“Harmony bukanlah sesuatu yang turun dari langit, ibarat sebuah lukisan, setiap guratan akan sangat menentukan harmonisasi karya. Begitupun hidup, harmony adalah sesuatu yang harus diperjuangkan disetiap pijakan langkah”. (Piyu)
Sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan cinta damai, setidaknya itulah dogma yang mengendap lekat dibenak kita sebagaimana kita dijejalinya semenjak SD. komitmen cinta damai ini secara formal diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 dalam frasa ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…’. Dalam perspektif Havel, jika kita sungguh mendambakan perdamaian semesta bumi, maka terlebih dahulu harus kita upayakan perdamaian ditanah nusantara ini sebagaimana frasa reflektifnya, “tak ada perdamaian eksternal tanpa didasari perdamaian internal”. Namun harapan havel itu agaknya masih jauh menggantung tinggi di langit mimpi. Betapa tidak, alih-alih perdamaian, rentetan kekerasan justru bertubi-tubi mengoyak anyaman ke-bhineka-an, mengebiri cita-cita luhur para pendiri bangsa, dan menelantarkan amanah konstitusi.
Miris memang melihat aksi kekerasan dalam berbagai bentuknya, dari tawuran pelajar, rusuh demo mahasiswa, konflik etnik, sampai kekerasan dengan balutan agama silih berganti melanda negeri ini. Terkait kekerasan dengan sentiment agama ini, pada tahun 2009 SETARA Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Ironisnya dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission).
Tragika realitas actual ini menggetar jantung kesadaaran kita, kira-kira apa yang sebenarnya sedang melanda negeri ini?kenapa begitu mudah aksi kekerasan berkobar di tanah merah putih ini?adakah yang salah dengan cara Negara dalam manajemen kemultiragaman budaya ini? Kenyataan pahit ini menyudutkan kita pada preseden bahwa maraknya kekerasan belakangan ini terkait erat dengan struktur dan system politik bernegara dan berbangsa kita dewasa ini. Kemulti-ragaman bangsa Indonesia yang senantiasa memang membawa konsekuensi ancaman persinggungan bahkan benturan-benturan perbedaan dari segenap anasir-anasirnya. Namun hal itu bisa disiasati jika Negara sigap dan bijak dalam mengelola potensi-potensi konflik yang muncul sehingga tak perlu terjadi konflik yang berdarah-darah.
Dalam masyarakat multikultur semacam Indonesia dibutuhkan strategi tepat dan bijak dalam manajemen sumber-sumber ekonomi,social, dan budaya untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmony. Dalam hal ini, Negara sebagai otoritas pemegang kekuasaan dituntut untuk bisa menggunakan secara bijak hak monopoli represifnya untuk mengelola anasir-anasir ini menjadi semen perekat rajutan unsure masyarakat yang saling berbeda dalam anyaman yang harmoni. Namun realita dilapangan menunjukkan Negara seringkali gagap dalam mengelola potensi konflik yang terkandung dalam masyarakat multikultur ini. Akibatnya, riak-riak konflik komunal yang muncul begitu cepat dan mudahnya mengalami eskalasi hingga berdampak luas. Data SETARA Institute membuktikan, Negara bukan hanya tak mampu mengelola potensi konflik dengan bijak, namun bahkan Negara seringkali ikut terlibat dalam aksi kekerasan yang tak perlu.
Sabtu, 19 Februari 2011
Kekerasan dan Kegamangan Politik Multikultur Negara
Senin, 08 November 2010
Bermain Mata dengan Bencana
Before–During–After
Manajemen bencana terdiri atas tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.Bangsabangsa yang produktif,maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya. Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pascabencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal,rekonstruksi, dan rehabilitasi.
Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management. Mereka mempelajari tandatanda alam,perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba. Berkebalikan dengan itu, bangsabangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi. Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana, sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia.
Selama bangsa ini hanya fokus pascabencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang. Jumlah korban akan tetap sama besarnya.Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.Jangankan respek, bantuan pun lamalama enggan datang.Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja. Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga.
Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning, dan rapid response. Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya. Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat. Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana.
Penanganan ini harus bisa bersifat real-time. Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba. Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi, awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai. Ayo, berpikirlah lebih maju.
Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern. Payung undangundang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat. Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.Ia bisa digeser menjadi prioritas utama. Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi. Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat. Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serbacepat.
Persoalan Masyarakat
Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia. Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi. Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana. Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts. The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan. The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan.
Anda lihat sendiri,para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.Padahal kalau Anda kaji lebih rasional, Anda akan menemukan sebaliknya. Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya. Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance.
Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan. Manusia cenderung berlebihan (overestimate) terhadap bencanabencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (underestimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan.
Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah ”warning system” yang diberikan alam demi kelestarian manusia. Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas. Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak.
Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih, lalu airnya surut. Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel, dan turis-turis asing.
Seminggu sebelumnya,di kelas geografinya, Tilly Smith, gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami. Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar,para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan. Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos. Human biases. Dan terjadilah bencana.Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.
Aturan Prabencana
Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama,jauhkan sikap ”menggoda bencana” dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi.
Meski datangnya bencanabencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindahpindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%. Kedua, jangan biasakan menyangkal. Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalanramalan akademik harus segera dijauhkan.Ketiga, bangun pusatpusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata.
Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik. Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah, sekalipun jarang terjadi. Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun. Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan. Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.
Oleh:Rhenald Kasali
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361905/
Read More..
Minggu, 07 November 2010
Aku Bermimpi Jadi Presiden
Setiap kali media massa secara bertubi-tubi dan gaduh memberitakan dan mengulas sesuatu, aku terkena mimpi. Dahulu aku pernah bermimpi menjadi konglomerat.
Sejak kita memasuki era Reformasi, media massa gaduh sekali memberitakan dan mengulas apa saja dengan cara yang bagaimana saja tentang kehidupan bernegara dan berbangsa. Aku terkena mimpi lagi. Kali ini aku bermimpi jadi presiden. Dalam mimpi itu, sudah lama aku jadi presiden dengan dukungan yang besar dan luas. Namun, belakangan ini reputasi dan popularitasku merosot tajam.
Punya waktu
Namun, aku masih punya cukup waktu melakukan gebrakan yang akan mengabadikan namaku dengan tinta emas dalam sejarah. Kalau tak aku lakukan, sudah jelas namaku akan ditulis dalam sejarah dengan lumpur Lapindo. Maka, aku dihadapkan pada kondisi nothing to loose. Jadi, aku akan memberlakukan pemerintahan tangan besi. Untuk itu, aku telah dapat dukungan dari tentara. Aku sudah sabar, mati-matian mencoba berdemokrasi seperti yang dianjurkan Abang Sam, tetapi ketika citraku merosot sangat tajam, aku dihina rakyat dan tetanggaku sendiri, Abang Sam menghilang.
Dengan tangan besi, akan kulakukan tindakan berikut.
Melalui dekrit, aku bubarkan parlemen dan senat. Strukturnya kukembalikan jadi parlemen saja, yang kalau ditambah dengan wakil dari golongan fungsional dan daerah, jadi badan pertimbanganku yang aku anggap mewakili aspirasi seluruh rakyat. Dengan demikian, partai politik masih penting karena berfungsi mengisi sebagian dari parlemen melalui pemilu. Namun, partainya kusederhanakan hanya jadi dua. Kalau mau meniru AS, juga termasuk sistem dua partainya. Kabinet kujadikan sangat ramping: hanya 18 menteri. Yang jelas, lebih mudah mengendalikannya karena aku akan mengendalikannya dengan tangan besi juga.
KKN kuberantas dengan tangan besi. Kasus besar tetap diproses melalui hukum, tetapi aku tak mau buang banyak waktu dan tenaga untuk itu, apalagi kasus kecil. Sekaligus akan kubenahi seluruh lingkungan birokrasinya. Pertama kurampingkan kabinet. Setelah itu, semua jajaran di bawah kabinet kurampingkan. Jumlah jajaran setiap menteri sesuai dengan kebutuhannya. Masa badan kurus dan badan gemuk berbaju sama semua?
Birokrasi yang sudah ramping dan optimal aku tingkatkan pendapatannya sampai benar-benar cukup. Kalau masih berani korupsi, aku tembak mati.
Tanah dari siapa saja yang digarap oleh buruh tani dengan perolehannya hanya sebesar 2/5 dalam natura, kubeli paksa dengan harga yang kutentukan. Kalau menolak, kupenjarakan seumur hidup atau kutembak mati. Tanah milik negara kubagikan kepada para petani secukupnya supaya optimal, tak sekadar 0,3 hektar. Transmigrasi dan KB kugalakkan lagi.
Kementerian Keuangan, Bank Sentral, Percetakan Uang, dan Petral di Singapura kukuasai sepenuhnya. Dengan KKN yang luar biasa, penumpukan uang terjadi di sana selama dana belum dirampok habis. Dengan jumlah kementerian yang sudah sedikit, semua rekening kubekukan dan segera kucairkan kembali dalam rekening bank yang jumlahnya sedikit hingga lebih jelas dan sederhana pengelolaannya.
Kekayaan bangsa ini terdiri dari dua kelompok besar. Yang satu kekayaan yang dibentuk manusia, yaitu berproduksi dan berdistribusi dengan mengombinasikan berbagai faktor produksi yang penuh risiko kerugian. Para manusia entrepreneur ini boleh sebebas-bebasnya memupuk kekayaan melalui kegiatannya asal dalam rangka semua hukum yang berlaku.
Diberikan secara adil
Kelompok kekayaan bangsa yang lainnya adalah yang sudah ada di dalam perut bumi, dalam perairan, dan di atas tanah berbentuk hutan. Kesemuanya ini pemberian Tuhan Yang Maha-Adil kepada warga negaraku. Kekayaan alam ini tentunya diberikan kepada setiap manusia Indonesia secara adil. Maka, semuanya kukuasai untuk selanjutnya dikuasai sepenuhnya oleh BUMN yang harus menggunakan hasilnya bagi semua rakyat seadil-adilnya. Siapa yang menyuarakan dogma bahwa BUMN mesti korup, kuhukum seumur hidup.
Semua kontrak dalam bidang ekstraktif dengan swasta, baik asing maupun domestik untuk sementara dan parsial dihormati dalam arti, boleh melakukan pekerjaannya. Namun, semua hasil penjualannya harus dimasukkan ke dalam escrow account bank yang aku tunjuk. Ini tak berarti disita, tetapi penggunaannya harus dengan persetujuan bersama. Pajak saya naikkan tajam dan masa berlakunya semua kontrak ekstraktif aku persingkat.
Berbarengan dengan itu, segera kumulai berunding dengan mereka bagaimana cara terbaik untuk semua pihak menyerahkanya kepada negara melalui BUMN. Semua rencana BUMN untuk diswastakan kuhentikan. Semua persiapan untuk IPO kubatalkan. Otonomi daerah kubatalkan. Semua peraturan yang berlaku sebelum UUD 1945 diamandemen kuberlakukan lagi. Semuanya dilakukan dengan persuasi yang kuat atas dukungan angkatan bersenjata.
Utang pemerintah, baik luar negeri maupun dalam negeri, ditinjau kembali. Tidak dikemplang. Namun, dilakukan rescheduling dan haircut. Beban utang dan bunganya sudah merupakan 25% dari APBN. Bunga akumulatifnya yang dibayarkan sudah lebih besar daripada utang pokoknya. Ditambah dengan anggaran rutin, tak ada ruang gerak lagi untuk pembangunan barang, jasa publik, serta pelayanan pendidikan dan kesehatan buat golongan yang paling tak mampu. Akan kujelaskan kepada negara pemberi utang bahwa para pemberi utang selalu harus ikut bertanggung jawab kalau ada kredit yang macet. Mereka harus jujur bahwa mereka sebenarnya adalah rentenir atau lintah darat yang sudah cukup dari lebih mengisap darah rakyatku.
Pembangunan barang dan jasa publik, termasuk infrastruktur, dipergiat. Aku akan menentukan apa yang harus dianggap sebagai barang dan jasa publik dan penggunaannya gratis untuk siapa saja karena pembangunan maupun pemeliharaannya oleh hasil pajak dan hasil eksploitasi kekayaan alam yang milik rakyat seluruhnya.
Jalan raya bebas hambatan, air bersih, puskesmas, sekolah milik negara boleh dinikmati gratis karena pembiayaan oleh pajak, retribusi, royalti, premi asuransi jaminan sosial, dan pendapatan negara lainnya. UUD 1945 dikembalikan. Semua perundang-undangan yang ada ditinjau kembali, diselaraskan dengan maksud segala sesuatunya, dibuat optimal dan cocok untuk kondisi bangsa kita dewasa ini. Dari sana setahap demi setahap kita sempurnakan sesuai dengan perkembangan pendidikan, pengetahuan, dan kematangan rakyat kita dalam menjalankan demokrasi ala Indonesia.
Kulakukan semua ini agar lumpur Lapindo yang mulai menulis sejarahku bisa dihapus dan mulai ditulis kembali dengan tinta emas. Setidaknya tinta perak.
Oleh:Kwiek kian gie(Ekonom Senior)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/03/03195491/aku.bermimpi.jadi.presiden
Rabu, 27 Oktober 2010
Disharmoni Dewan-Rakyat:ancaman serius demokrasi
Ditengah meningkatnya derajat kesangsian public atas kinerja wakil rakyat, rombongan badan kehormatan DPR RI nekat juga terbang ke Yunani meski berbagai kalangan mengecam keras rencana studi banding ini. Alih-alih menunjukkan prestasi kerja untuk merebut hati rakyat, para anggota dewan justru berlomba melakukan hal konyol yang menambah panjang daftar kebijakan controversial wakil rakyat di mata public.
Kontroversi ini pun mengundang perhatian luas dari public, berbagai media cetak mengupasnya dalam headline, sementara media elektronik tak henti membincangnya dalam acara talk show, bahkan ada sekelompok massa yang merencanakan aksi boikot keberangkatannya di Bandara. Umumnya mereka mempertanyakan kebijakan controversial karena dianggap tak substansial. Namun meski suara kecaman makin bergema, tampaknya tak ada satupun yang sampai di telinga para anggota dewan. Sikap dungu dan tak mau tahu anggota dewan yang terhormat ini pun makin mengikis kepercayaan publik disatu sisi, sekaligus mempertebal skeptisme public atas lembaga perwakilan ini disisi lainnya.
Dalam system demokrasi dimana suara rakyat diwakili melalui institusi perwakilan ini, sejatinya dewan hanyalah kepanjangan tangan dari rakyat, kekuasaan yang dimiliki hanyalah amanah rakyat, dan suara yang diperjuangkan pun adalah wujud artikulasi dari kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan, atau kepentingan pribadinya. Sehingga rakyat benar-benar terwakili oleh dewan, dan kepentingan rakyat sungguh terealisasi dalam paket kebijakan public yang berpihak. Namun sayang seribu sayang, tampaknya harapan luhur ini masih jauh panggang dari api, karena yang terjadi justru kebutuhan rakyat terbenam oleh ketamakan elit yang pongah, kekuasaan hanya menjadi alat pemuas nafsu serakah elit dan ekspektasi akan demokrasi yang ideal pun masih betah menggantung di langit tinggi, tak kunjung mendarat di bumi realita.
Demokrasi yang di idealkan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat tak mampu menghasilkan efek apapun bagi kesejahteraan rakyat. Alih-alih terwujud kesejahteraan, yang terjadi justru kepentingan public terbenam oleh kepentingan segelintir anggota dewan, dan aspirasi rakyat tersandera di bawah ketiak partai politik yang makin hilang arah. Parodi demokrasi Indonesia mempertontonkan paradox dimana realisasi dilapangan sama sekali bertolak belakang dengan idelita yang mendambakan demokrasi sebagai Regierung der Regierten (pemerintahan dari yang diperintah). Wajar jika tingkat kepercayaan public makin hari makin melorot oleh karena sikap elit yang makin konyol saja.
Fenomena ini mungkin bukan sesuatu yang luar biasa, namun jika terus berlangsung demikian, hal ini bias menjadi ancaman serius bagi pilar demokrasi. Disharmoni relasi dewan dan public bias menimbulkan efek korosif yang luar biasa destruktif bagi pondasi bangunan demokrasi yang sedang dibangun bangsa ini. Sebagai pemegang kuasa representasi public, kepercayaan rakyat merupakan prasyarat utama yang harus dimiliki sekaligus dijaga setiap anggota dewan baik secara personal maupun institusional. Karena jika tidak demikian, maka akan terjadi kesenjangan antara wakil dan yang terwakili, artinya representasi dewan atas rakyat adalah sesuatu yang semu karena rakyat tak merasa terwakili oleh dewan perwakilannya. Jika sudah sampai pada titik ini maka terjadilah awal dari bencana demokrasi. Tak ada seorangpun di negeri ini yang masih sehat nalarnya yang menginginkan hal ini terjadi, pastinya
Maraknya parlemen jalanan -entah apapun bentuknya-, baik demonstrasi mahasiswa, maupun protes massa dalam sekala akbar, merupakan gejala yang bisa dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan lunturnya kepercayaan public atas wakilnya di DPR. Karena tak merasa aspirasinya tersuarakan oleh wakil rakyat, lantas public merasa harus turun sendiri meneriakkan segala kegundahannya atas realita social dinegeri ini yang tak kunjung membaik. Semestinya hal ini bias dijadikan sebagai teguran bagi para anggota dewan untuk segara berputar arah, kembali ke jalan yang benar, rebut kembali hati rakyat dengan menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan public melalui kerja prima untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan pada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
Jumat, 15 Oktober 2010
tell me why...?
A day with no gloryA heart filled with fear
Still repeating his-story to make ourselves clear
A voice is unheard when it shouts from the hills
Your king in his castle never died on these fields
There's blood on you hands
A smile on your face
A wicked intention when there's money to be made
A room with no windows and a heart that can't feel
Shame with no convictions and a view to a kill.
Tell me why?
Why must we fight?
And why must we kill in the name of what we think is right?
No more! no war!
Cause how do you know?
The hate in your eyes
The lies on your tongue
A hand that kills the innocent
So quick to do wrong
Your belly is full while we fight for what remains
The rich getting richer while the poor become slaves
We kill our own brothers
The truth is never told
If victory is freedom then the truth is untold
Surrender your soul just like everyone else
If love is my religion, don't speak for myself
How do you know?
I'm living this life
I'm given these lies
And how can i die for the name of what you think is right?
No more! oh lord!
How do we know?
Tell me why, POD
Kamis, 30 September 2010
Konflik Etnis: Pengingkaran Terhadap Komitmen Luhur Kesatuan Bangsa
Hari ini mestinya saya bertolak ke Tarakan untuk menghadiri Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kalimantan Timur di kota itu. Namun agaknya rencana tersebut urung terwujud karena acara tidak jadi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Acara yang seyogyanya akan digelar sejak mulai tanggal 30 September sampai 2 Oktober itu ditunda karena alasan keamanan. Acara yang sedianya digabung berbarengan dengan Musywil Muhammadiyah itu batal dilaksanakan karena baru saja pecah bentrokan yang melibatkan massa dalam sekala besar di kota tersebut. Kabar pembatalan acara tersebut saya terima melalui pesan yang disampaikan hanya beberapa jam sebelum keberangkatan. Jika saja kabar itu datang dua jam lebih lama, mungkin saat ini saya sudah terdampar bersama 1.000 pengungsi dinegeri yang tengah dilanda konflik yang di klaim sebagai konflik antara suku Bugis dan Tanatidung tersebut.
Entah perasaan apa yang mesti saya ungkapkan atas peristiwa ini. Di satu sudut hati, ada semacam perasaan syukur karna biar bagaimanapun juga saya baru saja terhindar dari konflik massa yang memilukan. Sementara jauh didasar ruang batin tak bisa aku sangkali adanya perasaan miris yang begitu dalam mendengar kabar yang menyesakkan sekaligus membekaskan pilu mendalam ini. Dalam benak ini, masih saja aku tak habis pikir, kenapa bentrokan etnis semacam ini masih –dan makin- marak terjadi? kenapa pendekatan kekerasan semacam ini seolah menjadi favorit pilihan dalam menyelesaikan masalah?
Ungkapan reflektif tersebut mungkin menjadi pertanyaan klise yang cenderung retoris. Namun, bagiku konyol rasanya setelah berbilang abad bangsa ini terbentuk masih saja ada terjadi bentrokan antar etnis pembentuknya. Bentrokan etnis semacam ini merupakan sebuah tindak pengingkaran atas eksistensi ‘Bangsa Indonesia’, karena tak bisa disangkali bahwa 82 tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober 1928, segenap elemen bangsa ini yang di motori para pemudanya telah meneguhkan kommitmen bersama melalui ikrar sumpah pemuda. Dimana jelas dalam momen sacral tersebut secara sadar telah di sepakati langkah persatuan seluruh etnis di bumi nusantara ini dalam satu tenda besar yang bernama Bangsa Indonesia, sebagaimana terabadikan dalam kalimat sakti, Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Dengan sumpah pemuda ini, segenap pemuda dari berbagi etnis telah sepakat untuk membangun rumah bersama yang bisa menjadi peneduh dari segala macam ancaman (penjajahan dalam bentuk apapun), dan mampu menjadi tempat bertolak menuju cita-cita bersama untuk mewujudkan manusia yang merdeka seutuhnya. Dalam upaya pembentukan bengsa ini, setiap etnis di negeri ini punya investasi yang sama -dalam porsinya- masing-masing sebagai batu bata yang tersatukan dalam bangunan yang kokoh bernama Indonesia. Ketika berbalok-balok bata telah tersusun menjadi sebuah bangunan yang padu, maka pastinya eksistensinya akan dilihat sebagai tembok bangunan, bukan lagi pecahan bata. Tak ada lagi eksistensi bata sebagai dirinya sendiri, yang ada adalah sebuah bangunan kokoh nan Nampak indah.
Menonjolkan sentiment etnis yang berujung pada arogansi merupakan sebuah tindakan mengerdilkan identitas bersama sebagai sebuah kesatuan yang utuh, bangsa Indonesia. Hal ini sama saja dengan sebuah pengingkaran atas eksistensi bangsa Indonesia sebagai rumah bersama. Konyol rasanya, jika masih saja mempersoalkan batu bata padahal sudah terbentuk rumah nan Indah. Rasanya tak ada orang yang akan mengenang-kenang bata setelah terbentuk rumah, kecuali orang yang teramat kerdil penglihatannya
Sebagai sebuah komitmen bersama, sumpah pemuda semestinya dimaknai sebagai sebuah penyatuan identitas diri secara penuh, seutuhnya dalam sebuah kesatuan bangsa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah, sentimen etnis mesti direduksi untuk kemudian ditransformasikan menjadi sebuah identitas bersama di bawah bendera Indonesia. Ketika berbicara persatuan maka yang mesti dinampakkan adalah perasaan kebersamaan sebagai satu bangsa, bukan menonjolkan perbedaan dan sentiment yang melahirkan arogansi dan perpecahan.
Jika saja seluruh masyarakat tanpa terkecuali, entah dari suku apapun, golongan manapun, telah menyadari benar makna ketersatuan ini, maka tak akan mungkin terjadi bentrok ataupun pertentangan etnis dalam bentuk apapun di negeri ini. Karena persinggungan sebesar apapun akan mudah luruh jika perasaan persatuan, persaudaraan itu telah tertanam dan menghujan dalam palung kesadaran kita.
Bentrokan etnis selalu bermula dari solidaritas kesukuan yang seringkali diidentikkan dengan harga diri sebuah suku. Dalam kasus Bentrok Tarakan, bentrokan yang melibatkan suku bugis dan tanatidung ini bermula dari pemalakan yang dilakukan oleh segerombol pemuda mabuk dari satu suku pada pemuda lain yang kebetulan berasal dari suku sebrang. Atas nama solidaritas etnis kemudian terjadi balasan yang akhirnya jadi konflik antar etnis ini. Dengan sentiment etnis, sekala konflik dengan cepatnya meluas dan makin mendalam hingga menewaskan lima korban jiwa. Betapa besar harga yang mesti dibayar untuk sesuatu yang bermula dari hal sepele.
Semestinya, solidaritas etnis semacam ini bisa ditransformasikan menjadi solidaritas kebangsaan sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Karena solidarita yang berangkat atas nama suku, atau golongan tertentu akan sangat mudah diprovokasi menjadi sebuah arogansi etnis yang pada sangat potensial melahirkan konflik.
Maraknya konflik etnis semacam ini merupakan sebuah ancaman serius bagi bangsa yang terdiri dari begitu ragam suku semacam Indonesia. Konflik antar suku di Tarakan ini mestinya dijadikan sebagai titik tolak bagi pemerinhtah sebagai pemegang kuasa di negeri ini, untuk melakukan pembenahan agar tak ada lagi kecemburuan(juga narsisme disisi yang lain) etnis satu atas yang lain, internalisasi nilai-nilai perdamaian urgen untuk dilakukan sebagai counter cultur atas budaya kekerasan yang sampai saat ini masih menjadi favorit. Pemerintah mesti tampil digaris depan, untuk dengan segera melalui semua lini, melakukan upaya represif dan preventi atas konflik yang lain. Prefentif bisa berupa tindakan tegas atas semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk memberikan efek jera agar tidak menjadi pereseden buruk, dan langkah preventif bisa berupa pelaksanaan peace education untuk membunuh benih-benih konflik. Upaya ini (peace education) akan sangat efektif jika bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita.
Bangsa ini telah lelah dan jenuh dengan segala macam konflik yang mewarnai jatuh bangun sejarah perjalananya. Sudah saatnya pemerintah melakukan langkah tegas untuk memutus mata rantai konflik dan memusnahkan segala factor yang bisa menjadi pemicu lahirnya potensi konflik. Di luar itu, kita sebagai putra bangsa tanpa terkecuali, mesti ikut melibatkan diri untuk secara aktif ikut menghalau segala potensi kekerasan dari muka bumi agar terwujud kehidupan berkeadaban yang penuh kedamaian. Mari!!!!!!
Sabtu, 21 Agustus 2010
Malam Kontemplasi
Memperingati hari kemerdekaan bukanlah sekedar bagaimana kita bisa memanjat pinang setinggi-tingginya, memakan kerupuk secepat-cepatnya...
Kalimat tersebut disampaikan dalam materi perenungan yang diadakan BEM Fisipol UMY dalam rangka memperingatai hari lahirnya Bangsa Indonesia. Serambi Sportorium UMY yang dipilih sebagai tempat menyelenggarakan acara gegap gempita oleh semangat nasionalisme malam itu.
Ahmad Fanani selaku Gubernur BEM Fisipol dalam sambutannya menyampaikan bahwa agenda yang bertema Refleksi 65 Tahun Kemerdekaan "Sebuah Kontemplasi Perjalanan dan Masa Depan Negeri" ini termasuk dalam salah satu rangkaian agenda Ramadhan yang telah dicanangkan BEM Fisipol.Adapun rangkaian agenda Ramadhan tersebut antara lain adalah Bakti Sosial BEM FISIPOL UMY(15/8), Buka puasa bersama masyarakat Fisipol (17/8) dan Insya Allah akanditutup dengan agenda Sahur on the road BEM FISIPOL UMY(20/8).
Susunan acara dalam Agenda Kontemplasi BEM ini tergolong padat. Sore hari dibuka dengan"ngabuburit" bersama para pengurus BEM dan mahasiswa Fisipol. Sebagian panitia tampak masih sibuk mondar-mandir mendekorasi ruangan dengan ornamen-ornamen serba merah putih. Adapula yang memasang perangkat sound system.
Sedangkan perangkat seperti panggung dan alat musik tradisional berhasil dihadirkan berkat kerjasama BEM Fisipol dengan TE-TANGGA (Teater Tangga) salah satu UKM seni dikampus matahari terbit ini. sembari melakukan persiapan guna melaksanakan acara, lagu-lagu kebangsaan mulai digaungkan.
Rebellion Rose merupakan salah satu band tamu dalam acara tersebut yang menambah semarak suasana. Hingga tiba waktu magrib dimana panitia dan para mahasiswa berbuka bersama.
Pasca Sholat Tarawih berjamaah, acara Kontemplasi atau lazim kita sebut sebagai perenungan pun dimulai. Dibuka oleh sambutan Ketua Bem Fisipol Ahmad Fanani kemudian dilanjutkan oleh penampilan lincah seorang penari piring bernama Deby Van Rusli sebagai sajian pembuka.
Acara selanjutnya, penonton dibuat terkagum dengan penampilan Band Tunanetra Akustik dari YAKETUNIS, sebuah yayasan tunanetra Islam di Yogyakarta. Kemudian disuguhkan pula puisi kritis dari salah seorang mahasiswa HI bernama Kuncoro.
Acara pun semakin menarik kala hadirin dikagetkan oleh teriakan maling yang ternyata merupakan sebuah skenario dari monolog yang dibawakan salah seorang pelakon Teater Tangga,Ipunk. Sang lakon ternyata tak hadir sendiri, sesosok patung berjas lengkap berdiri disampingnya yang disimbolkan sebagai Presiden Republik Khayalan yang berhasil ia sandera. Kritikan pedas pun hadir dalam monolog yang diakuinya mengalir dengan alamiah tersebut.
Semakin malam, acara semakin hangat. Kontemplasi penutup disampaikan oleh Agus Aufiya, Mahasiswa Fisipol HI 2008. Sedikitnya ada tiga poin yang disampaikan dalam orasinya. Bahwasanya untuk membenahi bangsa ini haruslah dimulai dari diri sendiri. Pertama-tama kedekatan kita terhadap agama harus lebih ditingkatkan, kemudian bagaimana upaya kita agara mampu mengambil hikmah dari tiap kejadian dan yang terakhir adalah betapa kejujuran itu amat penting khususnya bagi mahasiswa. "Mulailah untuk jujur dalam mengerjakan soal-soal ujian dan mengisi presensi di kelas." Ujar laki-laki yang mengenakan Jas almamater ini bersahaja.
Acara usai, hadirin tampaknya enggan meninggalkan tempat acara. Mereka dengan khidmad melantunkan lagu 17 Agustus bersama. Kembang api sederhana pun dinyalakan sebagai simbol kemerdekaan seutuhnya. Bunga api yang memercik indah di langit malam seakan menjadi pelecut semangat mahasiswa-mahasiswa Fisipol untuk terus menjalankan tanggung jawabnya mencerdaskan bangsa. Dirgahayu Indonesia...