Jumat, 27 Agustus 2010

Tuhan Sembilan Senti

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-
perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

sumber: http://nurudin.jauhari.net

Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
Bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Amin Yaa Rabbalalamin

Oleh: Taufik Ismail

Read More..

Sabtu, 21 Agustus 2010

Malam Kontemplasi

Memperingati hari kemerdekaan bukanlah sekedar bagaimana kita bisa memanjat pinang setinggi-tingginya, memakan kerupuk secepat-cepatnya...

Kalimat tersebut disampaikan dalam materi perenungan yang diadakan BEM Fisipol UMY dalam rangka memperingatai hari lahirnya Bangsa Indonesia. Serambi Sportorium UMY yang dipilih sebagai tempat menyelenggarakan acara gegap gempita oleh semangat nasionalisme malam itu.
Ahmad Fanani selaku Gubernur BEM Fisipol dalam sambutannya menyampaikan bahwa agenda yang bertema Refleksi 65 Tahun Kemerdekaan "Sebuah Kontemplasi Perjalanan dan Masa Depan Negeri" ini termasuk dalam salah satu rangkaian agenda Ramadhan yang telah dicanangkan BEM Fisipol.Adapun rangkaian agenda Ramadhan tersebut antara lain adalah Bakti Sosial BEM FISIPOL UMY(15/8), Buka puasa bersama masyarakat Fisipol (17/8) dan Insya Allah akanditutup dengan agenda Sahur on the road BEM FISIPOL UMY(20/8).
Susunan acara dalam Agenda Kontemplasi BEM ini tergolong padat. Sore hari dibuka dengan"ngabuburit" bersama para pengurus BEM dan mahasiswa Fisipol. Sebagian panitia tampak masih sibuk mondar-mandir mendekorasi ruangan dengan ornamen-ornamen serba merah putih. Adapula yang memasang perangkat sound system.
Sedangkan perangkat seperti panggung dan alat musik tradisional berhasil dihadirkan berkat kerjasama BEM Fisipol dengan TE-TANGGA (Teater Tangga) salah satu UKM seni dikampus matahari terbit ini. sembari melakukan persiapan guna melaksanakan acara, lagu-lagu kebangsaan mulai digaungkan.

Rebellion Rose merupakan salah satu band tamu dalam acara tersebut yang menambah semarak suasana. Hingga tiba waktu magrib dimana panitia dan para mahasiswa berbuka bersama.

Pasca Sholat Tarawih berjamaah, acara Kontemplasi atau lazim kita sebut sebagai perenungan pun dimulai. Dibuka oleh sambutan Ketua Bem Fisipol Ahmad Fanani kemudian dilanjutkan oleh penampilan lincah seorang penari piring bernama Deby Van Rusli sebagai sajian pembuka.

Acara selanjutnya, penonton dibuat terkagum dengan penampilan Band Tunanetra Akustik dari YAKETUNIS, sebuah yayasan tunanetra Islam di Yogyakarta. Kemudian disuguhkan pula puisi kritis dari salah seorang mahasiswa HI bernama Kuncoro.

Acara pun semakin menarik kala hadirin dikagetkan oleh teriakan maling yang ternyata merupakan sebuah skenario dari monolog yang dibawakan salah seorang pelakon Teater Tangga,Ipunk. Sang lakon ternyata tak hadir sendiri, sesosok patung berjas lengkap berdiri disampingnya yang disimbolkan sebagai Presiden Republik Khayalan yang berhasil ia sandera. Kritikan pedas pun hadir dalam monolog yang diakuinya mengalir dengan alamiah tersebut.
Semakin malam, acara semakin hangat. Kontemplasi penutup disampaikan oleh Agus Aufiya, Mahasiswa Fisipol HI 2008. Sedikitnya ada tiga poin yang disampaikan dalam orasinya. Bahwasanya untuk membenahi bangsa ini haruslah dimulai dari diri sendiri. Pertama-tama kedekatan kita terhadap agama harus lebih ditingkatkan, kemudian bagaimana upaya kita agara mampu mengambil hikmah dari tiap kejadian dan yang terakhir adalah betapa kejujuran itu amat penting khususnya bagi mahasiswa. "Mulailah untuk jujur dalam mengerjakan soal-soal ujian dan mengisi presensi di kelas." Ujar laki-laki yang mengenakan Jas almamater ini bersahaja.

Acara usai, hadirin tampaknya enggan meninggalkan tempat acara. Mereka dengan khidmad melantunkan lagu 17 Agustus bersama. Kembang api sederhana pun dinyalakan sebagai simbol kemerdekaan seutuhnya. Bunga api yang memercik indah di langit malam seakan menjadi pelecut semangat mahasiswa-mahasiswa Fisipol untuk terus menjalankan tanggung jawabnya mencerdaskan bangsa. Dirgahayu Indonesia...

Read More..

Jumat, 20 Agustus 2010

Sahur Jalanan Ala BEM FISIPOL UMY

Jum'at (20/08) dini hari, asap mengepul dari tungku-tungku yang baru dipadamkan. Tadinya tungku-tungku besar itu digunakan menanak beras yang merupakan hasil sumbangan dari Mahasiswa Baru Fisipol kala mataf. Kini berkarung beras tersebut telah berubah menjadi nasi putih pulen siap makan.
Kantor Bem FISIPOL UMY di sesaki oleh laskar mahasiswa Fisipol yang tengah menyiapkan agenda terakhir mereka di bulan suci ini.."Sahur on The Road". Layaknya pramuniaga rumah makan padang, dengan gesit, tangan-tangan mereka membungkusi nasi yang totalnya berkisar 180an bungkus. Dinginnya malam seakan terlindas hangatnya kebersamaan mereka untuk satu tujuan: BERBAGI.

Sahur on the road bukanlah sekadar ritual perayaan ramadhan semata. Bukan pula sekadar kelatahan tradisi aktivis di Bulan Ramadhan ini. Lebih dari itu, sahur dengan turun ke jalan diharapkan mampu membuka mata kita bahwa di bumi tempat kita berpijak ini melimpah ruah manusia yang tiap harinya diliputi pertanyaan : DAPATKAH KITA MAKAN HARI INI? (Ahmad Fanani, Gubernur Bem Fisipol)
Ahmad Fanani, Gubernur BEM FISIPOL yang ditanyai komentar mengenai rangkaian agenda Ramadhan Bem Fisipol kali ini mengutarakan harapannya betapa bagi mahasiswa Fisipol haruslah menjadikan agenda ini sejenis santapan rutin. Bukan semata untuk menggugurkan kewajiban organisasi. hal tersebut dirasa penting untuk mempertajam kecerdasan sosialnya agar tidak buta dengan dinamika lingkungan disekitarnya.
Senada dengan itu, sepanjang rute Sahur yang dimulai dari kampus UMY dan berakhir di pelataran tugu, Che Cen Ivan Patria, salah seorang pengurus Bem Fisip tak henti mengutarakan kebahagiaannya dapat berbagi meski dalam jumlah yang tak seberapa.

"Saya senang melihat senyum mereka ketika menerima makanan sahur dari kita" ujarnya antusias.

Pukul 2 lewat 30 menit pasukan "Sahur Jalanan" beraksi. Dengan mengendarai motor mereka mulai membelah jalanan kota gudeg ini. Kepala selingak-celinguk kanan-kiri, memperhatikan dengan seksama siapa saja yang dirasa berhak mendapatkan makanan ala kadarnya. Para penarik becak, orang-orang yang tidur di emperan toko, tukang sapu jalanan, semua tak luput dari jangkauan mereka.
Bahkan ada suatu pelajaran menarik yang diutarakan peserta kala membagikan makanan. Yaitu saat seorang nenek yang tengah terbaring di emperan toko wilayah tugu menolak makanan yang diberi. Bukan krn apa, tak lain krn beliau telah makan sebelumnya. Sungguh hal ironi dikala orang-orang lebih mampu dan terdidik dari mereka relatif lekat dengan keserakahan.
Sedikitnya ada beberapa hal yang menjadi esensi dari perjalanan Bem Fisipol kali ini, bahwa membagi-bagikan makanan memang tidak lantas menjadikan "mereka" sejahtera, nilai berbagi kala itu hendaklah dipahami secara mendalam. Lebih kepada nilai tanggung jawab yang menggelayut di pundak kita, MAHASISWA yang konon jumlahnya tak lebih dari 5 % penduduk negeri ini.

Berbagi dalam bentuk konkrit diharapkan mampu memberi edukasi kepada masyarakat luas serta pemangku jabatan bahwa masih ada yang perlu dibenahi dari lingkungan kita. Bahwa masih ada orang-orang yang tertinggal jauh dibelakang, bahwa mereka perlu menyadari bahwa mereka tidaklah sendiri.

URL Sources: http://bemfisipumy.blogspot.com/2010/08/sahur-on-road-ramadhan-1431-h.html

Read More..
Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings