Kamis, 30 September 2010

Konflik Etnis: Pengingkaran Terhadap Komitmen Luhur Kesatuan Bangsa

Hari ini mestinya saya bertolak ke Tarakan untuk menghadiri Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kalimantan Timur di kota itu. Namun agaknya rencana tersebut urung terwujud karena acara tidak jadi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Acara yang seyogyanya akan digelar sejak mulai tanggal 30 September sampai 2 Oktober itu ditunda karena alasan keamanan. Acara yang sedianya digabung berbarengan dengan Musywil Muhammadiyah itu batal dilaksanakan karena baru saja pecah bentrokan yang melibatkan massa dalam sekala besar di kota tersebut. Kabar pembatalan acara tersebut saya terima melalui pesan yang disampaikan hanya beberapa jam sebelum keberangkatan. Jika saja kabar itu datang dua jam lebih lama, mungkin saat ini saya sudah terdampar bersama 1.000 pengungsi dinegeri yang tengah dilanda konflik yang di klaim sebagai konflik antara suku Bugis dan Tanatidung tersebut.

Entah perasaan apa yang mesti saya ungkapkan atas peristiwa ini. Di satu sudut hati, ada semacam perasaan syukur karna biar bagaimanapun juga saya baru saja terhindar dari konflik massa yang memilukan. Sementara jauh didasar ruang batin tak bisa aku sangkali adanya perasaan miris yang begitu dalam mendengar kabar yang menyesakkan sekaligus membekaskan pilu mendalam ini. Dalam benak ini, masih saja aku tak habis pikir, kenapa bentrokan etnis semacam ini masih –dan makin- marak terjadi? kenapa pendekatan kekerasan semacam ini seolah menjadi favorit pilihan dalam menyelesaikan masalah?

Ungkapan reflektif tersebut mungkin menjadi pertanyaan klise yang cenderung retoris. Namun, bagiku konyol rasanya setelah berbilang abad bangsa ini terbentuk masih saja ada terjadi bentrokan antar etnis pembentuknya. Bentrokan etnis semacam ini merupakan sebuah tindak pengingkaran atas eksistensi ‘Bangsa Indonesia’, karena tak bisa disangkali bahwa 82 tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober 1928, segenap elemen bangsa ini yang di motori para pemudanya telah meneguhkan kommitmen bersama melalui ikrar sumpah pemuda. Dimana jelas dalam momen sacral tersebut secara sadar telah di sepakati langkah persatuan seluruh etnis di bumi nusantara ini dalam satu tenda besar yang bernama Bangsa Indonesia, sebagaimana terabadikan dalam kalimat sakti, Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.

Dengan sumpah pemuda ini, segenap pemuda dari berbagi etnis telah sepakat untuk membangun rumah bersama yang bisa menjadi peneduh dari segala macam ancaman (penjajahan dalam bentuk apapun), dan mampu menjadi tempat bertolak menuju cita-cita bersama untuk mewujudkan manusia yang merdeka seutuhnya. Dalam upaya pembentukan bengsa ini, setiap etnis di negeri ini punya investasi yang sama -dalam porsinya- masing-masing sebagai batu bata yang tersatukan dalam bangunan yang kokoh bernama Indonesia. Ketika berbalok-balok bata telah tersusun menjadi sebuah bangunan yang padu, maka pastinya eksistensinya akan dilihat sebagai tembok bangunan, bukan lagi pecahan bata. Tak ada lagi eksistensi bata sebagai dirinya sendiri, yang ada adalah sebuah bangunan kokoh nan Nampak indah.

Menonjolkan sentiment etnis yang berujung pada arogansi merupakan sebuah tindakan mengerdilkan identitas bersama sebagai sebuah kesatuan yang utuh, bangsa Indonesia. Hal ini sama saja dengan sebuah pengingkaran atas eksistensi bangsa Indonesia sebagai rumah bersama. Konyol rasanya, jika masih saja mempersoalkan batu bata padahal sudah terbentuk rumah nan Indah. Rasanya tak ada orang yang akan mengenang-kenang bata setelah terbentuk rumah, kecuali orang yang teramat kerdil penglihatannya
Sebagai sebuah komitmen bersama, sumpah pemuda semestinya dimaknai sebagai sebuah penyatuan identitas diri secara penuh, seutuhnya dalam sebuah kesatuan bangsa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah, sentimen etnis mesti direduksi untuk kemudian ditransformasikan menjadi sebuah identitas bersama di bawah bendera Indonesia. Ketika berbicara persatuan maka yang mesti dinampakkan adalah perasaan kebersamaan sebagai satu bangsa, bukan menonjolkan perbedaan dan sentiment yang melahirkan arogansi dan perpecahan.

Jika saja seluruh masyarakat tanpa terkecuali, entah dari suku apapun, golongan manapun, telah menyadari benar makna ketersatuan ini, maka tak akan mungkin terjadi bentrok ataupun pertentangan etnis dalam bentuk apapun di negeri ini. Karena persinggungan sebesar apapun akan mudah luruh jika perasaan persatuan, persaudaraan itu telah tertanam dan menghujan dalam palung kesadaran kita.
Bentrokan etnis selalu bermula dari solidaritas kesukuan yang seringkali diidentikkan dengan harga diri sebuah suku. Dalam kasus Bentrok Tarakan, bentrokan yang melibatkan suku bugis dan tanatidung ini bermula dari pemalakan yang dilakukan oleh segerombol pemuda mabuk dari satu suku pada pemuda lain yang kebetulan berasal dari suku sebrang. Atas nama solidaritas etnis kemudian terjadi balasan yang akhirnya jadi konflik antar etnis ini. Dengan sentiment etnis, sekala konflik dengan cepatnya meluas dan makin mendalam hingga menewaskan lima korban jiwa. Betapa besar harga yang mesti dibayar untuk sesuatu yang bermula dari hal sepele.
Semestinya, solidaritas etnis semacam ini bisa ditransformasikan menjadi solidaritas kebangsaan sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Karena solidarita yang berangkat atas nama suku, atau golongan tertentu akan sangat mudah diprovokasi menjadi sebuah arogansi etnis yang pada sangat potensial melahirkan konflik.

Maraknya konflik etnis semacam ini merupakan sebuah ancaman serius bagi bangsa yang terdiri dari begitu ragam suku semacam Indonesia. Konflik antar suku di Tarakan ini mestinya dijadikan sebagai titik tolak bagi pemerinhtah sebagai pemegang kuasa di negeri ini, untuk melakukan pembenahan agar tak ada lagi kecemburuan(juga narsisme disisi yang lain) etnis satu atas yang lain, internalisasi nilai-nilai perdamaian urgen untuk dilakukan sebagai counter cultur atas budaya kekerasan yang sampai saat ini masih menjadi favorit. Pemerintah mesti tampil digaris depan, untuk dengan segera melalui semua lini, melakukan upaya represif dan preventi atas konflik yang lain. Prefentif bisa berupa tindakan tegas atas semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk memberikan efek jera agar tidak menjadi pereseden buruk, dan langkah preventif bisa berupa pelaksanaan peace education untuk membunuh benih-benih konflik. Upaya ini (peace education) akan sangat efektif jika bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita.

Bangsa ini telah lelah dan jenuh dengan segala macam konflik yang mewarnai jatuh bangun sejarah perjalananya. Sudah saatnya pemerintah melakukan langkah tegas untuk memutus mata rantai konflik dan memusnahkan segala factor yang bisa menjadi pemicu lahirnya potensi konflik. Di luar itu, kita sebagai putra bangsa tanpa terkecuali, mesti ikut melibatkan diri untuk secara aktif ikut menghalau segala potensi kekerasan dari muka bumi agar terwujud kehidupan berkeadaban yang penuh kedamaian. Mari!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings