Kamis, 11 November 2010
Rekonsolidasi Ekonomi Global*
Ini KTT G-20 kelima sejak kelompok ini meningkatkan kerja samanya pada tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan sebagai respons terhadap krisis ekonomi global 2008. Para analis umumnya memberikan apresiasi besar terhadap peran G-20 dalam mengoordinasikan kebijakan mengatasi krisis global 2008 untuk mencegah berulangnya peristiwa depresi besar dekade 1930-an.
Melihat pencapaian ini, KTT Pittsburgh (September 2009) memutuskan memfungsikan G-20 sebagai pengganti keberadaan G-8 sebagai premier forum bagi kerja sama ekonomi internasional. Menghadapi krisis global, fokus awal G-20 adalah mendorong stimulus fiskal untuk memulihkan ekonomi dan memperkuat regulasi serta pengawasan perbankan dan sektor keuangan.
Selanjutnya G-20 mengarahkan fokusnya pada upaya mengatasi ketidakseimbangan finansial global dengan memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal antarnegara. Ketidakseimbangan finansial global terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan terhadap dollar AS sejak krisis Asia 1997-1998, ketika banyak negara berkembang memperkuat cadangan devisanya sebagai bentuk perlindungan terhadap tekanan-tekanan ekonomi eksternal.
Dalam sistem internasional ketika dollar AS menjadi cadangan devisa utama setiap negara, fundamen ekonomi AS yang kuat merupakan faktor yang tak tergantikan bagi terwujudnya stabilitas finansial global. Meletusnya ekonomi gelembung AS pada tahun 2007 menunjukkan fakta bahwa ekonomi AS yang berbasis kredit dan spekulasi sangatlah rapuh sebagai penyangga stabilitas ekonomi global.
Fluktuasi nilai dollar AS sempat memunculkan wacana yang dicuatkan oleh China dan Perancis untuk mengganti dollar AS dengan satu mata uang internasional yang dikeluarkan oleh semacam bank sentral dunia sebagai alat transaksi internasional.
Ide ini tidak terwujud, tapi reformasi finansial global mendapatkan momentumnya di sini. IMF diperkuat sebagai institusi pengawas dan pengelola sistem finansial internasional dengan menambahkan alokasi 250 miliar dollar AS bagi surat berharga yang dikeluarkannya (SDR). Dengan memperbesar alokasi SDR, para pemimpin G-20 telah berupaya menyediakan alternatif sistem cadangan devisa yang tak lagi terlalu terpaut pada dollar AS.
Para pemimpin G-20 juga memberi mandat kepada lembaga Financial Stability Board (FSB) untuk mengupayakan terwujudnya stabilitas finansial dengan memperkuat standar prudensial internasional, menganalisis kerawanan yang mengancam stabilitas finansial global, dan mendorong koordinasi antara otoritas-otoritas finansial nasional, institusi keuangan internasional, dan pihak-pihak terkait.
Dalam kaitan itu, Menteri Keuangan AS Tim Geithner menyatakan bahwa keberadaan FSB akan menjadi ”pilar keempat” dalam arsitektur tata kelola global, melengkapi keberadaan IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Merkantilisme baru
Berbeda dengan KTT-KTT G-20 periode 2008-2009 yang difokuskan untuk mengatasi krisis global, KTT G-20 di Seoul (dan Toronto, Juni lalu) berupaya mengarah pada langkah ke depan setelah krisis global berlalu. Dalam konteks ini bisa dipahami keinginan Presiden Korsel Lee Myung-bak untuk mengedepankan persoalan pembangunan dalam KTT Seoul (Kompas, 8/11).
Meski demikian, isu pembangunan—termasuk perubahan iklim—tampaknya kian tertelan isu ”perang kurs” antara AS dan China yang semakin memanas. AS dan negara-negara Eropa tidak puas dengan perkembangan nilai tukar yuan yang hanya menguat dua persen setelah Bank Sentral China mengumumkan untuk membuat nilai kurs yuan lebih fleksibel Juni lalu. Di sisi lain, langkah AS untuk terus mencetak dollar AS dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mendekati nol persen telah meningkatkan nilai matang uang lain terhadap dollar AS sehingga menurunkan daya saing ekspor sejumlah negara. Seruan-seruan devaluasi tidak dihiraukan dan malah dibalas AS dengan menambah mata uang dollar AS ke pasar sebesar 600 miliar dollar AS (Kompas, 9/11).
Penambahan kuantitas dollar AS yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan memompa permintaan domestik melalui penurunan nilai mata uang dollar AS tampaknya menjadi bagian dari respons pemerintah Obama terhadap tekanan publik AS yang tidak sabar dengan lambatnya pemulihan ekonomi.
Kebijakan moneter AS yang merugikan negara lain ini menjadi jurus ”merkantilisme baru” untuk mengurangi defisit perdagangan dan membuka peluang ekspor yang diharapkan berkorelasi langsung dengan pengurangan jumlah penganggur di dalam negeri. Ini menambah panjang daftar kebijakan ”merkantilisme” AS sebelumnya, seperti kebijakan ”Buy American Product” dan pembatasan impor melalui aneka standardisasi produk.
Di sisi lain, tak mudah bagi China untuk demikian saja menuruti tekanan AS dan Eropa untuk menaikkan nilai tukar yuan. Melejitnya harga ekspor produk China karena apresiasi yuan terhadap dollar AS bisa menimbulkan dampak berantai berupa matinya usaha berbasis buruh murah yang jadi keunggulan komparatif China selama ini, yang berimplikasi pada meluasnya pengangguran dan pada gilirannya akan mengancam stabilitas sosial dan politik China.
Perang kurs AS-China yang berkelanjutan secara potensial dapat mengakibatkan ”pemandulan” G-20 sebagai lembaga koordinasi kebijakan multilateral yang utama. Kesepakatan G-20 membangun kebersamaan dalam mewujudkan world public goods berkaitan dengan perubahan iklim, keamanan pangan, dan kesehatan global dapat tergantikan oleh pertikaian ekonomi antarnegara yang tiada habisnya.
Inilah tantangan terbesar bagi G-20 di era pascakrisis global agar keberadaannya tak terjerumus menjadi sebatas forum talk shop yang kian kehilangan fokus seperti yang terjadi pada banyak forum internasional lainnya.
*Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03083994/rekonsolidasi.ekonomi.global
Read More..
Rabu, 10 November 2010
Menguak Kebenaran Baru Peran Perempuan Dalam Sejarah*
Berbicara mengenai sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran politik perempuan. Diakui atau tidak, perempuan turut memberi warna dalam upaya mencapai (dan pasca) kemerdekaan. Sayangnya, meski andil perempuan cukup besar, tapi hingga kini masih banyak masyarakat yang belum tahu kebenaran akan hal itu. Nah, dalam konteks inliah, menjadi menarik membincangkan buku bertajuk Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45.
Membuka lembar demi lembar buku itu saya menemukan kebenaran baru. Kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah yang selama ini terdistorsi. Yakni peranan perempuan yang punya andil besar dalam usaha mewujudkan kemerdekaan, tapi apa mau dikata jasa perempuan itu tak banyak disebutkan dalam (literatur) sejarah nasional.
Seperti dijelaskan dalam buku itu, tanpa partisipasi aktif perempuan tidak akan mungkin terwujud kemerdekaan. Perempuan dalam praktiknya, mampu menciptakan dinamika politik yang berbuah manis. Kaum hawa yang tergabung dalam wadah, Pemuda Putri Indonesia (PPI), mampu membantu penduduk untuk mengungsi dan menyediakan makanan bagi pribumi.
Kesadaran kaum perempuan akan kemerdekaan bangsa Indonesia di zaman itu, bukanlah hal yang perlu diragukan lagi. Mereka berbondong-bondong terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajah baik perseorangan maupun perjuangan kelompok. Bersama rekan-rekannya, RA Kartini menanamkan kesadaran pendidikan pada penduduk jelata sebagai alat perjuangan untuk membuka kesadaran nasionalisme rakyat.
Selain itu peran strategis perempuan juga terlihat dalam komunitas yang terlahir pada masa itu. Demi menyokong perjuangan rekannya, mereka mendirikan dapur umum untuk memberikan makan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pemuda Putri Republik Indonesia). Selain misi di atas, organ ini juga menghidupkan pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah-daerah.
Di organ lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PRI (Pemuda Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah-rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah dan matang yang kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.
Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia/ petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.
Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.
Di tempat lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.
Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan tempat lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.
Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kadernya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).
Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api.
Dari sini, selayaknyalah penghargaan terhadap kaum perempuan perlu ditinggikan. Bukan justru mengebiri kebebasannya, misalnya, lewat Perda Keluar Malam yang membatasi hak-haknya untuk bekerja dan berkarya. Tapi jangan juga, penghargaan terhadap perempuan dengan mewajibkan perempuan berjilbab seperti di Padang dan kota lainnya.
Semua hal di atas hanya artifisial belaka, simbolis dan menelikung perjuangan atas kemerdekaan. Semua pembatasan di atas sama saja dengan politik penjajah yang membatasi kemerdekaan kaum perempuan. Jika hal itu terjadi, maka dialah penjajah kemerdekaan perempuan di masa kini. Pejuang ’45 menyebutnya dengan semut ireng (Belanda hitam).
Akhirnya, artikel ini sebagai arena perjuangan kaum perempuan yang tidak (boleh) berhenti karena masih adanya perampasan terhadap kemerdekaan perempuan. Hak atas kemerdekaan adalah hak semua warga negara termasuk hak terhadap perempuan Indonesia. Kalau sudah seperti itu, dengan demikian sejarah tentang perempuan menjadi tak lagi tereduksi, tapi menuju objektivitas.
*Penulis: Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS
http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=139%3Amenguak-kebenaran-baru-peran-perempuan-dalam-sejarah-&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111
Read More..
Semiotika Bencana*
Akan tetapi, amat disayangkan, sebagian besar masyarakat justru gagal ”membaca” tanda-tanda alam itu karena aneka alasan sehingga menjadi korban bencana memilukan: masyarakat yang tak peka lagi bahasa pasir laut, sinyal pasang surut, pesan gelombang, tanda awan atau gestur binatang; alat mitigasi tsunami tak bekerja, pelampung mitigasi dicuri, sirene bahaya tak berbunyi, peta, rute, dan jalur evakuasi tak jelas; informasi simpang siur, ucapan pejabat tidak karuan, dan arahan aparat membingungkan.
Ironisnya, rentetan bencana yang datang silih berganti nyatanya tak mampu memberikan pelajaran kepada anak bangsa dalam menghadapinya. Setiap bencana datang, setiap itu pula jatuh korban sia-sia. Anak bangsa ini tak mampu mengembangkan semacam ”semiotika bencana”, yaitu sistem-sistem tanda yang komprehensif, yang meliputi sistem-sistem tanda sebelum (tanda prediksi), sewaktu (tanda peringatan dini, tanda evakuasi), dan setelah bencana (tanda komunikasi dan koordinasi)—the semiotics of disaster.
Kecerdasan semiotik
Bencana alam—seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, semburan lumpur, atau angin puting beliung—adalah fenomena alam yang bukannya tanpa tanda-tanda alam. Seperti setiap penyakit mesti ada obatnya, setiap fenomena alam mesti ada tanda-tanda kehadirannya. Alam sebenarnya ”berbicara” kepada manusia, hanya saja manusia tak mampu membacanya, karena keterbatasan kognitif, afektif, dan pengindraan yang dimilikinya.
Seperti dikatakan Wendy Wheeler, di dalam The Whole Creature: Complexity, Biosemiotics and the Evolution of Culture (2006), alam sarat ”informasi” untuk diproses dan dimaknai oleh indra manusia: suara, bunyi, bau, pergerakan, warna, bentuk, medan listrik, getaran, gelombang, sinyal kimiawi, sentuhan, yang semuanya adalah tanda-tanda semiotik. Perubahan atau anomali pada tanda-tanda alam menandai perubahan atau anomali pada perilaku alam sendiri: awan, angin, sungai, laut, lempengan, dapur magma.
Akan tetapi, tanda-tanda alam hanya bermakna jika dapat ”ditranslasi” ke dalam bahasa manusia (semiotic translation). ”Dunia dalam diri” manusia (Innenwelt) harus mampu menjalin ”dialog” secara konstan dan intensif dengan ”dunia luar” (Umwelt), baik yang bersifat sosial maupun natural. Tanda-tanda di dalam diri manusia ”bertemu” dengan tanda-tanda alam sehingga pesan-pesan alam dapat dipahami dan dimaknai.
Umwelt sangat sentral dalam relasi informasi binatang, sebagai cara membangun ”komunikasi” dengan alam melalui aneka sistem tanda (sign systems): dengan spesies yang sama, pemangsa, mangsa, atau manusia; dengan tempat berlindung, cuaca, hutan dan padang; dengan bau, suara dan diamnya alam. Pesan-pesan dari lingkungan alam, seperti getaran, suara, bau, bentuk, dan cahaya, memberi tanda pada Umwelt di kalangan binatang, yang membangun kepekaan bertindak.
Binatang memiliki semacam ”kecerdasan semiotik”, yang memampukannya mengidentifikasi, mengenal, mengklasifikasikan, memolakan, mengingat tanda-tanda alam untuk memutuskan tindakan. Tubuh binatang ”mengingat” sesuatu yang pernah dilakukannya, sebagai informasi tindakan mendatang. Manusia modern tak bisa lagi menghadapi bencana alam seperti binatang, tetapi mereka dapat belajar banyak dari bahasa semiotika mereka (zoosemiotics).
Seperti dikatakan Mary Douglas, di dalam Natural Symbols (2002), tanda alam dan binatang diatur oleh sistem kode (natural code). Kode-kode alam dipahami binatang melalui pola, habit, regularitas atau kemunculan kembali (recurring), yang memproduksi ”makna” (meaning) dalam regularitas perilaku alam. Akan tetapi, seperti dijelaskan Umberto Eco di dalam A Theory of Semiotics (1978), manusia memiliki kecerdasan merelasikan Innenwelt dan Umwelt untuk menciptakan sistem tanda dan kode baru (overcoding).
Ironisnya, kecerdasan membangun ”semiotika bencana” itu nyatanya tak dimiliki oleh komponen bangsa ini. Sejarah panjang bencana gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor di negara cincin api ini nyatanya tak mampu menghasilkan ”inovasi” penanganan bencana. Kita tak mampu belajar dari tanda alam, tanda binatang, bahkan tanda-tanda di dalam diri kita sendiri. Bencana seakan-akan sudah menjadi sebuah ”rutinitas”, tanpa meninggalkan jejak pengetahuan.
Ironi bencana
Bencana alam tidak hanya perkara tanda (alam, binatang, manusia), tetapi juga perkara komunikasi. Di dalam setiap bencana diperlukan tidak saja tanda-tanda yang jelas, tetapi juga sistem komunikasi yang efektif, baik sebelum, sewaktu, maupun sesudah bencana. Sistem-sistem tanda bencana (mitigasi, informasi, peta, koordinasi) hanya dapat berfungsi apabila dipraktikkan di dalam sebuah medan komunikasi yang sehat.
Ironisnya, kegagalan komponen bangsa membangun sistem ”semiotika bencana” yang komprehensif diperparah oleh kegagalan membangun ”sistem komunikasi bencana” dan discourse tentang bencana. Situasi bencana seharusnya menghasilkan sebuah sistem komunikasi dan discourse yang sehat. Komunikasi tidak saja mempunyai fungsi kognitif: pengetahuan, informasi, dan kebenaran, tetapi juga fungsi afektif: persuasi, menghibur, menenangkan atau mendamaikan.
Di dalam situasi bencana diperlukan relasi timbal balik komunikasi (kognisi, afeksi), di mana korban tidak hanya diberi informasi, tetapi juga ditenteramkan. Di sinilah fungsi figur publik, yang mampu menjadi simbol, panutan, patron, dan rujukan. Akan tetapi, meminjam TJ Taylor, di dalam Mutual Misunderstanding (1992), figur publik di atas tubuh bangsa ini justru menciptakan ”ironi semiotik”: bicara tanpa kendali, arahan membingungkan, informasi salah, opini keliru—semiticos ironia.
Situasi pertandaan dan komunikasi bencana diperburuk oleh tumbuhnya bentuk-bentuk ”budaya populer” di seputar bencana. Dunia bencana kini bercampur aduk dengan dunia media, iklan, promosi, dan ”hiburan”. Kepedihan dan ratap tangis berbaur dengan promosi dan tepuk tangan. Dalam kegagalan anak bangsa membangun ”semiotika bencana”, yang tumbuh adalah ”estetisme bencana”: spanduk, poster, foto, dan umbul-umbul ucapan; panggung hiburan dan amal, lagu kepedihan, dan iklan-iklan ucapan di televisi.
Setiap datang bencana kita secara rutin mendendangkan lagu kepedihan, musik keperihan, iklan belasungkawa, dan spanduk-spanduk keprihatinan (meskipun ini tidak salah). Tanda-tanda bencana memang mampu melarutkan kita dalam suasana duka, membangun solidaritas sosial, memperhalus rasa kemanusiaan, bahkan memperteguh keimanan. Namun, bencana tak pernah memberi kita pelajaran tentang bagaimana ”melawan” bencana itu sendiri, karena kita tak mampu mengerahkan kecerdasan sebagai manusia.
Agar mampu ”melawan” bencana di masa depan, pemerintah—didukung seluruh elemen bangsa—harus mampu memimpin proyek besar riset dan pengembangan ”Sistem Semiotika Bencana Nasional” (SSBN), yang melibatkan aneka disiplin sains, teknologi, sosial, budaya, psikologi, komunikasi, bahasa, semiotika, dan seni. Melalui sistem semiotika komprehensif, diharapkan anak bangsa ke depan mampu ”membaca” aneka tanda alam dan pesan bencana, agar korban manusia tak lagi berjatuhan akibat kelalaian, kebodohan, dan ketidakpedulian manusia.
*Yasraf Amir Piliang( Dosen pada Program Magister Desain, FSRD dan Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung)
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/03113146/semiotika.bencana
Read More..
Senin, 08 November 2010
Bermain Mata dengan Bencana
Before–During–After
Manajemen bencana terdiri atas tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.Bangsabangsa yang produktif,maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya. Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pascabencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal,rekonstruksi, dan rehabilitasi.
Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management. Mereka mempelajari tandatanda alam,perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba. Berkebalikan dengan itu, bangsabangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi. Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana, sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia.
Selama bangsa ini hanya fokus pascabencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang. Jumlah korban akan tetap sama besarnya.Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.Jangankan respek, bantuan pun lamalama enggan datang.Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja. Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga.
Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning, dan rapid response. Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya. Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat. Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana.
Penanganan ini harus bisa bersifat real-time. Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba. Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi, awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai. Ayo, berpikirlah lebih maju.
Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern. Payung undangundang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat. Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.Ia bisa digeser menjadi prioritas utama. Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi. Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat. Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serbacepat.
Persoalan Masyarakat
Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia. Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi. Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana. Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts. The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan. The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan.
Anda lihat sendiri,para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.Padahal kalau Anda kaji lebih rasional, Anda akan menemukan sebaliknya. Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya. Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance.
Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan. Manusia cenderung berlebihan (overestimate) terhadap bencanabencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (underestimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan.
Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah ”warning system” yang diberikan alam demi kelestarian manusia. Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas. Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak.
Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih, lalu airnya surut. Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel, dan turis-turis asing.
Seminggu sebelumnya,di kelas geografinya, Tilly Smith, gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami. Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar,para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan. Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos. Human biases. Dan terjadilah bencana.Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.
Aturan Prabencana
Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama,jauhkan sikap ”menggoda bencana” dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi.
Meski datangnya bencanabencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindahpindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%. Kedua, jangan biasakan menyangkal. Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalanramalan akademik harus segera dijauhkan.Ketiga, bangun pusatpusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata.
Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik. Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah, sekalipun jarang terjadi. Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun. Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan. Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.
Oleh:Rhenald Kasali
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361905/
Read More..
Minggu, 07 November 2010
Aku Bermimpi Jadi Presiden
Setiap kali media massa secara bertubi-tubi dan gaduh memberitakan dan mengulas sesuatu, aku terkena mimpi. Dahulu aku pernah bermimpi menjadi konglomerat.
Sejak kita memasuki era Reformasi, media massa gaduh sekali memberitakan dan mengulas apa saja dengan cara yang bagaimana saja tentang kehidupan bernegara dan berbangsa. Aku terkena mimpi lagi. Kali ini aku bermimpi jadi presiden. Dalam mimpi itu, sudah lama aku jadi presiden dengan dukungan yang besar dan luas. Namun, belakangan ini reputasi dan popularitasku merosot tajam.
Punya waktu
Namun, aku masih punya cukup waktu melakukan gebrakan yang akan mengabadikan namaku dengan tinta emas dalam sejarah. Kalau tak aku lakukan, sudah jelas namaku akan ditulis dalam sejarah dengan lumpur Lapindo. Maka, aku dihadapkan pada kondisi nothing to loose. Jadi, aku akan memberlakukan pemerintahan tangan besi. Untuk itu, aku telah dapat dukungan dari tentara. Aku sudah sabar, mati-matian mencoba berdemokrasi seperti yang dianjurkan Abang Sam, tetapi ketika citraku merosot sangat tajam, aku dihina rakyat dan tetanggaku sendiri, Abang Sam menghilang.
Dengan tangan besi, akan kulakukan tindakan berikut.
Melalui dekrit, aku bubarkan parlemen dan senat. Strukturnya kukembalikan jadi parlemen saja, yang kalau ditambah dengan wakil dari golongan fungsional dan daerah, jadi badan pertimbanganku yang aku anggap mewakili aspirasi seluruh rakyat. Dengan demikian, partai politik masih penting karena berfungsi mengisi sebagian dari parlemen melalui pemilu. Namun, partainya kusederhanakan hanya jadi dua. Kalau mau meniru AS, juga termasuk sistem dua partainya. Kabinet kujadikan sangat ramping: hanya 18 menteri. Yang jelas, lebih mudah mengendalikannya karena aku akan mengendalikannya dengan tangan besi juga.
KKN kuberantas dengan tangan besi. Kasus besar tetap diproses melalui hukum, tetapi aku tak mau buang banyak waktu dan tenaga untuk itu, apalagi kasus kecil. Sekaligus akan kubenahi seluruh lingkungan birokrasinya. Pertama kurampingkan kabinet. Setelah itu, semua jajaran di bawah kabinet kurampingkan. Jumlah jajaran setiap menteri sesuai dengan kebutuhannya. Masa badan kurus dan badan gemuk berbaju sama semua?
Birokrasi yang sudah ramping dan optimal aku tingkatkan pendapatannya sampai benar-benar cukup. Kalau masih berani korupsi, aku tembak mati.
Tanah dari siapa saja yang digarap oleh buruh tani dengan perolehannya hanya sebesar 2/5 dalam natura, kubeli paksa dengan harga yang kutentukan. Kalau menolak, kupenjarakan seumur hidup atau kutembak mati. Tanah milik negara kubagikan kepada para petani secukupnya supaya optimal, tak sekadar 0,3 hektar. Transmigrasi dan KB kugalakkan lagi.
Kementerian Keuangan, Bank Sentral, Percetakan Uang, dan Petral di Singapura kukuasai sepenuhnya. Dengan KKN yang luar biasa, penumpukan uang terjadi di sana selama dana belum dirampok habis. Dengan jumlah kementerian yang sudah sedikit, semua rekening kubekukan dan segera kucairkan kembali dalam rekening bank yang jumlahnya sedikit hingga lebih jelas dan sederhana pengelolaannya.
Kekayaan bangsa ini terdiri dari dua kelompok besar. Yang satu kekayaan yang dibentuk manusia, yaitu berproduksi dan berdistribusi dengan mengombinasikan berbagai faktor produksi yang penuh risiko kerugian. Para manusia entrepreneur ini boleh sebebas-bebasnya memupuk kekayaan melalui kegiatannya asal dalam rangka semua hukum yang berlaku.
Diberikan secara adil
Kelompok kekayaan bangsa yang lainnya adalah yang sudah ada di dalam perut bumi, dalam perairan, dan di atas tanah berbentuk hutan. Kesemuanya ini pemberian Tuhan Yang Maha-Adil kepada warga negaraku. Kekayaan alam ini tentunya diberikan kepada setiap manusia Indonesia secara adil. Maka, semuanya kukuasai untuk selanjutnya dikuasai sepenuhnya oleh BUMN yang harus menggunakan hasilnya bagi semua rakyat seadil-adilnya. Siapa yang menyuarakan dogma bahwa BUMN mesti korup, kuhukum seumur hidup.
Semua kontrak dalam bidang ekstraktif dengan swasta, baik asing maupun domestik untuk sementara dan parsial dihormati dalam arti, boleh melakukan pekerjaannya. Namun, semua hasil penjualannya harus dimasukkan ke dalam escrow account bank yang aku tunjuk. Ini tak berarti disita, tetapi penggunaannya harus dengan persetujuan bersama. Pajak saya naikkan tajam dan masa berlakunya semua kontrak ekstraktif aku persingkat.
Berbarengan dengan itu, segera kumulai berunding dengan mereka bagaimana cara terbaik untuk semua pihak menyerahkanya kepada negara melalui BUMN. Semua rencana BUMN untuk diswastakan kuhentikan. Semua persiapan untuk IPO kubatalkan. Otonomi daerah kubatalkan. Semua peraturan yang berlaku sebelum UUD 1945 diamandemen kuberlakukan lagi. Semuanya dilakukan dengan persuasi yang kuat atas dukungan angkatan bersenjata.
Utang pemerintah, baik luar negeri maupun dalam negeri, ditinjau kembali. Tidak dikemplang. Namun, dilakukan rescheduling dan haircut. Beban utang dan bunganya sudah merupakan 25% dari APBN. Bunga akumulatifnya yang dibayarkan sudah lebih besar daripada utang pokoknya. Ditambah dengan anggaran rutin, tak ada ruang gerak lagi untuk pembangunan barang, jasa publik, serta pelayanan pendidikan dan kesehatan buat golongan yang paling tak mampu. Akan kujelaskan kepada negara pemberi utang bahwa para pemberi utang selalu harus ikut bertanggung jawab kalau ada kredit yang macet. Mereka harus jujur bahwa mereka sebenarnya adalah rentenir atau lintah darat yang sudah cukup dari lebih mengisap darah rakyatku.
Pembangunan barang dan jasa publik, termasuk infrastruktur, dipergiat. Aku akan menentukan apa yang harus dianggap sebagai barang dan jasa publik dan penggunaannya gratis untuk siapa saja karena pembangunan maupun pemeliharaannya oleh hasil pajak dan hasil eksploitasi kekayaan alam yang milik rakyat seluruhnya.
Jalan raya bebas hambatan, air bersih, puskesmas, sekolah milik negara boleh dinikmati gratis karena pembiayaan oleh pajak, retribusi, royalti, premi asuransi jaminan sosial, dan pendapatan negara lainnya. UUD 1945 dikembalikan. Semua perundang-undangan yang ada ditinjau kembali, diselaraskan dengan maksud segala sesuatunya, dibuat optimal dan cocok untuk kondisi bangsa kita dewasa ini. Dari sana setahap demi setahap kita sempurnakan sesuai dengan perkembangan pendidikan, pengetahuan, dan kematangan rakyat kita dalam menjalankan demokrasi ala Indonesia.
Kulakukan semua ini agar lumpur Lapindo yang mulai menulis sejarahku bisa dihapus dan mulai ditulis kembali dengan tinta emas. Setidaknya tinta perak.
Oleh:Kwiek kian gie(Ekonom Senior)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/03/03195491/aku.bermimpi.jadi.presiden
Mbah Maridjan dan Polemik Internet
Semula saya tidak tertarik untuk menulis tentang isu ini, tetapi di internet sedang berlangsung polemik pro-kontra tentang kematian Mbah Maridjan (1927-2010) yang dikenal sebagai kuncen (juru kunci) Gunung Merapi. Sebelum menduduki posisi itu pada 1982, dia merupakan pembantu bapaknya sebagai kuncen. Tugasnya cukup dahsyat: menjinakkan Gunung Merapi. Namanya menjadi sangat populer ketika pada tahun 2006 imbauan Sultan Hamengkubuwono X bersama ahli vulkanologi tidak dihiraukannya agar mengungsi karena kemungkinan Gunung Merapi akan erupsi. Kebetulan saat itu ilmu titennya manjur, tidak terjadi letusan. Akibatnya, sosok yang sangat sederhana ini melangit. Sebuah perusahaan minuman bahkan menjadikannya sebagai bintang iklan dengan bayaran sebesar Rp 150 juta, sedangkan gajinya sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta hanyalah Rp 10 ribu per bulan.
Gelarnya sebagai abdi dalem penjaga Gunung Merapi adalah R Ng Surakso Hargo atau Mas Penewu Surakso Hargo (penunggu gunung). Dia tinggal di Desa Kinahrejo secara berketurunan. Dalam mitologi Jawa Keraton Gunung Merapi ada bahureksonya, penguasa Merapi yang terletak di utara Yogya itu, sedangkan di selatan dipercayai pula adanya Nyi Loro Kidul, penguasa laut selatan. Keraton Yogya berdiri di tengah-tengahnya.
Sudah tentu semua mitos itu bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja Mataram. Dengan menciptakan berbagai mitos yang sarat klenik itu, diharapkan tidak akan ada kekuatan yang dapat menghancurkan Mataram. Di era Islam, kepercayaan semacam ini diselimuti dengan ajaran-ajaran agama yang kemudian membentuk Islam Jawa (kejawen). Tradisi ini ternyata bisa bertahan selama ratusan tahun dengan plus-minusnya. Plusnya, secara sosiologis dari sudut penyebaran Islam, mayoritas rakyat Jawa telah menjadi Muslim, terlepas dari kualitasnya. Minusnya, akan sulit dibedakan antara ajaran autentik Islam yang bersumbu pada doktrin tauhid dan apa yang disebut kearifan lokal yang sudah bercampur aduk dengan tradisi kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Sebuah sinkretisme yang sangat awet dan fenomenal.
Mbah Maridjan adalah produk dari tradisi panjang yang sudah diislamkan itu. Secara pribadi dia adalah seorang saleh, rajin beribadat, punya masjid, suka memberi, bahkan menjadi pengurus tingkat ranting sebuah gerakan Islam. Tetapi, pengabdiannya terhadap perintah Sultan Hamengkubuwono IX agar siap menjadi orang terakhir yang mengungsi saat bahurekso marah telah berakhir dengan sebuah tragedi. Di sini terjadi ketegangan antara sikap menjunjung dawuh dan risiko maut. Mbah Mardjan, saya tidak tahu persis, telah menempuh jalan kedua.
Sekiranya Merapi tidak cepat meledak, boleh jadi Mbah Mardjan akan mengungsi juga sebab pihak yang membujuk telah berdatangan sebelumnya. Kita tentu mendoakan arwah Mbah Mardjan diterima Allah dengan pengabdiannya yang hampir tanpa batas itu, tak perlu dikaitkan dengan tradisi Jawa yang sulit dipisahkan dengan struktur batinnya. Namun, siapa pun yang akan ditunjuk sebagai kuncen berikutnya, janganlah terlalu mengandalkan ilmu titen, dengarlah dengan baik saran Dr Surono, pakar gunung berapi yang wajahnya tampak dalam situasi kelelahan yang berat. Gunung Merapi adalah gejala alam dengan hukum-hukum dan perilakunya sendiri. Sekalipun ilmu pengetahuan belum dapat membaca perilakunya itu dengan kesimpulan yang serbapasti, setidak-tidaknya pendekatan keilmuan jauh lebih unggul dari ilmu rasa yang lebih banyak berdasarkan empirisme tanpa melalui pembuktian ilmiah.
Akhirnya, polemik internet sebaiknya dihentikan saja, kecuali untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan. Mbah Maridjan sendiri sebenarnya mengakui vulkanologi yang perlu dipelajari. Saat ditanya tentang erupsi Gunung Merapi, dengan bahasa Jawa dijawabnya: "Yo nek bab kui, takona nang vulkanolog." (Jika mengenai masalah itu, tanyakan kepada vulkanolog). Dilema Mbah Maridjan adalah dalam menghadapi gejala alam, ilmu titennya tidak jarang lebih dominan. Yang perlu dijaga adalah agar kuburannya tidak dijadikan tempat keramat yang dapat menyeret bangsa ini ke tempat jatuh yang lebih tinggi, sekalipun ilmu pengetahuan sendiri bukanlah dewa. Ilmu pengetahuan juga terbatas dan nisbi. All'hu a'lam.
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Sumber:http://www.maarifinstitute.org/content/view/694/150/lang,indonesian/
Rabu, 27 Oktober 2010
Disharmoni Dewan-Rakyat:ancaman serius demokrasi
Ditengah meningkatnya derajat kesangsian public atas kinerja wakil rakyat, rombongan badan kehormatan DPR RI nekat juga terbang ke Yunani meski berbagai kalangan mengecam keras rencana studi banding ini. Alih-alih menunjukkan prestasi kerja untuk merebut hati rakyat, para anggota dewan justru berlomba melakukan hal konyol yang menambah panjang daftar kebijakan controversial wakil rakyat di mata public.
Kontroversi ini pun mengundang perhatian luas dari public, berbagai media cetak mengupasnya dalam headline, sementara media elektronik tak henti membincangnya dalam acara talk show, bahkan ada sekelompok massa yang merencanakan aksi boikot keberangkatannya di Bandara. Umumnya mereka mempertanyakan kebijakan controversial karena dianggap tak substansial. Namun meski suara kecaman makin bergema, tampaknya tak ada satupun yang sampai di telinga para anggota dewan. Sikap dungu dan tak mau tahu anggota dewan yang terhormat ini pun makin mengikis kepercayaan publik disatu sisi, sekaligus mempertebal skeptisme public atas lembaga perwakilan ini disisi lainnya.
Dalam system demokrasi dimana suara rakyat diwakili melalui institusi perwakilan ini, sejatinya dewan hanyalah kepanjangan tangan dari rakyat, kekuasaan yang dimiliki hanyalah amanah rakyat, dan suara yang diperjuangkan pun adalah wujud artikulasi dari kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan, atau kepentingan pribadinya. Sehingga rakyat benar-benar terwakili oleh dewan, dan kepentingan rakyat sungguh terealisasi dalam paket kebijakan public yang berpihak. Namun sayang seribu sayang, tampaknya harapan luhur ini masih jauh panggang dari api, karena yang terjadi justru kebutuhan rakyat terbenam oleh ketamakan elit yang pongah, kekuasaan hanya menjadi alat pemuas nafsu serakah elit dan ekspektasi akan demokrasi yang ideal pun masih betah menggantung di langit tinggi, tak kunjung mendarat di bumi realita.
Demokrasi yang di idealkan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat tak mampu menghasilkan efek apapun bagi kesejahteraan rakyat. Alih-alih terwujud kesejahteraan, yang terjadi justru kepentingan public terbenam oleh kepentingan segelintir anggota dewan, dan aspirasi rakyat tersandera di bawah ketiak partai politik yang makin hilang arah. Parodi demokrasi Indonesia mempertontonkan paradox dimana realisasi dilapangan sama sekali bertolak belakang dengan idelita yang mendambakan demokrasi sebagai Regierung der Regierten (pemerintahan dari yang diperintah). Wajar jika tingkat kepercayaan public makin hari makin melorot oleh karena sikap elit yang makin konyol saja.
Fenomena ini mungkin bukan sesuatu yang luar biasa, namun jika terus berlangsung demikian, hal ini bias menjadi ancaman serius bagi pilar demokrasi. Disharmoni relasi dewan dan public bias menimbulkan efek korosif yang luar biasa destruktif bagi pondasi bangunan demokrasi yang sedang dibangun bangsa ini. Sebagai pemegang kuasa representasi public, kepercayaan rakyat merupakan prasyarat utama yang harus dimiliki sekaligus dijaga setiap anggota dewan baik secara personal maupun institusional. Karena jika tidak demikian, maka akan terjadi kesenjangan antara wakil dan yang terwakili, artinya representasi dewan atas rakyat adalah sesuatu yang semu karena rakyat tak merasa terwakili oleh dewan perwakilannya. Jika sudah sampai pada titik ini maka terjadilah awal dari bencana demokrasi. Tak ada seorangpun di negeri ini yang masih sehat nalarnya yang menginginkan hal ini terjadi, pastinya
Maraknya parlemen jalanan -entah apapun bentuknya-, baik demonstrasi mahasiswa, maupun protes massa dalam sekala akbar, merupakan gejala yang bisa dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan lunturnya kepercayaan public atas wakilnya di DPR. Karena tak merasa aspirasinya tersuarakan oleh wakil rakyat, lantas public merasa harus turun sendiri meneriakkan segala kegundahannya atas realita social dinegeri ini yang tak kunjung membaik. Semestinya hal ini bias dijadikan sebagai teguran bagi para anggota dewan untuk segara berputar arah, kembali ke jalan yang benar, rebut kembali hati rakyat dengan menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan public melalui kerja prima untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan pada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
Senin, 18 Oktober 2010
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN YANG MEMISKINKAN*
Salah satu kelompok yang sedang menghadapi pemiskinan adalah buruh di sector industri manufaktur. Apabila ditelusuri lebih ke hulu, kemiskinan buruh di sector industri sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua strategi dasar yang dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Kedua strategi tersebut secara sistematis telah memiskinkan buruh.
Politik upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk mengundang investasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence Unit, brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04), Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India’.
Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia mengingatkan kembali pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah kebijakan. Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global. Dalam kompetisi global, investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.
Politik upah murah telah terbukti menciptakan sulitnya kehidupan buruh karena nilai rata-rata upah mÃnimum sebesar Rp.892,160 hanya mampu membiayai 62,4 persen rata-rata pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-FES-TWARO 2009).
Prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam kebijakan ketenagakerjaan menunjukkan kepatuhan pemerintah terhadap tekanan kapitalisme global agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing dan magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa kerja menjadi sangat pendek melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun dan mempersempit peluang kerja di sektor formal bagi angkatan kerja usia produktif karena munculnya kecenderungan baru pada preferensi perusahaan untuk hanya mempekerjakan buruh yang berusia 18-24 tahun untuk alasan produktivitas. Sebuah studi di sektor metal menemukan bahwa sistem hubungan kerja yang fleksibel telah menurunkan upah buruh kontrak dan outsourcing hingga 26 persen terhadap upah buruh tetap.
Sistem yang sama telah mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20 persen karena dengan mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak perusahaan hanya perlu membayar upah pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi ketika hubungan kerja berakhir. Inilah sebabnya dalam lima tahun terakhir fenomena hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi sangat massif dan diterapkan di hampir semua sektor industri. Berbagai laporan dan hasil studi menunjukkan di berbagai perusahaan di sektor garmen dan logam serta elektronik saja misalnya pengurangan penggunaan buruh tetap dan menggantikannya dengan buruh kontrak terus terjadi.
Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh karena dengan sistem kerja kontrak, upah buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan dan berbagai tunjangan yang biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan.
Meskipun sistem kerja yang fleksibel berdampak negatif terhadap buruh tetapi rupanya masih dianggap belum cukup memberikan keleluasaan bagi modal sehingga peraturan ketenagakerjaan yang ada masih akan dikaji ulang dan dibuat kondisi yang lebih longar lagi dalam mempekerjakan buruh. Sekali lagi, sistem kerja yang lebih fleksibel diupayakan agar semakin banyak investasi asing yang datang.
Kecenderungan pada pemerintah yang lebih mempersoalkan masih kurang fleksibelnya pasar kerja dan menekankan aspek tenaga kerja sebagai penyebab tak kunjung kondusifnya iklim investasi, menunjukkan ketidakmampuan untuk mencari jalan keluar terhadap pokok penyebab biaya tinggi dalam berinvestasi di Indonesia yang bersumber dari buruknya infrastruktur dan birokrasi serta tingginya pungutan. Situasinya persis seperti kalimat para pengusaha di Bandung yang mengatakan bahwa ’lebih mudah menghadapi protes buruh daripada menghadapi birokrasi dan aparat pemerintah karena tuntutan aparat pemerintah di jaman otonomi daerah jika tidak dipenuhi justru akan menimbulkan lebih banyak masalah terhadap kelancaran usaha’.
Implikasi dan arah kebijakan
Politik upah murah dan ketiga prinsip yang menjadi warna utama kebijakan ketenagakerjaan di atas, apabila terus dipertahankan maka dalam waktu yang tidak terlalu panjang justru akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan menghapus kemiskinan. Upah murah dan ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Belajar dari berbagai negara yang berhasil meraih investasi dengan mengedepankan mutu angkatan kerja dan kesejahteraan buruh melalui penyediaan jaminan sosial, maka strategi mengundang investasi dengan menjual buruh murah seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia saat iini justru terasa sangat primitif dan memprihatinkan dan oleh karenanya harus ditinggalkan. Fleksibilitas pasar kerja memang merupakan gejala global akan tetapi di berbagai negara kebijakan tersebut selalu disertai dengan penyediaan jaminan sosial sebagai ’fall-back cushion’ atau jaring pengaman bagi buruh.
Di tengah iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang semakin menjauh dari posisi melindungi buruh sudah saatnya didekatkan kembali dan pemerintah adalah pihak yang seharusnya paling mampu untuk melakukannya. Menjadi negara yang ramah terhadap bisnis harus dipandang sebagai cara untuk mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan bukan untuk memiskinkan rakyat. Menjadi negara yang ramah terhadap investor dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi warganya merupakan sebuah peta jalan pembangunan yang sudah ditempuh juga oleh Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan Cina. Peta jalan tersebut dapat dilengkapi dengan kejelasan visi pembangunan bangsa dan arah untuk menempatkan negara di posisi terhormat di dalam konstelasi global. Persaingan global yang semakin ketat dan sengit hanya dapat dimenangkan oleh negara dengan pemerintahan yang kuat dan konsisten menegakkan peraturan yang bersemangat keadilan.
Ditulis Oleh: Indrasari Tjandraningsih
Sumber: http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini
Read More..
Kamis, 30 September 2010
Konflik Etnis: Pengingkaran Terhadap Komitmen Luhur Kesatuan Bangsa
Hari ini mestinya saya bertolak ke Tarakan untuk menghadiri Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kalimantan Timur di kota itu. Namun agaknya rencana tersebut urung terwujud karena acara tidak jadi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Acara yang seyogyanya akan digelar sejak mulai tanggal 30 September sampai 2 Oktober itu ditunda karena alasan keamanan. Acara yang sedianya digabung berbarengan dengan Musywil Muhammadiyah itu batal dilaksanakan karena baru saja pecah bentrokan yang melibatkan massa dalam sekala besar di kota tersebut. Kabar pembatalan acara tersebut saya terima melalui pesan yang disampaikan hanya beberapa jam sebelum keberangkatan. Jika saja kabar itu datang dua jam lebih lama, mungkin saat ini saya sudah terdampar bersama 1.000 pengungsi dinegeri yang tengah dilanda konflik yang di klaim sebagai konflik antara suku Bugis dan Tanatidung tersebut.
Entah perasaan apa yang mesti saya ungkapkan atas peristiwa ini. Di satu sudut hati, ada semacam perasaan syukur karna biar bagaimanapun juga saya baru saja terhindar dari konflik massa yang memilukan. Sementara jauh didasar ruang batin tak bisa aku sangkali adanya perasaan miris yang begitu dalam mendengar kabar yang menyesakkan sekaligus membekaskan pilu mendalam ini. Dalam benak ini, masih saja aku tak habis pikir, kenapa bentrokan etnis semacam ini masih –dan makin- marak terjadi? kenapa pendekatan kekerasan semacam ini seolah menjadi favorit pilihan dalam menyelesaikan masalah?
Ungkapan reflektif tersebut mungkin menjadi pertanyaan klise yang cenderung retoris. Namun, bagiku konyol rasanya setelah berbilang abad bangsa ini terbentuk masih saja ada terjadi bentrokan antar etnis pembentuknya. Bentrokan etnis semacam ini merupakan sebuah tindak pengingkaran atas eksistensi ‘Bangsa Indonesia’, karena tak bisa disangkali bahwa 82 tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober 1928, segenap elemen bangsa ini yang di motori para pemudanya telah meneguhkan kommitmen bersama melalui ikrar sumpah pemuda. Dimana jelas dalam momen sacral tersebut secara sadar telah di sepakati langkah persatuan seluruh etnis di bumi nusantara ini dalam satu tenda besar yang bernama Bangsa Indonesia, sebagaimana terabadikan dalam kalimat sakti, Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Dengan sumpah pemuda ini, segenap pemuda dari berbagi etnis telah sepakat untuk membangun rumah bersama yang bisa menjadi peneduh dari segala macam ancaman (penjajahan dalam bentuk apapun), dan mampu menjadi tempat bertolak menuju cita-cita bersama untuk mewujudkan manusia yang merdeka seutuhnya. Dalam upaya pembentukan bengsa ini, setiap etnis di negeri ini punya investasi yang sama -dalam porsinya- masing-masing sebagai batu bata yang tersatukan dalam bangunan yang kokoh bernama Indonesia. Ketika berbalok-balok bata telah tersusun menjadi sebuah bangunan yang padu, maka pastinya eksistensinya akan dilihat sebagai tembok bangunan, bukan lagi pecahan bata. Tak ada lagi eksistensi bata sebagai dirinya sendiri, yang ada adalah sebuah bangunan kokoh nan Nampak indah.
Menonjolkan sentiment etnis yang berujung pada arogansi merupakan sebuah tindakan mengerdilkan identitas bersama sebagai sebuah kesatuan yang utuh, bangsa Indonesia. Hal ini sama saja dengan sebuah pengingkaran atas eksistensi bangsa Indonesia sebagai rumah bersama. Konyol rasanya, jika masih saja mempersoalkan batu bata padahal sudah terbentuk rumah nan Indah. Rasanya tak ada orang yang akan mengenang-kenang bata setelah terbentuk rumah, kecuali orang yang teramat kerdil penglihatannya
Sebagai sebuah komitmen bersama, sumpah pemuda semestinya dimaknai sebagai sebuah penyatuan identitas diri secara penuh, seutuhnya dalam sebuah kesatuan bangsa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah, sentimen etnis mesti direduksi untuk kemudian ditransformasikan menjadi sebuah identitas bersama di bawah bendera Indonesia. Ketika berbicara persatuan maka yang mesti dinampakkan adalah perasaan kebersamaan sebagai satu bangsa, bukan menonjolkan perbedaan dan sentiment yang melahirkan arogansi dan perpecahan.
Jika saja seluruh masyarakat tanpa terkecuali, entah dari suku apapun, golongan manapun, telah menyadari benar makna ketersatuan ini, maka tak akan mungkin terjadi bentrok ataupun pertentangan etnis dalam bentuk apapun di negeri ini. Karena persinggungan sebesar apapun akan mudah luruh jika perasaan persatuan, persaudaraan itu telah tertanam dan menghujan dalam palung kesadaran kita.
Bentrokan etnis selalu bermula dari solidaritas kesukuan yang seringkali diidentikkan dengan harga diri sebuah suku. Dalam kasus Bentrok Tarakan, bentrokan yang melibatkan suku bugis dan tanatidung ini bermula dari pemalakan yang dilakukan oleh segerombol pemuda mabuk dari satu suku pada pemuda lain yang kebetulan berasal dari suku sebrang. Atas nama solidaritas etnis kemudian terjadi balasan yang akhirnya jadi konflik antar etnis ini. Dengan sentiment etnis, sekala konflik dengan cepatnya meluas dan makin mendalam hingga menewaskan lima korban jiwa. Betapa besar harga yang mesti dibayar untuk sesuatu yang bermula dari hal sepele.
Semestinya, solidaritas etnis semacam ini bisa ditransformasikan menjadi solidaritas kebangsaan sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Karena solidarita yang berangkat atas nama suku, atau golongan tertentu akan sangat mudah diprovokasi menjadi sebuah arogansi etnis yang pada sangat potensial melahirkan konflik.
Maraknya konflik etnis semacam ini merupakan sebuah ancaman serius bagi bangsa yang terdiri dari begitu ragam suku semacam Indonesia. Konflik antar suku di Tarakan ini mestinya dijadikan sebagai titik tolak bagi pemerinhtah sebagai pemegang kuasa di negeri ini, untuk melakukan pembenahan agar tak ada lagi kecemburuan(juga narsisme disisi yang lain) etnis satu atas yang lain, internalisasi nilai-nilai perdamaian urgen untuk dilakukan sebagai counter cultur atas budaya kekerasan yang sampai saat ini masih menjadi favorit. Pemerintah mesti tampil digaris depan, untuk dengan segera melalui semua lini, melakukan upaya represif dan preventi atas konflik yang lain. Prefentif bisa berupa tindakan tegas atas semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk memberikan efek jera agar tidak menjadi pereseden buruk, dan langkah preventif bisa berupa pelaksanaan peace education untuk membunuh benih-benih konflik. Upaya ini (peace education) akan sangat efektif jika bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita.
Bangsa ini telah lelah dan jenuh dengan segala macam konflik yang mewarnai jatuh bangun sejarah perjalananya. Sudah saatnya pemerintah melakukan langkah tegas untuk memutus mata rantai konflik dan memusnahkan segala factor yang bisa menjadi pemicu lahirnya potensi konflik. Di luar itu, kita sebagai putra bangsa tanpa terkecuali, mesti ikut melibatkan diri untuk secara aktif ikut menghalau segala potensi kekerasan dari muka bumi agar terwujud kehidupan berkeadaban yang penuh kedamaian. Mari!!!!!!
Selasa, 28 September 2010
Peran Ulil Albab Dalam Konsolidasi Demokrasi Indonesia
Realitas di dunia saat ini menunjukkan bahwa demokrasi--dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat--menjadi perhatian seius kemanusiaan sejagad raya. Ia adalah sebuah peradaban, obyek misi kemanusiaan, dan tidak ada satu kelompok atau bangsa pun yang menolaknya sejauh demokrasi diartikan sebagai usaha mewujudkan kedaulatan rakyat secara penuh. Di Indonesia yang tercinta ini, gagasan demokrasi dan demokrastisasi terus menggulir seiring dengan dinamika perpolitikan Indonesia.
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis "demokrasi" terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu "demos" yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan "cratein" yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. (Dede Rosyada dkk, 2005:110). Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Lebih jauh lagi, Hendry B. Mayo memaknai terminology demokrasi sebagai sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Joseph A. Schumpeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Afan Gafar memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
Dalam tataran normatif (demokrasi normatif) teori demokrasi adalah sesuatu yang sangat bagus, namun dalam tataran empiriknya (demokrasi empirik) demokrasi sulit-sulit susah untuk diwujudkan. Jika kita menilik konsep demokrasi yang memberikan perhatian besar kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kebebasan, dan keadilan sosial dalam mengatur kemaslahatan bermasyarakat dan bernegara, tentu siapapun orang dan apapun agamanya tidak akan menolak. Namun kemudian pertanyaannya kenapa praksis di lapangan tak seindah konsepsi yang di idealkan? Pasang surut demokratisasi Indonesia sangat menarik dalam hal ini, untuk di telaah.
Eksperimentasi Demokrasi Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di Indonesia, sampai kemudian presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebgai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptkan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk ke dalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 2004.
Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal di masa kemerdekaan. Kedua adalah demkrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi. Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lama konstituante mengeluarkan undang-undang baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebgaia salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang diperhatikan akibat berbagai kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun, tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM sehinga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintah yang ada di legislatif, eksekutif, dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu itu telah terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bula mei 1998. selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8 bulan terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlanya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Kejatuhan rezim otoriter Soeharto memberikan harapan baru bagi terbukanya kran demokrasi yang telah lama didambakan digbenak rakyat dari ujung Sabang sampai hilir Merauke. Impian yang telah lama terpasung oleh belenggu otoritarianisme yang di bangun Soeharto selama kurun 32 tahun. Penggulingan Soeharto kala itu memberikan angin segar bagi semangat semokratisasi Indonesia yang telah lama terselubung tirai hipocritarian Soeharto, sebuah upaya yang mesti harus di bayar dengan ongkos mahal.
Kejatuhan Soeharto pada saat itu menjadi siklus negatif penuntasan kekuasaan di negeri ini. Kita seakan tidak tahu tata cara menuntaskan sebuah kekuasaan, kecuali dengan marah dan darah. Karenanya reformasi tidak hanya bicara soal pergantian kekuasaan yang sudah berdiri selama tiga dekade, tetapi juga menata bagaimana kita memulai dan mengakhiri sebuah kekuasaan. Intinya kita ingin menegakkan demokrasi di negeri ini, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, bukan di tangan rezim tiran yang korup.
Karenanya salah satu amanat penting reformasi adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat lewat pemilu yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Maka, sebuah Pemilu yang adil diselenggarakan oleh Presiden BJ. Habibie, pengganti Soeharto, pada 1999. Sebelumnya, Habibie sudah menyiapkan perangkat penting untuk mewujudkan sebuah pemilu yang adil, yakni undang-undang tentang partai politik dan kebebasan pers. Sebuah pemilu yang dianggap paling adil setelah pemilu 1955 diselenggarakan dengan mengikutsertakan 48 partai politik. Terjadi perubahan peta politik yang selama enam pemilu sebelumnya di rezim Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golkar. Pemilu ini menandai kembalinya kedaulatan rakyat dalam mengkespresikan aspirasi politiknya.
Dari pemilu ini kemudian dihasilkan sebuah pemerintahan baru dimana Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden keempat RI. Namun tidak lama setelah itu, menyusul buruknya hubungan presiden dengan parlemen, kekuasaan Gus Dur terguncang. Gus Dur akhirnya tak berdaya menghadapi kekuatan parlemen yang berhasil menyelenggarakan Sidang Istimewa. Megawati Soekarno-Putri kemudian diangkat menjadi presiden kelima menggantikan Gus Dur yang sudah dimakzul.
Pada titik ini kita masygul, inikah kedaulatan rakyat yang kita cita-citakan. Suara rakyat telah diombang-ambing oleh hasrat sekelompok orang di senayan. Kekuasaan MPR untuk mengangkat presiden akhirnya dicabut dan diserahkan kepada rakyat melalui pemilu langsung. Tidak hanya untuk memilih presiden, tetapi juga gubernur, bupati dan walikota. Maka kini pemilu kita mendapat label baru sebagai pemilu paling mahal. Tingginya ongkos yang harus ditanggung baik oleh panitia pemilu atau kandidat membuat sebagian orang resah. Pemilu semacam ini hanya memberi peluang kepada mereka yang memiliki kecukupan modal untuk maju sebagai kandidat.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah menegakkan kedaulatan rakyat. Keriuhan demokrasi kita masih menyisakan banyak tanda tanya. Tidak heran bila sebagan orang mulai ragu dengan capaian reformasi selama 11 tahun terakhir. Memang bukan hal mudah mewujudkan sesuatu yang ideal menjadi kenyataan. Kenyataan selalu menghadirkan batasan-batasan sehingga antara yang ideal dan yang nyata kemudian berjarak.
Konsolidasi Demokrasi
Salah satu agenda yang luput dalam proses transisi demokrasi ini adalah konsolidasi demokrasi. Setidaknya konsolidai demokrasi harus di bangun atas dua hal: pendalaman (deepening) dan perluasan (widening) demokrasi. Demokrasi mengalami pendalam jika terdapat institusi politik dan performa partai politik yang baik secara kualitatif. Selain itu, demokrasi juga diharapkan mampu memperbaiki kualitas hidup, mencapai kesejahteraan ekonomi, keadilan, dan kedamaian dengan begitu barulah ia dianggap mengalami perluasan.
Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi merepresentasikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi (Shin, 1999). Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness). Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi mensyaratkan perubahan mendasar berdimensi struktural dan kultural.
Proses pendalaman demokrasi juga mesti didukung oleh budaya politik yang kondusif sesuai dengan tuntutan demokrasi sebagai perangkat lunaknya (software). Budaya untuk bisa bekerja sama dengan orang lain dari berbagai latar belakang suku dan agama (the culture of tolerance) demi membangun suatu komunitas politik yang sama adalah yang dimaksudkan di sini. Inilah alasan mengapa hingga kini sebagai sebuah bangsa kita masih memiliki satu imajinasi yang sama tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Melalui upaya itu seharusnya kita dapat memperkecil jarak antara harapan dengan kenyataan. Harapan rakyat, demokrasi memberikan manfaat nyata bagi kehidupan mereka. Demokrasi seharusnya berimplikasi pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. Amartya Sen pernah berujar, sistem demokrasi dapat menutup ruang tindakan semena-mena dari sebuah rezim dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan.
Kebebasan politik yang kita nikmati saat ini seharusnya tidak sekadar untuk memuaskan nafsu politik yang kerap berhenti pada perolehan kekuasaan belaka. Akses terhadap kekuasaan yang terbuka lebar adalah ruang untuk mewujudkan harapan rakyat. Kekuasaan yang hanya dimaknai sebagai kesempatan untuk memperoleh kekayaan dengan jalan pintas akan membuat rakyat makin antipati terhadap politik dan politisi.
Upaya untuk menjadikan kebebasan politik sebagai jalan untuk merealisasikan harapan rakyat tampaknya tidak terjadi selama satu decade terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, kita mendapati banyak anggota dewan, bupati, gubernur dan mantan menteri yang terjerat kasus korupsi. Di satu sisi kita bangga karena kini semua orang tidak bisa lepas begitu saja dari hukum. Namun di sisi lain kita semakin sadar bahwa ternyata tidak banyak perubahan perilaku antara sebelum dan setelah reformasi.
Proses suksesi kekuasaan melalui pemilu legislatif yang baru berlalu mengisyaratkan satu keraguan atas kualitas para wakil rakyat yang terpilih. Sistem yang ada lebih memberi kesempatan besar kepada mereka yang populer dan memiliki uang. Pemilu 2009 tidak akan bermakna banyak kecuali sebagai rutinitas bagi para politisi. Di tengah skeptisisme banyak orang atas masa depan demokrasi Indonesia, ada baiknya bila anggota legislatif yang baru melakukan perbaikan atas kekurangan yang terjadi di masa lalu. Mereka harus menangkap harapan yang ada di benak rakyat, bukan harapan pribadi. Ini memang tidak mudah mengingat harga kursi yang mereka beli dalam pemilu kali ini tidaklah murah. Ratusan juta, bahkan miliaran rupiah sudah mereka gelontorkan selama masa kampanye kemarin.
Namun demi masa depan demokrasi yang sudah kita beli dengan harga yang mahal seharusnya kita melakukan penyelamatan dengan jiwa besar. Tanpa kerelaan itu, sulit bagi kita untuk mewujudkan masa depan demokrasi yang lebih baik. Pada titik inilah letak urgensitas peran pribadi yang mempunyai karakteristik ulil albab dibutuhkan. Dengan kedalaman ilmu, kecerdasan sosial dan ketajaman moral yang disepuh ketebalan iman, figur yang mempunyai karakter sebagai seorang ulil albab merupakan figure kunci dalam membangun kepemimpinan moral-intelektual di tengah politik nir-etika nan tuna moral yang makin karut ini.
Peran Ulil Albab dalam Konsolidasi Demokrasi
Ulil Albab adalah para pemikir yang memiliki kedalaman ilmu, sebuah karakteristik pribadi muslim yang ideal sebagaimana sering disinggung dalam Al- Qur’an. Dalam Surat Ali Imran:190-191 Allah menyatakan, “ Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi dan dalam pergantian malan dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir (ulil albab). Yakni orang-orang yang berdzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring, serta memikirkan penciptaan langit dan bumi….” Dzikir (mengingat Allah) dan pikir merupakan titik tekan yang di tegaskan Al-Qur’an dalammendefinisikan ulil albab.
Zikir dan pemikiran dalam hal ini mengantarkan manusia mengetahui rahasia alam raya ini, baik yang ada didalam maupun di luar dirinya. Dengan berpikir dan merenung manusia bisa menangkap ayat-ayat Kuasa-Nya baik secara literal dari Qur’an (ayat qauniyah) maupun yang tergambar di semesta (ayat-ayat qauliyah). Hanya dengan jalan demikianlah manusia mampu mendekati Tuahannya sebagai tujuan akhir perjalanan hidupnya.
Ali Asghar engineer secara kritis memaknai ayat tersebut dengan menyatakan adanya pesan tersirat yang mengimplikasikan keyakinan pada suatu potensi yang tak terbatas yang tak terbatas yang belum diaktualisasikan dan tidak terlihat. Oleh karena itu manusia harus yakin bahwa dirinya mampu mengembangkan potensi-potensi dan kreativitas yang terletak di dalam dirinya dan tersembunyi dari pandangan umum tersebut. Dengan berpikir dan merenungkan realitas hidupnya, seorang akan memiliki kepekaan dan kecerdasan social yang mengantarkannya pada sikap kritis dalam menghadapi realitas hidupnya.
Sikap dzikir yang selalu melingkari harinya, membuatnya selalu terjaga dan senantiasa menyadari akan adanya eksistensi Tuhan yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan demikian sikapnya akan senantiasa dihiasi dengan ketaeladanan atas sifat Kemahasempurnaan Tuhan untuk selanjutnya membumikannya dalam realitas kehidupannya karena sadar benar atas misi hidupnya sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi. Karakteristik inilah yang menjadi ruh yang memberikan vitalitas pada peradaban islamm masa awal sehingga mampu memeberikan sumbangan tak ternilai bagi peradaban jahiliyah yang hampir membusuk kala itu. Penghambaannya atas tuhan tidak menjebaknya dalam goa sufistik yang menjauhkannya dari peradaban. Justru dengan semangat tauhid itu, ia hadir di tengah realitas social memberikan tawaran alternatif orisinal untuk peradaban yang berkeadilan social.
Insan cita ulil albab tidak akan betah hidup di tengah ketimpangan, penindasan, ketidak adilan, dan kesenjangan social, karena dimatanya setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama sejajar dimata Tuhan. Hanya kualitas imanlah yang menentukan derajat kemuliaan makhluk di hadapan Sang Khalik. Begitulah insane ulil albab, keberadannya merupakan perlawanan atas penindasan, nafasnya adalah energy bagi tegaknya keadilan, dan derap langkahnya adalah jaminan atas transformasi social.
Di tengah skeptisisme banyak orang atas masa depan demokrasi Indonesia, orisnalitas karakter ulil albab dengan integritas antara iman dan amal merupakan jawaban dalam penegakan kepemimpinan moral-intelektual di tengah politik nir-etika nan tuna moral yang makin karut ini. Moral dalam arti ini ialah nilai-nilai kolektif suprastruktural yang mengatasi basis material. Intelektual di sini berarti aktor yang relatif mampu mentransendenkan diri dari kepentingan korporatis maupun kelas (golongan). Hal ini tidak berarti bahwa intelektual mengabaikan kepentingannya demi suatu ide kolektif. Yang terjadi, aneka kepentingan ideal intelektual (yang muncul dari proses rasionalisasi) mengimbangi, adakalanya mendahului, bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan praktis dan material mereka.
Kepemimpin moral-intelektual dengan karakteristik ulili albab diharapkan bisa mengkonsolidasikan demokrasi dengan memperbaiki kualitas institusi demokrasi, memperkuat cita-cita ideal politiknya, mampu membangkitkan kepercayaan rakyat pada kemampuan sendiri, dan sanggup menyusun tenaga rakyat demi tujuan politik. Membangkitkan semangat dan kemauan kolektif bangsa majemuk bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan energy yang besar yang ditunjang dengan kepemimpinan yang kuat untuk merangkum keragaman posisi, keragaman faktor penentu, dan keragaman aliansi. Disinilah urgensitas pribadi ulil albab dibutuhkan.
Berdamai Dengan Alam Demi Keberlanjutan Ekologi dan Masa Depan Kerajaan Bumi
Setiap kali membaca berita aktual dimedia massa akhir-akhir ini, selalu saja ada kolom yang memuat soal banjir yang tengah melanda sebagian wilayah Indonesia, bahkan sebagian wilayah Jember sempat lumpuh gara-gara luapan air bah Sungai Bengawan Madiun. Banjir memang bukan peristiwa luar biasa bagi Negeri ini, bahkan bagi sebagian kota seperti Jakarta, Semarang, Jember, Banjiir adalah sebuah keniscayaan yang mesti disambut setiap kali datang musim hujan.
Namun yang agak menggangguku adalah bahwa di tengah musim hujan seperti ini masih saja tak sedikit orang yang mengeluh "huh panase ra pantes" (panas banget!!). sebenarnya apa yang terjadi dengan bumiku???Sebagian diantara kita mungkin mengkambinghitamkan bumi sebagai penyebabnya, bahwa planet singgah trah adam ini nampaknya semakin tua semakin tak bersahabat dengan para penghuninya. Namun bagi sebagian yang lain yang mempunyai kesadaran reflektif, mereka akan lebih arif menyikapi pemanasan global yang merupakan salah satu wujud dari gejala perubahan iklim ini dengan secara jantan mengakui bahwa manusia lah yang tak bershabat dengan lingkungan alam tempat tinggalnya.
Perlakuan tak bersahabat manusia berupa eksploitasi berlebihan atas kekayaan alam tanpa disertai upaya pemulihan yang cukup adalah determinan utama yang mengakibatkan ketimpangan alam yang mengganggu keharmonisan ekosistem dan berujung pada perubahan perilaku alam(baca:perubahan iklim). Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya ( Anwar, 2007 ). Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Jika ada satu elemen saja dari tatanan dalam suartu ekosistem ini terganggu, maka akan berdampak pada kelangsungan keseluruhan ekosistem tersebut. Dalam perspektif Cappra, menusia bukanlah entitas diluar ekosistem, melainkan bagian inheren dalam ekosistem bumi yang tak terpisahkan. Atas asumsi relasi ekologi ini, bisa dikatakan jika alam ( baik tumbuhan, maupun isi perut bumi ) mengalami kerusakan, maka kelangsungan hidup manusia pun akan terancam. Disinilah letak urgensitas atas laku dan tindakan untuk menjaga keseimbangan ekosistem (baca alam) jika tak ingin mempercepat akhir dari dunia.
Selama ini manusia memang cenderung teramat abai dengan alam(akui sajalah), demi ambisi pengejaran materi, nafsu perut, atau sekedar sensasi mulut, dengan keji manusia memperkosa habis kecantikan dan keanggunan alam. Penjarahan sumberdaya alam yang telah melampaui batas telah mengakibatkan makin meningkatnya ancaman krisis ekologis dan tingginya kerentanan pada masyarakat, termasuk berbagai macam bencana alam sebagaimana yang akhir-akhir ini tak henti menyapa negeri ini. Banjir, tanah longsor, abrasi pesisir, dan bencana alam lainnya nampaknya semakin akrab saja dengan negeri ini. Jika musim hujan datang seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan berita di TV, Koran, media online, atau radio, selalu saja di penuhi pemberitaan tentang banjir bandang yang melanda beberapa daerah di negeri ini. Yang masih hangat adalah reportase tentang sebagian wilayah Jawa Barat termasuk DKI Jakarta yang di genangi air bah yang meluap dari sungai Ciliwung yang merupakan buah dari perusakan kawasan puncak oleh pemegang kuasa modal yang di amini aparat yang dihinggapi pragmatisme egoistik. Tak ketinggalan Ngawi, Jember, Madiun, Banjarnegara, dan Semarang adalah kota-kota lain di Jawa yang menjadi langganan tetap banjir.
Disinyalir kerusakan hutan adalah sumber utama dari berbagai bencana yang melanda sebagian daerah di Jawa. Kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa saat ini hanya sekitar 3 juta hektar, 2,4 juta hektar dikuasai Perum Perhutani dan 0,6 juta hektar lainnya dalam bentuk taman nasional dan cagar alam yang dikuasai Departemen Kehutanan atau hanya 20 persen dari luas daratannya. Padahal, Undang-Undang Kehutanan No. 40 tahun 1999 mengamanatkan 30 persen dari luas daratan adalah hutan. Artinya, dilihat dari daya dukung ekologi, dibanding luas daratannya, kawasan hutan Jawa belum mencukupi hingga perlu ditambah luasannya. Dari hutan Jawa seluas itu, 1,767 juta hektar (59%) merupakan hutan produksi miskin jenis (monokultur) yang sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai penyangga kehidupan, penyimpan air, apalagi penahan banjir. Hutan monokultur ini tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, dari Ciamis hingga Banyuwangi. Berdasarkan data Perum Perhutani, dari 2,4 juta hektar kawasan hutannya di Pulau Jawa, 80 persen lebih merupakan hutan monokultur yang didominasi tanaman jati (51,73%) dan pinus (35,14%) (BritaBumi, 28 Maret 2008). Dengan luasnya hutan monokultur, daya dukung lingkungan Pulau Jawa semakin menurun dan mudah sekali memicu banjir. Atas kenyataan memilukan ini, siapakah yang mesti bertanggung jawab?
Memang sebagian kerusakan hutan itu dilakukan oleh rakyat miskin yang terjepit oleh penderitaan. Tetapi skalanya tidak seberapa dibandingkan dengan pembalakan liar yang dilakukan pengusaha hitam, tentu via kongkalikong dengan aparat. Sebuah kolaborasi amoral minoritas yang berimbas kerusakan dan kepedihan dahsyat bagi mayoritas penduduk. Jika sudah demikian, siapa yang patut kita persalahkan? atau kepada siapa kita mesti mengadu? Sudah saatnya semua pihak berbenah, pemerintah sebagai pemegang tampu kekuasaan, mesti memainkan peran semestinya, menindak tegas dan keras para Mafioso penghisap hasil alam ini. Disamping itu juga perlu adanya implementasi kebijakan yang terpadu (di semua lini) yang berorientasi pada keberlanjutan ekologi, mulai dari kebijakan HPH sampai regulasi planologi (rancana tata kota), karena kepadatan penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan area permukiman yang memadai, yang seringkali berimbas pada ekspansi atas lahan-lahan konservasi. Dalam hal ini, pemerintah mesti lebih ketat dalam pelaksanaan perizinan mendirikan bangunan, pemukiman, terlebih untuk industry. Di daerah kita sendiri (di sekitaran UMY) saja, sama-sama kita seksikan, percepatan pembangunan telah menciutkan lahan-lahan persawahan. Area yang dulu merupakan lahan sawah yng menghampar hijau berubah menjadi kampus, kantor, ruko, atau rumah. Apakah pendirian bangunan-bangunan ini memenuhi AMDAL(analiisa dampak lingkungan) yang memadai? Wallhau alam.
Lebih jauh lagi, agaknya perlu dilakukan pembenahan atas paradigma dan laku aksi manusia yang selama ini cenderung dangkal dan tak ramah lingkungan. Cara pandang dangkal yang dijiwai pragmatism egoistic mesti segera digusur, digantikan dengan paradigma yang lebih arif, ramah lingkungan, dan berorientasi pada keberlanjutan ekologi. Hal ini menuntut upaya keras dari segenap unsure pemerintah dan masyarakat untuk menyemaikan nilai-nilai kesadaran lingkungan karena nampaknya yang satu ini juga merupakan problem mendasar masyarakat kita. Di lingkungan kita saja –tak usah jauh-jauh-, setiap saat kita dapati sampah berceceran dimana-mana. Di lobi, kamar mandi, plataran, lorong kelas, lift, secretariat organisasi mahasiswa (termasuk BEM, KOMAHI mungkin), ruang kelas, lubang angin, kolong meja, bahkan dicelah engsel bangku kuliah. Huft…sampah konsumsi dengan segala wujudnya bisa kita jumpai di tiap sudut kampus yang elok ini. Inilah realita miris sekaligus ironis di kampus kita, apalagi jika mengingat kredo yang selalu dibanggakan “unggul dan islami”. Seperti inikah karakter pribadi “unggul dan Islami”? tentunya tidak.
Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk merubah perilaku yang lama mengendap dan menjadi kebiasaan. Karenanya penanaman kesadaran ekologi memang mesti ditanamkan sejak dini untuk menyemai dam menghujamkan nilai-nilai kearifan lingkungan dan kelestarian ekologi agar generasi mendatang bisa memandang dan memperlakukan alam secara arif dan bijak demi kelangsungan sistem kehidupan di bumi ini. Atas yang satu ini, nampaknya pemerintah juga mulai menyadari hal tersebut, awal tahun ini bekerja sama dengan British Council Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan materi ajar Cimate4klassrooms (C4C) yang menekankan kesadaran perubahan iklim bagi siswa sekolah mulai tingkat dasar (SD) hingga menengah atas (SMA). Agaknya kebijakan eco-school ini bisa menjadi langkah awal yang cukup berarti bagi upaya pembenahan perilaku kita atas alam, agar generasi mendatang bisa lebih arif memperlakukan alam.
Akhirnya, matahari sudah menyingsing, sudah sepenggalan, sudah teramat siang untuk bergegas, membenahi segala sikap keji kita terhadap alam untuk masa depan generasi kita sendiri. Perubahan iklim dengan segala bentuk gejalanya hanyalah dampak dari akumulasi cara hidup dangkal manusia yang tak ramah lingkungan –sekaligus awal dari kehancuran yang lebih dahsyat jika tak segera didamaikan. Banjir dan segala macam bencana alam lain adalah teguran dari alam atas perilaku manusia yang tak lagi manusiawi. Alam tak akan henti menegur kita jika kita tak segera mengindahkan tegurannya dan segera berbenah. Mari berdamai dengan alam, demi keberlanjutan ekologi dan kelestarian generasi kita!
(Pernah dimuat dalam buletin IRs News, Maret 2010)
Media Massa dan Konstruksi Realitas Politik
Dewasa ini, media massa mempunyai peran strategis dalam kehidupan politik bangsa. Peran media massa dalam menyalurkan informasi tentang peristiwa politik yang terjadi, sering memberikan dampak signifikan bagi perkembangan dinamika politik. Bahkan, seringkali peran media tidak sekedar sebagai penyalur informasi atas peristiwa politik yang sungguh terjadi, lebih dari itu media massa mempunyai potensi untuk membangun pendapat umum ( opini public ) yang bias mendorong terjadinya perubahan atas konstruksi realitas politik. Sebagai contoh, dalam kasus perseteruan KPK dan Polri, yang sempat membuat berang banyak orang. Melalui kekuatan pemberitaannya, semakin membuktikan bahwa media punya kekuatan untuk mengarahkan opini public dimana KPK dicitrakan seolah sebagai pihak yang terdzalimi sehingga mengundang simpati dari masyarakat luas.
Peristiwa politik memang selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena dua factor yang saling terkait. Pertama, dewasa ini politik berada di era mediasi ( politics in the age of mediation ), media massa mempunyai peran signifikan sebagai mediator antara actor politik dan konstituennya, sehingga mustahil memisahkan kehidupan politik dari media massa. Dalam konteks ini, sajian informasi media massa mempunyai efek ganda, yaitu dalam hal pemuas kehausan mayarakat akan informasi politik, sekaligus sebagai media sosialisasi actor politik untuk memperoleh dukungan public. Bahkan actor politik seringkali berusaha menarik perhatian media massa untuk meliput aktivitas politiknya. Kedua, peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan politik para actor politik lazimnya mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa tersebut hanya rutinitas belaka. Apalagi jika peristiwa tersebut sesuatu yang luar biasa, alhasil liputan politik senantiasa menghiasi berbagai edia massa setiap hari.
Peranan media masa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Tetapi, seiring dengan peningkatan teknologi, maka media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan media itu sendiri, maka media menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23).
Dengan peran tersebut, media massa menjadi sebuah agen dalam membentuk citra di masyarakat. Pemberitaan di media massa sangat terkait dengan pembentukan citra, karena pada dasarnya komunikasi itu proses interaksi sosial, yang digunakan untuk menyusun makna yang membentuk citra tersendiri mengenai dunia dan bertukar citra melalui simbol-simbol (Nimmo, 1999). Kesuksesan pencitraan politik SBY yang begitu kental merupakan hasil dari kesuksesannya memanfaatkan media. Dalam konteks tersebut, media memainkan peranan penting untuk konstruksi realitas sosial.
Proses Konstruksi Realitas Politik oleh Media
Proses konstruksi realitas politik pada prinsipnya merupakan setiap upaya menceritakan (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengkonstruksi realitas. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan di sajikan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media massa pada dasarnya merupakan penyusunan realitas-realitas hingga membentuk wcana yang bermakna. Dengan demikian seluru isi berita media massa adalah realist yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.
Di era industrialisasi kapitalisme dimana media massa termasuk didalamnya, muncul dilema peran media massa dalam pembentukan konstruksi realitas politik. Di satu sisi, liputan politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum (opini pubik). Daya jangkau penyebaran informasi yang begitu luas dan massif merupakan kekuatan utama media massa dalam pembentukan opini public. Hal ini disadari benar oleh para actor politik yang tak jarang memanfaatkan media massa sebagai senjata utama untuk mendapatkan dukungan public atas kepentingannya. Melalui media massa, para actor politik melancarkan propagandanya mempengaruhi sikap khalayak luas mengenai sebuah masalah yang menjadi perhatiannya.
Dalam upaya pembentukan opini public ini, seringkali media massa melakukan tiga strategi skaligus. Pertama, menggunakan symbol-simbol politik ( politics language ). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (Framing Strategies),. Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function). Ketiga strategi dalam pembentukan opni public ini seringkali dipengaruhi oleh factor internal pemangku kepentingan media massa tersebut berupa kebijakan redaksional mengenai suatu kepentingan politik tertentu, kepentinga pengelola media, relasi media dengan kekuatan politik tertentu, dan factor eksternal seperti sistem politik yang berlaku, permintaan pasar, dan kekuata-kekuatan luar lainnya. Factor inilah yang seringkali menimbulkan kemasan redaksional yang berbeda-beda antara media satu dengan yang lainnya dalam menyampaikan peristiwa politik yang sama.
Di lain sisi, industrialisasi kapitalis telah sampai merambah media massa. Dengan masuknya unsure capital, media massa harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan baik dari penjualan maupun dari iklan. tak terkecuali dalam menyajikan peristiwa politik, media masa harus memperhatikan kepuasan konsumen sebagai pasar mereka. Padahal public secara umum mempunyai keterikatan secara ideologis dengan kekuatan politik tertentu atas dasar agama, nasionalisme, ataupun sosialisme (kerakyatan). Demikian pula media massa kita pada tingkat tertentu juga terlibat dengan kehidupan atau bahkan mempunyai keterikatan dengan kekuatan politik tertentu. Hal ini seringkali menyebabkan informasi politik yang disajikan suatu media massa bersifat partisan. Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan atas media massa umumnya sangat berkepentingan dalam pembentukan konstruksi realitas politik ini.
Strategi Media Massa Melakukan Konstruksi Realitas Politik
Dalam proses konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Penggunaan bahasa mempunyai arti yang sangat penting dalam menyampaikan berita, menceritakan peristiwa, komunikasi, dan membangun wacana. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun komunikasi tanpa bahasa. Selanjutnya penggunaan bahasa tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu. Lebiyh jauh dari itu, terutama dalam media massa, pilihan bahasa ini tidak lagi sekadar sebagai alat semata untuk menggambarkan realitas, melainkan bias menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas yang muncul di benak khalayak. Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa adalah nyawakehidupan media massa.hanya melalui bahasa para pekerja media bias menghadirkan hasil reportasenya kepada public. Para peneliti berpendapat terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan media , khususnya oleh para komunikator massa, tatkala melakukan konstruksi realitas social yang berujung pada pembentukan citra sebukekuatan politik. Ketiganya adalah pemilihan symbol (fungsi bahasa), pemilihan fakta yang akan disjikan (strategi framing), dan kesediaan member tempat (agenda setting).
Pertama, dalam pilihan kata (symbol) politik. Sekalipun hanya bersifat melaporkan, tapi menjadi sifat dari pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan symbol politik. Dalam komunikasi politik, para komunikator bertukar citra-citra atau makna-makna melalui lambing politik. Mereka saling menginterpretasikan pesan-pesan politik yang diterimanya. Apapun symbol yang akan dipilih akan mempengaruhi makna yang muncul.
Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Setidaknya oleh alasan teknis keterbatasan kolom (ruang) dan durasi (waktu). Jarang ada media yang mengemas sebuah peristiwa secara utuh. Atas nama kaidah jurnalistik, media massa menyederhanakan peristiwa melalui mekanisme pembungkaian fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit. Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, sering kali media massa hanya menyoroti hal-hal yang dianggap penting saja. Pembuatan frame itu sendiri didasarkan ataas berbagai kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis,ataupun ideologis.
Ketiga, adalah menyediakan ruang atau waktu untuk peristiwa politik (fungsi agenda setting). Justru hanya jika media massa member ruang pada sebuah peristiwa politik, maka peristiwa politik akan memperoleh perhatian oleh masyarakat. Semakin besar tempat yag diberikan semakin besar pula perhatian yang diberikan khalayak. Pada konteks ini, media mempunyai fungsi agenda setter. Bila satu media menaruh sebuah peristiwa sebagai head-line pasti peristiwa tersebut memperoleh perhatian yang besar dari public. Faktanya, konsumen media jarang memperbincangkan kasus yang tidak dimuat oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting untuk diketahui masyarakat.
Penutup: Media dan Demokratisasi
Banyak aspek dari media massa yang membuat dirinya penting dalam kehidupan politik. Memang harus diakui, efektivitas media untuk suatu perubahan politik memerlukan situasi politik yang kondusif, yang popular disebut keterbukaan politik. Tetapi pers yang bebas merupakan salah satu indicator adanya keterbukaan politik itu sendiri, karena pers yang bebas juga merangsng terjadinya kebebasan politik. Pemberitaan-pemberitaan politik yang actual dan kritis dapat member kesadaran pada masyarakat tentang perlunya sistem politik yang lebih demokratis.