Sabtu, 11 September 2010

Menyoal Sekolah (Belum) Gratis*

'Kebijakan sekolah gratis bergantung pada komitmen kota atau kabupaten. Kalaupun ada pendidikan gratis, yang digratiskan adalah biaya operasional, sedangkan biaya di luar itu tetap menjadi beban orangtua.' Demikian tutur Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang banyak dilansir oleh sejumlah media.

Pernyataan Menteri Pendidikan di atas menegaskan bahwa sekolah dasar tidak akan gratis jika pemerintah daerah tidak mendukung kebijakan di tingkat pusat. Alasannya cukup klasik, mulai terbatasnya anggaran pemerintah daerah hingga tidak adanya komitmen Pemda pada persoalan pendidikan di daerah masing-masing. Bagaimana kenyataannya?

Meski kota pelajar ongkos pendidikan di Yogyakarta sangat mahal. Tak heran, bila sektor pendidikan sensitif untuk dijual oleh oknum tertentu. Lain Kota Gudek, lain pula yang lain. Senyatanya, tanggapan tiap kabupaten berbeda-beda terhadap konsep Sekolah Gratis dari pemerintah pusat.

Bila pemerintah Kota Yogyakarta meresponnya dengan adanya KMS (Kartu Menuju Sejahtera) untuk menanggulangi akses pendidikan bagi warga miskin. Sementara di Kabupaten Sleman masih mulai berbenah. Ini kita belum berbicara dengan kabupaten lain yang belum menunjukkan respon menggembirakan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat tak populis ini.

Bagaimana dengan propinsi lain? Keadaannya tak jauh beda dengan di atas. Maka, jangan harap Sekolah sudah Gratis. Hal ini senada dengan yang disampaikan menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, tanpa dukungan dari pemerintah daerah maka sekolah gratis tidak akan terwujud.
Pernyataan Menteri Pendidikan itu, menunjukkan adanya batasan terhadap 'penggratisan' yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Memang, putusan Menteri Pendidikan tersebut jika dipikir cukup rasional—karena di era otonomi daerah ini, pemerintah pusat sangat kesulitan untuk menetapkan satu keputusan yang sama di tingkat pusat dan daerah.

Ini terjdi karena daerah memiliki hak untuk membawa daerahnya sesuai dengan apa yang dibayangkan sendiri. Pada titik ini terdapat celah besar dimana konsep Sekolah Gratis dari Pemerintah Pusat tidak akan bisa dilaksanakan di tingkat daerah. Dari sini dapat dilihat, peraturan pemerintah pusat tentang pengendalian pungutan biaya operasional di SD dan SMP Swasta yang tidak berlebihan dan pemberian sanksi terhadap sekolah yang melanggar, dan pendataan siswa miskin yang sekolah di sekolah Swasta untuk mendapatkan haknya tidak bisa terwujud.

Pada kenyataannya, berdasarkan pemantauan yang diselanggarakan oleh elemen Pokja Pendidikan Gratis DIY, kekhawatiran penulis di atas ternyata terjadi. Dalam masa pelaksanaan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) tahun 2009 di DIY terdapat pungutan-pungutan liar di sekolah. Diantaranya, pungutan pembuatan kanopi dan pengadaan sarana prasarana lain yang seolah-olah 'diada-adakan'.

Selain itu, biaya daftar ulang sekolah juga masih sangat ambigu. Seharusnya biaya ini diambilkan dari BOS dan tidak boleh melakukan pungutan lagi. Sementara itu, biaya daftar ulang tidak hanya ditimpakan kepada siswa baru saja. Tetapi juga diperuntukkan kepada siswa kelas satu dan kelas dua yang naik ke tingkat atasnya.

Tentu, hal ini luput dari pantauan keputusan Menteri Pendidikan. Dan dalihnya, bagi sekolah, biaya tersebut bersifat suka rela tetapi tidak ada pemberitahuan dari sekolah terkait dengan sifat biaya daftar ulang. Sehingga, orang tua siswa tetap wajib mengalokasikan untuk biaya tersebut dan sesuai dengan besaran yang ditetapkan sekolah.

Fakta miris ini, seharusnya menyadarkan Pemerintah untuk memberlakukan sanksi tegas. Walau sudah ada Surat Edaran Menteri No.186/ MPN/ KU/ 2008 ini tidak cukup memberikan sanksi yang membuat jera sekolah. Jika sanksi berupa uang, maka bisa ditebak, sekolah akan dengan mudah membayarnya dan mengulangi kembali pelanggaran di masa datang.

Menyadari hal itu, maka perlu sanksi yang lebih tegas seperti penutupan sekolah sampai waktu yang ditentukan dan harus mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Problem lain yang terjadi di DIY adalah adanya pemalsuan akta kelahiran. Pemalsuan ini dilakukan terkait dengan keinginan orang tua murid dan diketahui oleh pihak sekolah agar anaknya bisa masuk SD dengna usia dibawah 7 tahun. Praktek ini jelas melanggar peraturan pemerintah Kota yang memprioritaskan anak yang telah berusia 7 tahun untuk bisa masuk SD.

Dan persoalan tidak adanya transparansi dari program KMS Pemkot Yogyakarta mengakibatkan orang tua murid kebingungan untuk mendapatkan informasi terkait prosedur pendaftaran. Ini terjadi karena Pemkot dalam hal sosialisasi informasi tidak disebarkan langsung ke sekolah atau tempat-tempat strategis lainnya yang dengan mudah orang tua siswa bisa mengetahui dan melakukan tindakan yang tepat.

Dampaknya, hak KMS yang dipunyai jadi 'hangus' karena pendaftaran telah tutup. Problem lainnya adalah beasiswa untuk siswa msikin ini ternyata masih menggunakan standar nilai tertentu, yakni NEM sebesar 21 ke atas. Hal ini menunjukkan betapa program KMS (begitu pula dengan Sekolah Gratis Pemerintah Pusat) belum menganut azas pemerataan dan keadilan. Buktinya, masih terlihat ada marginalisasi bagi siswa yang bodoh dan miskin. Bagi siswa yang punya kategori ini, jangan pernah bermimpi bisa mengakses beasiswa yang diberikan pemerintah. Di sini, peran negara untuk mencerdaskan bangsanya tidak pernah dipenuhi.

Di sisi lain, secara umum, belum terlihat adanya upaya dari sekolah swasta untuk mengimplementasikan seluruh kebijakan Menteri Pendidikan Nasional di atas. Terbukti, di lapangan ditemukan masih adanya sekolah swasta yang membebaskan pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Bisa dipastikan masih banyak siswa miskin di sekolah swasta yang belum mendapatkan manfaat dari konsep Sekolah Gratis Pemerintah Pusat. Di sini, dituntut pula peran Dinas Pendidikan setempat untuk melakukan pemantauan dan 'jemput bola' atau meminta kepada sekolah swasta untuk mendaftar siswanya yang dinilai patut mendapatkan subsidi pemerintah pusat dan daerah.

Jika kebijakan ini tak dilakukan dan semua bungkam, maka angka siswa putus sekolah dan angka anak tak bersekolah semakin tinggi dikarenakan mahalnya biaya pendidikan di zaman kini. Lantas apa arti Pendidikan Gratis?

Penulis:Mar’atul Uliyah, Sekretaris Pokja Pendidikan Gratis DIY dan Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS

Sumber http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=138%3Amenyoal-sekolah-belum-gratis&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings