Ketika melihat kenyataan bahwa perempuan sampai sekarang ini masih dililit berbagai penderitaan: kemiskinan, objek kekerasan bagi kaum laki-laki, dan sulitnya mengakses ruang publik, membuat perasaan penulis resah.
Tengok saja, kemiskinan perempuan dalam kesempatan untuk mengakses pendidikan, kesehatan, atau pun perekonomian masih lemah. Keadaan di atas tentu membuat perempuan sangat tergantung pada pihak yang memiliki akses dan kekayaan dan tidak bisa memutus kekerasan yang menimpa pada dirinya.
Untuk menuntaskan problem klasik perempuan itu, maka kata kuncinya tak lain adalah kemandirian ekonomi perempuan. Atau dalam bahasa sederhananya, perempuan pun harus memiliki usaha yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain kemandirian ekonomi, kemandirian politik, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk agama dan sekian kemandirian yang lain bisa menguatkan posisi perempuan di dalam terpaan problem kehidupan.
Khadijah adalah salah satu tauladan yang luar biasa bagi kita. Ia perempuan kaya yang mengelola sendiri perusahaannya. Dengan kemandirian ekonominya, ia menjadi pribadi perempuan yang dapat lebih bebas mendukung syiar nabi Muhammad SAW. Di zaman sekarang, potret Khadijah sebenarnya dapat ditemui di sekitar kita.
Tetapi jumlahnya sangat kecil. Perempuan-perempuan itu banyak yang masuk di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah dan juga sektor informal. Kelompok usaha kecil dan menengah di Indonesia mencakup 99 % dari seluruh usaha di Indonesia. Dan dari 99 % di atas, 35 % UKM skala kecil dan menengah di gerakan oleh perempuan (dari berbagai sumber). Ya, merekalah Khadijah zaman kini.
Di tingkat desa dan kota, sudah ada potret perempuan-perempuan yang mandiri. Mereka biasanya memiliki usaha-usaha kecil seperti dagang telur asin, toko kelontong dan sayur-mayur dan sekian sektor lainnya. Untuk bentuk solidaritas atas sesama dan niat untuk membesarkan usaha mereka, biasanya mereka berkumpul untuk berorganisasi.
Di sinilah mereka membentuk koperasi simpan pinjam, arisan, pengajian, saling menginfokan usaha mereka dan menyuplai (menjual hasil usahanya) kebutuhan masing-masing anggota –terutama ketika ada hajatan, bertukar pendapat soal hambatan usaha, dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.
Untuk menjadi mandiri dalam hal ekonomi, memang banyak faktor yang menghalangi. Faktor budaya selama ini melihat kemandirian ekonomi perempuan sebagai hal yang tidak menguntungkan laki-laki. Dengan pemahaman lain, jika perempuan mandiri, perempuan bisa ”membangkang” terhadap suami. Tentu saja alasan ini tidaklah pas. Apakah Khadijah justru membangkang nabi dengan kekayaannya? Tidak, Khadijah menjadi pendonor dan pelindung nabi ketika semua orang menentangnya. Ia juga yang pertama meyakini ajaran nabi Muhammad. Justru kemandirian ekonomi perempuan bisa membuat siklus kebutuhan (pendapatan dan pengeluaran) rumah tanga tidak terlalu terganggu jika salah satu sumber pendapatan terputus, semisal suami di PHK atau usaha suami sedang gulung tikar atau pun ketika suami meninggal dunia.
Faktor penghambat yang lain adalah berbelitnya administarasi pengurusan izin usaha, susahnya mendapatkan akses modal atau perkreditan untuk usaha kecil, minimnya skill managemen, akses pasar, tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan, dan sekian problem yang lain. Saat ini, problem-problem ini sudah banyak diatasi oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah.
Berbelitnya administrasi diatasi dengan perizinan satu atap dan mekanisme lain yang ramah terhadap perempuan pengusaha oleh pemerintah. Sulitnya modal kecil diatasi oleh banyak pihak yang memberikan pinjaman modal usaha bagi para pengusaha kecil. Adaya mekanisme dana bergulir dan sekian sistem permodalan yang sudah sangat membantu.
Selain itu banyak juga LSM yang memfasilitasi forum-forum yang mengupas bagaimana penggalangan (mencari) dana bagi usaha kecil. Pelatihan untuk keterampilan managemen, pelatihan advokasi kebijakan yang terkait dengan problem-problem yang dihadapi oleh para pengusaha kecil, pelatihan teknik-teknik lobi yang efektif, pengembangan usaha, pembukuan, memperkenalkan mekanisme dana bergulir, mendorong agar perempuan memformalkan usahanya dan mendaftarkan usahanya atas namanya sendiri, bukan nama suaminya, membuka tempat konsultasi usaha, dan sekian pelatihan serta advokasi (pembelaan) yang lain guna mendukung kemandirian perempuan.
Soal akses pasar, ada organisasi Forda UKM Maros di Sulawesi yang berhasil mengadvokasi pedagang-pedagang kecil untuk bisa membuka kios di bandara sehingga mereka bisa mendapatkan akses langsung dari para pengunjung dari luar Sulawesi Selatan.
Berbicara soal kemandirian, Allah pun juga mendorong agar laki-laki dan perempuan juga sama-sama memiliki kemandirian dan pendapatan. Karena dengan pendapatan yang di milikinya, ia pun bisa beramal (membantu sesamanya) dengan mandiri dan lebih baik. Karena amal (sumbangan) yang dikeluarkan oleh suami akan dicatat sebagai amal suami, bukan amalnya sang istri. Begitu juga sebaliknya.
Dan tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan melakukan kerja-kerja postitif adalah kewajiban suami dan istri seperti yang disampaikan dalam Q.S. An Nahl, 16: 97. Selain itu, seruan atas kemandirian ekonomi perempuan juga disampaikan Allah dalam Q.S. An-Nisa, 4:21, ”Bagaimana kamu (tega) mengambilnya (harta istri dari mahar) padahal diantara kamu sudah berhubungan intim, dan mereka (istri-istri) telah menerimanya (mahar) dari kamu sekalian melalui perjanjian (pernikahan) yang kokoh”. Hayo tunggu apa lagi, saatnya kini perempuan modern harus mandiri seperti Khadijah.
*Penulis: Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS
Sumber http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=140%3Amentauladani-kemandirian-khadijah&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111
Mantap
BalasHapus