Kamis, 28 Oktober 2010

DPR Pemburu Etika*

Di tengah gencarnya protes publik terhadap kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk belajar etika demokrasi ke Yunani, 23-26 Oktober, terngiang juga kritik Gus Dur yang menyamakan DPR dengan TK, taman kanak-kanak.

Dari sisi mana pun orang menilai kunjungan itu tak bermanfaat. Yunani kini merupakan negara yang nyaris gagal di Eropa. Budaya korupsi dan upeti telah lama menyandera negara itu hingga tak dapat bangkit sebagai bangsa yang patut dicontoh.

Memang pada abad-abad sebelum Masehi bumi Yunani telah melahirkan nama-nama besar: Protagoras (490-420 SM), Hippokrates (460-370 SM), Sokrates (469-399 SM), Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Epikurus (341-270 SM), dan masih ada yang lain.

Namun, di abad modern hampir tak ada yang layak dipelajari di sana. Jika publik menilai kunjungan itu sia-sia, memang demikianlah adanya, kecuali jika anggota DPR ingin membandingkan teknik korupsi dan manipulasi rencana pembuatan anggaran belanja di Indonesia dan di Yunani. Itu baru klop! Kedua negara sama-sama rapuh dalam hal etika politik.

Di antara nama-nama di atas, adalah Aristoteles yang banyak bicara tentang etika dan pemikiran politik berdasarkan prinsip teleologis: ada tujuan yang hendak dicapai dalam bernegara. Namun, bagi Aristoteles, sistem kerajaan adalah bentuk pemerintahan terbaik, bukan demokrasi. Apakah anggota DPR itu ingin mengubah demokrasi menjadi kerajaan?

Jika di Athena kuno ada demokrasi, itu hanya untuk segelintir warga negara yang berstatus merdeka dan kaya. Selain itu budak. Tanpa sistem perbudakan sebagai penyanggah kekuasaan, tidak akan pernah ada demokrasi di Athena. Rakyat Indonesia adalah manusia merdeka, bukan budak yang dapat diperlakukan semau gue. Mohon DPR mempertimbangkan fakta sosiologis ini dengan sungguh-sungguh!

Rakyat marah? Sangat masuk akal karena perilaku sebagian anggota DPR memang tidak senonoh dan memuakkan. Saya tidak tahu virus macam apa yang bekerja dalam otak mereka yang membuat publik terluka.

Buka Google saja

Jika hanya urusan seperti di atas itu yang ingin dipelajari, mengapa harus pergi ke Yunani dengan memboroskan uang negara? Buka saja internet dan tanya Mbah Google, semua jawaban akan ke luar dalam hitungan detik, hampir tanpa ongkos. Namun, jika yang ingin dilihat adalah bumi yang pernah melahirkan pemikir-pemikir besar, apa urgensinya bagi Indonesia yang kini sedang sarat dengan berbagai masalah yang belum terpecahkan?

Jawabannya adalah bahwa sebagian anggota DPR kita memang telah kehilangan kepekaan tentang tugas mereka di Senayan. Bukan karena mereka murid TK, tetapi jangkauan visinya tidak melebihi halaman rumah dan tuturan atapnya.

Sistem demokrasi Indonesia yang berlaku sekarang telah melahirkan manusia-manusia pendek akal dan sangat pragmatis. Semua partai memiliki manusia-manusia tipe ini, sering menjual kepalsuan meraih tujuan-tujuan rendah. Manusia tipe inilah rupanya yang ingin memburu etika ke Yunani.

Dalam artikel ”Tersesat di Muenchen” (Kompas, 14 Agustus 2010, saya menyebut seorang sopir Yunani yang mengantar saya ke hotel di saat senja. Ketika saya menyebut nama-nama besar di atas, sopir ini dengan santai mengatakan, ”Dulu memang hebat, sekarang rakyat Yunani itu bodoh.”

Ternyata sopir yang mencari nafkah di Muenchen ini sudah tidak lagi bangga dengan negerinya, sementara anggota DPR kita masih bersikukuh bahwa kunjungan ke Yunani mempunyai manfaat yang besar. Lain sopir, lain pula anggota DPR kita.

Patah harap

Ada apa sebenarnya di balik kemarahan publik ini? Bukan karena mereka tak percaya kepada sistem demokrasi lalu ingin kembali ke sistem politik otoritarian yang menggusur kebebasan. Sama sekali bukan! Mereka marah dan hampir patah harap karena elite bangsa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) berlindung di balik selimut demokrasi menyalahgunakan sistem ini demi sesuatu yang mengingkari tujuan demokrasi: keadilan dan kesejahteraan umum.

Inilah inti masalah yang sangat serius, tetapi sering dipandang enteng para elite yang tak sadar diri itu. Rakyat sudah lelah dengan pertunjukan berbagai kepalsuan atas nama demokrasi. Sebagai warga tua, saya sangat gerah menonton perilaku politik yang tunamoral itu. Agama mengajarkan agar saya jangan putus asa sebab saatnya pasti akan datang ketika elite bangsa ini melepaskan segala atribut kepalsuan dan kembali kepada otentisitas manusia Indonesia yang bersikap adil dan beradab, sebagaimana diminta oleh sila kedua Pancasila.

Lawan adil adalah zalim, lawan beradab adalah biadab. Kezaliman dan kebiadaban adalah di antara musuh utama yang harus dihalau dari bumi Indonesia merdeka.

*Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/27/04340598/dpr.pemburu.etika

Read More..

Rabu, 27 Oktober 2010

Disharmoni Dewan-Rakyat:ancaman serius demokrasi

Ditengah meningkatnya derajat kesangsian public atas kinerja wakil rakyat, rombongan badan kehormatan DPR RI nekat juga terbang ke Yunani meski berbagai kalangan mengecam keras rencana studi banding ini. Alih-alih menunjukkan prestasi kerja untuk merebut hati rakyat, para anggota dewan justru berlomba melakukan hal konyol yang menambah panjang daftar kebijakan controversial wakil rakyat di mata public.
Kontroversi ini pun mengundang perhatian luas dari public, berbagai media cetak mengupasnya dalam headline, sementara media elektronik tak henti membincangnya dalam acara talk show, bahkan ada sekelompok massa yang merencanakan aksi boikot keberangkatannya di Bandara. Umumnya mereka mempertanyakan kebijakan controversial karena dianggap tak substansial. Namun meski suara kecaman makin bergema, tampaknya tak ada satupun yang sampai di telinga para anggota dewan. Sikap dungu dan tak mau tahu anggota dewan yang terhormat ini pun makin mengikis kepercayaan publik disatu sisi, sekaligus mempertebal skeptisme public atas lembaga perwakilan ini disisi lainnya.

Dalam system demokrasi dimana suara rakyat diwakili melalui institusi perwakilan ini, sejatinya dewan hanyalah kepanjangan tangan dari rakyat, kekuasaan yang dimiliki hanyalah amanah rakyat, dan suara yang diperjuangkan pun adalah wujud artikulasi dari kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan, atau kepentingan pribadinya. Sehingga rakyat benar-benar terwakili oleh dewan, dan kepentingan rakyat sungguh terealisasi dalam paket kebijakan public yang berpihak. Namun sayang seribu sayang, tampaknya harapan luhur ini masih jauh panggang dari api, karena yang terjadi justru kebutuhan rakyat terbenam oleh ketamakan elit yang pongah, kekuasaan hanya menjadi alat pemuas nafsu serakah elit dan ekspektasi akan demokrasi yang ideal pun masih betah menggantung di langit tinggi, tak kunjung mendarat di bumi realita.

Demokrasi yang di idealkan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat tak mampu menghasilkan efek apapun bagi kesejahteraan rakyat. Alih-alih terwujud kesejahteraan, yang terjadi justru kepentingan public terbenam oleh kepentingan segelintir anggota dewan, dan aspirasi rakyat tersandera di bawah ketiak partai politik yang makin hilang arah. Parodi demokrasi Indonesia mempertontonkan paradox dimana realisasi dilapangan sama sekali bertolak belakang dengan idelita yang mendambakan demokrasi sebagai Regierung der Regierten (pemerintahan dari yang diperintah). Wajar jika tingkat kepercayaan public makin hari makin melorot oleh karena sikap elit yang makin konyol saja.
Fenomena ini mungkin bukan sesuatu yang luar biasa, namun jika terus berlangsung demikian, hal ini bias menjadi ancaman serius bagi pilar demokrasi. Disharmoni relasi dewan dan public bias menimbulkan efek korosif yang luar biasa destruktif bagi pondasi bangunan demokrasi yang sedang dibangun bangsa ini. Sebagai pemegang kuasa representasi public, kepercayaan rakyat merupakan prasyarat utama yang harus dimiliki sekaligus dijaga setiap anggota dewan baik secara personal maupun institusional. Karena jika tidak demikian, maka akan terjadi kesenjangan antara wakil dan yang terwakili, artinya representasi dewan atas rakyat adalah sesuatu yang semu karena rakyat tak merasa terwakili oleh dewan perwakilannya. Jika sudah sampai pada titik ini maka terjadilah awal dari bencana demokrasi. Tak ada seorangpun di negeri ini yang masih sehat nalarnya yang menginginkan hal ini terjadi, pastinya
Maraknya parlemen jalanan -entah apapun bentuknya-, baik demonstrasi mahasiswa, maupun protes massa dalam sekala akbar, merupakan gejala yang bisa dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan lunturnya kepercayaan public atas wakilnya di DPR. Karena tak merasa aspirasinya tersuarakan oleh wakil rakyat, lantas public merasa harus turun sendiri meneriakkan segala kegundahannya atas realita social dinegeri ini yang tak kunjung membaik. Semestinya hal ini bias dijadikan sebagai teguran bagi para anggota dewan untuk segara berputar arah, kembali ke jalan yang benar, rebut kembali hati rakyat dengan menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan public melalui kerja prima untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan pada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

Read More..

Rabu, 20 Oktober 2010

Transmisi Gerakan Islam Politik di Indonesia*

Tahun 1980-an merupakan bagian penting dari perkembangan Islam di Indonesia. Pada tahun 1980-an ini, di kampus-kampus yang tidak berbasis keislaman seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Univ. Brawijaya berkembang kelompok kelompok pengajian kampus, yang sering disebut sebagai Gerakan Dakwah Kampus, jamaah mushola, usrah-usrah, kelompok tarbiyah, dan halaqah.

Kelompok-kelompok gerakan Islam Kampus ini sekurang-kurangnya mempunyai cirri-ciri memanjangkan jenggot (yang dianggap sebagai bagian dari sunnah Nabi), memanjangkan jilbab yang sebelumnya pemakaian jilbab hanyalah identik dengan krudung (kerudung Mbak Tutut/Ibu Shinta Abdurrahman Wahid), belakangan berkembang menjadi jilbab Astri Ivo, Inneke Koesherawati, Desy Ratnasari, Ratih Sanggarwati, bahkan sebelumnya jilbab dan mukena Krisdayanti bagi kelompok jamaah pengajian kampus yang perempuan.

Sementara untuk kelompok laki-lakinya, selain memanjangkan jenggot, memakai pakaian congklang dan baju gamis (kita bilang baju koko), menghitamkan jidad, dan memanggilnya dengan sebutan “ana” untuk saya dan “antum” untuk anda atau kamu. Dua kosa kata ini hampir senantiasa dipakai oleh kelompok jamaah pengajian kampus sehingga membedakan dengan kelompok jamaah lainnya. Bahkan ada yang menyebutnya dengan panggilan “ikhwan” dan “akhwat”, identifikasi pada Ikhwanul Muslimin.

Perkembangan kelompok tarbiyah, halqah, usrah, dan gerakan dakwah kampus ini terus berkembang dan merebak hampir ke seluruh elemen masyarakat Islam di Indonesia. Gerakan tarbiyah (untuk menyebut seluruh kelompok dalam tulisan ini), sejak tahun 1998, pasca tumbangnya Soeharto mendirikan Partai Keadilan yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera, sebab tahun 1999 tidak memenuhi electoral threshold, sehingga merubah Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Jika kelompok tarbiyah (kemudian mendirikan Partai Keadilan) sekarang PKS, sebagai transmisi dari Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna, maka ada kelompok lain yang sejak awal memang menyebut partai politik yakni Hizbut Tahrir Indonesia, yang merupakan bagian dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani di Jordania. Dua-duanya merupakan gerakan Islam politik yang memiliki basis massa pada kelompoknya masing-masing, hanya belakangan dalam menyebarkan gagasannya dibungkus dalam gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, seperti yang dilakukan Muhammadiyah dan NU.

Dua kelompok Islam inilah yang dalam dalam tulisan ini akan diperjelas dalam hal gerakan yang dilakukan dalam mengembangkan sayapnya di masyarakat Islam Indonesia dan muara dari seluruh gerakannya, sekalipun dalam berbagai bentuknya yang manipulatif, sehingga membuat sebagian umat Islam (Muhammadiyah dan NU) terutama anak-anak mudanya tergiur untuk mengikutinya dengan tawarantawaran yang disampaikan, yang seakan-akan lebih bagus dan memadai, serta memiliki peran lebih hebat dari Muhammadiyah dan NU dalam memberikan kontribusi buat Islam dan Indonesia.

Strategi Gerakan
Gerakan tarbiyah (PKS) menjadi memiliki pengaruh yang agak kuat di masyarakat sejak tahun 1990-an, apalagi sejak keterlibatan alumnialumninya dari Timur Tengah. Ada perubahan - perubahan metode, materi, dan nama atas identitas gerakan tarbiyah ini, terutama sebelum reformasi berlangsung. Namun perubahan terus dilakukan pada saat reformasi telah berlangsung 1998. Gerakan tarbiyah melakukan gerakan pada masyarakat dengan berbasiskan masjid-masjid, semula dari masjid kampus sebagaimana awal pendiriannya. Masjid Salman ITB adalah cikal-bakal gerakan tarbiyah berlangsung di Indonesia.

Gerakan ideologisasi dilakukan dengan dua stragei besar. Pertama, persebaran gagasan Islam yang mereka kemas untuk masyarakat umum secara luas. Gerakan yang mereka lakukan dengan cara penyelenggaraan program peribadatan, seperti training ke-Islaman di sekolah-sekolah berupa training Islam untuk pemula (Islamic training for beginner), kajian fikih perempuan (fikh nissa), bimbingan belajar, kursus-kursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan buku-buku yang seideologi, memberikan ceramah-ceramah (gratis), termasuk menyediakan khatib yang siap pakai, pembinaan anak-anak (TK-SD), belakangan dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TK-IT) yang jumlahnya ratusan sehingga bersaing dengan TK ABA (milik Aisyiyah) dan TK Raudhatul Athfal (milik Muslimat NU), memberikan kursus-kursus pada ibu-ibu rumah tangga, kursus kursus untuk remaja Muslim, pengiriman buku-buku, stiker, selebaran pada masyarakat (ke rumah-rumah), penterjemahan buku-buku berbahasa arab yang se ideologi (Ikhmanul Muslim), program penerbitan buku-buku Islam, dokumentasi kegiatan, dan konsultasi-konsultasi.

Kegiatan-kegiatan di atas dikemas sedemikian rupa sehingga yang baru pertama mendengar dan melihat pasti akan tertarik, bahkan menyangka sama dengan gerakan dakwah Islam yang dilakukan Muhammadiyah dan NU. Tetapi jika diikuti dan diamati lebih jauh sebenarnya bukan saja menyamai program dakwah Muhammadiyah dan NU, tetapi malah mengambil alih program dakwah Muhammadiyah dan NU, dengan memanfatkan jamaah Muhammadiyah dan NU yang telah dibina oleh dua persyarikatan terbesar di Indonesia tersebut.

Hal itu yang hemat saya perlu dicermati dan diwaspadai, sebab sebagai gerakan politik, etika biasanya adalah omong kosong, yang penting dapat mengelabui masyarakat yang sedang diarahkan (digiring agar mengikuti) ideologinya. Nanti jika sudah menjadi jamaahnya, maka bukan suatu hal yang mustahil akan berbalik untuk menjelekkan kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam membangun masyarakat yang bermartabat, memiliki nilai-nilai moralitas (etika) yang bagus, dengan menafikan apa yang dikerjakan Muhammadiyah dan NU dengan menegasikan bahkan konfrontasi dengan tuduhantuduhan apa yang dilakukan Muhammadiyah dan NU sekarang sudah tidak mencukupi dan tidak relevan untuk Islam Indonesia.

Kedua, strategi kaderisasi, yakni dengan melakukan training training yang intensif untuk anak-anak, remaja, dan mahasiswa. Studi Islam Intensif, Latihan Mujahid Dakwah dan Training untuk Pembina, dilakukan secara berjenjang dan benar-benar intensif, seperti pemberian materi tentang shalat, puasa, zakat dan haji, di samping Iqra. Oleh sebab itulah, tidak heran bila kelompok tarbiyah (PKS) menyediakan pendidik-pendidik Iqra untuk anakanak, guru-guru TK, SD dan SMP sampai juru masak untuk ibu-ibu dan remaja Muslim di lingkungan Muhammadiyah danNU.

Dalam perkembangannya, sejak tahun 1990-an, sistem gerakan tarbiyah mengalami perkembangan yang lebih mengerikan, seperti mengadakan pertemuan-pertemuan (liqa), dauroh, rihlah (wisata), mabit (kegiatan malam), mukhoyyam (berkemah), seminar, dan bedah buku. Kegiatan malam belakangan bahkan mengarah pada konsultasi penyakit dan pengobatan dengan praktek mendekati perdukunan dengan mantra-mantra (rukyah) pengusir demit. Selain strategi ini, gerakan tarbiyah juga menggunakan media massa untuk mensosialisasikan gagasangagasannya. Jika tidak bisa menerbitkan majalah sendiri maka mengusai media yang sudah ada dengan mainstream gagasan yang didesakkan pada edisi-edisi tertentu, sehingga masyarakat pembaca melihat apa yang menjadi gagasannya, sekaligus dengan mendompleng (masuk) dalam majalah jamaah lain seperti majalah milik Muhammadiyah (seperti Majalah Tabligh PP Muhammadiyah maupun milik NU) bseakan-akan Muhammadiyah dan NU membenarkan dan mendukung cara-cara yang mereka lakukan. Tidak perlu mengeluarkan biaya produksi, honorarium dan sebagainya, gagasannya dilihat oleh orang Muhammadiyah dan NU dan mendapatkan pembenar.

Stragegi di atas sebenarnya sudah meresahkan Muhammadiyah dan NU, tetapi bukan hanya itu, kita tahu sebagai gerakan politik, maka secara perlahan-lahan dalam rangka memperluas jaringan politik dan gerakannya, maka amal usahaamal usaha Muhammadiyah dan NU seperti sekolah-sekolah, masjidmasjid yang didirikan oleh Muhammadiyah dan NU dikelola oleh mereka dengan menyediakan khotibnya, gurunya untuk TK-SMP, bahkan ikut menjadi pengurus Muhammadiyah dan NU dengan identitas Muhammadiyah dan NU dengan dalih dalam rangka mengembangkan dakwah Islam amar m’ruf nahi munkar. Dan yang paling popular adalah pengamalan syariah Islam.

Dengan doktrin sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’rf nahi munkar dan pengalaman syariah Islam maka, orang Muhammadiyah dan NU terkecoh habis-habisan sebab tidak mungkin melarang orang Islam yang berdakwah Islam. Tetapi, hemat saya mulai saat ini, orang Muhammadiyah dan NU harus beanar-benar menyadari, sebab gerakan tarbiyah adalah gerakan politik praktis yang berkedok dakwah yang sungguhsungguh sangat berbahaya, karena bukan tidak mungkin akan melakukan pengambilalihan atas amal usaha yang sekarang kita miliki. Sebelum terlambat, hemat saya, warga Muhammadiyah dan NU harus bergerak secara bersamasama merapatkan barisan menentang cara-cara yang dilakukan kelompok tarbiyah dengan mengajukan pertanyaan kritis, untuk apa gerakan politik harus berkedok dakwah Islam, sebab sangat jelas mengaburkan dan memanfaatkan Islam untuk kepentingan kelompoknya bukan kepentingan semua masyarakat Islam.

Tidak berbeda jauh dengan gerakan tarbiyah (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia juga melakukan gerakannya dengan metode yang bervariatif, dengan materi yang beragam tetapi muaranya adalah politik Islam, yakni dengan mendeklarasikan khilafah Islamiyah di Indonesia. Beberapa gerakan yang dilakukan antara lain menggunakan tiga tahapan (marhalah). Pertama, marhalah tasqif (tahap pembinaan). Pada tahap ini yang dibentuk adalah kader-kader partai. Kedua, marhalah tafa’ul ma’a al ummah (tahap interaksi dengan masyarakat. Pada tahap ini kader partai diturunkan di tengah masyarakat. Mereka mengemukakan gagasannya dengan menjawab masalahmasalah yang muncul dengan simbol-simbol Islam, misalnya ekonomi Islam, politik Islam, partai Islam dan seterusnya sehingga Islam oleh masyarakat dianggap sebagai obat segala obat persoalan masyarakat yang demikian kompleks dan kontekstual. Islam dikemas agar “cespleng” dengan problem riil penduduk Indonesia, sekalipun tidak terjadi sampai saat ini. Ketiga, marhalah istilam alhukm (pengambilalihan kekuasaan). Setelah masyarakat diindoktrinasi dengan gagasangagasan yang diambil dari Taqiyuddin Nabhani diharapkan masyarakat menuntut pemberlakuan syariah Islam dan didirikannya Negara Islam.

Dalam menuju tiga tahapan aktivitasnya, ada beberapa kegiatan yang dikerjakan antara lain melalui jaringan dakwah kampus, menguasai masjid-masjid kampus, menyelenggarakan pengajian pengajian untuk umum, baik masyarakat, mahasiswa maupun pelajar sehingga yang tertarik akan dijadikan kader partai setelah dibina, mereka melakukan daurohdaurah dan halaqah yang diikuti oleh 10-15 orang. Dalam rekrutmen dan pengkaderan HTI memaki sistem stelsel, selain bila sudah menjadi kader dan datang dalam forumforum akan berupaya menguasai forum dengan menempatkan orangorangnya di semua sudut ruangan untuk berkomentar, bertanya, interupsi dan mendebat dengan bertubi-tubi.

Pengalaman diskusi di arena Muktamar Malang adalah bukti konkretnya. Selain pengalaman penulis di forum-forum seminar yang dihadiri aktivis HTI. Hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari Muhammadiyah dan NU adalah bahwa HTI sekarang telah masuk pada Muhammadiyah dan NU. Mereka menjadi pengurus di organisasi Muhammadiyah dan NU, bahkan belakangan menjadi idola di Muhammadiyah dan NU sehingga senantiasa diundang oleh anakanak dan orang-orang Muhammadiyah dan NU yang sejatinya tidak mengetahui siapa sebenarnya latar belakang narasumber tersebut.

Muaranya Politik Kekuasaan
Dari seluruh rangkaian kegiatan yang dibungkus dalam lebel dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, adalah bermuara pada politik sebagai tujuan akhirnya. Oleh sebab itu, sebenarnya yang mestinya dipahami sejak sekarang sebelum terlambat adalah gerakan politiknya harus kita sampaikan pada masyarakat sehingga masyarakat sadar bahwa yang dilakukan gerakan tarbiyah dan HTI adalah gerakan kekuasaan, bukan gerakan keislaman.

Beberapa tokoh gerakan tarbiyah (PKS) seperti Hidayat Nurwahid (Ketua MPR) dan tokohtokoh HTI, antara lain Adian Husaini, Ismail Yusanto, dan Al Khatat adalah masuk dalam jajaran pengurus Muhammadiyah. Di Yogjakarta. Mereka masuk di universitas - universitas u Muhammadiyah menjadi dosen di beberapa fakultas dan mengajar beberapa mata kuliah, termasuk keislaman.

Untuk melancarkan gerakan politiknya, gerakan tarbiyah membuat penerbitan seperti Majalah Sabili, Hiyatatullah, sampai malajah porno semacam POP, tetapi tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum; membentuk jamaah pengajian Sidiq, membentuk kelompok Nasyid, membentuk lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri, penerbitan Gema Insyani Press, Pustaka Al-Kautsar, RobbaniPress, Al-Ishlahy Press, I’tishom, Era Intermedia, As-Syamil, dan sebagainya.

Penerbitan-penerbitan HTI juga demikian banyak, tetapi lebih menyukai mendompleng dengan penerbitan yang sudah ada di organisasi Islam lain yakni dalam Muhammadiyah dan NU. Itulah, yang sekarang sedang kita hadapi, Muhammadiyah dan NU sedang menghadapi sebuah pertarungan besar yang mengatasnamakan sesama Islam dan dakwah Islam sehingga seringkali mengacaukan masyarakat tatkala akan bertindak tegas pada mereka. Padahal gerakan tarbiyah dan HTI sejatinya adalah gerakan politik kekuasaan.

*Dr. Zuly Qodir,Pengajar pada FISIPOL UMY
Sumber: Jurnal MAARIF Vol. 2, No. 4, Juni 2007

Read More..

Senin, 18 Oktober 2010

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN YANG MEMISKINKAN*

Persoalan kemiskinan di Negara ini semakin merisaukan. Masalah kemiskinan yang terus meluas di kalangan yang memang sudah miskin: buruh, petani, nelayan, pelaku sector informal, semakin kasat mata. Upah dan pendapatan kelompok marjinal ini semakin rendah dan semakin tak mampu mengejar lonjakan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok.

Salah satu kelompok yang sedang menghadapi pemiskinan adalah buruh di sector industri manufaktur. Apabila ditelusuri lebih ke hulu, kemiskinan buruh di sector industri sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua strategi dasar yang dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Kedua strategi tersebut secara sistematis telah memiskinkan buruh.

Politik upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk mengundang investasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence Unit, brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04), Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India’.

Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia mengingatkan kembali pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah kebijakan. Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global. Dalam kompetisi global, investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.

Politik upah murah telah terbukti menciptakan sulitnya kehidupan buruh karena nilai rata-rata upah mínimum sebesar Rp.892,160 hanya mampu membiayai 62,4 persen rata-rata pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-FES-TWARO 2009).

Prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam kebijakan ketenagakerjaan menunjukkan kepatuhan pemerintah terhadap tekanan kapitalisme global agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing dan magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa kerja menjadi sangat pendek melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun dan mempersempit peluang kerja di sektor formal bagi angkatan kerja usia produktif karena munculnya kecenderungan baru pada preferensi perusahaan untuk hanya mempekerjakan buruh yang berusia 18-24 tahun untuk alasan produktivitas. Sebuah studi di sektor metal menemukan bahwa sistem hubungan kerja yang fleksibel telah menurunkan upah buruh kontrak dan outsourcing hingga 26 persen terhadap upah buruh tetap.

Sistem yang sama telah mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20 persen karena dengan mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak perusahaan hanya perlu membayar upah pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi ketika hubungan kerja berakhir. Inilah sebabnya dalam lima tahun terakhir fenomena hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi sangat massif dan diterapkan di hampir semua sektor industri. Berbagai laporan dan hasil studi menunjukkan di berbagai perusahaan di sektor garmen dan logam serta elektronik saja misalnya pengurangan penggunaan buruh tetap dan menggantikannya dengan buruh kontrak terus terjadi.

Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh karena dengan sistem kerja kontrak, upah buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan dan berbagai tunjangan yang biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan.

Meskipun sistem kerja yang fleksibel berdampak negatif terhadap buruh tetapi rupanya masih dianggap belum cukup memberikan keleluasaan bagi modal sehingga peraturan ketenagakerjaan yang ada masih akan dikaji ulang dan dibuat kondisi yang lebih longar lagi dalam mempekerjakan buruh. Sekali lagi, sistem kerja yang lebih fleksibel diupayakan agar semakin banyak investasi asing yang datang.

Kecenderungan pada pemerintah yang lebih mempersoalkan masih kurang fleksibelnya pasar kerja dan menekankan aspek tenaga kerja sebagai penyebab tak kunjung kondusifnya iklim investasi, menunjukkan ketidakmampuan untuk mencari jalan keluar terhadap pokok penyebab biaya tinggi dalam berinvestasi di Indonesia yang bersumber dari buruknya infrastruktur dan birokrasi serta tingginya pungutan. Situasinya persis seperti kalimat para pengusaha di Bandung yang mengatakan bahwa ’lebih mudah menghadapi protes buruh daripada menghadapi birokrasi dan aparat pemerintah karena tuntutan aparat pemerintah di jaman otonomi daerah jika tidak dipenuhi justru akan menimbulkan lebih banyak masalah terhadap kelancaran usaha’.

Implikasi dan arah kebijakan

Politik upah murah dan ketiga prinsip yang menjadi warna utama kebijakan ketenagakerjaan di atas, apabila terus dipertahankan maka dalam waktu yang tidak terlalu panjang justru akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan menghapus kemiskinan. Upah murah dan ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Belajar dari berbagai negara yang berhasil meraih investasi dengan mengedepankan mutu angkatan kerja dan kesejahteraan buruh melalui penyediaan jaminan sosial, maka strategi mengundang investasi dengan menjual buruh murah seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia saat iini justru terasa sangat primitif dan memprihatinkan dan oleh karenanya harus ditinggalkan. Fleksibilitas pasar kerja memang merupakan gejala global akan tetapi di berbagai negara kebijakan tersebut selalu disertai dengan penyediaan jaminan sosial sebagai ’fall-back cushion’ atau jaring pengaman bagi buruh.

Di tengah iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang semakin menjauh dari posisi melindungi buruh sudah saatnya didekatkan kembali dan pemerintah adalah pihak yang seharusnya paling mampu untuk melakukannya. Menjadi negara yang ramah terhadap bisnis harus dipandang sebagai cara untuk mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan bukan untuk memiskinkan rakyat. Menjadi negara yang ramah terhadap investor dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi warganya merupakan sebuah peta jalan pembangunan yang sudah ditempuh juga oleh Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan Cina. Peta jalan tersebut dapat dilengkapi dengan kejelasan visi pembangunan bangsa dan arah untuk menempatkan negara di posisi terhormat di dalam konstelasi global. Persaingan global yang semakin ketat dan sengit hanya dapat dimenangkan oleh negara dengan pemerintahan yang kuat dan konsisten menegakkan peraturan yang bersemangat keadilan.

Ditulis Oleh: Indrasari Tjandraningsih
Sumber: http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini

Read More..

Jumat, 15 Oktober 2010

tell me why...?

A day with no gloryA heart filled with fear
Still repeating his-story to make ourselves clear
A voice is unheard when it shouts from the hills
Your king in his castle never died on these fields
There's blood on you hands
A smile on your face
A wicked intention when there's money to be made
A room with no windows and a heart that can't feel
Shame with no convictions and a view to a kill.

Tell me why?
Why must we fight?
And why must we kill in the name of what we think is right?
No more! no war!
Cause how do you know?

The hate in your eyes
The lies on your tongue
A hand that kills the innocent
So quick to do wrong
Your belly is full while we fight for what remains
The rich getting richer while the poor become slaves
We kill our own brothers
The truth is never told
If victory is freedom then the truth is untold
Surrender your soul just like everyone else
If love is my religion, don't speak for myself

How do you know?

I'm living this life
I'm given these lies
And how can i die for the name of what you think is right?
No more! oh lord!
How do we know?

Tell me why, POD

Read More..

Rekonstruksi Budaya Indonesia Menuju ke Arah yang Lebih Positif

Oleh: Jerry Indrawan*

Budaya adalah sebuah konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya sekaligus sebagai sebuah sistem simbol yang hidup di tengah-tengah masyarakat suatu bangsa. Sebagai sistem simbol, budaya mempunyai pengaruh ke seluruh sistem kehidupan sehingga muncullah berbagai macam budaya-budaya yang eksistensinya berhubungan erat dengan individu-individu atau pelaku-pelaku kebudayaan, yang tidak lain adalah kita sendiri.

Berkembangnya sebuah kebudayaan tentulah berhubungan erat dengan pelaku kebudayaannya, jika pelakunya memanifestasikan sikap baik maka dapat dipastikan kebudayaan yang berkembang pun akan menjadi baik, tetapi jika pelakunya menanamkan sikap buruk maka kebudayaan yang berkembang pun pastilah buruk. Karena itu jangan heran apabila budaya yang berkembang saat ini adalah budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Siapa yang salah? Ya kita semua sebagai pelaku kebudayaan itu, karena itu terserah kita mau membawa kebudayaan kita ini ke arah yang mana.

Jika kita bicara secara global, maka saya yakin bahwa budaya bangsa kita ini pastilah sudah mengalami benturan-benturan dengan berbagai budaya yang datang dari luar yang kadang malah bersifat destruktif dan perlahan menghilangkan unsur asli budaya kita. Tetapi saya yakin bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa kita, budaya Indonesia tetap punya fundamen yang kuat sehingga akar budaya kita tidak pernah tergusur oleh banyaknya unsur-unsur asing yang “menginvasi” budaya kita.

Dengan adanya globalisasi, westernisasi, Amerikanisasi, bahkan McDonaldisasi tampaknya akan membawa dampak buruk bagi eksistensi budaya kita. Hal ini dapat terlihat dari semakin bebasnya perdagangan antar negara sehingga membuat produk asli Indonesia kalah bersaing dengan produk luar karena lebih berkualitas dengan harga terjangkau. Belum lagi di era teknologi informasi seperti ini, akses untuk mendapatkan informasi sangat tidak terbatas sehingga membuka peluang untuk masuknya budaya-budaya liberal dari Barat yang tidak sesuai dengan etika ketimuran bangsa kita. Tetapi mengutip perkataan Bung Karno, “Belajarlah dari sejarah”, saya melihat bahwa sejak zaman dulu Indonesia adalah tempat silang budaya. Mulai dari budaya Barat, Islam, Hindu, Buddha, dan lain sebagainya berakulturasi di sini. Karena itu menurut pendapat saya, kebudayaan Indonesia akan tetap eksis bahkan diperkaya apabila kita mampu memfiltrasi semua budaya yang berkembang di Indonesia dengan baik.

Beberapa hal yang saya rasa perlu dikhawatirkan adalah merebaknya paham sekularisme dan materialisme. Sekularisme menipiskan atau mereduksi rasa ketuhanan bagi bangsa ini sedangkan materialisme telah memacu kebanyakan masyarakat kita menjadi konsumtif sehingga bergantung pada kekuatan-kekuatan kapitalis. Di samping itu, komunalisme juga menjadi isu yang signifikan. Contohnya seperti pertikaian agama, antaretnis, bahkan sampai tawuran antarkampung atau antarpelajar. Selanjutnya yang saya khawatirkan adalah proses kemiskinan yang sangat berdampak negatif bagi bangsa kita.

Oleh karena itu saya melihat masyarakat kita masih paternalistik dan masih merasakan budaya feodal yang kental. Maka dari itu perlulah sebuah pemikiran bagaimana kita merekonstruksi budaya kita melalui rekonstruksi mental yang dimulai dari para elitnya. Yang namanya elit kepemimpinan dalam sebuah bangsa sangatlah menentukan. Mereka bisa membuat sebuah bangsa mengalami kemajuan, tetapi juga bisa membuat sebuah bangsa mengalami stagnasi dalam perkembangannya.

Terus terang, saya ingin melihat budaya bangsa ini menjadi lebih produktif sehingga tidak tertinggal dibandingkan budaya bangsa-bangsa lain. Jadi mungkin semacam kode etik budaya, atau kode moral budaya dalam menyikapi hidup ini dari para pimpinan itu memang sangat penting. Sebagai sebuah analogi, saya melihat di Asia ini beberapa negara yang para elitnya menghargai budaya, bangsa mereka dapat cepat tumbuh dan mengalami progresi ke arah yang positif. Perhatikan India, walaupun berpenduduk satu miliar tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi 6 sampai 7,5 % pertahunnya. RRC, yang sekarang menjadi raksasa ekonomi tidak hanya di Asia bahkan pasar Amerika pun sudah mengakui kualitas ekspor mereka. Saya yakin hal ini bisa terjadi karena para elitnya memiliki budaya yang produktif, progresif, dan tentu saja bebas KKN. Bangsa Cina juga memiliki akar budaya yang kuat yang sudah eksis sejak zaman nenek moyang mereka dulu sehingga mereka sangat menghargai budaya dan mengganggapnya sebagai sebuah way of life. Contoh yang lebih dekat, secara regional, dapat terlihat pada sosok Thaksin Shinawatra di Thailand dan Mahathir Mohamad di Malaysia. Saya lihat mereka mereka memang mempunyai orientasi budaya modern dan rasional tetapi tetap memegang prinsip-prinsip budaya asli mereka sehingga akulturasi budaya pada bangsa mereka sangat berpengaruh positif bagi well being bangsa mereka.

Saya mengusulkan, agar kita dapat merekonstruksi budaya kita sekaligus merekonstruksi mental pimpinan-pimpinan bangsa kita ini. Pertama yang harus dilakukan adalah melalui peningkatan kreativitas anak bangsa. Contoh menarik yang saya amati adalah ketika kita mengirimkan tunas-tunas bangsa ini untuk mengikuti olimpiade fisika yang diadakan secara internasional setiap tahunnya. Saya perhatikan hampir setiap tahun Indonesia mendapat medali emas, setidaknya dapat medali. Hali ini menunjukkan bahwa sebenarnya potensi-potensi itu ada, hanya saja wadah dan sarana pemfasilitasi potensi-potensi tersebut belum efektif dan masih di bawah standar internasional. Saya rasa pemerintah harus responsif menanggapi masalah ini, contoh implementasinya adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar sesuai dengan standar internasional sehingga mampu mencetak tunas-tunas bangsa yang potensial dan bermutu tinggi.

Yang kedua adalah diperlukannya kesadaran ketuhanan yang tinggi. Saya melihat orang yang hidupnya bergantung akan Tuhan hidupnya lebih diberkati dan lebih baik daripada orang yang cenderung atheis atau tidak percaya Tuhan. Karena itu saya merasa konsep ketuhanan dan implementasinya dalam hidup ini memegang peranan yang sangat signifikan bagi kita dalam menjalaninya. Jadi kesadaran ketuhanan ini memang sangat kita perlukan agar dapat menjadi sebuah fundamen yang kokoh bagi setiap individu yang bertaqwa akan-Nya.

Kita juga mendorong pluralisme budaya karena budaya kita ini sangat kaya. Juga sesuai dengan UUD 1945 Pasal 32 yang menyebutkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia dengan tetap menjamin kemerdekaaan masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaannya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional sehingga tercipta sebuah konsep kebudayaan nasional Indonesia yang berbhinneka dan tentu saja substansial.

Terakhir, apa pun wujud rekonsruksi nyata yang diupayakan oleh para pelaku kebudayaan, tidak akan bisa berjalan dengan mulus apabila para pelaku kebudayaannya sendiri tidak sadar akan pentingnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu marilah kita semua berharap agar tidak terjadi lagi disintegrasi bangsa yang apabila terjadi akan membawa bangsa kita ke dalam lembah kekelaman yang lebih suram lagi.

* Peneliti Laboratorium Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
http://jurnal-politik.co.cc/rekonstruksi-budaya-indonesia-menuju-ke-arah-yang-lebih-positif/

Read More..

Rabu, 13 Oktober 2010

Bersikap Jujur untuk Menatap Masa Depan Indonesia yang Lebih Baik

oleh: Jerry Indrawan*

Plato, dalam salah satu bukunya yang berjudul Georgias, menulis perdebatan Socrates, gurunya, dengan Thrasymachus, kaum Sofis. Menurut Thrasymachus hukum ialah apa yang berguna bagi si kuat. Dan adil adalah semua yang dilakukan demi kepentingan kekuasaan yang ada dalam negara. Pendapat itu dibantah oleh Socrates dan dikatakan pemerintah juga bisa berbuat khilaf. Karena kemungkinan berbuat khilaf, apa yang baik untuk kepentingan kekuasaan belum tentu baik untuk rakyat.

Socrates berkata, “Tiap penguasa tidak boleh mengejar kepentingan pribadi saja, tapi juga bertugas menyelenggarakan kepentingan rakyat.” Namun kaum Sofis, orang yang mengukur segala sesuatu hanya dari diri sendiri sehingga pernyataan-pernyataannya kerap memperuncing masalah, menolak pendapat Socrates. Mereka mengatakan, “Ketidakadilan jauh lebih menguntungkan dibandingkan keadilan. Keadilan bekerja hanya untuk kepentingan si kuat, sedang ketidakadilan itu mempertahankan sesuatu yang berguna dan memberi keuntungan bagi diri sendiri.” Ditambahkan, “Kebajikan itu hanya membawa kesukaran dan kesedihan. Seseorang untuk menjadi berbahaya dan ditakuti harus menonjolkan ketidakadilan dengan topeng kejujuran.

Ajaran-ajaran kaum Sofis itu bisa jadi mengandung kebenaran dalam kenyataannya. Sedang pendapat Socrates memiliki kebenaran ideal. Sejarah membuktikan suatu negara yang pemimpinnya berlaku sewenang-wenang, menindas, dan tidak adil justru membawa negara itu dalam keutuhan sosial maupun politik yang baik. Kepatuhan rakyat kepada penguasa bukan karena rasa aman yang diberikan oleh negara, juga bukan karena kesadaran politik rakyat sudah mencukupi, tetapi kepatuhan mereka lebih berdasarkan karena ketakutan. Tidak ada oposisi, tidak ada perlawanan, tidak ada disintegrasi, semua berjalan di rel masing-masing adalah contoh bagaimana terjadinya sebuah proses “harmonisasi” yang sesuai dengan kehendak penguasa.

Jika kepatuhan karena ketakutan yang terjadi, lantas dimana letak kebahagiaan yang notabene adalah tujuan hidup manusia di dunia? Kepatuhan karena ketakutan jelas tidak membuat rakyat bahagia dan bukan wujud rasa terima kasih rakyat pada pemerintah, di sisi lain tidak ada satupun penguasa di dunia yang bisa hidup tenang bila rakyatnya hidup dalam ketakutan. Karena sikap diam dan ketakutan, rakyat menyimpan bara dendam serta berkecenderungan melakukan pemberontakan. Sikap diam rakyat sebenarnya merupakan alunan doa tak terucapkan pada Tuhan agar menghukum penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Sang penguasa tidak akan pernah tenang dan bahagia dalam hidupnya, karena tiap detik dipergunakan hanya untuk memikirkan siapa yang akan memberontak dan bagaimana cara menumpasnya.

Kepatuhan semu oleh pemerintah otoriter disebut persatuan dan kesatuan, ketakutan disebut peran serta rakyat dalam proses pembangunan dan kesadaran rakyat akan hukum. Namun bagi rakyat kepatuhan merupakan upaya menyelamatkan diri, menumpuk kepedihan untuk mencari saat yang tepat untuk meledak. Kekuatan rakyat yang seperti itu jarang disadari oleh rezim otoriter.

Walau sang penguasa mampu membungkus kekejian dengan bahasa ketertiban, penindasan diganti keamanan, ketidakadilan diistilahkan dengan penegakan hukum, toh penderitaan rakyat tidak dapat selamanya ditangguhkan. Dan ketika rakyat menuntut hak, kekuatan mereka tidak akan mampu dibendung. Persatuan dan kesatuan negara menjadi terancam, radikalisme tumbuh subur dan puncaknya adalah pertumpahan darah.

Sejarah modern membuktikan, sebutlah Uni Soviet (sekarang Rusia) pasca komunis jatuh, negeri itu menjadi tercabik-cabik dalam berbagai macam disintegrasi dan ambruknya sektor ekonomi. Masing-masing wilayah, suku, etnis ingin berdiri sendiri untuk meneguhkan identitas kelompok. Demikian juga dengan Yugoslavia (sekarang Serbia dan Montenegro), perang antar etnis berkepanjangan dan terjadinya genocide yang mengerikan. Ketika negara ditinggalkan oleh penguasa atau pemerintah yang otoriter dan sistem yang menindas, disintegrasi terbuka di depan mata siap menelan korban tanpa peduli rasa kemanusiaan.

Semoga kisah-kisah yang mengerikan itu tidak terjadi di Indonesia. Tapi bagaimanapun, kecenderungan-kecenderungan itu mau tidak mau sudah mulai terjadi di Indonesia, walaupun kadarnya masih belum terlau masif. Kemunculan berbagai konflik antar komponen bangsa seperti di Sambas, Ambon, Aceh, Papua dan berbagai daerah di nusantara lainnya perlu menjadi sebuah perenungan bersama. Jangan sampai kasus lepasnya Timor Timur terulang kembali pada daerah lain. Konsep Bhinneka Tunggal Ika harus tetap dijadikan landasan bagi bangsa Indonesia untuk tetap survive dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.

Dan ternyata ketidakadilan yang dibungkus oleh topeng kejujuran hanya menjadi kebohongan yang terorganisir. Sebab antara keadilan dan kejujuran menjadi mata rantai untuk membangun sebuah peradaban kemanusiaan. Kejujuran dan keadilan merupakan kata kunci kebahagiaan. Tak satupun manusia bisa berlaku adil jika ia tidak bisa menerima kejujuran. Dan tidak ada yang bisa jujur jika tidak mengetahui keadilan. Untuk berlaku jujur, kadang kala kita harus mau menerima pil pahit, walaupun itu berat untuk dilakukan.

Untuk menatap masa depan Indonesia yang lebih baik dan juga lebih beradab diperlukan kejujuran. Jujur untuk mengakui segala perbedaan agama, etnis, kemampuan ekonomi. Jujur untuk mengakui bahwa kebenaran bukan monopoli kelompok kita sendiri. Dan jujur untuk mengatakan tidak pada praktek-praktek penyimpangan politik seperti KKN. Terakhir, untuk membangun sifat kejujuran memang harus dimulai dari setiap pribadi kita masing-masing. Setelah itu dapat dilembagakan pada sebuah dialog intensif antar komponen bangsa sehingga sifatnya dapat menjadi masif. Lalu setelah kita berani bersikap jujur, maka barulah kita pantas berteriak MERDEKA!

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

Read More..
Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings