Senin, 13 September 2010

Memperkuat Civil Society:Memperkuat Kewargaan*

Pengantar
Dalam perkembangan praktek demokrasi di berbagai negara menunjukkan bahwa kehidupan bersama bisa terjaga dengan baik melalui dua tiang penyangga: Tiang penyangga yang pertama, adalah konstitusi yang modern dan demokratis Di setiap negara modern sekarang ini, praktis memiliki konstitusi. Jika pengalaman berbagai negara demokratis diekstrasi ke dalam rumusan yang sederhana, maka dengan mudah kita akan menemukan bahwa kehidupan bersama hanya bisa ditegakkan jika tersedia konstitusi yang modern dan demokratis. Apa saja ciri konstitusi yang modern dan demokratis itu?

(1). adanya pembagian kekuasaan diantara institusi-institusi pemerintahan. (2). adanya prinsip akuntabilitas (pembatasan) kekuasaan terhadap institusi pemerintahan dan jaminan bagi bekerjanya perimbangan kekuasan (check and balances). (3), penerimaan dan pengakuan hak-hak sipil dan politik (hak-hak warga negara) dan jaminan serta perlindungan pada hak-hak sosial, ekonomi dan kultural.

Tiang penyangga kedua dalam menjaga kehidupan bersama adalah civil society. Civil society perlu mendapatkan tekanan khusus, karena dalam banyak kasus proses demokratisasi tidak bisa berjalan berkelanjutan (tidak stabil) ketika tidak ditopang oleh budaya kewargaan. Sehingga demokratisasi hanya menghasilkan instalasi (kelembagaan) baru demokrasi, namun tidak diikuti oleh perubahan perilaku yang demokratis. Bahkan dalam perjalanan selanjunya memunculkan fenomena distrust dan bahkan delegitimasi pada institusi demokrasi yang telah diinstalasi.

Watak Dasar Civil Society

Kalau memang civil society merupakan tiang penyangga kehidupan bersama, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara kita menandai kehadiran civil society? Dalam perdebatan konsep tentang civil society terlihat jelas pengaruh kuat dari konsepsi Tocquevillian dalam menandai kehadiran civil society. Dalam cara pandang Tocquevillian, civil society dilihat sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang bersifat yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating) dan keswadayaan (self supporting), memiliki kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

Dalam kerangka hidup bersama, civil society bukan semata-mata kehidupan asosiasional yang nyaman seperti yang tergambar dalam konsepsi Tocquevillian, melainkan seharusnya mencerminkan beberapa karakter utama sebagai berikut : Pertama, civil society mensyaratkan keterlibatan warga dalam tindakan kolektif dalam wilayah publik yang didalamnya tertampung berbagai entitas dengan berbagai kepentingan, untuk mencapai kebaikan bersama. Ranah publik tidak hanya menyangkut sesuatu yang bersifat fisik-spasial-arsitektur, melainkan mencakup ranah-ranah kultural, sosial, politik, hukum dan sebagainya. Dengan demikian, keberadaan civil society, bukan hanya dilihat dari keberadaan, kesemarakan dan tingkat kepadatan asoasional, melainkan sejauhmana warga terlibat dalam pencapaian tujuan-tujuan publik (bersama). Dalam mencapai tujuan bersama itu dilakukan dengan terbuka- tidak tertutup, rahasia dan korporatif - dan mudah diakses oleh seluruh warga.

Dari kehendak untuk membangun kebaikan bersama itulah memunculkan “ke-kita-an, dimana kata kita bisa menunjuk pada pengertian bangsa atau juga bisa kelompok. Dengan dasar “ke-kita-an” itu, civil society bisa secara tegas dibedakan dengan kerumunan atau bahkan massa. Ke-kita-an menjadi fondasi dasar dari Res Publica (asal kata dari konsep Republik). Mengutip filusuf Romawi, Cicero:
“Kesejahteraan umum adalah miliki rakyat; akan tetapi rakyat bukanlah sekedar kerumunan manusia, melainkan kumpul orang yang direkatkan satu sama lain oleh penghormatan pada keadilan dan kerjasama mengejar kebaikan bersama (communione sociatus)”

Kedua, civil society bukan terpisah dari negara, melainkan berhubungan dengan Negara. Walaupun berhubungan dengan negara, civil society tidak berusaha untuk merebut kekuasaan atas negara atau mendapatkan posisi dalam negara. Itu artinya, civil society dalam kerangka kehidupan bersama, lebih dilihat sebagai ruang intermediary antara individu dan keluarga dengan institusi negara. Penekanan pada ruang intermediary menjadi sangat penting ketika demokrasi perwakilan dilembagakan, seringkali muncul jarak antara institusi negara dengan individu dan keluarga yang relatif powerless. Dengan demikian, civil society menjadi relevan untuk membangun solidaritas dan asosiasi lintas warga akan membantu mereka untuk mengantarkan dan menegosiasi aspirasinya dan kepentingannya terhadap Negara dan sekaligus sebagai independent eye of society, dimana asosiasi-asosiasi sosial kontrol negara lewat kehidupan sehari-hari.

Ketiga, civil society mengandung dalam dirinya perbedaan dan keragaman (pluralisme). Sehingga, tatanan civil society terwujud apabila tidak ada satu kelompok yang berupaya memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat, menendang pesaing atau mengklaim kebenaran.
Keempat, keberadaan civil society bukan dimaksudkan mewakili seluruh kepentingan individu atau kelompok. Dan tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas Namun, karakter civil society akan terbentuk ketika asosiasi-asosiasi sukarela tidak hanya mengikat individu-individu lewat hubungan hubungan mikro dimana hal ini bisa munculkan solidaritas dan kewaspadaan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi, melainkan bisa melebur kepentingan-kepentingan subjektif dalam kepentingan bersama, dan melindungi individu dari negara dan pasar.


Kelima, secara internal, civil society ditandai dengan civic community dimana civil society dalam dirinya mempraktekkan prinsip-prinsip demokrasi Demokrasi tidak hanya bekerja lewat praktek-praktek dan institusi-institusi politik, tapi juga lewat ide, sentimen dan nilai-nilai kewargaan (civic virtues). Robert Putnam merumuskan civic community sebagai keterlibatan dan komitmen warga dalam proses politik (civic engagement); kesetaraan politik (political equality); solidaritas, kepercayaan (trust) and toleransi dan kehidupan asosiasional yang kuat (network of civic engangement).

Dengan demikian, civil society tidak akan dapat melaksanakan fungsinya sebagai alat kontrol bagi negara, kecuali ada demokratisasi di dalam civil society itu sendiri. Civil society adalah tatanan dimana kepentingan-kepentingan tadi ditata dalam aturan demokratis seperti tidak bergantung secara personal, tidak menindas dan eksploitatif. Dalam tatanan civil society yang demokratis, setiap individu diberikan kebebasan untuk bergerak di ruang publik untuk menentukan afiliasi keagaan dan sentimen lainnya. Dan oleh karena itu diberikan kebabasan bagi partisipasi politik dalam pembuatan program dan kebijakan.


Pluralisme Agama dan Budaya Kewargaan

Dari pemaparan di atas kita bisa melihat civil society dalam dua cara: sebagai wadah dan juga sekaligus sebagai karakter (roh-jiwa). Sebagai wadah, civil society adalah wadah yang menampung di dalam dirinya berbagai entitas dan dengan aneka ragam kepentingan. Namun secara karakter, civil society akan ditandai dengan watak dasar ke-publik-an (atau juga disebut karakter kewargaan/ civic). Watak dan budaya kewargaan inilah yang membedakan civil society dengan “wadah- wadah” masyarakat yang lain.

Dengan cara pandang itulah kita melihat kembali Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Di dalam negara bangsa ini, terdapat berbagai macam kelompok sosial yang bisa dipiliha berdasarkan agama, suku, ideologi, maupun orientasi politiknya. Heterogenitas entitas dalam masyarakat Indonesia sudah dipastikan akan memunculkan juga perbedaan dan keragaman kepentingan. Pertanyaanya adalah bagaimana perbedaan dan keragaman kelompok sosial termasuk agama bisa mewujudkan cita-cita civil society?

Karena budaya kewargaan menjadi watak dasar civil society maka pertanyaan tersebut di atas bisa dijawab dengan melihat lebih jauh kadar budaya kewargaan dalam sebuah masyarakat yang mejemuk itu. Kadar kewargaan dalam ruang hidup bersama ini bisa diukur dari dua hal: Pertama. seberapa besar tingkat inklusivitas dari masyarakat. Semakin inklusif sebuah ruang publik maka semakin beragam (plural) entitas dan heterogenitas kepentingan yang tertampung dalam ruang publik. Sebaliknya semakin ekslusif (monocetrism) ruang publik, maka makin sempit peluang dari keberagaman untuk terlibat dalam proses kehidupan bersama.

Kedua, bagaimana kualitas budaya ke-warga-an masyarakat. Pertanyaan ini menjadi penting penting, karena terwujudnya masyarakat “civic”bukan hanya ditentukkan oleh seberapa lebar warga bisa berpartisipasi dalam ruang publik, melainkan sejauhmana kualitas dari tindakan-tindakan kolektif yang dilakukan oleh warga. Atau kalau kita menggunakan bahasa Cicero, sejauhmana berlangsung transformasi dari kerumunan (crowd) menjadi kumpulan warga yang direkatkan satu sama lain oleh penghormatan pada keadilan dan kerjasama mengejar kebaikan bersama . Dengan demikian, kualitas ke-wargaan-an akan dilihat dari seberapa besar ruang bersama digunakan untuk mencapai tujuan, kepentingan ataupun kebaikan bersama.

Problem Ke-warga-an

Dalam konteks kekinian, cita untuk mewujudkan masyarakat ke-warga-an (civic community) dihadapkan pada beberapa problematika serius: Pertama, munculnya fenomena krisis kepercyaan, yang ditandai dengan mutual distrust yang meluas, baik diantara anggota warga masyarakat, antar kelompok, antara warga dengan pemerintah, antara konstituen dengan elite partai, dan sebagainya. Bahkan mutual distrust ini selanjutnya berkembang menjadi konflik-kekerasan antar kelompok masyarakat.

Kedua, semakin kuatnya sikap apatisme, acuh tak acuh dan-disengage pada persoalan-persoalan bersama. Hal ini teram kuat dari ketidakhirauan kita pada public properties, fasilitas publik, maupun kesepakatan publik. Ketiakacuhan ini sebagian bersumber pada belum terbangunnya keinsyafan (kesadaran) yang selanjutnya bisa mendorong warga untuk terlibat dalam berbagai upaya mencapai tujuan bersama. Namun, disisi lain apatisme ini berkembang sebagai reaksi atau tindakan protes terhadap kondisi yang tengah terjadi. Apapun penyebabnya, apabila setiap warga ataupun kelompok merasa nyaman dengan kepentingan mereka sendiri, maka hal itu justru memunculkan masyarakat yang retak , rapuh dan terfragmentasi. Dalam konteks semacam itu, tidak berkembang semangat saling percaya (mutual trust), lemahnya networking, ataupun ketiadaan jembatan kerjasama antar warga dalam mencapai kehidupan bersama yang lebih baik.

Ketiga, hadirnya pragmatisme dan hilangnya voluntarisme. Dalam konteks pragmatisme, warga lebih mengabdikan dirinya untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek, baik di bidang ekonomi maupun politik. Di lapangan politik, ruang publik dipenuhi oleh proses kotestasi kekuasaan dalam masyarakat. Warga maupun kelompok warga sibuk dengan permainan kekuasaan dalam memperebutkan sumberdaya politik maupun ekonomi. Dalam permainan kekuasaan, tidak jarang, satu kelompok warga meminggrkan atau bahkan menutup ruang warga lain untuk terlibat dalam proses hidup bersama. Politik meniadakan (exclude) itu juga didukung oleh pandangan yang cenderung menolak perbedaan dan keragaman. Pandangan monocetrisme inilah yang selanjutnya berbuah pada sikap diskriminasi dan tidak toleran terhadap sesuatu yang lain (the others).

Di lapangan ekonomi, pragmatisme ditandai dengan maraknya perilaku transaksional. Masyarakat juga telah menjelma menjadi “pasar” yang sebagian dibentuk sebagai akibat perluasan dari budaya kapitalisme industri. Warga masyarakat juga menjadi terbiasa untuk mendapatkan sesuatu secara ïnstan”,hilangnya gotong royong dan semangat pelayanan pada sesama.

Keempat, budaya kewargaan akan sulit terbentuk apabila berjalan proses dominasi dan hegemoni kekuasaan dari kelompok dominan. Hal ini penting untuk ditegaskan karena dalam realitanya, masyarakat dalam ruang hidup bersama tidak berada dalam ruang kosong, melainkan berada konteks struktur hubungan kekuasaan. Sehingga, perbincangan tentang civil society tidak bisa dilepaskan dengan perbincangan tentang relasi kekuasaan. Dalam konteks semacam itu, cita-cita ke-warga-an bisa terpendam dan tereduksi oleh kehadiran struktur kekuasaan yang dominan.

Ada beberapa aktor yang berpotensi untuk membatasi atau menutup peluang budaya kewargaan. Pada masa Orde Baru, budaya kewargaan justru dibatasi oleh Negara dengan beberbagai cara: (1). Membatasi ruang partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Kalaupun ada ruang yang dibuka maka itupun lebih banyak dikendalikan oleh negara melalui state corporatism. Negara yang seharusnya berperan sebagai public agency, justru menjadi sosok yang hanya melayani kepentingan sendiri atau bahkan instrumen dari kepentingan kelompok/ kelas dominan. Sehingga, posisi dan kebijakan negara yang seharusnya mereprsentasikan semangat kepublikan justru menjadi alat bagi kepentingan elite ataupun kelas tertentu (2). Penggunaan instrumen renumeratif sehingga membentuk ketergantungan antara warga dengan negara. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pembangunan negara yang lebih didesain lebih mengakibatkan ketergantungan dibandingkan pemberdayaan. (3). Melalui otoritasnya, elite-elite negara berperan besar dalam menguasai ruang publik melalui membentuk opini publik, sehingga berbagai kepentingan publik didistoris oleh kepentingan elite. Akibatnya terjadi kepentingan elite dibuingkus menjadi kepentingan publik.

Setelah memasuki proses transisi (reformasi), ancaman terhadap budaya kewargaan justru muncul dari kelompok-kelompok sosial-keagaamaan yang radikal dan ekslusif. Sikap ekslufi dari kelompok-kelompok ini nampak jelas dari pandangan dan sikap mereka yang cenderung menolak perbedaan dan keragaman. Tidak jarang dalam menunjukkan sikapnya, kelompok-kelompok ini menggunakan cara-cara kekerasan. Penggunaan instrumen kekerasan mendapatkan peluang ketika negara yang seharusnya berposisi sebagai public agency yang harusnya melindungi budaya kewargaan justru lemah dan membiarkan aksi dari kelompok radikal ini.

Hal ini mencerminkan munculnya paradoks dalam proses reformasi. Di satu sisi, proses liberalisasi politik yang telah berlangsung sejak tahun 1998 membuka ruang kebebsan bagi warga negara untuk mengaktualisasi kebebasan politiknya. proses liberalisasi politik di era pasca Orde Baru memungkinkan para warga negara menihmati situasi politik yang lebih bebas dalam menyampaikan kepentingannya (voice), mengorganisir kepentingannya melalui partai politik maupun meraih dukungan politik dari rakyat dalam proses elektoral. Kebebasan tidak hanya dirasakan oleh politisi, melainkan juga didapat oleh warga pemilih. Sepertihalnya dialami oleh politisi, pemilih lebih bebas memilih atau bahkan mengalihkan garis dukungannya dalam berbagai momen pemilihan.
Namun, kebebasan politik itu tidak diikuti dengan kebebasan sipil yang lain. Dari Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia pada tahun 2008 yang diterbitkan CRCS UGM menunjukan masih dijumpai halangan dan pembatasan dalam kebebasan beragama dan beribadah bagi beberapa komunitas keagamaan dan kepercayaan, yang merupakan bagian dari minority within atau kelompok agama “non resmi”. Halangan dan pembatasan kebebasan beragama dan beribadah itu diperlihatkan melalui kebijakan negara yang diskriminatif maupun tindakan kekerasan yang berbasis pada identitas keagamaan dan perbedaan pandangan/ praktek keagamaan. Laporan CRCS UGM ini senada dengan beberapa laporan yang dikeluarkan oleh Setara Institute (2008) maupun Wahid Institute (2008). Selain masih adanya problem kebebsan dalam beberapa komunitas keaagaa persoalan yang sama juga dihadapi oleh kelompok-kelompok minoritas dalam kategori yang berbeda seperti: kelompok gay, lesbian dan transeksual.

Problem defisit kebebasan ini tidak hanya bersumber dari relasi antar komunitas agama dalam konteks inter atau intra religio politico power, namun juga berkaitan dengan kebijakan negara. Dalam banyak kasus kekerasan bisa berlangsung justru dipicu oleh kebijakan negara yang diskriminatif dan posisi negara yang membiarkan kekerasan itu terjadi. Padahal konstitusi telah jelas mengamanatkan bahwa negara wajib menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Tanpa kebebasan agak sulit kita akan berbicara tentang bagaimana membangun hidup bersama dalam kesetaraan.

Penutup: Dimana Peran Agama?

Dalam memperkuat budaya kewargaan, agama bisa hadir dalam wajah ganda: Disatu sisi, agama bisa menjadi instrumen untuk mereduksi “budaya kewargaan”, ketika agama muncul dalam wajahnya yang ekslusif, monocentrisme, menolak perbedaan; melegitimasi kekuasaan yang menindas; menjadi penghambat dari keinsyafan umatnya untuk mencapai tujuan bersama.

Namun, disisi lain, agama juga punya wajah yang bisa memperkuat budaya kewargaan ketika agama memberikan inspirasi dalam membangun kehidupan bersama. Agama muncul sebagai agama etik yang menyumbangkan nilai, sikap dan perilaku yang mendukung kehendak menggapai kebaikan bersama.

Dalam membangun landasan etik untuk hidup bersama memerlukan dialog yang terus menerus dari berbagai agama dan kebudayaan sehingga ditemukan semacam civic religion , yang bisa mejadi fondasi dasar dalam membangun, merawat hidup bersama (bebrayan).

*Situlis Oleh:AA GN Ari Dwipayana
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Gajah Mada
Sumber http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=155%3Amemperkuat-civil-society-memperkuat-budaya-kewargaan&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings