Rabu, 29 September 2010

Berkaca Pada Lidi

Di sebidang halaman yang tak begitu luas, tanahnya ditumbuhi sepohon nangka sepuh yang bersanding bersama serumpun bamboo dewasa yang batangnya mulai meninggi, menjulang ke langit. Daunnya yang lebat nan rindang meneduhi tanah alasnya dari sengatan surya. Sementara tanahnya tampak kusut digenangi guguran dedaunan kering yang berbagi tempat bersama sampah plastic, serta beruntai lidi yang berurai bertebaran. Datanglah seorang kakek dengan menenteng sebungkus rokok di satu tangan dan gulungan tikar di tangan lainnya. Sesampai di dekat pohon sang kakek berhenti sejenak, bola matanya bergerak kekanan dan kekiri, mengamati keadaan sekitar dirinya berpijak, sebelum kembali mengayunkan langkahnya menghampiri pohon nangka.

Dibatang pohon, disandarkannya gulungan tikar yang dibawanya, dan ditaruhnya bungkus rokok persis disebelahnya. Dengan tangan keriputnya, dipungutnya batang demi batang lidi yang berurai, disatukannya dalam satu ikatan, dan di kuncinya dengan simpul mati. Dengan seikat lidi tersebut disapunya tanah kusut, digiringnya dedaunan kering beserta sampah plastic menjadi satu tumpukan sampah untuk selanjutnya dibakar.

Dengan sisa tenaga senja yang disepuh dengan kebijaksanaan yang matang, uraian lidi yang mengortori halaman sebagaimana sampah kering lainnya, ditangan sang kakek di ubah menjadi sarana yang mampu merobah keadaan(dari yang tadinya kumuh menjadi bersih asri).

Dalam kondisi awalnya yang berserakan, seuntai lidi hanya menjadi beban lingkungan yang mengotori sebagaimana sampah lainnya. Keadaan jauh berbeda ketika batang demi batang lidi terikatkan dalam satu kesatuan yang utuh, dengan kesatuan seikat lidi menjadi sapu yang menyeka segala sampah dan mewujudkan lingkungan yang asri.
Kurang lebih begitulah gambaran kita, sebagaimana nasib sang lidi. Tanpa adanya kesatuan yang kokoh, selamanya kita akan tercecer diantara derap langkah peradaban yang melaju begitu derasnya. Jangankan membidani perubahan, eksistensinya saja tak ternilai, bahkan tak ubahnya daki peradaban(meminjam isrilah Buya Syafii) hanya akan menjadi beban sejarah peradaban manusia.

Disini, kata kuncinya adalah kesatuan. Kesatuan yang dibangun diatas lahan kearifan moral yang lapang dan kejujuran hati dengan wahyu ilahi sebagai bingkainya. Karena persatuan hanya akan terwujud jika kita bersedia membuka mata, mengakui adanya keragaman, untuk kemudian dengan kearifan moral berkenan menghargai kelompok yang berbeda, selanjutnya bangunan ini akan sempurna dengan wahyu langit sebagai pagar yang membingkainya.

Sayangnya, nampaknya cita-cita kesatuan itu masih terlampau melangit dari bumi realitas. Sejarah mencatat (tanpa bermaksud terjebak dalam determined retrospectif), manusia kebanyakan cenderung lebih suka perpecahan daripada persatuan. Jika tidak, tak akan akan mungkin ada konflik atas nama agama, ras, etnis, atau bangsa, termasuk perang dunia baik I maupun II yang memilukan. Senyatanya, sejarah peradaban manusia tak pernah luput dari pertumpahan darah(entah apapun motif yang melatarinya).

Dalam sejarah islam(Tarikh) sendiri, segera setelah Rasul wafat, hampir saja para sahabat bertengkar di Saqifah Bani Sa’adah. Ketika Utsman berkuasa, perpecahan memuncak dengan terbunuhnya sang Khalifah R.A. Sementara pada periode berikutnya, Ali R.A di hadapkan pada pemberontakan Aisyah dan sahabat lainnya. Segera setelah Aisyah dipadamkan, giliran Mu’awiyyah yang menyerang. Perpecahan seperti ini terus berulang dalam sejarah Islam.

Jika memang demikian, benarkah ini takdir?benarkah perpecahan memang sudah menjadi fitrah bagi manusia? Yang jelas, pilihan ada di tangan kita, akankah kita melebur dalam satu kesatuan utuh dan menjadi kekuatan utama mampu mendobrak kejumudan peradaban, atau tetap terserak dan tercecer di buritan peradaban? Silahkan pilih yang mana saja.
(Pernah dimuat dlm buletin Bening, Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings