Selasa, 28 September 2010

Berdamai Dengan Alam Demi Keberlanjutan Ekologi dan Masa Depan Kerajaan Bumi

Setiap kali membaca berita aktual dimedia massa akhir-akhir ini, selalu saja ada kolom yang memuat soal banjir yang tengah melanda sebagian wilayah Indonesia, bahkan sebagian wilayah Jember sempat lumpuh gara-gara luapan air bah Sungai Bengawan Madiun. Banjir memang bukan peristiwa luar biasa bagi Negeri ini, bahkan bagi sebagian kota seperti Jakarta, Semarang, Jember, Banjiir adalah sebuah keniscayaan yang mesti disambut setiap kali datang musim hujan.
Namun yang agak menggangguku adalah bahwa di tengah musim hujan seperti ini masih saja tak sedikit orang yang mengeluh "huh panase ra pantes" (panas banget!!). sebenarnya apa yang terjadi dengan bumiku???Sebagian diantara kita mungkin mengkambinghitamkan bumi sebagai penyebabnya, bahwa planet singgah trah adam ini nampaknya semakin tua semakin tak bersahabat dengan para penghuninya. Namun bagi sebagian yang lain yang mempunyai kesadaran reflektif, mereka akan lebih arif menyikapi pemanasan global yang merupakan salah satu wujud dari gejala perubahan iklim ini dengan secara jantan mengakui bahwa manusia lah yang tak bershabat dengan lingkungan alam tempat tinggalnya.

Perlakuan tak bersahabat manusia berupa eksploitasi berlebihan atas kekayaan alam tanpa disertai upaya pemulihan yang cukup adalah determinan utama yang mengakibatkan ketimpangan alam yang mengganggu keharmonisan ekosistem dan berujung pada perubahan perilaku alam(baca:perubahan iklim). Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya ( Anwar, 2007 ). Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Jika ada satu elemen saja dari tatanan dalam suartu ekosistem ini terganggu, maka akan berdampak pada kelangsungan keseluruhan ekosistem tersebut. Dalam perspektif Cappra, menusia bukanlah entitas diluar ekosistem, melainkan bagian inheren dalam ekosistem bumi yang tak terpisahkan. Atas asumsi relasi ekologi ini, bisa dikatakan jika alam ( baik tumbuhan, maupun isi perut bumi ) mengalami kerusakan, maka kelangsungan hidup manusia pun akan terancam. Disinilah letak urgensitas atas laku dan tindakan untuk menjaga keseimbangan ekosistem (baca alam) jika tak ingin mempercepat akhir dari dunia.

Selama ini manusia memang cenderung teramat abai dengan alam(akui sajalah), demi ambisi pengejaran materi, nafsu perut, atau sekedar sensasi mulut, dengan keji manusia memperkosa habis kecantikan dan keanggunan alam. Penjarahan sumberdaya alam yang telah melampaui batas telah mengakibatkan makin meningkatnya ancaman krisis ekologis dan tingginya kerentanan pada masyarakat, termasuk berbagai macam bencana alam sebagaimana yang akhir-akhir ini tak henti menyapa negeri ini. Banjir, tanah longsor, abrasi pesisir, dan bencana alam lainnya nampaknya semakin akrab saja dengan negeri ini. Jika musim hujan datang seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan berita di TV, Koran, media online, atau radio, selalu saja di penuhi pemberitaan tentang banjir bandang yang melanda beberapa daerah di negeri ini. Yang masih hangat adalah reportase tentang sebagian wilayah Jawa Barat termasuk DKI Jakarta yang di genangi air bah yang meluap dari sungai Ciliwung yang merupakan buah dari perusakan kawasan puncak oleh pemegang kuasa modal yang di amini aparat yang dihinggapi pragmatisme egoistik. Tak ketinggalan Ngawi, Jember, Madiun, Banjarnegara, dan Semarang adalah kota-kota lain di Jawa yang menjadi langganan tetap banjir.

Disinyalir kerusakan hutan adalah sumber utama dari berbagai bencana yang melanda sebagian daerah di Jawa. Kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa saat ini hanya sekitar 3 juta hektar, 2,4 juta hektar dikuasai Perum Perhutani dan 0,6 juta hektar lainnya dalam bentuk taman nasional dan cagar alam yang dikuasai Departemen Kehutanan atau hanya 20 persen dari luas daratannya. Padahal, Undang-Undang Kehutanan No. 40 tahun 1999 mengamanatkan 30 persen dari luas daratan adalah hutan. Artinya, dilihat dari daya dukung ekologi, dibanding luas daratannya, kawasan hutan Jawa belum mencukupi hingga perlu ditambah luasannya. Dari hutan Jawa seluas itu, 1,767 juta hektar (59%) merupakan hutan produksi miskin jenis (monokultur) yang sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai penyangga kehidupan, penyimpan air, apalagi penahan banjir. Hutan monokultur ini tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, dari Ciamis hingga Banyuwangi. Berdasarkan data Perum Perhutani, dari 2,4 juta hektar kawasan hutannya di Pulau Jawa, 80 persen lebih merupakan hutan monokultur yang didominasi tanaman jati (51,73%) dan pinus (35,14%) (BritaBumi, 28 Maret 2008). Dengan luasnya hutan monokultur, daya dukung lingkungan Pulau Jawa semakin menurun dan mudah sekali memicu banjir. Atas kenyataan memilukan ini, siapakah yang mesti bertanggung jawab?

Memang sebagian kerusakan hutan itu dilakukan oleh rakyat miskin yang terjepit oleh penderitaan. Tetapi skalanya tidak seberapa dibandingkan dengan pembalakan liar yang dilakukan pengusaha hitam, tentu via kongkalikong dengan aparat. Sebuah kolaborasi amoral minoritas yang berimbas kerusakan dan kepedihan dahsyat bagi mayoritas penduduk. Jika sudah demikian, siapa yang patut kita persalahkan? atau kepada siapa kita mesti mengadu? Sudah saatnya semua pihak berbenah, pemerintah sebagai pemegang tampu kekuasaan, mesti memainkan peran semestinya, menindak tegas dan keras para Mafioso penghisap hasil alam ini. Disamping itu juga perlu adanya implementasi kebijakan yang terpadu (di semua lini) yang berorientasi pada keberlanjutan ekologi, mulai dari kebijakan HPH sampai regulasi planologi (rancana tata kota), karena kepadatan penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan area permukiman yang memadai, yang seringkali berimbas pada ekspansi atas lahan-lahan konservasi. Dalam hal ini, pemerintah mesti lebih ketat dalam pelaksanaan perizinan mendirikan bangunan, pemukiman, terlebih untuk industry. Di daerah kita sendiri (di sekitaran UMY) saja, sama-sama kita seksikan, percepatan pembangunan telah menciutkan lahan-lahan persawahan. Area yang dulu merupakan lahan sawah yng menghampar hijau berubah menjadi kampus, kantor, ruko, atau rumah. Apakah pendirian bangunan-bangunan ini memenuhi AMDAL(analiisa dampak lingkungan) yang memadai? Wallhau alam.

Lebih jauh lagi, agaknya perlu dilakukan pembenahan atas paradigma dan laku aksi manusia yang selama ini cenderung dangkal dan tak ramah lingkungan. Cara pandang dangkal yang dijiwai pragmatism egoistic mesti segera digusur, digantikan dengan paradigma yang lebih arif, ramah lingkungan, dan berorientasi pada keberlanjutan ekologi. Hal ini menuntut upaya keras dari segenap unsure pemerintah dan masyarakat untuk menyemaikan nilai-nilai kesadaran lingkungan karena nampaknya yang satu ini juga merupakan problem mendasar masyarakat kita. Di lingkungan kita saja –tak usah jauh-jauh-, setiap saat kita dapati sampah berceceran dimana-mana. Di lobi, kamar mandi, plataran, lorong kelas, lift, secretariat organisasi mahasiswa (termasuk BEM, KOMAHI mungkin), ruang kelas, lubang angin, kolong meja, bahkan dicelah engsel bangku kuliah. Huft…sampah konsumsi dengan segala wujudnya bisa kita jumpai di tiap sudut kampus yang elok ini. Inilah realita miris sekaligus ironis di kampus kita, apalagi jika mengingat kredo yang selalu dibanggakan “unggul dan islami”. Seperti inikah karakter pribadi “unggul dan Islami”? tentunya tidak.

Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk merubah perilaku yang lama mengendap dan menjadi kebiasaan. Karenanya penanaman kesadaran ekologi memang mesti ditanamkan sejak dini untuk menyemai dam menghujamkan nilai-nilai kearifan lingkungan dan kelestarian ekologi agar generasi mendatang bisa memandang dan memperlakukan alam secara arif dan bijak demi kelangsungan sistem kehidupan di bumi ini. Atas yang satu ini, nampaknya pemerintah juga mulai menyadari hal tersebut, awal tahun ini bekerja sama dengan British Council Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan materi ajar Cimate4klassrooms (C4C) yang menekankan kesadaran perubahan iklim bagi siswa sekolah mulai tingkat dasar (SD) hingga menengah atas (SMA). Agaknya kebijakan eco-school ini bisa menjadi langkah awal yang cukup berarti bagi upaya pembenahan perilaku kita atas alam, agar generasi mendatang bisa lebih arif memperlakukan alam.

Akhirnya, matahari sudah menyingsing, sudah sepenggalan, sudah teramat siang untuk bergegas, membenahi segala sikap keji kita terhadap alam untuk masa depan generasi kita sendiri. Perubahan iklim dengan segala bentuk gejalanya hanyalah dampak dari akumulasi cara hidup dangkal manusia yang tak ramah lingkungan –sekaligus awal dari kehancuran yang lebih dahsyat jika tak segera didamaikan. Banjir dan segala macam bencana alam lain adalah teguran dari alam atas perilaku manusia yang tak lagi manusiawi. Alam tak akan henti menegur kita jika kita tak segera mengindahkan tegurannya dan segera berbenah. Mari berdamai dengan alam, demi keberlanjutan ekologi dan kelestarian generasi kita!
(Pernah dimuat dalam buletin IRs News, Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings