menengah atas (SMA). Agaknya kebijakan eco-school ini bisa menjadi langkah awal yang cukup berarti bagi upaya pembenahan perilaku kita atas alam, agar generasi mendatang bisa lebih arif memperlakukan alam.

Akhirnya, matahari sudah menyingsing, sudah sepenggalan, sudah teramat siang untuk bergegas, membenahi segala sikap keji kita terhadap alam untuk masa depan generasi kita sendiri. Perubahan iklim dengan segala bentuk gejalanya hanyalah dampak dari akumulasi cara hidup dangkal manusia yang tak ramah lingkungan –sekaligus awal dari kehancuran yang lebih dahsyat jika tak segera didamaikan. Banjir dan segala macam bencana alam lain adalah teguran dari alam atas perilaku manusia yang tak lagi manusiawi. Alam tak akan henti menegur kita jika kita tak segera mengindahkan tegurannya dan segera berbenah. Mari berdamai dengan alam, demi keberlanjutan ekologi dan kelestarian generasi kita!
(Pernah dimuat dalam buletin IRs News, Maret 2010)

Read More..

Media Massa dan Konstruksi Realitas Politik

Dewasa ini, media massa mempunyai peran strategis dalam kehidupan politik bangsa. Peran media massa dalam menyalurkan informasi tentang peristiwa politik yang terjadi, sering memberikan dampak signifikan bagi perkembangan dinamika politik. Bahkan, seringkali peran media tidak sekedar sebagai penyalur informasi atas peristiwa politik yang sungguh terjadi, lebih dari itu media massa mempunyai potensi untuk membangun pendapat umum ( opini public ) yang bias mendorong terjadinya perubahan atas konstruksi realitas politik. Sebagai contoh, dalam kasus perseteruan KPK dan Polri, yang sempat membuat berang banyak orang. Melalui kekuatan pemberitaannya, semakin membuktikan bahwa media punya kekuatan untuk mengarahkan opini public dimana KPK dicitrakan seolah sebagai pihak yang terdzalimi sehingga mengundang simpati dari masyarakat luas.

Peristiwa politik memang selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena dua factor yang saling terkait. Pertama, dewasa ini politik berada di era mediasi ( politics in the age of mediation ), media massa mempunyai peran signifikan sebagai mediator antara actor politik dan konstituennya, sehingga mustahil memisahkan kehidupan politik dari media massa. Dalam konteks ini, sajian informasi media massa mempunyai efek ganda, yaitu dalam hal pemuas kehausan mayarakat akan informasi politik, sekaligus sebagai media sosialisasi actor politik untuk memperoleh dukungan public. Bahkan actor politik seringkali berusaha menarik perhatian media massa untuk meliput aktivitas politiknya. Kedua, peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan politik para actor politik lazimnya mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa tersebut hanya rutinitas belaka. Apalagi jika peristiwa tersebut sesuatu yang luar biasa, alhasil liputan politik senantiasa menghiasi berbagai edia massa setiap hari.

Peranan media masa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Tetapi, seiring dengan peningkatan teknologi, maka media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan media itu sendiri, maka media menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23).
Dengan peran tersebut, media massa menjadi sebuah agen dalam membentuk citra di masyarakat. Pemberitaan di media massa sangat terkait dengan pembentukan citra, karena pada dasarnya komunikasi itu proses interaksi sosial, yang digunakan untuk menyusun makna yang membentuk citra tersendiri mengenai dunia dan bertukar citra melalui simbol-simbol (Nimmo, 1999). Kesuksesan pencitraan politik SBY yang begitu kental merupakan hasil dari kesuksesannya memanfaatkan media. Dalam konteks tersebut, media memainkan peranan penting untuk konstruksi realitas sosial.

Proses Konstruksi Realitas Politik oleh Media
Proses konstruksi realitas politik pada prinsipnya merupakan setiap upaya menceritakan (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengkonstruksi realitas. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan di sajikan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media massa pada dasarnya merupakan penyusunan realitas-realitas hingga membentuk wcana yang bermakna. Dengan demikian seluru isi berita media massa adalah realist yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.
Di era industrialisasi kapitalisme dimana media massa termasuk didalamnya, muncul dilema peran media massa dalam pembentukan konstruksi realitas politik. Di satu sisi, liputan politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum (opini pubik). Daya jangkau penyebaran informasi yang begitu luas dan massif merupakan kekuatan utama media massa dalam pembentukan opini public. Hal ini disadari benar oleh para actor politik yang tak jarang memanfaatkan media massa sebagai senjata utama untuk mendapatkan dukungan public atas kepentingannya. Melalui media massa, para actor politik melancarkan propagandanya mempengaruhi sikap khalayak luas mengenai sebuah masalah yang menjadi perhatiannya.
Dalam upaya pembentukan opini public ini, seringkali media massa melakukan tiga strategi skaligus. Pertama, menggunakan symbol-simbol politik ( politics language ). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (Framing Strategies),. Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function). Ketiga strategi dalam pembentukan opni public ini seringkali dipengaruhi oleh factor internal pemangku kepentingan media massa tersebut berupa kebijakan redaksional mengenai suatu kepentingan politik tertentu, kepentinga pengelola media, relasi media dengan kekuatan politik tertentu, dan factor eksternal seperti sistem politik yang berlaku, permintaan pasar, dan kekuata-kekuatan luar lainnya. Factor inilah yang seringkali menimbulkan kemasan redaksional yang berbeda-beda antara media satu dengan yang lainnya dalam menyampaikan peristiwa politik yang sama.
Di lain sisi, industrialisasi kapitalis telah sampai merambah media massa. Dengan masuknya unsure capital, media massa harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan baik dari penjualan maupun dari iklan. tak terkecuali dalam menyajikan peristiwa politik, media masa harus memperhatikan kepuasan konsumen sebagai pasar mereka. Padahal public secara umum mempunyai keterikatan secara ideologis dengan kekuatan politik tertentu atas dasar agama, nasionalisme, ataupun sosialisme (kerakyatan). Demikian pula media massa kita pada tingkat tertentu juga terlibat dengan kehidupan atau bahkan mempunyai keterikatan dengan kekuatan politik tertentu. Hal ini seringkali menyebabkan informasi politik yang disajikan suatu media massa bersifat partisan. Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan atas media massa umumnya sangat berkepentingan dalam pembentukan konstruksi realitas politik ini.

Strategi Media Massa Melakukan Konstruksi Realitas Politik

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Penggunaan bahasa mempunyai arti yang sangat penting dalam menyampaikan berita, menceritakan peristiwa, komunikasi, dan membangun wacana. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun komunikasi tanpa bahasa. Selanjutnya penggunaan bahasa tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu. Lebiyh jauh dari itu, terutama dalam media massa, pilihan bahasa ini tidak lagi sekadar sebagai alat semata untuk menggambarkan realitas, melainkan bias menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas yang muncul di benak khalayak. Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa adalah nyawakehidupan media massa.hanya melalui bahasa para pekerja media bias menghadirkan hasil reportasenya kepada public. Para peneliti berpendapat terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan media , khususnya oleh para komunikator massa, tatkala melakukan konstruksi realitas social yang berujung pada pembentukan citra sebukekuatan politik. Ketiganya adalah pemilihan symbol (fungsi bahasa), pemilihan fakta yang akan disjikan (strategi framing), dan kesediaan member tempat (agenda setting).
Pertama, dalam pilihan kata (symbol) politik. Sekalipun hanya bersifat melaporkan, tapi menjadi sifat dari pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan symbol politik. Dalam komunikasi politik, para komunikator bertukar citra-citra atau makna-makna melalui lambing politik. Mereka saling menginterpretasikan pesan-pesan politik yang diterimanya. Apapun symbol yang akan dipilih akan mempengaruhi makna yang muncul.
Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Setidaknya oleh alasan teknis keterbatasan kolom (ruang) dan durasi (waktu). Jarang ada media yang mengemas sebuah peristiwa secara utuh. Atas nama kaidah jurnalistik, media massa menyederhanakan peristiwa melalui mekanisme pembungkaian fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit. Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, sering kali media massa hanya menyoroti hal-hal yang dianggap penting saja. Pembuatan frame itu sendiri didasarkan ataas berbagai kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis,ataupun ideologis.
Ketiga, adalah menyediakan ruang atau waktu untuk peristiwa politik (fungsi agenda setting). Justru hanya jika media massa member ruang pada sebuah peristiwa politik, maka peristiwa politik akan memperoleh perhatian oleh masyarakat. Semakin besar tempat yag diberikan semakin besar pula perhatian yang diberikan khalayak. Pada konteks ini, media mempunyai fungsi agenda setter. Bila satu media menaruh sebuah peristiwa sebagai head-line pasti peristiwa tersebut memperoleh perhatian yang besar dari public. Faktanya, konsumen media jarang memperbincangkan kasus yang tidak dimuat oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting untuk diketahui masyarakat.

Penutup: Media dan Demokratisasi
Banyak aspek dari media massa yang membuat dirinya penting dalam kehidupan politik. Memang harus diakui, efektivitas media untuk suatu perubahan politik memerlukan situasi politik yang kondusif, yang popular disebut keterbukaan politik. Tetapi pers yang bebas merupakan salah satu indicator adanya keterbukaan politik itu sendiri, karena pers yang bebas juga merangsng terjadinya kebebasan politik. Pemberitaan-pemberitaan politik yang actual dan kritis dapat member kesadaran pada masyarakat tentang perlunya sistem politik yang lebih demokratis.

Read More..

Rabu, 22 September 2010

Meneladani Khadijah*

Ketika melihat kenyataan bahwa perempuan sampai sekarang ini masih dililit berbagai penderitaan: kemiskinan, objek kekerasan bagi kaum laki-laki, dan sulitnya mengakses ruang publik, membuat perasaan penulis resah.

Tengok saja, kemiskinan perempuan dalam kesempatan untuk mengakses pendidikan, kesehatan, atau pun perekonomian masih lemah. Keadaan di atas tentu membuat perempuan sangat tergantung pada pihak yang memiliki akses dan kekayaan dan tidak bisa memutus kekerasan yang menimpa pada dirinya.

Untuk menuntaskan problem klasik perempuan itu, maka kata kuncinya tak lain adalah kemandirian ekonomi perempuan. Atau dalam bahasa sederhananya, perempuan pun harus memiliki usaha yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain kemandirian ekonomi, kemandirian politik, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk agama dan sekian kemandirian yang lain bisa menguatkan posisi perempuan di dalam terpaan problem kehidupan.

Khadijah adalah salah satu tauladan yang luar biasa bagi kita. Ia perempuan kaya yang mengelola sendiri perusahaannya. Dengan kemandirian ekonominya, ia menjadi pribadi perempuan yang dapat lebih bebas mendukung syiar nabi Muhammad SAW. Di zaman sekarang, potret Khadijah sebenarnya dapat ditemui di sekitar kita.

Tetapi jumlahnya sangat kecil. Perempuan-perempuan itu banyak yang masuk di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah dan juga sektor informal. Kelompok usaha kecil dan menengah di Indonesia mencakup 99 % dari seluruh usaha di Indonesia. Dan dari 99 % di atas, 35 % UKM skala kecil dan menengah di gerakan oleh perempuan (dari berbagai sumber). Ya, merekalah Khadijah zaman kini.

Di tingkat desa dan kota, sudah ada potret perempuan-perempuan yang mandiri. Mereka biasanya memiliki usaha-usaha kecil seperti dagang telur asin, toko kelontong dan sayur-mayur dan sekian sektor lainnya. Untuk bentuk solidaritas atas sesama dan niat untuk membesarkan usaha mereka, biasanya mereka berkumpul untuk berorganisasi.

Di sinilah mereka membentuk koperasi simpan pinjam, arisan, pengajian, saling menginfokan usaha mereka dan menyuplai (menjual hasil usahanya) kebutuhan masing-masing anggota –terutama ketika ada hajatan, bertukar pendapat soal hambatan usaha, dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.
Untuk menjadi mandiri dalam hal ekonomi, memang banyak faktor yang menghalangi. Faktor budaya selama ini melihat kemandirian ekonomi perempuan sebagai hal yang tidak menguntungkan laki-laki. Dengan pemahaman lain, jika perempuan mandiri, perempuan bisa ”membangkang” terhadap suami. Tentu saja alasan ini tidaklah pas. Apakah Khadijah justru membangkang nabi dengan kekayaannya? Tidak, Khadijah menjadi pendonor dan pelindung nabi ketika semua orang menentangnya. Ia juga yang pertama meyakini ajaran nabi Muhammad. Justru kemandirian ekonomi perempuan bisa membuat siklus kebutuhan (pendapatan dan pengeluaran) rumah tanga tidak terlalu terganggu jika salah satu sumber pendapatan terputus, semisal suami di PHK atau usaha suami sedang gulung tikar atau pun ketika suami meninggal dunia.

Faktor penghambat yang lain adalah berbelitnya administarasi pengurusan izin usaha, susahnya mendapatkan akses modal atau perkreditan untuk usaha kecil, minimnya skill managemen, akses pasar, tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan, dan sekian problem yang lain. Saat ini, problem-problem ini sudah banyak diatasi oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah.

Berbelitnya administrasi diatasi dengan perizinan satu atap dan mekanisme lain yang ramah terhadap perempuan pengusaha oleh pemerintah. Sulitnya modal kecil diatasi oleh banyak pihak yang memberikan pinjaman modal usaha bagi para pengusaha kecil. Adaya mekanisme dana bergulir dan sekian sistem permodalan yang sudah sangat membantu.

Selain itu banyak juga LSM yang memfasilitasi forum-forum yang mengupas bagaimana penggalangan (mencari) dana bagi usaha kecil. Pelatihan untuk keterampilan managemen, pelatihan advokasi kebijakan yang terkait dengan problem-problem yang dihadapi oleh para pengusaha kecil, pelatihan teknik-teknik lobi yang efektif, pengembangan usaha, pembukuan, memperkenalkan mekanisme dana bergulir, mendorong agar perempuan memformalkan usahanya dan mendaftarkan usahanya atas namanya sendiri, bukan nama suaminya, membuka tempat konsultasi usaha, dan sekian pelatihan serta advokasi (pembelaan) yang lain guna mendukung kemandirian perempuan.

Soal akses pasar, ada organisasi Forda UKM Maros di Sulawesi yang berhasil mengadvokasi pedagang-pedagang kecil untuk bisa membuka kios di bandara sehingga mereka bisa mendapatkan akses langsung dari para pengunjung dari luar Sulawesi Selatan.

Berbicara soal kemandirian, Allah pun juga mendorong agar laki-laki dan perempuan juga sama-sama memiliki kemandirian dan pendapatan. Karena dengan pendapatan yang di milikinya, ia pun bisa beramal (membantu sesamanya) dengan mandiri dan lebih baik. Karena amal (sumbangan) yang dikeluarkan oleh suami akan dicatat sebagai amal suami, bukan amalnya sang istri. Begitu juga sebaliknya.

Dan tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan melakukan kerja-kerja postitif adalah kewajiban suami dan istri seperti yang disampaikan dalam Q.S. An Nahl, 16: 97. Selain itu, seruan atas kemandirian ekonomi perempuan juga disampaikan Allah dalam Q.S. An-Nisa, 4:21, ”Bagaimana kamu (tega) mengambilnya (harta istri dari mahar) padahal diantara kamu sudah berhubungan intim, dan mereka (istri-istri) telah menerimanya (mahar) dari kamu sekalian melalui perjanjian (pernikahan) yang kokoh”. Hayo tunggu apa lagi, saatnya kini perempuan modern harus mandiri seperti Khadijah.

*Penulis: Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS
Sumber http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=140%3Amentauladani-kemandirian-khadijah&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111

Read More..

Senin, 13 September 2010

Memperkuat Civil Society:Memperkuat Kewargaan*

Pengantar
Dalam perkembangan praktek demokrasi di berbagai negara menunjukkan bahwa kehidupan bersama bisa terjaga dengan baik melalui dua tiang penyangga: Tiang penyangga yang pertama, adalah konstitusi yang modern dan demokratis Di setiap negara modern sekarang ini, praktis memiliki konstitusi. Jika pengalaman berbagai negara demokratis diekstrasi ke dalam rumusan yang sederhana, maka dengan mudah kita akan menemukan bahwa kehidupan bersama hanya bisa ditegakkan jika tersedia konstitusi yang modern dan demokratis. Apa saja ciri konstitusi yang modern dan demokratis itu?

(1). adanya pembagian kekuasaan diantara institusi-institusi pemerintahan. (2). adanya prinsip akuntabilitas (pembatasan) kekuasaan terhadap institusi pemerintahan dan jaminan bagi bekerjanya perimbangan kekuasan (check and balances). (3), penerimaan dan pengakuan hak-hak sipil dan politik (hak-hak warga negara) dan jaminan serta perlindungan pada hak-hak sosial, ekonomi dan kultural.

Tiang penyangga kedua dalam menjaga kehidupan bersama adalah civil society. Civil society perlu mendapatkan tekanan khusus, karena dalam banyak kasus proses demokratisasi tidak bisa berjalan berkelanjutan (tidak stabil) ketika tidak ditopang oleh budaya kewargaan. Sehingga demokratisasi hanya menghasilkan instalasi (kelembagaan) baru demokrasi, namun tidak diikuti oleh perubahan perilaku yang demokratis. Bahkan dalam perjalanan selanjunya memunculkan fenomena distrust dan bahkan delegitimasi pada institusi demokrasi yang telah diinstalasi.

Watak Dasar Civil Society

Kalau memang civil society merupakan tiang penyangga kehidupan bersama, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara kita menandai kehadiran civil society? Dalam perdebatan konsep tentang civil society terlihat jelas pengaruh kuat dari konsepsi Tocquevillian dalam menandai kehadiran civil society. Dalam cara pandang Tocquevillian, civil society dilihat sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang bersifat yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating) dan keswadayaan (self supporting), memiliki kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

Dalam kerangka hidup bersama, civil society bukan semata-mata kehidupan asosiasional yang nyaman seperti yang tergambar dalam konsepsi Tocquevillian, melainkan seharusnya mencerminkan beberapa karakter utama sebagai berikut : Pertama, civil society mensyaratkan keterlibatan warga dalam tindakan kolektif dalam wilayah publik yang didalamnya tertampung berbagai entitas dengan berbagai kepentingan, untuk mencapai kebaikan bersama. Ranah publik tidak hanya menyangkut sesuatu yang bersifat fisik-spasial-arsitektur, melainkan mencakup ranah-ranah kultural, sosial, politik, hukum dan sebagainya. Dengan demikian, keberadaan civil society, bukan hanya dilihat dari keberadaan, kesemarakan dan tingkat kepadatan asoasional, melainkan sejauhmana warga terlibat dalam pencapaian tujuan-tujuan publik (bersama). Dalam mencapai tujuan bersama itu dilakukan dengan terbuka- tidak tertutup, rahasia dan korporatif - dan mudah diakses oleh seluruh warga.

Dari kehendak untuk membangun kebaikan bersama itulah memunculkan “ke-kita-an, dimana kata kita bisa menunjuk pada pengertian bangsa atau juga bisa kelompok. Dengan dasar “ke-kita-an” itu, civil society bisa secara tegas dibedakan dengan kerumunan atau bahkan massa. Ke-kita-an menjadi fondasi dasar dari Res Publica (asal kata dari konsep Republik). Mengutip filusuf Romawi, Cicero:
“Kesejahteraan umum adalah miliki rakyat; akan tetapi rakyat bukanlah sekedar kerumunan manusia, melainkan kumpul orang yang direkatkan satu sama lain oleh penghormatan pada keadilan dan kerjasama mengejar kebaikan bersama (communione sociatus)”

Kedua, civil society bukan terpisah dari negara, melainkan berhubungan dengan Negara. Walaupun berhubungan dengan negara, civil society tidak berusaha untuk merebut kekuasaan atas negara atau mendapatkan posisi dalam negara. Itu artinya, civil society dalam kerangka kehidupan bersama, lebih dilihat sebagai ruang intermediary antara individu dan keluarga dengan institusi negara. Penekanan pada ruang intermediary menjadi sangat penting ketika demokrasi perwakilan dilembagakan, seringkali muncul jarak antara institusi negara dengan individu dan keluarga yang relatif powerless. Dengan demikian, civil society menjadi relevan untuk membangun solidaritas dan asosiasi lintas warga akan membantu mereka untuk mengantarkan dan menegosiasi aspirasinya dan kepentingannya terhadap Negara dan sekaligus sebagai independent eye of society, dimana asosiasi-asosiasi sosial kontrol negara lewat kehidupan sehari-hari.

Ketiga, civil society mengandung dalam dirinya perbedaan dan keragaman (pluralisme). Sehingga, tatanan civil society terwujud apabila tidak ada satu kelompok yang berupaya memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat, menendang pesaing atau mengklaim kebenaran.
Keempat, keberadaan civil society bukan dimaksudkan mewakili seluruh kepentingan individu atau kelompok. Dan tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas Namun, karakter civil society akan terbentuk ketika asosiasi-asosiasi sukarela tidak hanya mengikat individu-individu lewat hubungan hubungan mikro dimana hal ini bisa munculkan solidaritas dan kewaspadaan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi, melainkan bisa melebur kepentingan-kepentingan subjektif dalam kepentingan bersama, dan melindungi individu dari negara dan pasar.


Kelima, secara internal, civil society ditandai dengan civic community dimana civil society dalam dirinya mempraktekkan prinsip-prinsip demokrasi Demokrasi tidak hanya bekerja lewat praktek-praktek dan institusi-institusi politik, tapi juga lewat ide, sentimen dan nilai-nilai kewargaan (civic virtues). Robert Putnam merumuskan civic community sebagai keterlibatan dan komitmen warga dalam proses politik (civic engagement); kesetaraan politik (political equality); solidaritas, kepercayaan (trust) and toleransi dan kehidupan asosiasional yang kuat (network of civic engangement).

Dengan demikian, civil society tidak akan dapat melaksanakan fungsinya sebagai alat kontrol bagi negara, kecuali ada demokratisasi di dalam civil society itu sendiri. Civil society adalah tatanan dimana kepentingan-kepentingan tadi ditata dalam aturan demokratis seperti tidak bergantung secara personal, tidak menindas dan eksploitatif. Dalam tatanan civil society yang demokratis, setiap individu diberikan kebebasan untuk bergerak di ruang publik untuk menentukan afiliasi keagaan dan sentimen lainnya. Dan oleh karena itu diberikan kebabasan bagi partisipasi politik dalam pembuatan program dan kebijakan.


Pluralisme Agama dan Budaya Kewargaan

Dari pemaparan di atas kita bisa melihat civil society dalam dua cara: sebagai wadah dan juga sekaligus sebagai karakter (roh-jiwa). Sebagai wadah, civil society adalah wadah yang menampung di dalam dirinya berbagai entitas dan dengan aneka ragam kepentingan. Namun secara karakter, civil society akan ditandai dengan watak dasar ke-publik-an (atau juga disebut karakter kewargaan/ civic). Watak dan budaya kewargaan inilah yang membedakan civil society dengan “wadah- wadah” masyarakat yang lain.

Dengan cara pandang itulah kita melihat kembali Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Di dalam negara bangsa ini, terdapat berbagai macam kelompok sosial yang bisa dipiliha berdasarkan agama, suku, ideologi, maupun orientasi politiknya. Heterogenitas entitas dalam masyarakat Indonesia sudah dipastikan akan memunculkan juga perbedaan dan keragaman kepentingan. Pertanyaanya adalah bagaimana perbedaan dan keragaman kelompok sosial termasuk agama bisa mewujudkan cita-cita civil society?

Karena budaya kewargaan menjadi watak dasar civil society maka pertanyaan tersebut di atas bisa dijawab dengan melihat lebih jauh kadar budaya kewargaan dalam sebuah masyarakat yang mejemuk itu. Kadar kewargaan dalam ruang hidup bersama ini bisa diukur dari dua hal: Pertama. seberapa besar tingkat inklusivitas dari masyarakat. Semakin inklusif sebuah ruang publik maka semakin beragam (plural) entitas dan heterogenitas kepentingan yang tertampung dalam ruang publik. Sebaliknya semakin ekslusif (monocetrism) ruang publik, maka makin sempit peluang dari keberagaman untuk terlibat dalam proses kehidupan bersama.

Kedua, bagaimana kualitas budaya ke-warga-an masyarakat. Pertanyaan ini menjadi penting penting, karena terwujudnya masyarakat “civic”bukan hanya ditentukkan oleh seberapa lebar warga bisa berpartisipasi dalam ruang publik, melainkan sejauhmana kualitas dari tindakan-tindakan kolektif yang dilakukan oleh warga. Atau kalau kita menggunakan bahasa Cicero, sejauhmana berlangsung transformasi dari kerumunan (crowd) menjadi kumpulan warga yang direkatkan satu sama lain oleh penghormatan pada keadilan dan kerjasama mengejar kebaikan bersama . Dengan demikian, kualitas ke-wargaan-an akan dilihat dari seberapa besar ruang bersama digunakan untuk mencapai tujuan, kepentingan ataupun kebaikan bersama.

Problem Ke-warga-an

Dalam konteks kekinian, cita untuk mewujudkan masyarakat ke-warga-an (civic community) dihadapkan pada beberapa problematika serius: Pertama, munculnya fenomena krisis kepercyaan, yang ditandai dengan mutual distrust yang meluas, baik diantara anggota warga masyarakat, antar kelompok, antara warga dengan pemerintah, antara konstituen dengan elite partai, dan sebagainya. Bahkan mutual distrust ini selanjutnya berkembang menjadi konflik-kekerasan antar kelompok masyarakat.

Kedua, semakin kuatnya sikap apatisme, acuh tak acuh dan-disengage pada persoalan-persoalan bersama. Hal ini teram kuat dari ketidakhirauan kita pada public properties, fasilitas publik, maupun kesepakatan publik. Ketiakacuhan ini sebagian bersumber pada belum terbangunnya keinsyafan (kesadaran) yang selanjutnya bisa mendorong warga untuk terlibat dalam berbagai upaya mencapai tujuan bersama. Namun, disisi lain apatisme ini berkembang sebagai reaksi atau tindakan protes terhadap kondisi yang tengah terjadi. Apapun penyebabnya, apabila setiap warga ataupun kelompok merasa nyaman dengan kepentingan mereka sendiri, maka hal itu justru memunculkan masyarakat yang retak , rapuh dan terfragmentasi. Dalam konteks semacam itu, tidak berkembang semangat saling percaya (mutual trust), lemahnya networking, ataupun ketiadaan jembatan kerjasama antar warga dalam mencapai kehidupan bersama yang lebih baik.

Ketiga, hadirnya pragmatisme dan hilangnya voluntarisme. Dalam konteks pragmatisme, warga lebih mengabdikan dirinya untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek, baik di bidang ekonomi maupun politik. Di lapangan politik, ruang publik dipenuhi oleh proses kotestasi kekuasaan dalam masyarakat. Warga maupun kelompok warga sibuk dengan permainan kekuasaan dalam memperebutkan sumberdaya politik maupun ekonomi. Dalam permainan kekuasaan, tidak jarang, satu kelompok warga meminggrkan atau bahkan menutup ruang warga lain untuk terlibat dalam proses hidup bersama. Politik meniadakan (exclude) itu juga didukung oleh pandangan yang cenderung menolak perbedaan dan keragaman. Pandangan monocetrisme inilah yang selanjutnya berbuah pada sikap diskriminasi dan tidak toleran terhadap sesuatu yang lain (the others).

Di lapangan ekonomi, pragmatisme ditandai dengan maraknya perilaku transaksional. Masyarakat juga telah menjelma menjadi “pasar” yang sebagian dibentuk sebagai akibat perluasan dari budaya kapitalisme industri. Warga masyarakat juga menjadi terbiasa untuk mendapatkan sesuatu secara ïnstan”,hilangnya gotong royong dan semangat pelayanan pada sesama.

Keempat, budaya kewargaan akan sulit terbentuk apabila berjalan proses dominasi dan hegemoni kekuasaan dari kelompok dominan. Hal ini penting untuk ditegaskan karena dalam realitanya, masyarakat dalam ruang hidup bersama tidak berada dalam ruang kosong, melainkan berada konteks struktur hubungan kekuasaan. Sehingga, perbincangan tentang civil society tidak bisa dilepaskan dengan perbincangan tentang relasi kekuasaan. Dalam konteks semacam itu, cita-cita ke-warga-an bisa terpendam dan tereduksi oleh kehadiran struktur kekuasaan yang dominan.

Ada beberapa aktor yang berpotensi untuk membatasi atau menutup peluang budaya kewargaan. Pada masa Orde Baru, budaya kewargaan justru dibatasi oleh Negara dengan beberbagai cara: (1). Membatasi ruang partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Kalaupun ada ruang yang dibuka maka itupun lebih banyak dikendalikan oleh negara melalui state corporatism. Negara yang seharusnya berperan sebagai public agency, justru menjadi sosok yang hanya melayani kepentingan sendiri atau bahkan instrumen dari kepentingan kelompok/ kelas dominan. Sehingga, posisi dan kebijakan negara yang seharusnya mereprsentasikan semangat kepublikan justru menjadi alat bagi kepentingan elite ataupun kelas tertentu (2). Penggunaan instrumen renumeratif sehingga membentuk ketergantungan antara warga dengan negara. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pembangunan negara yang lebih didesain lebih mengakibatkan ketergantungan dibandingkan pemberdayaan. (3). Melalui otoritasnya, elite-elite negara berperan besar dalam menguasai ruang publik melalui membentuk opini publik, sehingga berbagai kepentingan publik didistoris oleh kepentingan elite. Akibatnya terjadi kepentingan elite dibuingkus menjadi kepentingan publik.

Setelah memasuki proses transisi (reformasi), ancaman terhadap budaya kewargaan justru muncul dari kelompok-kelompok sosial-keagaamaan yang radikal dan ekslusif. Sikap ekslufi dari kelompok-kelompok ini nampak jelas dari pandangan dan sikap mereka yang cenderung menolak perbedaan dan keragaman. Tidak jarang dalam menunjukkan sikapnya, kelompok-kelompok ini menggunakan cara-cara kekerasan. Penggunaan instrumen kekerasan mendapatkan peluang ketika negara yang seharusnya berposisi sebagai public agency yang harusnya melindungi budaya kewargaan justru lemah dan membiarkan aksi dari kelompok radikal ini.

Hal ini mencerminkan munculnya paradoks dalam proses reformasi. Di satu sisi, proses liberalisasi politik yang telah berlangsung sejak tahun 1998 membuka ruang kebebsan bagi warga negara untuk mengaktualisasi kebebasan politiknya. proses liberalisasi politik di era pasca Orde Baru memungkinkan para warga negara menihmati situasi politik yang lebih bebas dalam menyampaikan kepentingannya (voice), mengorganisir kepentingannya melalui partai politik maupun meraih dukungan politik dari rakyat dalam proses elektoral. Kebebasan tidak hanya dirasakan oleh politisi, melainkan juga didapat oleh warga pemilih. Sepertihalnya dialami oleh politisi, pemilih lebih bebas memilih atau bahkan mengalihkan garis dukungannya dalam berbagai momen pemilihan.
Namun, kebebasan politik itu tidak diikuti dengan kebebasan sipil yang lain. Dari Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia pada tahun 2008 yang diterbitkan CRCS UGM menunjukan masih dijumpai halangan dan pembatasan dalam kebebasan beragama dan beribadah bagi beberapa komunitas keagamaan dan kepercayaan, yang merupakan bagian dari minority within atau kelompok agama “non resmi”. Halangan dan pembatasan kebebasan beragama dan beribadah itu diperlihatkan melalui kebijakan negara yang diskriminatif maupun tindakan kekerasan yang berbasis pada identitas keagamaan dan perbedaan pandangan/ praktek keagamaan. Laporan CRCS UGM ini senada dengan beberapa laporan yang dikeluarkan oleh Setara Institute (2008) maupun Wahid Institute (2008). Selain masih adanya problem kebebsan dalam beberapa komunitas keaagaa persoalan yang sama juga dihadapi oleh kelompok-kelompok minoritas dalam kategori yang berbeda seperti: kelompok gay, lesbian dan transeksual.

Problem defisit kebebasan ini tidak hanya bersumber dari relasi antar komunitas agama dalam konteks inter atau intra religio politico power, namun juga berkaitan dengan kebijakan negara. Dalam banyak kasus kekerasan bisa berlangsung justru dipicu oleh kebijakan negara yang diskriminatif dan posisi negara yang membiarkan kekerasan itu terjadi. Padahal konstitusi telah jelas mengamanatkan bahwa negara wajib menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Tanpa kebebasan agak sulit kita akan berbicara tentang bagaimana membangun hidup bersama dalam kesetaraan.

Penutup: Dimana Peran Agama?

Dalam memperkuat budaya kewargaan, agama bisa hadir dalam wajah ganda: Disatu sisi, agama bisa menjadi instrumen untuk mereduksi “budaya kewargaan”, ketika agama muncul dalam wajahnya yang ekslusif, monocentrisme, menolak perbedaan; melegitimasi kekuasaan yang menindas; menjadi penghambat dari keinsyafan umatnya untuk mencapai tujuan bersama.

Namun, disisi lain, agama juga punya wajah yang bisa memperkuat budaya kewargaan ketika agama memberikan inspirasi dalam membangun kehidupan bersama. Agama muncul sebagai agama etik yang menyumbangkan nilai, sikap dan perilaku yang mendukung kehendak menggapai kebaikan bersama.

Dalam membangun landasan etik untuk hidup bersama memerlukan dialog yang terus menerus dari berbagai agama dan kebudayaan sehingga ditemukan semacam civic religion , yang bisa mejadi fondasi dasar dalam membangun, merawat hidup bersama (bebrayan).

*Situlis Oleh:AA GN Ari Dwipayana
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Gajah Mada
Sumber http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=155%3Amemperkuat-civil-society-memperkuat-budaya-kewargaan&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111

Read More..

Sabtu, 11 September 2010

Menyoal Sekolah (Belum) Gratis*

'Kebijakan sekolah gratis bergantung pada komitmen kota atau kabupaten. Kalaupun ada pendidikan gratis, yang digratiskan adalah biaya operasional, sedangkan biaya di luar itu tetap menjadi beban orangtua.' Demikian tutur Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang banyak dilansir oleh sejumlah media.

Pernyataan Menteri Pendidikan di atas menegaskan bahwa sekolah dasar tidak akan gratis jika pemerintah daerah tidak mendukung kebijakan di tingkat pusat. Alasannya cukup klasik, mulai terbatasnya anggaran pemerintah daerah hingga tidak adanya komitmen Pemda pada persoalan pendidikan di daerah masing-masing. Bagaimana kenyataannya?

Meski kota pelajar ongkos pendidikan di Yogyakarta sangat mahal. Tak heran, bila sektor pendidikan sensitif untuk dijual oleh oknum tertentu. Lain Kota Gudek, lain pula yang lain. Senyatanya, tanggapan tiap kabupaten berbeda-beda terhadap konsep Sekolah Gratis dari pemerintah pusat.

Bila pemerintah Kota Yogyakarta meresponnya dengan adanya KMS (Kartu Menuju Sejahtera) untuk menanggulangi akses pendidikan bagi warga miskin. Sementara di Kabupaten Sleman masih mulai berbenah. Ini kita belum berbicara dengan kabupaten lain yang belum menunjukkan respon menggembirakan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat tak populis ini.

Bagaimana dengan propinsi lain? Keadaannya tak jauh beda dengan di atas. Maka, jangan harap Sekolah sudah Gratis. Hal ini senada dengan yang disampaikan menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, tanpa dukungan dari pemerintah daerah maka sekolah gratis tidak akan terwujud.
Pernyataan Menteri Pendidikan itu, menunjukkan adanya batasan terhadap 'penggratisan' yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Memang, putusan Menteri Pendidikan tersebut jika dipikir cukup rasional—karena di era otonomi daerah ini, pemerintah pusat sangat kesulitan untuk menetapkan satu keputusan yang sama di tingkat pusat dan daerah.

Ini terjdi karena daerah memiliki hak untuk membawa daerahnya sesuai dengan apa yang dibayangkan sendiri. Pada titik ini terdapat celah besar dimana konsep Sekolah Gratis dari Pemerintah Pusat tidak akan bisa dilaksanakan di tingkat daerah. Dari sini dapat dilihat, peraturan pemerintah pusat tentang pengendalian pungutan biaya operasional di SD dan SMP Swasta yang tidak berlebihan dan pemberian sanksi terhadap sekolah yang melanggar, dan pendataan siswa miskin yang sekolah di sekolah Swasta untuk mendapatkan haknya tidak bisa terwujud.

Pada kenyataannya, berdasarkan pemantauan yang diselanggarakan oleh elemen Pokja Pendidikan Gratis DIY, kekhawatiran penulis di atas ternyata terjadi. Dalam masa pelaksanaan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) tahun 2009 di DIY terdapat pungutan-pungutan liar di sekolah. Diantaranya, pungutan pembuatan kanopi dan pengadaan sarana prasarana lain yang seolah-olah 'diada-adakan'.

Selain itu, biaya daftar ulang sekolah juga masih sangat ambigu. Seharusnya biaya ini diambilkan dari BOS dan tidak boleh melakukan pungutan lagi. Sementara itu, biaya daftar ulang tidak hanya ditimpakan kepada siswa baru saja. Tetapi juga diperuntukkan kepada siswa kelas satu dan kelas dua yang naik ke tingkat atasnya.

Tentu, hal ini luput dari pantauan keputusan Menteri Pendidikan. Dan dalihnya, bagi sekolah, biaya tersebut bersifat suka rela tetapi tidak ada pemberitahuan dari sekolah terkait dengan sifat biaya daftar ulang. Sehingga, orang tua siswa tetap wajib mengalokasikan untuk biaya tersebut dan sesuai dengan besaran yang ditetapkan sekolah.

Fakta miris ini, seharusnya menyadarkan Pemerintah untuk memberlakukan sanksi tegas. Walau sudah ada Surat Edaran Menteri No.186/ MPN/ KU/ 2008 ini tidak cukup memberikan sanksi yang membuat jera sekolah. Jika sanksi berupa uang, maka bisa ditebak, sekolah akan dengan mudah membayarnya dan mengulangi kembali pelanggaran di masa datang.

Menyadari hal itu, maka perlu sanksi yang lebih tegas seperti penutupan sekolah sampai waktu yang ditentukan dan harus mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Problem lain yang terjadi di DIY adalah adanya pemalsuan akta kelahiran. Pemalsuan ini dilakukan terkait dengan keinginan orang tua murid dan diketahui oleh pihak sekolah agar anaknya bisa masuk SD dengna usia dibawah 7 tahun. Praktek ini jelas melanggar peraturan pemerintah Kota yang memprioritaskan anak yang telah berusia 7 tahun untuk bisa masuk SD.

Dan persoalan tidak adanya transparansi dari program KMS Pemkot Yogyakarta mengakibatkan orang tua murid kebingungan untuk mendapatkan informasi terkait prosedur pendaftaran. Ini terjadi karena Pemkot dalam hal sosialisasi informasi tidak disebarkan langsung ke sekolah atau tempat-tempat strategis lainnya yang dengan mudah orang tua siswa bisa mengetahui dan melakukan tindakan yang tepat.

Dampaknya, hak KMS yang dipunyai jadi 'hangus' karena pendaftaran telah tutup. Problem lainnya adalah beasiswa untuk siswa msikin ini ternyata masih menggunakan standar nilai tertentu, yakni NEM sebesar 21 ke atas. Hal ini menunjukkan betapa program KMS (begitu pula dengan Sekolah Gratis Pemerintah Pusat) belum menganut azas pemerataan dan keadilan. Buktinya, masih terlihat ada marginalisasi bagi siswa yang bodoh dan miskin. Bagi siswa yang punya kategori ini, jangan pernah bermimpi bisa mengakses beasiswa yang diberikan pemerintah. Di sini, peran negara untuk mencerdaskan bangsanya tidak pernah dipenuhi.

Di sisi lain, secara umum, belum terlihat adanya upaya dari sekolah swasta untuk mengimplementasikan seluruh kebijakan Menteri Pendidikan Nasional di atas. Terbukti, di lapangan ditemukan masih adanya sekolah swasta yang membebaskan pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Bisa dipastikan masih banyak siswa miskin di sekolah swasta yang belum mendapatkan manfaat dari konsep Sekolah Gratis Pemerintah Pusat. Di sini, dituntut pula peran Dinas Pendidikan setempat untuk melakukan pemantauan dan 'jemput bola' atau meminta kepada sekolah swasta untuk mendaftar siswanya yang dinilai patut mendapatkan subsidi pemerintah pusat dan daerah.

Jika kebijakan ini tak dilakukan dan semua bungkam, maka angka siswa putus sekolah dan angka anak tak bersekolah semakin tinggi dikarenakan mahalnya biaya pendidikan di zaman kini. Lantas apa arti Pendidikan Gratis?

Penulis:Mar’atul Uliyah, Sekretaris Pokja Pendidikan Gratis DIY dan Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS

Sumber http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=138%3Amenyoal-sekolah-belum-gratis&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111

Read More..
Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings