Tayangan korban bencana alam di layar televisi dalam hari-hari terakhir ini menunjukkan suatu pola. Korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi adalah penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai, pesisir, dan lereng bukit.
Dari sosok korban yang terekam kamera televisi, mereka bukanlah orang-orang gedongan, pejabat, ataupun konglomerat. Mereka lebih mirip seperti orang-orang pinggiran di daerah pedalaman yang bersahaja.
Bukan kebetulan mereka tinggal di lokasi-lokasi yang belakangan populer disebut sebagai daerah rawan bencana itu. Keberadaan mereka di tempat tersebut dibentuk dan bencana yang menimpa mereka pun tidak seluruhnya alamiah.
Eksklusi sosial
Berawal dari paham hak kebendaan kolonial yang diselipkan dalam gagasan kekuasaan negara, pemerintah kolonial saat itu mulai membuat pendakuan atas wilayah negara termasuk kawasan hutan negara.
Melalui undang-undang agraria dan kehutanan kolonial, pemerintah membuat batas yang jelas antara tanah negara dan tanah rakyat, antara hutan negara dan hutan rakyat. Di atas tanah negara dan hutan negara tidak boleh ada hak milik lain sehingga tercipta dikotomi kepemilikan tanah dan hutan.
Pendakuan akan kawasan hutan negara tersebu awalnya tidak seluas sekarang. Hanya Jawa, Madura, dan sebagian Sumatra. Sejak Orde Baru diketahui wilayah yang disebut sebagai kawasan hutan negara itu mencapai dua per tiga daratan Indonesia. Berdasarkan hukum dan tradisi kehutanan ilmiah, kawasan hutan negara tersebut harus bersih dari hak milik lain.
Implikasinya adalah penaklukan dan eksklusi orang-orang dari dalam kawasan hutan negara. Mereka ditaklukan dengan berbagai pencitraan negatif lalu dikeluarkan ke lokasi-lokasi marjinal, seperti daerah aliran sungai, pesisir, dan lereng bukit. Ada pula yang bertahan di daerah bahaya seperti orang Dieng yang terkubur letusan kawah Sinila.
Konstruksi politik ini membungkam 230 juta jiwa penduduk republik yang hidup berjubel di wilayah sepertiga daratan yang kian berisiko bencana alam, baik karena kontrol eksploitasi hutan yang lemah sehingga sering banjir dan longsor maupun faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Di antara mereka ada 40 juta jiwa penduduk yang hidup di daerah bahaya yang paling berisiko bencana alam. Mereka itulah orang-orang yang sejarah sosialnya diwarnai penaklukan dan eksklusi sosial, seperti korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi, yang ditayangkan televisi akhir-akhir ini.
Relokasi
Istilah relokasi muncul tak semena-mena setelah gempa dan tsunami menggulung permukiman penduduk di pesisir kepulauan Mentawai. Pun demikian ketika wedus gembel membakar permukiman penduduk di Kinahrejo, kampung sang juru kunci Merapi saat itu, Mbah Marijan.
Relokasi telah lahir sebagai wacana publik, setidaknya di kalangan media. Tak kurang pemerintah provinsi Sumatera Barat dan bupati Sleman, bahkan ketua DPR melontarkan pernyataan dengan nada seperti itu.
Wacana itu diproduksi terlepas dari sejarah sosialnya. Korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi adalah masyarakat yang kalah dalam kontestasi politik sumber daya alam pada masa lalu. Sejarah mereka diwarnai dengan penaklukan, ekslusi sosial, dan hilangnya hak kebendaan seperti tanah dan hutan.
Trauma sejarah macam ini setidaknya tecermin dari ekspresi wajah seorang nenek yang meronta menolak ajakan tentara untuk mengungsi dari daerah rawan bencana letusan Merapi yang ditayangkan berulang kali di stasiun televisi belakangan ini.
Penolakan juga pernah dilakukan oleh warga Kinahrejo saat Merapi meletus tahun 1994. Warga lereng Merapi di Magelang yang ditransmigrasikan ke luar Jawa saat itu bahkan telah kembali ke kampung halaman.
Sejumlah penolakan itu menunjukkan bahwa relokasi bukan kebijakan mudah yang bisa diputuskan semena-mena. Kebijakan ini terkait hak milik kebendaan seperti tanah yang bisa lenyap ketika proses tukar guling tidak transparan. Persoalan hak milik kebendaan adalah persoalan krusial yang sensitif di kalangan warga tereksklusi ini.
Relokasi yang relatif diterima biasanya didukung tiga kondisi. Pertama, pengetahuan umum yang menyatakan bahwa daerah yang tertimpa bencana alam itu tidak bisa dijadikan permukiman lagi. Kedua, jaminan kepastian hak milik tanah dalam tukar guling. Dan ketiga, jaminan mata pencarian yang sepadan dengan mata pencarian di daerah asal.
Apabila ketiga kondisi tersebut tidak terpenuhi, kebijakan relokasi sebaiknya dipikirkan ulang.
Alternatif lain seperti rekonstruksi daerah bencana sepertinya tidak lebih melukai trauma sejarah sosial masyarakat yang tereksklusi itu.
*Gutomo Bayu Aji Peneliti Ekologi Manusia pada Puslit Kependudukan LIPI
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04275455/konstruksi.politik.daerah.rawan.bencana
Minggu, 07 November 2010
Konstruksi Politik Daerah Rawan Bencana*
Rabu, 29 September 2010
Berkaca Pada Lidi
Di sebidang halaman yang tak begitu luas, tanahnya ditumbuhi sepohon nangka sepuh yang bersanding bersama serumpun bamboo dewasa yang batangnya mulai meninggi, menjulang ke langit. Daunnya yang lebat nan rindang meneduhi tanah alasnya dari sengatan surya. Sementara tanahnya tampak kusut digenangi guguran dedaunan kering yang berbagi tempat bersama sampah plastic, serta beruntai lidi yang berurai bertebaran. Datanglah seorang kakek dengan menenteng sebungkus rokok di satu tangan dan gulungan tikar di tangan lainnya. Sesampai di dekat pohon sang kakek berhenti sejenak, bola matanya bergerak kekanan dan kekiri, mengamati keadaan sekitar dirinya berpijak, sebelum kembali mengayunkan langkahnya menghampiri pohon nangka.
Dibatang pohon, disandarkannya gulungan tikar yang dibawanya, dan ditaruhnya bungkus rokok persis disebelahnya. Dengan tangan keriputnya, dipungutnya batang demi batang lidi yang berurai, disatukannya dalam satu ikatan, dan di kuncinya dengan simpul mati. Dengan seikat lidi tersebut disapunya tanah kusut, digiringnya dedaunan kering beserta sampah plastic menjadi satu tumpukan sampah untuk selanjutnya dibakar.
Dengan sisa tenaga senja yang disepuh dengan kebijaksanaan yang matang, uraian lidi yang mengortori halaman sebagaimana sampah kering lainnya, ditangan sang kakek di ubah menjadi sarana yang mampu merobah keadaan(dari yang tadinya kumuh menjadi bersih asri).
Dalam kondisi awalnya yang berserakan, seuntai lidi hanya menjadi beban lingkungan yang mengotori sebagaimana sampah lainnya. Keadaan jauh berbeda ketika batang demi batang lidi terikatkan dalam satu kesatuan yang utuh, dengan kesatuan seikat lidi menjadi sapu yang menyeka segala sampah dan mewujudkan lingkungan yang asri.
Kurang lebih begitulah gambaran kita, sebagaimana nasib sang lidi. Tanpa adanya kesatuan yang kokoh, selamanya kita akan tercecer diantara derap langkah peradaban yang melaju begitu derasnya. Jangankan membidani perubahan, eksistensinya saja tak ternilai, bahkan tak ubahnya daki peradaban(meminjam isrilah Buya Syafii) hanya akan menjadi beban sejarah peradaban manusia.
Disini, kata kuncinya adalah kesatuan. Kesatuan yang dibangun diatas lahan kearifan moral yang lapang dan kejujuran hati dengan wahyu ilahi sebagai bingkainya. Karena persatuan hanya akan terwujud jika kita bersedia membuka mata, mengakui adanya keragaman, untuk kemudian dengan kearifan moral berkenan menghargai kelompok yang berbeda, selanjutnya bangunan ini akan sempurna dengan wahyu langit sebagai pagar yang membingkainya.
Sayangnya, nampaknya cita-cita kesatuan itu masih terlampau melangit dari bumi realitas. Sejarah mencatat (tanpa bermaksud terjebak dalam determined retrospectif), manusia kebanyakan cenderung lebih suka perpecahan daripada persatuan. Jika tidak, tak akan akan mungkin ada konflik atas nama agama, ras, etnis, atau bangsa, termasuk perang dunia baik I maupun II yang memilukan. Senyatanya, sejarah peradaban manusia tak pernah luput dari pertumpahan darah(entah apapun motif yang melatarinya).
Dalam sejarah islam(Tarikh) sendiri, segera setelah Rasul wafat, hampir saja para sahabat bertengkar di Saqifah Bani Sa’adah. Ketika Utsman berkuasa, perpecahan memuncak dengan terbunuhnya sang Khalifah R.A. Sementara pada periode berikutnya, Ali R.A di hadapkan pada pemberontakan Aisyah dan sahabat lainnya. Segera setelah Aisyah dipadamkan, giliran Mu’awiyyah yang menyerang. Perpecahan seperti ini terus berulang dalam sejarah Islam.
Jika memang demikian, benarkah ini takdir?benarkah perpecahan memang sudah menjadi fitrah bagi manusia? Yang jelas, pilihan ada di tangan kita, akankah kita melebur dalam satu kesatuan utuh dan menjadi kekuatan utama mampu mendobrak kejumudan peradaban, atau tetap terserak dan tercecer di buritan peradaban? Silahkan pilih yang mana saja.
(Pernah dimuat dlm buletin Bening, Juli 2010)
Selasa, 28 September 2010
Berdamai Dengan Alam Demi Keberlanjutan Ekologi dan Masa Depan Kerajaan Bumi
Setiap kali membaca berita aktual dimedia massa akhir-akhir ini, selalu saja ada kolom yang memuat soal banjir yang tengah melanda sebagian wilayah Indonesia, bahkan sebagian wilayah Jember sempat lumpuh gara-gara luapan air bah Sungai Bengawan Madiun. Banjir memang bukan peristiwa luar biasa bagi Negeri ini, bahkan bagi sebagian kota seperti Jakarta, Semarang, Jember, Banjiir adalah sebuah keniscayaan yang mesti disambut setiap kali datang musim hujan.
Namun yang agak menggangguku adalah bahwa di tengah musim hujan seperti ini masih saja tak sedikit orang yang mengeluh "huh panase ra pantes" (panas banget!!). sebenarnya apa yang terjadi dengan bumiku???Sebagian diantara kita mungkin mengkambinghitamkan bumi sebagai penyebabnya, bahwa planet singgah trah adam ini nampaknya semakin tua semakin tak bersahabat dengan para penghuninya. Namun bagi sebagian yang lain yang mempunyai kesadaran reflektif, mereka akan lebih arif menyikapi pemanasan global yang merupakan salah satu wujud dari gejala perubahan iklim ini dengan secara jantan mengakui bahwa manusia lah yang tak bershabat dengan lingkungan alam tempat tinggalnya.
Perlakuan tak bersahabat manusia berupa eksploitasi berlebihan atas kekayaan alam tanpa disertai upaya pemulihan yang cukup adalah determinan utama yang mengakibatkan ketimpangan alam yang mengganggu keharmonisan ekosistem dan berujung pada perubahan perilaku alam(baca:perubahan iklim). Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya ( Anwar, 2007 ). Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Jika ada satu elemen saja dari tatanan dalam suartu ekosistem ini terganggu, maka akan berdampak pada kelangsungan keseluruhan ekosistem tersebut. Dalam perspektif Cappra, menusia bukanlah entitas diluar ekosistem, melainkan bagian inheren dalam ekosistem bumi yang tak terpisahkan. Atas asumsi relasi ekologi ini, bisa dikatakan jika alam ( baik tumbuhan, maupun isi perut bumi ) mengalami kerusakan, maka kelangsungan hidup manusia pun akan terancam. Disinilah letak urgensitas atas laku dan tindakan untuk menjaga keseimbangan ekosistem (baca alam) jika tak ingin mempercepat akhir dari dunia.
Selama ini manusia memang cenderung teramat abai dengan alam(akui sajalah), demi ambisi pengejaran materi, nafsu perut, atau sekedar sensasi mulut, dengan keji manusia memperkosa habis kecantikan dan keanggunan alam. Penjarahan sumberdaya alam yang telah melampaui batas telah mengakibatkan makin meningkatnya ancaman krisis ekologis dan tingginya kerentanan pada masyarakat, termasuk berbagai macam bencana alam sebagaimana yang akhir-akhir ini tak henti menyapa negeri ini. Banjir, tanah longsor, abrasi pesisir, dan bencana alam lainnya nampaknya semakin akrab saja dengan negeri ini. Jika musim hujan datang seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan berita di TV, Koran, media online, atau radio, selalu saja di penuhi pemberitaan tentang banjir bandang yang melanda beberapa daerah di negeri ini. Yang masih hangat adalah reportase tentang sebagian wilayah Jawa Barat termasuk DKI Jakarta yang di genangi air bah yang meluap dari sungai Ciliwung yang merupakan buah dari perusakan kawasan puncak oleh pemegang kuasa modal yang di amini aparat yang dihinggapi pragmatisme egoistik. Tak ketinggalan Ngawi, Jember, Madiun, Banjarnegara, dan Semarang adalah kota-kota lain di Jawa yang menjadi langganan tetap banjir.
Disinyalir kerusakan hutan adalah sumber utama dari berbagai bencana yang melanda sebagian daerah di Jawa. Kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa saat ini hanya sekitar 3 juta hektar, 2,4 juta hektar dikuasai Perum Perhutani dan 0,6 juta hektar lainnya dalam bentuk taman nasional dan cagar alam yang dikuasai Departemen Kehutanan atau hanya 20 persen dari luas daratannya. Padahal, Undang-Undang Kehutanan No. 40 tahun 1999 mengamanatkan 30 persen dari luas daratan adalah hutan. Artinya, dilihat dari daya dukung ekologi, dibanding luas daratannya, kawasan hutan Jawa belum mencukupi hingga perlu ditambah luasannya. Dari hutan Jawa seluas itu, 1,767 juta hektar (59%) merupakan hutan produksi miskin jenis (monokultur) yang sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai penyangga kehidupan, penyimpan air, apalagi penahan banjir. Hutan monokultur ini tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, dari Ciamis hingga Banyuwangi. Berdasarkan data Perum Perhutani, dari 2,4 juta hektar kawasan hutannya di Pulau Jawa, 80 persen lebih merupakan hutan monokultur yang didominasi tanaman jati (51,73%) dan pinus (35,14%) (BritaBumi, 28 Maret 2008). Dengan luasnya hutan monokultur, daya dukung lingkungan Pulau Jawa semakin menurun dan mudah sekali memicu banjir. Atas kenyataan memilukan ini, siapakah yang mesti bertanggung jawab?
Memang sebagian kerusakan hutan itu dilakukan oleh rakyat miskin yang terjepit oleh penderitaan. Tetapi skalanya tidak seberapa dibandingkan dengan pembalakan liar yang dilakukan pengusaha hitam, tentu via kongkalikong dengan aparat. Sebuah kolaborasi amoral minoritas yang berimbas kerusakan dan kepedihan dahsyat bagi mayoritas penduduk. Jika sudah demikian, siapa yang patut kita persalahkan? atau kepada siapa kita mesti mengadu? Sudah saatnya semua pihak berbenah, pemerintah sebagai pemegang tampu kekuasaan, mesti memainkan peran semestinya, menindak tegas dan keras para Mafioso penghisap hasil alam ini. Disamping itu juga perlu adanya implementasi kebijakan yang terpadu (di semua lini) yang berorientasi pada keberlanjutan ekologi, mulai dari kebijakan HPH sampai regulasi planologi (rancana tata kota), karena kepadatan penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan area permukiman yang memadai, yang seringkali berimbas pada ekspansi atas lahan-lahan konservasi. Dalam hal ini, pemerintah mesti lebih ketat dalam pelaksanaan perizinan mendirikan bangunan, pemukiman, terlebih untuk industry. Di daerah kita sendiri (di sekitaran UMY) saja, sama-sama kita seksikan, percepatan pembangunan telah menciutkan lahan-lahan persawahan. Area yang dulu merupakan lahan sawah yng menghampar hijau berubah menjadi kampus, kantor, ruko, atau rumah. Apakah pendirian bangunan-bangunan ini memenuhi AMDAL(analiisa dampak lingkungan) yang memadai? Wallhau alam.
Lebih jauh lagi, agaknya perlu dilakukan pembenahan atas paradigma dan laku aksi manusia yang selama ini cenderung dangkal dan tak ramah lingkungan. Cara pandang dangkal yang dijiwai pragmatism egoistic mesti segera digusur, digantikan dengan paradigma yang lebih arif, ramah lingkungan, dan berorientasi pada keberlanjutan ekologi. Hal ini menuntut upaya keras dari segenap unsure pemerintah dan masyarakat untuk menyemaikan nilai-nilai kesadaran lingkungan karena nampaknya yang satu ini juga merupakan problem mendasar masyarakat kita. Di lingkungan kita saja –tak usah jauh-jauh-, setiap saat kita dapati sampah berceceran dimana-mana. Di lobi, kamar mandi, plataran, lorong kelas, lift, secretariat organisasi mahasiswa (termasuk BEM, KOMAHI mungkin), ruang kelas, lubang angin, kolong meja, bahkan dicelah engsel bangku kuliah. Huft…sampah konsumsi dengan segala wujudnya bisa kita jumpai di tiap sudut kampus yang elok ini. Inilah realita miris sekaligus ironis di kampus kita, apalagi jika mengingat kredo yang selalu dibanggakan “unggul dan islami”. Seperti inikah karakter pribadi “unggul dan Islami”? tentunya tidak.
Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk merubah perilaku yang lama mengendap dan menjadi kebiasaan. Karenanya penanaman kesadaran ekologi memang mesti ditanamkan sejak dini untuk menyemai dam menghujamkan nilai-nilai kearifan lingkungan dan kelestarian ekologi agar generasi mendatang bisa memandang dan memperlakukan alam secara arif dan bijak demi kelangsungan sistem kehidupan di bumi ini. Atas yang satu ini, nampaknya pemerintah juga mulai menyadari hal tersebut, awal tahun ini bekerja sama dengan British Council Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan materi ajar Cimate4klassrooms (C4C) yang menekankan kesadaran perubahan iklim bagi siswa sekolah mulai tingkat dasar (SD) hingga menengah atas (SMA). Agaknya kebijakan eco-school ini bisa menjadi langkah awal yang cukup berarti bagi upaya pembenahan perilaku kita atas alam, agar generasi mendatang bisa lebih arif memperlakukan alam.
Akhirnya, matahari sudah menyingsing, sudah sepenggalan, sudah teramat siang untuk bergegas, membenahi segala sikap keji kita terhadap alam untuk masa depan generasi kita sendiri. Perubahan iklim dengan segala bentuk gejalanya hanyalah dampak dari akumulasi cara hidup dangkal manusia yang tak ramah lingkungan –sekaligus awal dari kehancuran yang lebih dahsyat jika tak segera didamaikan. Banjir dan segala macam bencana alam lain adalah teguran dari alam atas perilaku manusia yang tak lagi manusiawi. Alam tak akan henti menegur kita jika kita tak segera mengindahkan tegurannya dan segera berbenah. Mari berdamai dengan alam, demi keberlanjutan ekologi dan kelestarian generasi kita!
(Pernah dimuat dalam buletin IRs News, Maret 2010)
Selasa, 20 Juli 2010
Seminar Lingkungan Hidup
Keadaan bumi sudah berada pada titik kritis. Penebangan hutan , pembakaran hutan, alih fungsi lahan yang menyebabkan kegundulan hutan terus meningkat kasusnya. Dalam skala tahun 2000-2007 terjadi penebangan hutan seluas 24 juta hektar di Indonesia. Jelas sekali ini sangat berbahaya bagi kelangsungan lingkungan hidup. Akibat perusakan lingkungan yang notabene dilakukan oleh tangan manusia ini, bencana lingkungan pun semakin tak terhindarkan, seperti banjir, perubahan iklim, hingga pemanasan global.
Demikian diungkapkan oleh Suparlan , Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta dalam seminar lingkungan bertemakan memperkuat peran Civil Society dalam pengelolaan lingkungan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (BEM FISIPOL UMY) bertempat di Kampus Terpadu UMY, Kamis Sore (6/5).
Senada dengan 2500 Profesor yang tergabung dalam Intergovermental of climate change yang menilai bahwa kerusakan lingkungan di dunia di sebabkan oleh ulah tangan manusia, Suparlan juga melihat bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh negara lebih mementingkan kepentingan para pemilik modal dibandingkan lingkungan hidup maupun kepentingan masyarakat. “Kerusakan lingkungan sering sekali dilakukan oleh korporasi besar, Illegal logging oleh pengusaha kayu, alih fungsi hutan juga oleh perusahaan yang mendapat dukungan dari pemerintah,”ungkapnya.
Menurut Suparlan, Ibarat orang yang sakit, bumi yang harus kritis juga harus segera di obati. Fakta lapangan yang menunjukan kerusakan lingkungan sudah ditunjukkan di depan mata. Akibatnya juga sudah dirasakan mulai dari perubahan iklim yang menyebabkan petani gagal panen, nelayan tidak bisa melaut. Serta eksploitasi terhadap alam yang dilakukan oleh kelompok manusia termasuk korporasi seperti yang terjadi di Sidoarjo. Lumpur Lapindo telah melumpuhkan basis produksi masyarakat di sana. “Untuk mengobati bumi yang sakit ini, perlu upaya masyarakat maupun gerakan civil society dalam proses memperbaiki kerusakan lingkungan hidup ini khususnya di Indonesia,”urainya.
Memang agak sulit untuk menciptakan masyarakat yang sadar lingkungan. Parahnya lagi, menurut Suparlan saat ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa bencana lingkungan itu adalah hal biasa. Sehingga kerusakan lingkungan pun terasa menjadi hal yang biasa saja dan tidak perlu ditanggapi dengan serius. “Menimbulkan kesadaran masyarakat ini lah yang perlu di lakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun gerakan-gerakan civil society,”paparnya.
Selain menumbuhkan sadar lingkungan, masyarakat juga harus mulai menanam pohon menanam pohon ini juga harus disertai dengan kesadaran untuk tidak menggantungkan oksigen pada orang lain. Masyarakat juga harus mengontrol kebijakan pemerintah terkait dengan lingkungan.
Serta memproduksi maupun menggunakan produk ramah lingkungan. Namun dalam memproduksi produk ramah lingkungan, Suparlan menekankan jangan sampai logika ekonomi yang bermain. Suparlan memaparkan bahwa di Yogyakarta ada kelompok ibu-ibu yang memamfaatkan plastik bekas deterjen, sabun yang dikumpulkan dari sampah rumah tangga maupun sampah warung untuk dijadikan barang ekonomi seperti tas dan keranjang.
Namun sering kali ketika orderan semakin banyak dan para ibu ini kehabisan bahan plastik, mereka membeli plastik barang terebut di swalayan. “Harusnya kan dari sampah bukan membeli dari swalayan. Kalau begitu ya sama saja,”ungkapnya.
Di lain sisi, Tasdianto, Sp, M.Si selaku kepala kantor lingkungan hidup regional Jawa, yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut memaparkan bahwa saat ini pemerintah telah melakukan upaya menciptakan masyarakat berwawasan lingkungan melalui komunitas-komunitas. Di Yogyakarta, pemerintah mengklasifikasi masyarakat menjadi empat komunitas yakni komunitas pendidikan, komunitas pebisnis, komunitas kampung, dan komunitas agama. Menurut Tasdianto cara melakukan penyadaran terhadap masing-masing komunitas berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Komunitas agama biasanya penyadaran dilakukan berdasarkan kitab suci masing-masing agama. Untuk komunitas agama islam, Tasdianto memaparkan sudah melakukan kerjasama dengan berbagai pesantren di Regional Jawa untuk menciptakan para santri yang berwawasan lingkungan.
“Di Jogja, di bawah lereng merapi ada sebuah pesantren yang saat ini menjadikan wawawan dan sadar lingkugan sebagai salah satu subjek yang didalami selain pengetahuan agama dan umum,”paparnya. Selain dengan pesantren, Pemerintah juga melakukan kerjasama dengan organisasi ummat salah satunya dengan Muhammadiyah. “Pemerintah dengan PP Muhammadiyah telah bekerja sama dalam gerakan penaman pohon dan sadar lingkungan yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu dan akan terus berlanjut,”tandasnya.