Realitas di dunia saat ini menunjukkan bahwa demokrasi--dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat--menjadi perhatian seius kemanusiaan sejagad raya. Ia adalah sebuah peradaban, obyek misi kemanusiaan, dan tidak ada satu kelompok atau bangsa pun yang menolaknya sejauh demokrasi diartikan sebagai usaha mewujudkan kedaulatan rakyat secara penuh. Di Indonesia yang tercinta ini, gagasan demokrasi dan demokrastisasi terus menggulir seiring dengan dinamika perpolitikan Indonesia.
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis "demokrasi" terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu "demos" yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan "cratein" yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. (Dede Rosyada dkk, 2005:110). Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Lebih jauh lagi, Hendry B. Mayo memaknai terminology demokrasi sebagai sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Joseph A. Schumpeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Afan Gafar memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
Dalam tataran normatif (demokrasi normatif) teori demokrasi adalah sesuatu yang sangat bagus, namun dalam tataran empiriknya (demokrasi empirik) demokrasi sulit-sulit susah untuk diwujudkan. Jika kita menilik konsep demokrasi yang memberikan perhatian besar kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kebebasan, dan keadilan sosial dalam mengatur kemaslahatan bermasyarakat dan bernegara, tentu siapapun orang dan apapun agamanya tidak akan menolak. Namun kemudian pertanyaannya kenapa praksis di lapangan tak seindah konsepsi yang di idealkan? Pasang surut demokratisasi Indonesia sangat menarik dalam hal ini, untuk di telaah.
Eksperimentasi Demokrasi Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di Indonesia, sampai kemudian presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebgai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptkan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk ke dalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 2004.
Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal di masa kemerdekaan. Kedua adalah demkrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi. Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lama konstituante mengeluarkan undang-undang baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebgaia salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang diperhatikan akibat berbagai kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun, tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM sehinga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintah yang ada di legislatif, eksekutif, dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu itu telah terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bula mei 1998. selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8 bulan terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlanya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Kejatuhan rezim otoriter Soeharto memberikan harapan baru bagi terbukanya kran demokrasi yang telah lama didambakan digbenak rakyat dari ujung Sabang sampai hilir Merauke. Impian yang telah lama terpasung oleh belenggu otoritarianisme yang di bangun Soeharto selama kurun 32 tahun. Penggulingan Soeharto kala itu memberikan angin segar bagi semangat semokratisasi Indonesia yang telah lama terselubung tirai hipocritarian Soeharto, sebuah upaya yang mesti harus di bayar dengan ongkos mahal.
Kejatuhan Soeharto pada saat itu menjadi siklus negatif penuntasan kekuasaan di negeri ini. Kita seakan tidak tahu tata cara menuntaskan sebuah kekuasaan, kecuali dengan marah dan darah. Karenanya reformasi tidak hanya bicara soal pergantian kekuasaan yang sudah berdiri selama tiga dekade, tetapi juga menata bagaimana kita memulai dan mengakhiri sebuah kekuasaan. Intinya kita ingin menegakkan demokrasi di negeri ini, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, bukan di tangan rezim tiran yang korup.
Karenanya salah satu amanat penting reformasi adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat lewat pemilu yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Maka, sebuah Pemilu yang adil diselenggarakan oleh Presiden BJ. Habibie, pengganti Soeharto, pada 1999. Sebelumnya, Habibie sudah menyiapkan perangkat penting untuk mewujudkan sebuah pemilu yang adil, yakni undang-undang tentang partai politik dan kebebasan pers. Sebuah pemilu yang dianggap paling adil setelah pemilu 1955 diselenggarakan dengan mengikutsertakan 48 partai politik. Terjadi perubahan peta politik yang selama enam pemilu sebelumnya di rezim Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golkar. Pemilu ini menandai kembalinya kedaulatan rakyat dalam mengkespresikan aspirasi politiknya.
Dari pemilu ini kemudian dihasilkan sebuah pemerintahan baru dimana Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden keempat RI. Namun tidak lama setelah itu, menyusul buruknya hubungan presiden dengan parlemen, kekuasaan Gus Dur terguncang. Gus Dur akhirnya tak berdaya menghadapi kekuatan parlemen yang berhasil menyelenggarakan Sidang Istimewa. Megawati Soekarno-Putri kemudian diangkat menjadi presiden kelima menggantikan Gus Dur yang sudah dimakzul.
Pada titik ini kita masygul, inikah kedaulatan rakyat yang kita cita-citakan. Suara rakyat telah diombang-ambing oleh hasrat sekelompok orang di senayan. Kekuasaan MPR untuk mengangkat presiden akhirnya dicabut dan diserahkan kepada rakyat melalui pemilu langsung. Tidak hanya untuk memilih presiden, tetapi juga gubernur, bupati dan walikota. Maka kini pemilu kita mendapat label baru sebagai pemilu paling mahal. Tingginya ongkos yang harus ditanggung baik oleh panitia pemilu atau kandidat membuat sebagian orang resah. Pemilu semacam ini hanya memberi peluang kepada mereka yang memiliki kecukupan modal untuk maju sebagai kandidat.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah menegakkan kedaulatan rakyat. Keriuhan demokrasi kita masih menyisakan banyak tanda tanya. Tidak heran bila sebagan orang mulai ragu dengan capaian reformasi selama 11 tahun terakhir. Memang bukan hal mudah mewujudkan sesuatu yang ideal menjadi kenyataan. Kenyataan selalu menghadirkan batasan-batasan sehingga antara yang ideal dan yang nyata kemudian berjarak.
Konsolidasi Demokrasi
Salah satu agenda yang luput dalam proses transisi demokrasi ini adalah konsolidasi demokrasi. Setidaknya konsolidai demokrasi harus di bangun atas dua hal: pendalaman (deepening) dan perluasan (widening) demokrasi. Demokrasi mengalami pendalam jika terdapat institusi politik dan performa partai politik yang baik secara kualitatif. Selain itu, demokrasi juga diharapkan mampu memperbaiki kualitas hidup, mencapai kesejahteraan ekonomi, keadilan, dan kedamaian dengan begitu barulah ia dianggap mengalami perluasan.
Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi merepresentasikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi (Shin, 1999). Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness). Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi mensyaratkan perubahan mendasar berdimensi struktural dan kultural.
Proses pendalaman demokrasi juga mesti didukung oleh budaya politik yang kondusif sesuai dengan tuntutan demokrasi sebagai perangkat lunaknya (software). Budaya untuk bisa bekerja sama dengan orang lain dari berbagai latar belakang suku dan agama (the culture of tolerance) demi membangun suatu komunitas politik yang sama adalah yang dimaksudkan di sini. Inilah alasan mengapa hingga kini sebagai sebuah bangsa kita masih memiliki satu imajinasi yang sama tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Melalui upaya itu seharusnya kita dapat memperkecil jarak antara harapan dengan kenyataan. Harapan rakyat, demokrasi memberikan manfaat nyata bagi kehidupan mereka. Demokrasi seharusnya berimplikasi pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. Amartya Sen pernah berujar, sistem demokrasi dapat menutup ruang tindakan semena-mena dari sebuah rezim dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan.
Kebebasan politik yang kita nikmati saat ini seharusnya tidak sekadar untuk memuaskan nafsu politik yang kerap berhenti pada perolehan kekuasaan belaka. Akses terhadap kekuasaan yang terbuka lebar adalah ruang untuk mewujudkan harapan rakyat. Kekuasaan yang hanya dimaknai sebagai kesempatan untuk memperoleh kekayaan dengan jalan pintas akan membuat rakyat makin antipati terhadap politik dan politisi.
Upaya untuk menjadikan kebebasan politik sebagai jalan untuk merealisasikan harapan rakyat tampaknya tidak terjadi selama satu decade terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, kita mendapati banyak anggota dewan, bupati, gubernur dan mantan menteri yang terjerat kasus korupsi. Di satu sisi kita bangga karena kini semua orang tidak bisa lepas begitu saja dari hukum. Namun di sisi lain kita semakin sadar bahwa ternyata tidak banyak perubahan perilaku antara sebelum dan setelah reformasi.
Proses suksesi kekuasaan melalui pemilu legislatif yang baru berlalu mengisyaratkan satu keraguan atas kualitas para wakil rakyat yang terpilih. Sistem yang ada lebih memberi kesempatan besar kepada mereka yang populer dan memiliki uang. Pemilu 2009 tidak akan bermakna banyak kecuali sebagai rutinitas bagi para politisi. Di tengah skeptisisme banyak orang atas masa depan demokrasi Indonesia, ada baiknya bila anggota legislatif yang baru melakukan perbaikan atas kekurangan yang terjadi di masa lalu. Mereka harus menangkap harapan yang ada di benak rakyat, bukan harapan pribadi. Ini memang tidak mudah mengingat harga kursi yang mereka beli dalam pemilu kali ini tidaklah murah. Ratusan juta, bahkan miliaran rupiah sudah mereka gelontorkan selama masa kampanye kemarin.
Namun demi masa depan demokrasi yang sudah kita beli dengan harga yang mahal seharusnya kita melakukan penyelamatan dengan jiwa besar. Tanpa kerelaan itu, sulit bagi kita untuk mewujudkan masa depan demokrasi yang lebih baik. Pada titik inilah letak urgensitas peran pribadi yang mempunyai karakteristik ulil albab dibutuhkan. Dengan kedalaman ilmu, kecerdasan sosial dan ketajaman moral yang disepuh ketebalan iman, figur yang mempunyai karakter sebagai seorang ulil albab merupakan figure kunci dalam membangun kepemimpinan moral-intelektual di tengah politik nir-etika nan tuna moral yang makin karut ini.
Peran Ulil Albab dalam Konsolidasi Demokrasi
Ulil Albab adalah para pemikir yang memiliki kedalaman ilmu, sebuah karakteristik pribadi muslim yang ideal sebagaimana sering disinggung dalam Al- Qur’an. Dalam Surat Ali Imran:190-191 Allah menyatakan, “ Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi dan dalam pergantian malan dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir (ulil albab). Yakni orang-orang yang berdzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring, serta memikirkan penciptaan langit dan bumi….” Dzikir (mengingat Allah) dan pikir merupakan titik tekan yang di tegaskan Al-Qur’an dalammendefinisikan ulil albab.
Zikir dan pemikiran dalam hal ini mengantarkan manusia mengetahui rahasia alam raya ini, baik yang ada didalam maupun di luar dirinya. Dengan berpikir dan merenung manusia bisa menangkap ayat-ayat Kuasa-Nya baik secara literal dari Qur’an (ayat qauniyah) maupun yang tergambar di semesta (ayat-ayat qauliyah). Hanya dengan jalan demikianlah manusia mampu mendekati Tuahannya sebagai tujuan akhir perjalanan hidupnya.
Ali Asghar engineer secara kritis memaknai ayat tersebut dengan menyatakan adanya pesan tersirat yang mengimplikasikan keyakinan pada suatu potensi yang tak terbatas yang tak terbatas yang belum diaktualisasikan dan tidak terlihat. Oleh karena itu manusia harus yakin bahwa dirinya mampu mengembangkan potensi-potensi dan kreativitas yang terletak di dalam dirinya dan tersembunyi dari pandangan umum tersebut. Dengan berpikir dan merenungkan realitas hidupnya, seorang akan memiliki kepekaan dan kecerdasan social yang mengantarkannya pada sikap kritis dalam menghadapi realitas hidupnya.
Sikap dzikir yang selalu melingkari harinya, membuatnya selalu terjaga dan senantiasa menyadari akan adanya eksistensi Tuhan yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan demikian sikapnya akan senantiasa dihiasi dengan ketaeladanan atas sifat Kemahasempurnaan Tuhan untuk selanjutnya membumikannya dalam realitas kehidupannya karena sadar benar atas misi hidupnya sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi. Karakteristik inilah yang menjadi ruh yang memberikan vitalitas pada peradaban islamm masa awal sehingga mampu memeberikan sumbangan tak ternilai bagi peradaban jahiliyah yang hampir membusuk kala itu. Penghambaannya atas tuhan tidak menjebaknya dalam goa sufistik yang menjauhkannya dari peradaban. Justru dengan semangat tauhid itu, ia hadir di tengah realitas social memberikan tawaran alternatif orisinal untuk peradaban yang berkeadilan social.
Insan cita ulil albab tidak akan betah hidup di tengah ketimpangan, penindasan, ketidak adilan, dan kesenjangan social, karena dimatanya setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama sejajar dimata Tuhan. Hanya kualitas imanlah yang menentukan derajat kemuliaan makhluk di hadapan Sang Khalik. Begitulah insane ulil albab, keberadannya merupakan perlawanan atas penindasan, nafasnya adalah energy bagi tegaknya keadilan, dan derap langkahnya adalah jaminan atas transformasi social.
Di tengah skeptisisme banyak orang atas masa depan demokrasi Indonesia, orisnalitas karakter ulil albab dengan integritas antara iman dan amal merupakan jawaban dalam penegakan kepemimpinan moral-intelektual di tengah politik nir-etika nan tuna moral yang makin karut ini. Moral dalam arti ini ialah nilai-nilai kolektif suprastruktural yang mengatasi basis material. Intelektual di sini berarti aktor yang relatif mampu mentransendenkan diri dari kepentingan korporatis maupun kelas (golongan). Hal ini tidak berarti bahwa intelektual mengabaikan kepentingannya demi suatu ide kolektif. Yang terjadi, aneka kepentingan ideal intelektual (yang muncul dari proses rasionalisasi) mengimbangi, adakalanya mendahului, bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan praktis dan material mereka.
Kepemimpin moral-intelektual dengan karakteristik ulili albab diharapkan bisa mengkonsolidasikan demokrasi dengan memperbaiki kualitas institusi demokrasi, memperkuat cita-cita ideal politiknya, mampu membangkitkan kepercayaan rakyat pada kemampuan sendiri, dan sanggup menyusun tenaga rakyat demi tujuan politik. Membangkitkan semangat dan kemauan kolektif bangsa majemuk bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan energy yang besar yang ditunjang dengan kepemimpinan yang kuat untuk merangkum keragaman posisi, keragaman faktor penentu, dan keragaman aliansi. Disinilah urgensitas pribadi ulil albab dibutuhkan.
Selasa, 28 September 2010
Peran Ulil Albab Dalam Konsolidasi Demokrasi Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar