“Harmony bukanlah sesuatu yang turun dari langit, ibarat sebuah lukisan, setiap guratan akan sangat menentukan harmonisasi karya. Begitupun hidup, harmony adalah sesuatu yang harus diperjuangkan disetiap pijakan langkah”. (Piyu)
Sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan cinta damai, setidaknya itulah dogma yang mengendap lekat dibenak kita sebagaimana kita dijejalinya semenjak SD. komitmen cinta damai ini secara formal diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 dalam frasa ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…’. Dalam perspektif Havel, jika kita sungguh mendambakan perdamaian semesta bumi, maka terlebih dahulu harus kita upayakan perdamaian ditanah nusantara ini sebagaimana frasa reflektifnya, “tak ada perdamaian eksternal tanpa didasari perdamaian internal”. Namun harapan havel itu agaknya masih jauh menggantung tinggi di langit mimpi. Betapa tidak, alih-alih perdamaian, rentetan kekerasan justru bertubi-tubi mengoyak anyaman ke-bhineka-an, mengebiri cita-cita luhur para pendiri bangsa, dan menelantarkan amanah konstitusi.
Miris memang melihat aksi kekerasan dalam berbagai bentuknya, dari tawuran pelajar, rusuh demo mahasiswa, konflik etnik, sampai kekerasan dengan balutan agama silih berganti melanda negeri ini. Terkait kekerasan dengan sentiment agama ini, pada tahun 2009 SETARA Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Ironisnya dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission).
Tragika realitas actual ini menggetar jantung kesadaaran kita, kira-kira apa yang sebenarnya sedang melanda negeri ini?kenapa begitu mudah aksi kekerasan berkobar di tanah merah putih ini?adakah yang salah dengan cara Negara dalam manajemen kemultiragaman budaya ini? Kenyataan pahit ini menyudutkan kita pada preseden bahwa maraknya kekerasan belakangan ini terkait erat dengan struktur dan system politik bernegara dan berbangsa kita dewasa ini. Kemulti-ragaman bangsa Indonesia yang senantiasa memang membawa konsekuensi ancaman persinggungan bahkan benturan-benturan perbedaan dari segenap anasir-anasirnya. Namun hal itu bisa disiasati jika Negara sigap dan bijak dalam mengelola potensi-potensi konflik yang muncul sehingga tak perlu terjadi konflik yang berdarah-darah.
Dalam masyarakat multikultur semacam Indonesia dibutuhkan strategi tepat dan bijak dalam manajemen sumber-sumber ekonomi,social, dan budaya untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmony. Dalam hal ini, Negara sebagai otoritas pemegang kekuasaan dituntut untuk bisa menggunakan secara bijak hak monopoli represifnya untuk mengelola anasir-anasir ini menjadi semen perekat rajutan unsure masyarakat yang saling berbeda dalam anyaman yang harmoni. Namun realita dilapangan menunjukkan Negara seringkali gagap dalam mengelola potensi konflik yang terkandung dalam masyarakat multikultur ini. Akibatnya, riak-riak konflik komunal yang muncul begitu cepat dan mudahnya mengalami eskalasi hingga berdampak luas. Data SETARA Institute membuktikan, Negara bukan hanya tak mampu mengelola potensi konflik dengan bijak, namun bahkan Negara seringkali ikut terlibat dalam aksi kekerasan yang tak perlu.
Sabtu, 19 Februari 2011
Kekerasan dan Kegamangan Politik Multikultur Negara
Senin, 08 November 2010
Bermain Mata dengan Bencana
Before–During–After
Manajemen bencana terdiri atas tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.Bangsabangsa yang produktif,maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya. Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pascabencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal,rekonstruksi, dan rehabilitasi.
Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management. Mereka mempelajari tandatanda alam,perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba. Berkebalikan dengan itu, bangsabangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi. Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana, sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia.
Selama bangsa ini hanya fokus pascabencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang. Jumlah korban akan tetap sama besarnya.Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.Jangankan respek, bantuan pun lamalama enggan datang.Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja. Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga.
Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning, dan rapid response. Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya. Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat. Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana.
Penanganan ini harus bisa bersifat real-time. Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba. Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi, awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai. Ayo, berpikirlah lebih maju.
Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern. Payung undangundang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat. Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.Ia bisa digeser menjadi prioritas utama. Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi. Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat. Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serbacepat.
Persoalan Masyarakat
Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia. Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi. Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana. Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts. The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan. The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan.
Anda lihat sendiri,para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.Padahal kalau Anda kaji lebih rasional, Anda akan menemukan sebaliknya. Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya. Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance.
Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan. Manusia cenderung berlebihan (overestimate) terhadap bencanabencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (underestimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan.
Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah ”warning system” yang diberikan alam demi kelestarian manusia. Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas. Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak.
Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih, lalu airnya surut. Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel, dan turis-turis asing.
Seminggu sebelumnya,di kelas geografinya, Tilly Smith, gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami. Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar,para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan. Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos. Human biases. Dan terjadilah bencana.Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.
Aturan Prabencana
Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama,jauhkan sikap ”menggoda bencana” dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi.
Meski datangnya bencanabencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindahpindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%. Kedua, jangan biasakan menyangkal. Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalanramalan akademik harus segera dijauhkan.Ketiga, bangun pusatpusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata.
Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik. Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah, sekalipun jarang terjadi. Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun. Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan. Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.
Oleh:Rhenald Kasali
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361905/
Read More..
Anak dan Remaja dalam Bencana*
Mungkin semua itu tidak jelek. Mungkin berbagai aksi itu positif. Namun, tiadanya perhatian khusus terhadap anak-anak (mereka yang berusia bayi hingga usia 12 tahun) dan para remaja (mereka yang berusia 12 tahun hingga 21 tahun) yang menjadi korban bencana mencerminkan betapa simpati yang berhamburan itu lebih bersifat emosional, kurang disertai pemahaman mendalam tentang hakikat penderitaan manusiawi yang dialami para korban bencana.
Rentan trauma
Berderet penelitian, mulai dari penelitian-penelitian yang berlandaskan teori psikoanalitik klasik hingga penelitian-penelitian mutakhir berbasis model neuro-psikoanalitik, menegaskan simpulan, betapa kerentanan terbesar terhadap trauma justru disandang oleh anak-anak dan remaja (Stortelder & Ploegmakers-Burg, 2010). Orang-orang dewasa bisa juga terkena dampak buruk trauma dalam bencana, tapi pada umumnya anak-anak dan para remaja dapat terkena dampak yang lebih buruk lagi oleh trauma dalam bencana itu.
Oleh karena itu, luapan simpati pascabencana terasa begitu tidak utuh, bahkan kurang mendalam, jika tidak ternyatakan secara jelas dan efektif dalam tindakan-tindakan khusus yang ditujukan untuk menyelamatkan anak-anak dan para remaja dari trauma dalam bencana.
Otak dan jiwa anak-anak, terutama dalam lima tahun pertama kehidupan mereka, begitu plastis, dalam artian sangat rentan untuk mengalami perubahan positif maupun negatif. Plastisitas dan peluang terjadinya perubahan-perubahan besar, baik yang positif maupun yang negatif, berulang ketika anak-anak itu memasuki usia 12 tahun. Kondisi ini terus berlangsung hingga saat mereka berusia 21 tahun. Trauma yang tidak ditindaklanjuti dengan terapi yang sungguh membantu penghilangan efek negatif trauma itu pada anak-anak dan para remaja dapat meneguhkan psikopatologi (kondisi otak dan jiwa bermasalah yang menyatakan dirinya dalam berbagai gangguan pikiran, gangguan perasaan, dan gangguan perilaku personal maupun sosial).
Psikopatologi yang terteguhkan pada masa kanak-kanak dan remaja akan terus berpengaruh negatif terhadap kehidupan individu di masa-masa kehidupan selanjutnya. Maka kerugian kemanusiaan terbesar justru terjadi karena efek trauma bencana pada anak-anak dan kaum remaja. Efek negatif trauma pada anak- anak dan kaum remaja bisa begitu luas, berupa efek negatif terhadap perkembangan otak, efek buruk terhadap perkembangan neurokimiawi, pengaruh negatif terhadap perkembangan psikoseksual, perkembangan emosional, perkembangan kognitif, perkembangan konsep diri, bahkan pula terhadap perkembangan ”keyakinan atas kemampuan diri”.
Pengasuh utama
Hal traumatik paling mendasar yang dialami oleh anak-anak dan para remaja dalam bencana adalah kehilangan pengasuh utama, termasuk kehilangan ibu, ayah, bibi, paman, guru, dan orang-orang dekat lain yang biasanya berfungsi sebagai pemberi asuhan utama. Peran pengasuh utama itu begitu penting dan mendasar dalam perkembangan otak dan jiwa anak-anak dan remaja.
Melalui hubungan-hubungan yang bersifat empatetik, diresapi pengertian, penerimaan hangat, dan kejujuran, serta ditandai teladan-teladan yang baik, otak dan jiwa anak dan remaja bertumbuh kembang sehat meniti suatu perjalanan perubahan dahsyat, baik pada struktur otak maupun pada fungsi-fungsi kejiwaan dan sosial, yang kemudian melandasi dan menjadi modal kuat bagi perwujudan kehidupan yang secara biopsikososial sehat dan baik di masa-masa selanjutnya. Namun, dalam bencana, anak-anak dan para remaja mungkin kehilangan pengasuh utama. Jika para pelawat mereka tidak secara khusus memprogramkan upaya menyubstitusi peran pengasuh utama, bisa jadi anak-anak dan para remaja itu kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kehidupan yang secara biopsikososial sehat dan baik untuk selamanya.
Peristiwa traumatik lain yang juga sangat mendasar adalah kehilangan rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah. Rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah adalah tempat hidup utama bagi anak-anak dan para remaja. Di tempat hidup utama itu mereka meniti perkembangan neuropsikososial menuju perwujudan kemampuan-kemampuan untuk hidup sehat dan baik secara biopsikososial. Ketika bencana menghilangkan rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah dari kehidupan mereka, mereka pun kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan neuropsikososial yang sehat dan baik.
Kehilangan-kehilangan itu sekarang harus dipulihkan seoptimal mungkin. Simpati niscaya lebih diwujudnyatakan sebagai program-program dan aksi-aksi nyata menghadirkan pengganti dari fungsi pengasuh utama yang hilang, juga rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah yang hilang dari anak-anak dan para remaja dalam bencana.
Limas Sutanto Psikiater, Konsultan psikoterapi di Malang; Ketua Seksi Psikoterapi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
Read More..
Ironi Merapi*
Banyaknya kain spanduk promosi yang dipasang di sekitar barak pengungsian bertolak belakang dengan minimnya selimut yang diperlukan para pengungsi. Gencarnya liputan media dan aliran bantuan di Kabupaten Sleman tidak seimbang dengan hal sejenis di Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali karena berbeda provinsi.
Meskipun spanduk yang dipasang telah dibersihkan oleh petugas Satpol PP karena dipandang kurang etis, liputan media dan aliran bantuan, pada akhirnya juga sudah relatif seimbang di kedua provinsi yang bertetangga tersebut, telah menjadi awal ironi. Hal ini terjadi sangat mungkin karena pertimbangan siasat, ego, dan kapital semata.
Unjuk diri
Spanduk partai politik dan industri yang berkibar di barak pengungsian adalah unjuk diri karena siasat kampanye politik sempit dan kapital sedikit. Para pengungsi dan relawan sangat mungkin bukanlah pemberi suara untuk partai tersebut di pemilu yang lalu-lalu ataupun mendatang, dan bukan pembeli atau penikmat produk industri itu. Pada kondisi ini mereka adalah para korban bencana yang sedang ditimpa musibah sehingga tidak akan sempat berpikir ke banyak arah secara simultan.
Prioritas mereka adalah kehidupan dan kebutuhan primer saja, apalagi masih terus-menerus dihadang oleh rasa jenuh, putus asa, depresi, dan mungkin duka mendalam. Relawan sejati bekerja dengan hati yang tergerak sehingga tidak terkait, apalagi melirik kampanye dan promosi. Meskipun demikian, adanya banyak ”relawan kiriman” dalam ajang tersebut dapat saja menjadi ironi dan mendegradasi motivasi.
Dari sisi lain, para pengurus partai politik dan pihak manajemen industri justru memandang para pengungsi dan saudaranya, termasuk para relawan sejati, adalah pangsa pasar mereka, dalam aspek suara pemilih maupun calon pembeli produk mereka. Dalam setiap kesempatan, kampanye dan promosi mereka harus hadir nyata, tidak peduli meski situasi duka dan panik. Partai politik saat ini adalah institusi ”abstrak” yang sangat berpengaruh dalam kehidupan negara meski manfaat ”riil” bagi rakyat layak dipertanyakan.
Salah seorang pengurus pusat partai politik yang anggota DPR, dan dituntut jaksa delapan tahun karena tindakan tercela di Bank Century, ternyata hanya divonis satu tahun oleh majelis hakim. Dari segi tuntutan dan vonis saja sudah ironi, tapi yang lebih ironi adalah alasan hakim dalam memandang ”hal yang meringankan” pada vonis, yaitu karena selama persidangan sikapnya ”sopan”. Bukankah jabatan publik, apalagi anggota DPR yang disandang pelaku kejahatan, adalah hal yang memberatkan?
Selayaknya hakim memutuskan bahwa kejahatan yang terbukti dilakukan oleh oknum pejabat mendapat hukuman yang lebih berat, dibandingkan kejahatan serupa yang dilakukan rakyat biasa. Hal tersebut justru berefek jera dan perlu diprioritaskan dibandingkan aspek sopan santun selama persidangan berlangsung yang subyektif dan seharusnya hanya sekadar sebuah catatan, tidak memengaruhi vonis. Apalagi, vonis ironis tersebut dibacakan hakim pada saat para pengungsi Merapi sedang memerlukan figur panutan dari pejabat negara dalam dunia politik yang ”abstrak”.
Tetap terbengkalai
Status Awas dan letusan Gunung Merapi tidak terjadi mendadak sebab hal itu melalui tahap Siaga dan Waspada. Artinya, ada waktu yang dapat dimanfaatkan untuk persiapan di barak pengungsian warga. Selama ini, kalau ada pejabat lokal, regional, apalagi nasional yang akan datang berkunjung, rakyat menyiapkan segala sesuatunya dengan sigap, ikhlas, dan gembira agar tidak terjadi kekecewaan dan ”murka” pejabat. Namun, ironi selalu terjadi saat rakyat ”berkunjung” atau warga mengungsi ke barak, tidak ada persiapan sigap dan memadai, apalagi ikhlas dan gembira dari pejabat dan bawahannya.
Barak pengungsian dan logistik yang seharusnya dapat disiapkan secara sigap dalam periode Siaga dan Waspada tetap terbengkalai, bahkan sampai pada periode Awas dan hari-hari awal kehidupan di barak sekalipun. Rakyat dan para pengungsi memang hanya bisa mengalami ”kekecewaan” meskipun tak boleh ”murka”.
Muntahan pasir dan lahar dingin dari letusan Gunung Merapi diperkirakan mencapai 11 juta meter kubik. Material vulkanik yang sebelumnya meluluhlantakkan lingkungan dan warga di sekitar puncak gunung itu tidak lama lagi akan dikuras habis oleh pemodal dari kota dalam penambangan batu dan pasir. Pengalaman sebelum meletus, masyarakat kecil di sekitar punggung Gunung Merapi hanyalah buruh kasar penambang pasir dan pengungsi di kala gunung berstatus Awas. Sebaliknya, pemodal dari kota adalah peraih keuntungan kapital terbesar dari material vulkanik setelah letusan, namun sangat mungkin bukanlah penderma yang baik atau relawan yang sigap saat gunung erupsi.
Letusan Gunung Merapi seharusnya menyadarkan kita bahwa pola berpikir dan bertindak kita perlu pendewasaan. Tidak hanya pengungsi yang perlu ditolong, pola pikir kolektif kita juga perlu diperbaiki agar ironi Merapi tidak terulang di lain waktu dan di lain tempat.
*FX Wikan Indrarto,Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04422743/ironi.merapi
Read More..
Minggu, 07 November 2010
Bakti Untuk Warga Merapi
Setelah melakukan observasi terhadap kebutuhan korban Merapi dan beberapa masukan dari anggota BEM FISIPOL mengenai barang – barang yang kiranya dibutuhkan korban , maka Ahmad Fanani selaku Ketua BEM FISIPOL memutuskan untuk membelanjakan uang tersebut untuk membeli antara lain : Pakaian Dalam , Bubur Bayi , Susu Balita , dan Pembalut Wanita .
Setelah rapat koordinasi (30/10/10) , maka kami berpencar dan membagi tugas untuk membeli barang – barang yang diperlukan , dan dibagi atas dua tim . Tim I membeli Bubur Bayi , Susu Balita , dan Pembalut Wanita . Dan Tim II membeli Pakaian Dalam .
Akhirnya setelah membeli barang – barang tersebut beberapa anggota BEM FISIPOL bersedia untuk langsung menyalurkan ke Posko Purwobinangun , Kecamatan Pakem . Pukul 19.45 WIB (30/10) setelah shalat Isya kami berangkat dari Sekretariat BEM FISIPOL menuju ke Posko Bencana.
Estimasi jarak yang ditempuh ke Posko Bencana sekitar 100 km dari Sekretariat BEM FISIPOL . Dan akhirnya pada pukul 21.00 WIB kami tiba di Posko Purwobinangun , yang juga merupakan posko tenaga Medis dari UMY yang tergabung dalam Tim Medis FKIK dan AMC .
Penyerahan bantuan langsung diserahkan oleh Ahmad Fanani selaku Ketua BEM FISIPOL kepada bapak Bambang Buduiyono selaku pihak penerima Logistik Posko Purwobinangun . Adapun barang yang kami sumbangkan dari hasil penggalangan dana tersebut yang tercatat pada berita acara penyerahan bantuan , yakni 100 biji pakaian dalam , 3 dus makanan bayi , 2 dus susu Balita , dan 1 dus pembalut wanita .
Demikian setelah penyerahan bantuan tahap I ini dapat meringankan beban warga korban Merapi dan semoga kami dapat menggalang dana lebih banyak lagi untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan .
Harapan dari Ahmad Fanani selaku Ketua BEM FISIPOL sendiri , semoga barang – barang yang disumbangkan dapat memberi manfaat kepada para pengungsi .
Harapan editorial , semoga Bencana Alam yang terjadi di Indonesia tidak menyurutkan niat kita untuk terus membangun Indonesia . Mari kita bangkit dari keterpurukan , sesungguhnya Bencana Alam ini tidak menjadi halangan untuk menjadi lebih baik .
Mbah Maridjan dan Polemik Internet
Semula saya tidak tertarik untuk menulis tentang isu ini, tetapi di internet sedang berlangsung polemik pro-kontra tentang kematian Mbah Maridjan (1927-2010) yang dikenal sebagai kuncen (juru kunci) Gunung Merapi. Sebelum menduduki posisi itu pada 1982, dia merupakan pembantu bapaknya sebagai kuncen. Tugasnya cukup dahsyat: menjinakkan Gunung Merapi. Namanya menjadi sangat populer ketika pada tahun 2006 imbauan Sultan Hamengkubuwono X bersama ahli vulkanologi tidak dihiraukannya agar mengungsi karena kemungkinan Gunung Merapi akan erupsi. Kebetulan saat itu ilmu titennya manjur, tidak terjadi letusan. Akibatnya, sosok yang sangat sederhana ini melangit. Sebuah perusahaan minuman bahkan menjadikannya sebagai bintang iklan dengan bayaran sebesar Rp 150 juta, sedangkan gajinya sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta hanyalah Rp 10 ribu per bulan.
Gelarnya sebagai abdi dalem penjaga Gunung Merapi adalah R Ng Surakso Hargo atau Mas Penewu Surakso Hargo (penunggu gunung). Dia tinggal di Desa Kinahrejo secara berketurunan. Dalam mitologi Jawa Keraton Gunung Merapi ada bahureksonya, penguasa Merapi yang terletak di utara Yogya itu, sedangkan di selatan dipercayai pula adanya Nyi Loro Kidul, penguasa laut selatan. Keraton Yogya berdiri di tengah-tengahnya.
Sudah tentu semua mitos itu bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja Mataram. Dengan menciptakan berbagai mitos yang sarat klenik itu, diharapkan tidak akan ada kekuatan yang dapat menghancurkan Mataram. Di era Islam, kepercayaan semacam ini diselimuti dengan ajaran-ajaran agama yang kemudian membentuk Islam Jawa (kejawen). Tradisi ini ternyata bisa bertahan selama ratusan tahun dengan plus-minusnya. Plusnya, secara sosiologis dari sudut penyebaran Islam, mayoritas rakyat Jawa telah menjadi Muslim, terlepas dari kualitasnya. Minusnya, akan sulit dibedakan antara ajaran autentik Islam yang bersumbu pada doktrin tauhid dan apa yang disebut kearifan lokal yang sudah bercampur aduk dengan tradisi kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Sebuah sinkretisme yang sangat awet dan fenomenal.
Mbah Maridjan adalah produk dari tradisi panjang yang sudah diislamkan itu. Secara pribadi dia adalah seorang saleh, rajin beribadat, punya masjid, suka memberi, bahkan menjadi pengurus tingkat ranting sebuah gerakan Islam. Tetapi, pengabdiannya terhadap perintah Sultan Hamengkubuwono IX agar siap menjadi orang terakhir yang mengungsi saat bahurekso marah telah berakhir dengan sebuah tragedi. Di sini terjadi ketegangan antara sikap menjunjung dawuh dan risiko maut. Mbah Mardjan, saya tidak tahu persis, telah menempuh jalan kedua.
Sekiranya Merapi tidak cepat meledak, boleh jadi Mbah Mardjan akan mengungsi juga sebab pihak yang membujuk telah berdatangan sebelumnya. Kita tentu mendoakan arwah Mbah Mardjan diterima Allah dengan pengabdiannya yang hampir tanpa batas itu, tak perlu dikaitkan dengan tradisi Jawa yang sulit dipisahkan dengan struktur batinnya. Namun, siapa pun yang akan ditunjuk sebagai kuncen berikutnya, janganlah terlalu mengandalkan ilmu titen, dengarlah dengan baik saran Dr Surono, pakar gunung berapi yang wajahnya tampak dalam situasi kelelahan yang berat. Gunung Merapi adalah gejala alam dengan hukum-hukum dan perilakunya sendiri. Sekalipun ilmu pengetahuan belum dapat membaca perilakunya itu dengan kesimpulan yang serbapasti, setidak-tidaknya pendekatan keilmuan jauh lebih unggul dari ilmu rasa yang lebih banyak berdasarkan empirisme tanpa melalui pembuktian ilmiah.
Akhirnya, polemik internet sebaiknya dihentikan saja, kecuali untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan. Mbah Maridjan sendiri sebenarnya mengakui vulkanologi yang perlu dipelajari. Saat ditanya tentang erupsi Gunung Merapi, dengan bahasa Jawa dijawabnya: "Yo nek bab kui, takona nang vulkanolog." (Jika mengenai masalah itu, tanyakan kepada vulkanolog). Dilema Mbah Maridjan adalah dalam menghadapi gejala alam, ilmu titennya tidak jarang lebih dominan. Yang perlu dijaga adalah agar kuburannya tidak dijadikan tempat keramat yang dapat menyeret bangsa ini ke tempat jatuh yang lebih tinggi, sekalipun ilmu pengetahuan sendiri bukanlah dewa. Ilmu pengetahuan juga terbatas dan nisbi. All'hu a'lam.
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Sumber:http://www.maarifinstitute.org/content/view/694/150/lang,indonesian/
Konstruksi Politik Daerah Rawan Bencana*
Tayangan korban bencana alam di layar televisi dalam hari-hari terakhir ini menunjukkan suatu pola. Korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi adalah penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai, pesisir, dan lereng bukit.
Dari sosok korban yang terekam kamera televisi, mereka bukanlah orang-orang gedongan, pejabat, ataupun konglomerat. Mereka lebih mirip seperti orang-orang pinggiran di daerah pedalaman yang bersahaja.
Bukan kebetulan mereka tinggal di lokasi-lokasi yang belakangan populer disebut sebagai daerah rawan bencana itu. Keberadaan mereka di tempat tersebut dibentuk dan bencana yang menimpa mereka pun tidak seluruhnya alamiah.
Eksklusi sosial
Berawal dari paham hak kebendaan kolonial yang diselipkan dalam gagasan kekuasaan negara, pemerintah kolonial saat itu mulai membuat pendakuan atas wilayah negara termasuk kawasan hutan negara.
Melalui undang-undang agraria dan kehutanan kolonial, pemerintah membuat batas yang jelas antara tanah negara dan tanah rakyat, antara hutan negara dan hutan rakyat. Di atas tanah negara dan hutan negara tidak boleh ada hak milik lain sehingga tercipta dikotomi kepemilikan tanah dan hutan.
Pendakuan akan kawasan hutan negara tersebu awalnya tidak seluas sekarang. Hanya Jawa, Madura, dan sebagian Sumatra. Sejak Orde Baru diketahui wilayah yang disebut sebagai kawasan hutan negara itu mencapai dua per tiga daratan Indonesia. Berdasarkan hukum dan tradisi kehutanan ilmiah, kawasan hutan negara tersebut harus bersih dari hak milik lain.
Implikasinya adalah penaklukan dan eksklusi orang-orang dari dalam kawasan hutan negara. Mereka ditaklukan dengan berbagai pencitraan negatif lalu dikeluarkan ke lokasi-lokasi marjinal, seperti daerah aliran sungai, pesisir, dan lereng bukit. Ada pula yang bertahan di daerah bahaya seperti orang Dieng yang terkubur letusan kawah Sinila.
Konstruksi politik ini membungkam 230 juta jiwa penduduk republik yang hidup berjubel di wilayah sepertiga daratan yang kian berisiko bencana alam, baik karena kontrol eksploitasi hutan yang lemah sehingga sering banjir dan longsor maupun faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Di antara mereka ada 40 juta jiwa penduduk yang hidup di daerah bahaya yang paling berisiko bencana alam. Mereka itulah orang-orang yang sejarah sosialnya diwarnai penaklukan dan eksklusi sosial, seperti korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi, yang ditayangkan televisi akhir-akhir ini.
Relokasi
Istilah relokasi muncul tak semena-mena setelah gempa dan tsunami menggulung permukiman penduduk di pesisir kepulauan Mentawai. Pun demikian ketika wedus gembel membakar permukiman penduduk di Kinahrejo, kampung sang juru kunci Merapi saat itu, Mbah Marijan.
Relokasi telah lahir sebagai wacana publik, setidaknya di kalangan media. Tak kurang pemerintah provinsi Sumatera Barat dan bupati Sleman, bahkan ketua DPR melontarkan pernyataan dengan nada seperti itu.
Wacana itu diproduksi terlepas dari sejarah sosialnya. Korban banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi adalah masyarakat yang kalah dalam kontestasi politik sumber daya alam pada masa lalu. Sejarah mereka diwarnai dengan penaklukan, ekslusi sosial, dan hilangnya hak kebendaan seperti tanah dan hutan.
Trauma sejarah macam ini setidaknya tecermin dari ekspresi wajah seorang nenek yang meronta menolak ajakan tentara untuk mengungsi dari daerah rawan bencana letusan Merapi yang ditayangkan berulang kali di stasiun televisi belakangan ini.
Penolakan juga pernah dilakukan oleh warga Kinahrejo saat Merapi meletus tahun 1994. Warga lereng Merapi di Magelang yang ditransmigrasikan ke luar Jawa saat itu bahkan telah kembali ke kampung halaman.
Sejumlah penolakan itu menunjukkan bahwa relokasi bukan kebijakan mudah yang bisa diputuskan semena-mena. Kebijakan ini terkait hak milik kebendaan seperti tanah yang bisa lenyap ketika proses tukar guling tidak transparan. Persoalan hak milik kebendaan adalah persoalan krusial yang sensitif di kalangan warga tereksklusi ini.
Relokasi yang relatif diterima biasanya didukung tiga kondisi. Pertama, pengetahuan umum yang menyatakan bahwa daerah yang tertimpa bencana alam itu tidak bisa dijadikan permukiman lagi. Kedua, jaminan kepastian hak milik tanah dalam tukar guling. Dan ketiga, jaminan mata pencarian yang sepadan dengan mata pencarian di daerah asal.
Apabila ketiga kondisi tersebut tidak terpenuhi, kebijakan relokasi sebaiknya dipikirkan ulang.
Alternatif lain seperti rekonstruksi daerah bencana sepertinya tidak lebih melukai trauma sejarah sosial masyarakat yang tereksklusi itu.
*Gutomo Bayu Aji Peneliti Ekologi Manusia pada Puslit Kependudukan LIPI
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04275455/konstruksi.politik.daerah.rawan.bencana
Kamis, 30 September 2010
Konflik Etnis: Pengingkaran Terhadap Komitmen Luhur Kesatuan Bangsa
Hari ini mestinya saya bertolak ke Tarakan untuk menghadiri Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kalimantan Timur di kota itu. Namun agaknya rencana tersebut urung terwujud karena acara tidak jadi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Acara yang seyogyanya akan digelar sejak mulai tanggal 30 September sampai 2 Oktober itu ditunda karena alasan keamanan. Acara yang sedianya digabung berbarengan dengan Musywil Muhammadiyah itu batal dilaksanakan karena baru saja pecah bentrokan yang melibatkan massa dalam sekala besar di kota tersebut. Kabar pembatalan acara tersebut saya terima melalui pesan yang disampaikan hanya beberapa jam sebelum keberangkatan. Jika saja kabar itu datang dua jam lebih lama, mungkin saat ini saya sudah terdampar bersama 1.000 pengungsi dinegeri yang tengah dilanda konflik yang di klaim sebagai konflik antara suku Bugis dan Tanatidung tersebut.
Entah perasaan apa yang mesti saya ungkapkan atas peristiwa ini. Di satu sudut hati, ada semacam perasaan syukur karna biar bagaimanapun juga saya baru saja terhindar dari konflik massa yang memilukan. Sementara jauh didasar ruang batin tak bisa aku sangkali adanya perasaan miris yang begitu dalam mendengar kabar yang menyesakkan sekaligus membekaskan pilu mendalam ini. Dalam benak ini, masih saja aku tak habis pikir, kenapa bentrokan etnis semacam ini masih –dan makin- marak terjadi? kenapa pendekatan kekerasan semacam ini seolah menjadi favorit pilihan dalam menyelesaikan masalah?
Ungkapan reflektif tersebut mungkin menjadi pertanyaan klise yang cenderung retoris. Namun, bagiku konyol rasanya setelah berbilang abad bangsa ini terbentuk masih saja ada terjadi bentrokan antar etnis pembentuknya. Bentrokan etnis semacam ini merupakan sebuah tindak pengingkaran atas eksistensi ‘Bangsa Indonesia’, karena tak bisa disangkali bahwa 82 tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober 1928, segenap elemen bangsa ini yang di motori para pemudanya telah meneguhkan kommitmen bersama melalui ikrar sumpah pemuda. Dimana jelas dalam momen sacral tersebut secara sadar telah di sepakati langkah persatuan seluruh etnis di bumi nusantara ini dalam satu tenda besar yang bernama Bangsa Indonesia, sebagaimana terabadikan dalam kalimat sakti, Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Dengan sumpah pemuda ini, segenap pemuda dari berbagi etnis telah sepakat untuk membangun rumah bersama yang bisa menjadi peneduh dari segala macam ancaman (penjajahan dalam bentuk apapun), dan mampu menjadi tempat bertolak menuju cita-cita bersama untuk mewujudkan manusia yang merdeka seutuhnya. Dalam upaya pembentukan bengsa ini, setiap etnis di negeri ini punya investasi yang sama -dalam porsinya- masing-masing sebagai batu bata yang tersatukan dalam bangunan yang kokoh bernama Indonesia. Ketika berbalok-balok bata telah tersusun menjadi sebuah bangunan yang padu, maka pastinya eksistensinya akan dilihat sebagai tembok bangunan, bukan lagi pecahan bata. Tak ada lagi eksistensi bata sebagai dirinya sendiri, yang ada adalah sebuah bangunan kokoh nan Nampak indah.
Menonjolkan sentiment etnis yang berujung pada arogansi merupakan sebuah tindakan mengerdilkan identitas bersama sebagai sebuah kesatuan yang utuh, bangsa Indonesia. Hal ini sama saja dengan sebuah pengingkaran atas eksistensi bangsa Indonesia sebagai rumah bersama. Konyol rasanya, jika masih saja mempersoalkan batu bata padahal sudah terbentuk rumah nan Indah. Rasanya tak ada orang yang akan mengenang-kenang bata setelah terbentuk rumah, kecuali orang yang teramat kerdil penglihatannya
Sebagai sebuah komitmen bersama, sumpah pemuda semestinya dimaknai sebagai sebuah penyatuan identitas diri secara penuh, seutuhnya dalam sebuah kesatuan bangsa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah, sentimen etnis mesti direduksi untuk kemudian ditransformasikan menjadi sebuah identitas bersama di bawah bendera Indonesia. Ketika berbicara persatuan maka yang mesti dinampakkan adalah perasaan kebersamaan sebagai satu bangsa, bukan menonjolkan perbedaan dan sentiment yang melahirkan arogansi dan perpecahan.
Jika saja seluruh masyarakat tanpa terkecuali, entah dari suku apapun, golongan manapun, telah menyadari benar makna ketersatuan ini, maka tak akan mungkin terjadi bentrok ataupun pertentangan etnis dalam bentuk apapun di negeri ini. Karena persinggungan sebesar apapun akan mudah luruh jika perasaan persatuan, persaudaraan itu telah tertanam dan menghujan dalam palung kesadaran kita.
Bentrokan etnis selalu bermula dari solidaritas kesukuan yang seringkali diidentikkan dengan harga diri sebuah suku. Dalam kasus Bentrok Tarakan, bentrokan yang melibatkan suku bugis dan tanatidung ini bermula dari pemalakan yang dilakukan oleh segerombol pemuda mabuk dari satu suku pada pemuda lain yang kebetulan berasal dari suku sebrang. Atas nama solidaritas etnis kemudian terjadi balasan yang akhirnya jadi konflik antar etnis ini. Dengan sentiment etnis, sekala konflik dengan cepatnya meluas dan makin mendalam hingga menewaskan lima korban jiwa. Betapa besar harga yang mesti dibayar untuk sesuatu yang bermula dari hal sepele.
Semestinya, solidaritas etnis semacam ini bisa ditransformasikan menjadi solidaritas kebangsaan sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Karena solidarita yang berangkat atas nama suku, atau golongan tertentu akan sangat mudah diprovokasi menjadi sebuah arogansi etnis yang pada sangat potensial melahirkan konflik.
Maraknya konflik etnis semacam ini merupakan sebuah ancaman serius bagi bangsa yang terdiri dari begitu ragam suku semacam Indonesia. Konflik antar suku di Tarakan ini mestinya dijadikan sebagai titik tolak bagi pemerinhtah sebagai pemegang kuasa di negeri ini, untuk melakukan pembenahan agar tak ada lagi kecemburuan(juga narsisme disisi yang lain) etnis satu atas yang lain, internalisasi nilai-nilai perdamaian urgen untuk dilakukan sebagai counter cultur atas budaya kekerasan yang sampai saat ini masih menjadi favorit. Pemerintah mesti tampil digaris depan, untuk dengan segera melalui semua lini, melakukan upaya represif dan preventi atas konflik yang lain. Prefentif bisa berupa tindakan tegas atas semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk memberikan efek jera agar tidak menjadi pereseden buruk, dan langkah preventif bisa berupa pelaksanaan peace education untuk membunuh benih-benih konflik. Upaya ini (peace education) akan sangat efektif jika bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita.
Bangsa ini telah lelah dan jenuh dengan segala macam konflik yang mewarnai jatuh bangun sejarah perjalananya. Sudah saatnya pemerintah melakukan langkah tegas untuk memutus mata rantai konflik dan memusnahkan segala factor yang bisa menjadi pemicu lahirnya potensi konflik. Di luar itu, kita sebagai putra bangsa tanpa terkecuali, mesti ikut melibatkan diri untuk secara aktif ikut menghalau segala potensi kekerasan dari muka bumi agar terwujud kehidupan berkeadaban yang penuh kedamaian. Mari!!!!!!
Selasa, 28 September 2010
Pesan Dari Balik Pagar Kampus
Mengisi akhir pekan pertama di bulan Ramadhan, BEM FISIPOL UMY melaksanakan agenda bakti social yang bertempat di dukuh Donotirto, Bangun Jiwo. Dengan I’tikad ibadah yang dibingkai dalam semangat untuk berbagi, BEM FISIPOL UMY yang dimotori Departemen Pengabdian Masyarakatnya menyambangi warga dukuh yang letaknya tak jauh di barat daya kampus terpadu UMY ini.
Seharian membaur dalam hangatnya kebersamaan dengan warga donotirto menggelitik rasa kemanusiaan kita, betapa tidak, hanya dibalik tembok pagar kampus kita ada sekumpul warga yang hidup dalam kesederhanaan ruang, keterbatasan sandang, ketrbatasan akses, bahkan meski naik turun bukit untuk sekedar mereguk seteguk air bersih.
Ketidakmerataan pembangunan di negeri ini adalah realita empirik yang tak bisa dinafikan. donotirto merupakan bukti konkret gambaran peta pembangunan di negeri merah putih ini.
Sebagai mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang setiap saat senantiasa bergumul dengan diskursus seputar dinamika sosial politik baik referensi klasik maupun wacana aktual mutakhir yang berkembang sedemikian cepatnya, ada semacam urgensitas tersendiri yang menuntut kita untuk secra kritis membuka mata menatap realita sosial di sekitaran untuk kemudian mengupayakan berlangsungnya sebuah perbaikan.
Hari ini, masyarakat telah lelah-atau bahkan muak- dengan perilaku aparat pengelola negara yang semakin hari semakin konyol. Tuturan Bapak Mujiono sebagai sesepuh warga munkin bisa menjadi ungkapan kontemplatif bagi kita, dengan gaya jawanya yang khas ia menuturkan upaya warga untuk mengupayakan penyediaan air bersih yang tak kunjung terwujudkan. "masalah utama warga sini(donotirto) itu adalah kebutuhan air bersih mas. Dlam lingkup satu dukuh ini, hanya ada dua sumber mata air mas. untuk mencapainya, warga mesti berjalan tidak kurang dari 800meter(yang notabene jalannya perbukitan nan terjal). Sekarang alhamdulillah sudah ada sepeda motor, jadi warga bisa lumayan sedikit menghemat tenaga. Lha kalo dulu wah kita ngangsu 2 ember sampe rumah dapet empat ember, yang dua ember lagi keringat kita".
Ketika saya tanyakan usaha yang telah dilakukan warga selama ini, Pak Muji hanya bias mengelus dada sambil menuturkan perjalanan panjang usaha yang dkgagas warga. ”sudah sejak tiga tahun ini, kami(warga donotirto) mengajukan proposal untuk program pengadaan pompa dan bak penampungan untuk mengatasi kebutuhan air bersih warga. Tidak hanya sekali mas, terhitung empat kali kami mengajukan proposal, baik kepada pemerintah daerah, maupun lewat anggota DPRD yang sempat kami datangi. Hasilnya nihil sampai detik ini”, demikian tuturnya.
Realitas miris sekaligus ironis ini adalah PR bagi kita sebagai selapis tipis bagian negeri ini yang berkesempatan mereguk kenikamatan akses pengetahuan, keberlimpahan wacana aktual di bangku kuliah untuk mengambil posisi terdepan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bagi segenap tumpah darah bangsa ini tanpa terkecuali.
Berdamai Dengan Alam Demi Keberlanjutan Ekologi dan Masa Depan Kerajaan Bumi
Setiap kali membaca berita aktual dimedia massa akhir-akhir ini, selalu saja ada kolom yang memuat soal banjir yang tengah melanda sebagian wilayah Indonesia, bahkan sebagian wilayah Jember sempat lumpuh gara-gara luapan air bah Sungai Bengawan Madiun. Banjir memang bukan peristiwa luar biasa bagi Negeri ini, bahkan bagi sebagian kota seperti Jakarta, Semarang, Jember, Banjiir adalah sebuah keniscayaan yang mesti disambut setiap kali datang musim hujan.
Namun yang agak menggangguku adalah bahwa di tengah musim hujan seperti ini masih saja tak sedikit orang yang mengeluh "huh panase ra pantes" (panas banget!!). sebenarnya apa yang terjadi dengan bumiku???Sebagian diantara kita mungkin mengkambinghitamkan bumi sebagai penyebabnya, bahwa planet singgah trah adam ini nampaknya semakin tua semakin tak bersahabat dengan para penghuninya. Namun bagi sebagian yang lain yang mempunyai kesadaran reflektif, mereka akan lebih arif menyikapi pemanasan global yang merupakan salah satu wujud dari gejala perubahan iklim ini dengan secara jantan mengakui bahwa manusia lah yang tak bershabat dengan lingkungan alam tempat tinggalnya.
Perlakuan tak bersahabat manusia berupa eksploitasi berlebihan atas kekayaan alam tanpa disertai upaya pemulihan yang cukup adalah determinan utama yang mengakibatkan ketimpangan alam yang mengganggu keharmonisan ekosistem dan berujung pada perubahan perilaku alam(baca:perubahan iklim). Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya ( Anwar, 2007 ). Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Jika ada satu elemen saja dari tatanan dalam suartu ekosistem ini terganggu, maka akan berdampak pada kelangsungan keseluruhan ekosistem tersebut. Dalam perspektif Cappra, menusia bukanlah entitas diluar ekosistem, melainkan bagian inheren dalam ekosistem bumi yang tak terpisahkan. Atas asumsi relasi ekologi ini, bisa dikatakan jika alam ( baik tumbuhan, maupun isi perut bumi ) mengalami kerusakan, maka kelangsungan hidup manusia pun akan terancam. Disinilah letak urgensitas atas laku dan tindakan untuk menjaga keseimbangan ekosistem (baca alam) jika tak ingin mempercepat akhir dari dunia.
Selama ini manusia memang cenderung teramat abai dengan alam(akui sajalah), demi ambisi pengejaran materi, nafsu perut, atau sekedar sensasi mulut, dengan keji manusia memperkosa habis kecantikan dan keanggunan alam. Penjarahan sumberdaya alam yang telah melampaui batas telah mengakibatkan makin meningkatnya ancaman krisis ekologis dan tingginya kerentanan pada masyarakat, termasuk berbagai macam bencana alam sebagaimana yang akhir-akhir ini tak henti menyapa negeri ini. Banjir, tanah longsor, abrasi pesisir, dan bencana alam lainnya nampaknya semakin akrab saja dengan negeri ini. Jika musim hujan datang seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan berita di TV, Koran, media online, atau radio, selalu saja di penuhi pemberitaan tentang banjir bandang yang melanda beberapa daerah di negeri ini. Yang masih hangat adalah reportase tentang sebagian wilayah Jawa Barat termasuk DKI Jakarta yang di genangi air bah yang meluap dari sungai Ciliwung yang merupakan buah dari perusakan kawasan puncak oleh pemegang kuasa modal yang di amini aparat yang dihinggapi pragmatisme egoistik. Tak ketinggalan Ngawi, Jember, Madiun, Banjarnegara, dan Semarang adalah kota-kota lain di Jawa yang menjadi langganan tetap banjir.
Disinyalir kerusakan hutan adalah sumber utama dari berbagai bencana yang melanda sebagian daerah di Jawa. Kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa saat ini hanya sekitar 3 juta hektar, 2,4 juta hektar dikuasai Perum Perhutani dan 0,6 juta hektar lainnya dalam bentuk taman nasional dan cagar alam yang dikuasai Departemen Kehutanan atau hanya 20 persen dari luas daratannya. Padahal, Undang-Undang Kehutanan No. 40 tahun 1999 mengamanatkan 30 persen dari luas daratan adalah hutan. Artinya, dilihat dari daya dukung ekologi, dibanding luas daratannya, kawasan hutan Jawa belum mencukupi hingga perlu ditambah luasannya. Dari hutan Jawa seluas itu, 1,767 juta hektar (59%) merupakan hutan produksi miskin jenis (monokultur) yang sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai penyangga kehidupan, penyimpan air, apalagi penahan banjir. Hutan monokultur ini tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, dari Ciamis hingga Banyuwangi. Berdasarkan data Perum Perhutani, dari 2,4 juta hektar kawasan hutannya di Pulau Jawa, 80 persen lebih merupakan hutan monokultur yang didominasi tanaman jati (51,73%) dan pinus (35,14%) (BritaBumi, 28 Maret 2008). Dengan luasnya hutan monokultur, daya dukung lingkungan Pulau Jawa semakin menurun dan mudah sekali memicu banjir. Atas kenyataan memilukan ini, siapakah yang mesti bertanggung jawab?
Memang sebagian kerusakan hutan itu dilakukan oleh rakyat miskin yang terjepit oleh penderitaan. Tetapi skalanya tidak seberapa dibandingkan dengan pembalakan liar yang dilakukan pengusaha hitam, tentu via kongkalikong dengan aparat. Sebuah kolaborasi amoral minoritas yang berimbas kerusakan dan kepedihan dahsyat bagi mayoritas penduduk. Jika sudah demikian, siapa yang patut kita persalahkan? atau kepada siapa kita mesti mengadu? Sudah saatnya semua pihak berbenah, pemerintah sebagai pemegang tampu kekuasaan, mesti memainkan peran semestinya, menindak tegas dan keras para Mafioso penghisap hasil alam ini. Disamping itu juga perlu adanya implementasi kebijakan yang terpadu (di semua lini) yang berorientasi pada keberlanjutan ekologi, mulai dari kebijakan HPH sampai regulasi planologi (rancana tata kota), karena kepadatan penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan area permukiman yang memadai, yang seringkali berimbas pada ekspansi atas lahan-lahan konservasi. Dalam hal ini, pemerintah mesti lebih ketat dalam pelaksanaan perizinan mendirikan bangunan, pemukiman, terlebih untuk industry. Di daerah kita sendiri (di sekitaran UMY) saja, sama-sama kita seksikan, percepatan pembangunan telah menciutkan lahan-lahan persawahan. Area yang dulu merupakan lahan sawah yng menghampar hijau berubah menjadi kampus, kantor, ruko, atau rumah. Apakah pendirian bangunan-bangunan ini memenuhi AMDAL(analiisa dampak lingkungan) yang memadai? Wallhau alam.
Lebih jauh lagi, agaknya perlu dilakukan pembenahan atas paradigma dan laku aksi manusia yang selama ini cenderung dangkal dan tak ramah lingkungan. Cara pandang dangkal yang dijiwai pragmatism egoistic mesti segera digusur, digantikan dengan paradigma yang lebih arif, ramah lingkungan, dan berorientasi pada keberlanjutan ekologi. Hal ini menuntut upaya keras dari segenap unsure pemerintah dan masyarakat untuk menyemaikan nilai-nilai kesadaran lingkungan karena nampaknya yang satu ini juga merupakan problem mendasar masyarakat kita. Di lingkungan kita saja –tak usah jauh-jauh-, setiap saat kita dapati sampah berceceran dimana-mana. Di lobi, kamar mandi, plataran, lorong kelas, lift, secretariat organisasi mahasiswa (termasuk BEM, KOMAHI mungkin), ruang kelas, lubang angin, kolong meja, bahkan dicelah engsel bangku kuliah. Huft…sampah konsumsi dengan segala wujudnya bisa kita jumpai di tiap sudut kampus yang elok ini. Inilah realita miris sekaligus ironis di kampus kita, apalagi jika mengingat kredo yang selalu dibanggakan “unggul dan islami”. Seperti inikah karakter pribadi “unggul dan Islami”? tentunya tidak.
Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk merubah perilaku yang lama mengendap dan menjadi kebiasaan. Karenanya penanaman kesadaran ekologi memang mesti ditanamkan sejak dini untuk menyemai dam menghujamkan nilai-nilai kearifan lingkungan dan kelestarian ekologi agar generasi mendatang bisa memandang dan memperlakukan alam secara arif dan bijak demi kelangsungan sistem kehidupan di bumi ini. Atas yang satu ini, nampaknya pemerintah juga mulai menyadari hal tersebut, awal tahun ini bekerja sama dengan British Council Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan materi ajar Cimate4klassrooms (C4C) yang menekankan kesadaran perubahan iklim bagi siswa sekolah mulai tingkat dasar (SD) hingga menengah atas (SMA). Agaknya kebijakan eco-school ini bisa menjadi langkah awal yang cukup berarti bagi upaya pembenahan perilaku kita atas alam, agar generasi mendatang bisa lebih arif memperlakukan alam.
Akhirnya, matahari sudah menyingsing, sudah sepenggalan, sudah teramat siang untuk bergegas, membenahi segala sikap keji kita terhadap alam untuk masa depan generasi kita sendiri. Perubahan iklim dengan segala bentuk gejalanya hanyalah dampak dari akumulasi cara hidup dangkal manusia yang tak ramah lingkungan –sekaligus awal dari kehancuran yang lebih dahsyat jika tak segera didamaikan. Banjir dan segala macam bencana alam lain adalah teguran dari alam atas perilaku manusia yang tak lagi manusiawi. Alam tak akan henti menegur kita jika kita tak segera mengindahkan tegurannya dan segera berbenah. Mari berdamai dengan alam, demi keberlanjutan ekologi dan kelestarian generasi kita!
(Pernah dimuat dalam buletin IRs News, Maret 2010)
Jumat, 20 Agustus 2010
Sahur Jalanan Ala BEM FISIPOL UMY
Jum'at (20/08) dini hari, asap mengepul dari tungku-tungku yang baru dipadamkan. Tadinya tungku-tungku besar itu digunakan menanak beras yang merupakan hasil sumbangan dari Mahasiswa Baru Fisipol kala mataf. Kini berkarung beras tersebut telah berubah menjadi nasi putih pulen siap makan.
Kantor Bem FISIPOL UMY di sesaki oleh laskar mahasiswa Fisipol yang tengah menyiapkan agenda terakhir mereka di bulan suci ini.."Sahur on The Road". Layaknya pramuniaga rumah makan padang, dengan gesit, tangan-tangan mereka membungkusi nasi yang totalnya berkisar 180an bungkus. Dinginnya malam seakan terlindas hangatnya kebersamaan mereka untuk satu tujuan: BERBAGI.
Sahur on the road bukanlah sekadar ritual perayaan ramadhan semata. Bukan pula sekadar kelatahan tradisi aktivis di Bulan Ramadhan ini. Lebih dari itu, sahur dengan turun ke jalan diharapkan mampu membuka mata kita bahwa di bumi tempat kita berpijak ini melimpah ruah manusia yang tiap harinya diliputi pertanyaan : DAPATKAH KITA MAKAN HARI INI? (Ahmad Fanani, Gubernur Bem Fisipol)
Ahmad Fanani, Gubernur BEM FISIPOL yang ditanyai komentar mengenai rangkaian agenda Ramadhan Bem Fisipol kali ini mengutarakan harapannya betapa bagi mahasiswa Fisipol haruslah menjadikan agenda ini sejenis santapan rutin. Bukan semata untuk menggugurkan kewajiban organisasi. hal tersebut dirasa penting untuk mempertajam kecerdasan sosialnya agar tidak buta dengan dinamika lingkungan disekitarnya.
Senada dengan itu, sepanjang rute Sahur yang dimulai dari kampus UMY dan berakhir di pelataran tugu, Che Cen Ivan Patria, salah seorang pengurus Bem Fisip tak henti mengutarakan kebahagiaannya dapat berbagi meski dalam jumlah yang tak seberapa.
"Saya senang melihat senyum mereka ketika menerima makanan sahur dari kita" ujarnya antusias.
Pukul 2 lewat 30 menit pasukan "Sahur Jalanan" beraksi. Dengan mengendarai motor mereka mulai membelah jalanan kota gudeg ini. Kepala selingak-celinguk kanan-kiri, memperhatikan dengan seksama siapa saja yang dirasa berhak mendapatkan makanan ala kadarnya. Para penarik becak, orang-orang yang tidur di emperan toko, tukang sapu jalanan, semua tak luput dari jangkauan mereka.
Bahkan ada suatu pelajaran menarik yang diutarakan peserta kala membagikan makanan. Yaitu saat seorang nenek yang tengah terbaring di emperan toko wilayah tugu menolak makanan yang diberi. Bukan krn apa, tak lain krn beliau telah makan sebelumnya. Sungguh hal ironi dikala orang-orang lebih mampu dan terdidik dari mereka relatif lekat dengan keserakahan.
Sedikitnya ada beberapa hal yang menjadi esensi dari perjalanan Bem Fisipol kali ini, bahwa membagi-bagikan makanan memang tidak lantas menjadikan "mereka" sejahtera, nilai berbagi kala itu hendaklah dipahami secara mendalam. Lebih kepada nilai tanggung jawab yang menggelayut di pundak kita, MAHASISWA yang konon jumlahnya tak lebih dari 5 % penduduk negeri ini.
Berbagi dalam bentuk konkrit diharapkan mampu memberi edukasi kepada masyarakat luas serta pemangku jabatan bahwa masih ada yang perlu dibenahi dari lingkungan kita. Bahwa masih ada orang-orang yang tertinggal jauh dibelakang, bahwa mereka perlu menyadari bahwa mereka tidaklah sendiri.
URL Sources: http://bemfisipumy.blogspot.com/2010/08/sahur-on-road-ramadhan-1431-h.html