Rabu, 22 Desember 2010

Beberapa Langkah dalam Melakukan Analisis Sosial Kerangka Perumusan Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Pengantar
Berbicara tentang analisis sosial sesungguhnya bukan merupakan hal yang asing dalam keseharian kita. Dari seorang anggota dewan yang sedang membahas RUU, hingga lingkungan keluarga yang membicarakan problem dan solusi keluarganya pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan yang memakai analisis sosial. Jadi Ansos bukanlah sesuatu yang aneh dan baru (sebagai bentukan).

Dalam satu definisi yang sederhana, analisis sosial menunjuk pada usaha untuk mendapatkan pemahaman tentang situasi sosial dengan menelaah kondisi serta kaitan antara fakta historis dan struktural. Melalui analisis sosial kita akan mampu menangkap realitas sosial yang kita gumuli. Sehingga dalam banyak kalangan analisis sosial memiliki manfaat: (1) Mendapatkan pemahaman tentang masalah-masalah kunci yang ada di masyarakat (2) Mendapat informasi kelompok mana dalam masyarakat yang mendapatkan akses pada sumber daya (3) Kait-mengkait antar berbagai sistem dalam masyarakat (4) Mengetahui segala potensi yang ada dalam masyarakat (5) Mampu mengambil tindakan-tindakan yang mengubah situasi dan yang memperkuat situasi. Tentu untuk mengetahuinya, sekali lagi, model pendidikan partisipatoris dapat dikerjakan untuk memulainya.

Sedangkan dalam terminologi sosial terdapat beraneka ragam aliran dalam melakukan analisis sosial. Diantara aliran-aliran ini memiliki berbagai keunggulan sekaligus kelemahan masing-masing. Untuk sekedar referensi penulis kutip disini beberapa aliran dalam melakukan analisis sosial yang meliputi:
1. Aliran fungsionalis
Aliran ini cenderung melihat fungsi dari pelaku sebagai tanggapan logis atas munculnya sebuah fenomena sosial. Implikasi dari pendekatan ini pemecahan yang dikedepankan lebih bersifat pragmatis.
Kelemahan: Walaupun mengarah ke kondisi yang baik dan berusaha membuat suasana kembali harmonis namun aliran ini tidak mempertanyakan adil atau tidaknya kondisi, serta tidak mendorong ke arah perubahan
Pendekatan ini lebih cenderung ke arah pemecahan edukasi

2. Aliran strukturalis
Perubahan yang dikedepankan pada aliran ini lebih pada perombakan seluruh struktur-struktur yang menindas, yang telah mengakibatkan penindasan.
Kelemahan: pendekatan ini melihat hal-hal yang makro seperti Bank Dunia, IMF dan cenderung melupakan hal-hal yang kecil, seperti bagaimana buruh bisa tetap makan.
Pendekatan ini lebih cenderung mengarah pada proses revolusi

3. Aliran Fenomenologis
Ciri analisisnya sangat mikro, detail dan selalu mengaitkan dengan teori-teori besar. Memang tidak ada saran atau aksi yang bisa mengubah kondisi.
Kelemahan: Yang dilakukan pada aliran ini hanya mengamati saja dan menuliskan realitas yang ada tanpa keberpihakan
Pendekatan ini kerapkali memanfaatkan perangkat visualisasi

4. Aliran Humanis
Ciri analisisnya melihat pada budaya dan kesadaran manusia sebagai sebab dari masalah yang muncul
Kelemahan aliran ini: Terlalu lokal dan pemecahannya sangat bersifat jangka pendek
Pendekatan ini misalnya dengan menggunakan sarana advokasi

Dari berbagai aliran ini kita bisa melakukan ‘pilihan’ bebas sesuai dengan kebutuhan di tingkatan lokal masyarakat. Dalam pelatihan berbagai aliran ini sekedar untuk ‘referensi’ teoritis sehingga memudahkan dalam mengkaji tipologi gerakan sosial macam apa yang bisa diterapkan pada masyarakat. Analisis sosial ini tugas pertama yang memang mutlak dilakukan jika terjun ke masyarakat, mengingat melalui analisis sosial yang cermat akan dihasilkan sejumlah data akurat dan rekomendasi tindakan yang bermanfaat di masa depan. Alhasil sebuah gerakan sosial kuncinya yang utama adalah memahami gerak-gerik pertumbuhan masyarakat sebab dari sana akan diketahui kemana perubahan itu akan berujung dan hasil seperti apa yang akan didapatkan.

Langkah-langkah untuk melakukan ansos sebagai berikut:

A. Orientasi Dasar
Tak ada analisis sosial yang “bebas Nilai”.

• Apakah keyakinan dan nilai dasar kita?
• Apakah dasar yang memberi ciri khusus pada tindakan kita?

Dua pertanyaan tersebut berbicara tentang orientasi kita atau visi dan misi kita. Langkah ini dapat juga sebagai “pembongkaran”, karena disini kita mengarahkan diri pada penegasan nilai-nilai sebagai titik tolak. Orientasi inilah yang akan menjadi penuntun kita dalam melakukan analisis sosial. Penegasan nilai-nilai inilah yang kemudian menuntut adanya pemihakan ketika seseorang melakukan analisis sosial.

B. Deskripsi
Langkah berikutnya yaitu membuat deskripsi umum dari situasi yang sedang kita pahami, misalnya:
a. Permasalahan sosial (Pengangguran, perumahan yang tidak layak, kurangnya pengembangan sektor usaha kecil, dan lain-lain)
b. Institusi (sekolah, perusahaan, dan lain-lain)
c. Kesatuan wilayah geografis (RT, RW, desa, bangsa, dan lain-lain)

Untuk menyususnnya kita bisa saja menggunakan pendekatan impresionistik dengan mengumpulkan fakta dan kecenderungan melalui brainstorming dan cerita-cerita yang bersentuhan dengan masyarakat
• Apa yang sedang terjadi pada situasi sekarang?
• Apa yang diungkapkan oleh foto-foto tersebut?
• Bagaimana kita membahas masalah-masalah yang paling mencolok dalam situasi sekarang ini?

Yang perlu diingat bahwa dalam tahap ini target kita hanyalah untuk menyusun deskripsi. Kita belum mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang situasi sosial, atau belum mencoba memahami hubungannya dengan situasi sosial yang lebih luas dan lebih umum. Dalam artian kita sampai disini belum melakukan analisis.

C. Analisis
Analisis sosial merupakan sebuah “usaha untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi sosial dengan menggali huungan-hubungan historis dan strukturalnya”. Kita dapat mengerjakan ini dengan menjawab empat pertanyaan mengenai sejarah, struktur-struktur, nilai-nilai, tanggapan, dan arah situasi yang sedang kita analisis.

SEJARAH

Manakah garis utama dari sejarah situasi ini?

Kita memandang situasi dengan mata kesadaran historis dan mulai mengenali pengaruh masa lalu yang melatarbelakangi keadaan sekarang.
a. Manakah periode utama yang merupakan perkembangan situasi ini?
b. Pola-pola gerak perkembangan mana yang dapat diamati?
c. Manakah penentu utama dalam perkembangan situasi ini?
d. Apakah kita dapat menamai peristiwa-peristiwa besar yang telah mempengaruhi perjalanan sejarah situasi ini? Seperti misalnya peristiwaperistiwa nasional, tindakan-tindakan yang diambil pemerintah, dan lain-lain

STRUKTUR

Manakah struktur utama yang mempengaruhi situasi ini?

Berbagai struktur membentuk situasi dengan bermacam-macam cara. Itulah lembaga-lembaga, proses-proses dan pola-pola yang merupakan faktor-faktor penentu wujud realitas sosial. Beberapa struktur cukup jelas, sedang lainnya tersembunyi, tetapi semuanya saling berkait.

Struktur-struktur ekonomi utama yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur sumber-sumber daya, seperti:
• Produksi, distribusi, transaksi, dan konsumsi;
• Modal, tanaga kerja, dan teknologi;
• Pemusatan-pemusatan dan gabungan-gabungan perusahaan;
• Kebijakan-kebijakan pajak, sukubunga, dan sebagainya.

Struktur-struktur politik utama yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur kekuasaan, seperti:
• Prosedur-prosedur pembuatan keputusan;
• Gaya hidup dan kepemimpinan;
• Akses terhadap pengaruh politik;
• Institusi politik resmi: konstitusi, partai, pengadilan, militer;
• Tak resmi: klik-klik, lobbying;
• Pola-pola partisipasi

Struktur-struktur sosial utama yang menentukan bagaiman masyarakat mengatur hubungan-hubungan (selain relasi ekonomi dan politik), seperti:
• Keluarga, marga, suku;
• Lingkungan sekitar;
• Pendidikan, rekreasi;
• Jaringan-jaringan komunikasi, media;
• Pola-pola bahasa.

Struktur-struktur budaya utama yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur makna dan nilai, seperti:
• Agama;
• Simbol-simbol, mitos dan impian;
• Kesenian, musik dan cerita rakyat;
• Gaya hidup, tradisi-tradisi

NILAI-NILAI KUNCI

Manakah nilai-nilai kunci yang bekerja dalam struktur tersebut?

Berikut ini kita berbicara mengenai nilai-nilai sebagai cita-cita yang menggerakkan masyarakat, ideologi-ideologi dan norma-norma moral yang menuntun, aspirasi-aspirasi dan harapan-harapan yang ada dalam masyarakat, nilai-nilai sosial yang dapat diterima dan telah diterima. Tentu saja semua itu berkaitan dengan struktur-struktur budaya.
• Nilai-nilai apa yang sungguh hidup?
• Siapakah yang pertama-tama membawa nilai-nilai itu, orang, lembaga atau yang lain?


TANGGAPAN

Bagaimana tanggapan berbagai pihak atas situasi ini?

Persoalan atau situasi yang menjadi fokus perhatian dalam analisis ini barangkali sudah mendapat perhatian atau tanggapan dari berbagai pihak seperti pemerintah, organisasi non pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan, dan pihak-pihak lain. Tanggapan-tanggapan itu perlu dipetakan.
• Tanggapan apa saja yang telah diberikan pemerintah?
• Tanggapan apa saja yang telah diberikan oleh organisasi non pemerintah?
• Tanggapan apa saja yang telah diberikan oleh lembaga-lembaga keagamaan?
• Apa saja tanggapan dari pihak lain?

ARAH MASA DEPAN

Bagaimanakah arah masa depan dari situasi ini?

Memandang masa depan sebenarnya bisa lebih menyingkapkan situasi masa kini ketimbang masa depan itu sendiri. Ini berarti imajinasi skenario-skenario masa depan memberikan kepada kita wawasan tentang dinamika dari apa saja yang sebenarnya terjadi sekarang.
• Kecenderungan (trend) terpenting yang terungkap dalam situasi sekarang ini?
• Apakah kita dapat meramalkan kemungkinan-kemungkinan atas dasar keadaan yang berlangsung dewasa ini?
• Jika masa depan segala hal berlangsung seperti sekarang, situasi seperti apakah yang akan terjadi dalam 5 tahun kedepan? (tergantung jangka waktu yang mau dilihat!)
• Manakah sumber-sumber kreatifitas dan harapan yang ada sekarang bagi masa depan?

MATRIKS ANALISIS

Analisis sosial pada dasarnya merupakan upaya kita untuk menempatkan suatu masalah tertentu dalam konteks realitas sosial lebih luas yang mencakup konteks historis, struktur (ekonomi, politik, sosial, budaya), nilai, dan konteks tingkat atau aras (lokal sampai global). Untuk menolong pemetaan tersebut kita bisa gunakan matriks berikut agar lebih mudah dalam membedah suatu masalah sosial.




Unsur-Unsur Komunitas Kabupaten Propinsi Nasional Regional Global
Sejarah
Struktur Ekonomi
Struktur Politik
Struktur Sosial
Struktur Budaya
Nilai yang hidup
Tanggapan
Trend masa depan

D. Kesimpulan
Analisis yang telah kita lakukan akan mengungkapkan bermacam-macam segi yang berpengaruh pada situasi yang sedang kita coba pahami. Sekarang tugas dan langkah terakhir adalah menarik beberapa kesimpulan agar kita dapat melihat dengan tajam unsur-unsur terpenting dalam situasi kini.

Unsur-unsur tersebut merupakan penyebab paling mendasar dalam sebuah situasi yang berbeda dengan gejala-gejala. Dalam pendekatan analisis yang diajukan Paulo Freire unsur-unsur akar itu disebut generative themes. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk menemukan unsur-unsur akar:
• Satu atau dua peristiwa sejarah manakah yang membentuk keadaan dewasa ini?
• Faktor-faktor ekonomi, sosial, dan kultural manakah yang paling menentukan cara kerja sistem yang ada?
• Manakah nilai-nilai yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap perilaku masyarakat?
• Tanggapan manakah yang paling berpengaruh pada situasi ini?
• Manakah kecenderungan yang nampaknya paling mungkin dimasa depan?

Jika berbagai unsur pokok sudah diprioritaskan, kita perlu melakukan usaha berikutnya yaitu pengelompokan atau penggolongan tingkat, kemudian menarik beberapa kesimpulan:
• Manakah dua atau tiga unsur pokok yang paling bertanggungjawab terhadap situasi yang sedang terjadi dewasa ini?
• Atas kepentingan siapa unsur-unsur pokok itu bekerja?

Read More..

PARADIGMA-PARADIGMA SOSIOLOGI dan ANALISIS SOSIAL

PENGANTAR

Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.

Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.

Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.

ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL

Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Fildsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.

ASUMSI ONTOLOGIS

Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah relaitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

ASUMSI EPISTEMOLOGIS

Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasdarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.

ASUMSI HAKEKAT MANUSIA

Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dsengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.

ASUMSI METODOLOGIS

Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukuim-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “ tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.


Bagan Asumsi-Asumsi Dasar ilmu Sosial
(Dimensi Subyektif-Obyektif)


Nominalisme – Realisme : Debat Ontologis

Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap merupakan sesuatu yang berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label yang digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, emberi pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.

Realisme beranggapan bawa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilii penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

Anti-positivisme – Positivisme: Debat Epistemologis

Sebutan “kaum positivis” sama seperti “kaum Borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan tertentu. Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atua pendirian epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampuradukkan dengan “empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.

Pendirian epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental; tetapi sering juga jipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan falsisikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang tatanan sosial sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif dimana pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa salah yang pernah ada.

Pendirian epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah atau menegasdkan tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang-perorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui kerangka berpikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengaetahuan tentang apa saja.

Volunterisme – Determinisme : Debat Hakekat Manusia

Kaum determinis menganggap bahwea manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitar dimana ia berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan berkemauan bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori ilmu sosial.

Ideografis – Nomotetis: Debat Metodologis

Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan langsung sedelkat mungkan dengan memahami sejarah hidup dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang diteliti dibirkan muncul apa adanya.

Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian hipotesa dengan dalil-dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk menganalisis data. Survei, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.

ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL

Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih duaratus tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial atau kemanusia. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam ontologinya, kaum positivis dalam epistemologinya, pandangan deterministik mengenai sifat manusia dan nomotetis dalam metodologinya.

Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi “ruh” atau “gagasan”. Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologinya anti-positivis damana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan volunteris terhadap fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisis sosialnya.

Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial. Jalan tangan dari kedua kutub memunculkan bebrapa pemikiran baru seperti fenomenologis, etnometodologi dan terori-teori aksi. Aliran tengah ini sealin menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengna baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.

ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
TENTANG HAKEKAT
MASYARAKAT

Semua pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir, pandangan dan anggapan-anggapan dasar tertentu.

Debat Ketertiban – Pertentangan (Order-Conflict Debate)

Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi dalam dua pandangan: pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan mengenai perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat. Yang pertama penganutnya jauh lebih banyak dari kedua. Menurut Dawe, yanhg pertama merupaka teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970), Van den Bergh (1969) mwnganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya. Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk mnenjelaskan ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.

Cohen (1968), berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion), kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), imbal balik (reciprocity), kerjasama (coorperation), keterpaduan (integration), ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak pertentangan sosial ditandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan (hostility), ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan (malintegration) dan perubahan (change).

Bagan Teori Masyarakat:
Ketertiban dan Pertentangan



Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara ketertiban dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur kedua corak masyarakat, sehingga tidk perlu diperdebatkan.

Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.

Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan. Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya “penguasaan” (domination).

Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat secara radikal.

Banyak analisis tentang ketertiban dan pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak dan membuat pengertian menjadi suram tentang perbedaan mendadsar keduanya. Oleh karena diusulkan adanya perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan radikal dalam menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain sama sekali yakni: keteraturan (regul;ation) dan perubahan radikal (radical change).

KETERATURAN VS
PERUBAHAN RADIKAL


Istilah ini diusulkan karena telah terjadi banyak ketidakjelasan dalam embedakan corak ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang menekankan pentingnya kesatuan (unity) dan kerapatan (cohesiveness). Teori ini mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan radikal sarat dengnan keinginan menjelaskan tentang perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan yang mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai struktur (tatanan) masyarakat yang membatasi dan menghalangi potensinya untuk berkembang. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa yang mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari sekadar kemapanan.

Skema Keteraturan Perubahan Radikal



DUA DIMENSI, EMPAT
PARADIGMA

Sejak 1960-an telah terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam perkembangannya berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal 1970-1n telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi baik mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-1n. Untuk menembus kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur penting dari perdebatan yang terjadi pada 11960-an dan cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: humanis, radikal, strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.


Paradigma Teori Sosial


Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.

Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma

Paradigma diartiokan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengetian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.

Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak di anut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan penyingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.

Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai pewrsentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis. Interaksi antar paradigma digambarkan sebagai berikut :

Pengaruh Pemikiran yang Membentuk Paradigms Fungsionalis




Paradigma Interpretatif

Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.

Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang beradsal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.

Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.

Paradigma Strukturalis Radikal

Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru

Read More..

Falsafah dan Genealogi Perkaderan IPM

Oleh : Subhan Purno Aji

Pertama-tama yang akan saya sampaikan merupakan sikap pemikiran saya atas menulis teks-teks Sistem Perkaderan IRM/IPM, Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepribadian IPM, sehingga yang akan saya sampaikan adalah lebih sebagai tafsir atas teks-teks tersebut. Tentu, sebagai seorang penafsir, saya tidak dapat melepaskan diri dari konteks sejarah dan psikologis. Pertama, konteks sejarah karena saya adalah alumni IRM, setidaknya pernah hidup pada saat teks tersebut ditulis sampai kemudian teks tersebut ditanfidzkan. Dan, kedua, konteks psikologis karena pasti saya tidak lepas dari dimensi kejiwaan yang pasti subyektif. Jadi pasti hasilnya relatif dan barangkali tidak sesuai dengan ”tafsir resmi” IPM.
Perkaderan bagi IPM adalah hal mutlak. Bahkan saking pentingnya, perkaderan sama dengan eksistensi IPM itu sendiri. Jadi, singkatnya tidak disebut IPM kalau tidak ada perkaderan. Sama halnya dengan permainan sepakbola tanpa ada bola tidak dapat disebut sebagai sepakbola. Karena memang sejatinya IPM adalah gerakan kaderisasi, yang semestinya seluruh aktivitas organisasional dan personal bermuara pada kaderisasi.
Tulisan ini diawali dari elaborasi dasar-dasar gerakan IPM dan implikasinya terhadap perkaderan IPM. Selanjutnya akan dijelaskan genealogi gerakan IPM yang tidak mungkin dilepaskan dari penjelasan genealogi perkaderan IPM. Dan tulisan ini diakhiri dengan semacam ”curhat” saya atas perkembangan IPM saat ini.

Dasar-dasar Gerakan IPM
Pada dasarnya, dasar-dasar gerakan IPM sesuai dengan faham keagamaan Muhammadiyah. Hal tersebut dapat dilacak dalam pemikiran Muhammadiyah generasi awal. Dalam buku Ideologi Kaum Reformis (2002), Ahmad Jaunuri melacak formasi ideologi Muhammadiyah generasi awal. Menurutnya, ada dua hal yang penting. Pertama, revitalisasi dasar-dasar keyakinan keagamaan dengan slogan al ruju’ ila al-qur’an wa as-shunnah, kembalikan permasalahan kepada sumbernya (Al Qur’an dan Asshunnah) dan perluasaan paham agama melalaui filsafat keterbukaan, toleransi dan pluralitas. Kedua, penafsiran doktrin Islam untuk pembaruan sosial. Dari dua dasar ini sesungguhnya Muhammadiyah tidak hanya mementingkan orthodoksi (ajaran) tetapi juga ortho-praksis (praktik hidup beragama). Oleh karena itu, pada hemat saya, secara singkat yang menjadi dasar sekaligus kredo gerakan IPM adalah Tauhid Sosial yang Transformatif (TST). TST lebih sebagai sikap teologis, sebagai sikap untuk mengaitkan (bahkan mengkonfrontasikan) iman dengan realitas sosial. Sebab, akhir-akhir banyak pertanyaan bahkan keraguan agama dalam menjawab permasalahan-permasalahan sosial kekinian, seperti korupsi, ketidakadilan dan kemiskinan. Sikap teologis ini adalah mencoba menghimpun kekuatan simbolik yang dimiliki oleh setiap muslim yang meyakini tujuan risalat al-islamiyyahadalah bagaimana membawa ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk menegakan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita ketakwaan (Abdurrahman, 2003:vi).
Pada dasarnya, Islam merupakan agama yang sangat humanistik, yakni agama yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Namun, cita humanisme Islam bukanlah humanisme sekuleristik-agnostik, tetapi humanisme yang dibingkai oleh nilai-nilai ketuhanan, yakni Tauhid. Sebab, tauhid merupakan inti dari seluruh misi kenabian. Dengan pemahaman seperti itu, Islam memiliki ciri ajaran yang humanistik-teosentrik, yakni bagaimana nilai-nilai ketuhanan harus diterjemahkan bagi kepentingan umat manusia. Bahkan, secara ekstrim, mengikuti pendapat Munir Mulkhan (2001), bahwa Tuhan menurunkan agama bukan untuk Tuhan sendiri tetapi untuk kepentingan manusia. Pengejawantahan dari nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan dalam tiga pondasi khairu ummat (QS. 3:110), yaitu ta’muruna bi al ma’ruf (humanisasi), tanhauna ’ani al-munkar (liberasi) dan tu’minuna bi allah (transendensi) (Kuntowijoyo, 1991: 198-289).
Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Lebih lanjut, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Liberasi adalah pemaknaan kreatif atas konsep nahyi al-munkar. Secara lebih mendasar liberasi bertujuan membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Sedangkan transendensi merupakan pemaknaan elaboratif dari konsep tu’minuna al-billah, yang memabntali dua unsur di atas. Transendesi sekaligus sebagai kritik. Melalui kritik transendensi tidak hanya dimaksudkan memberi makna pada tujuan hidup manusia tetapi juga menjadi katalisator terhadap perkembangan teknis yang seharusnya diarahkan kepada pengabdian kemanusiaan dan kebudayaan (Muttaqin, 2008).
Tauhid sosial transformatif ini memiliki tiga elemen, yaitu utopia, kritis dan praksis pembebasan (Nuhamara, 2004: 326-43). Utopia mengandaikan bahwa perjuangan IPM adalah lahan ibadah, perjuangan untuk menolong agama Alloh (QS. ;7) dan ladang berjihad (QS. 9:38-41). Dari dasar ini, perjuangan IRM merupakan sarana menuju mardhatillah (QS. :154), dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Sementara itu, kritis disini dimaknai sebagai cara pandang terhadap realitas sosial. Cara pandang ini mengandaikan realitas sosial, pertama, merupakan jalinan dari hubungan yang dominatif dan timpang. Kedua, mengaitkan pengetahun dengan perubahan sosial. Sementara, praksis pembebasan merupakan penjabaran keyakinan ontologis wahyu (tauhid) untuk transformasi sosial dengan “mendaratkan” keyakinan langit pada bumi realitas. Praksis pembebasan dilandasi dengan keberpihakan. Keberpihakan kepada golongan yang lemah (dhu’afa) atau dilemahkan (mustadl’afin).

Bagan 1. Unsur-unsur dalam Tauhid Sosial Transformatif

Utopia










Kritis Praksis

Pada dasarnya sebagai sebuah gerakan, IPM wajib bertumpu pada tiga momen. Pertama, refleksi adalah merupakan proses perenungan dengan menyandingkan antara yang seharusnya dengan apa yang terjadi. Momen ini sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai dan dunia objektifdalam dunia subyektif. Hasil dari proses ini pada dasarnya adalah kesadaran akan adanya masalah. Seperti kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan diawali dari refleksi tentang pesan Al Qur’an (QS. 3: 103) terhadap kondisi umat Islam di Hindia-Belanda yang masih didera kebodohan dan keterbelakangan dalam cengakraman kolonial. Kedua, aksi adalah implementasi dari hasil refleksi. Aksi ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut. Momen ini sekaligus eksternalisasi penyesuaian diri subyektif dan pencurahan nilai-nilai yang disandang individu pada dunia yang objektif. Ketiga, evaluasi merupakan hasil balikan dari aksi yang telah dilakukan. Momen ini merupakan hasil dari momen elsternalisasi dan merupakan hasil dari interaksi yang telah terjadi. Ketiga momen ini berjalan secara kontinyu dan merupakan satu kesatuan, sebagai sebuah siklus. Berikut ini penyerdehanaannya.

Bagan 2. Siklus Gerakan IPM

Aksi




Refleksi Evaluasi




Jika momen refleksi-aksi-evaluasi merupakan penerapan apada level makro (gerakan), maka pada level mikro (individu kader) memiliki skema terilogi pembaruan IPM. Secara mikro, penggambaran ideal gerakan IPM harus termanifestasi dalam trilogi pembaruan IPM. Pembaruan gerakan IPM merupakan proses yang terus menerus sebagai konsekuensi klaim never ending movement. Maka, sejatinya seorang kader wajib memiliki karakter trilogi jihad, ijtihad, mujahadah. Jihad dalam Al-qur’an disebutkan sebanyak 41 kali, merupakan derivasi dari kata jahada, yujahidu, jihadan yang berarti kesungguh-sungguhan dalam melakukan sesuatu (all out). Konsepsi jihad dekat dengan konsep ijtihad dan mujahadah. Menurut Siroj (2006), makna jihad berarti berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik maupun non-fisik. Tetapi pada perkembangannya makna jihad biasaya ditekankan pada sesuatu yang bersifat fisik dan material. Sedang ijtihad merupakan membangun sisi intelektualitas manusia dengan memaksimalkan potensi akal dan rasio. Mujahadah berarti upaya bersungguh-sungguh untuk membangun spiritualitas manusia. Singkatnya, jihad-ijtihad-mujahadah merupakan cermin dari etos kerja-etos intelektual-etos spiritual. Ketiga trilogi pembaruan dapat disederhanakan dalam bagan di bawah ini.

Bagan 3. Trilogi Pembaruan IPM

Jihad










Ijtihad Mujahadah


Falsafah Perkaderan IPM
Falsafah perkaderan adalah dimensi terdalam dari seluruh proses kaderisasi. Falsafah perkaderan IPM dikerucutkan pada tiga masalah dalam filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Masalah ontologi berusaha menguak apa yang terdalam dalam suatu kenyataan. Sementara masalah epistemologis berusaha mencari bagaimana dan dengan cara apa dalam memperoleh pengetahuan. Dan masalah aksiologis berusaha mempertanyakan apa yang seharusnya dari suatau entitas tertentu.
Dalam konteks perkaderan IPM, menurut El Hujjaj (2003), ontologi perkaderan adalah tarbiyah (education). Pendidikan adalah awal dari kehidupan dan unsur mutlak dalam proses perubahan, sebagaimana Adam diajarkan nama-nama oleh Alloh SWT (QS. 2:28-31). Pendidikan menuntut adanya transformasi kesadaran kader secara manusiawi. Artinya, pendidikan pada dasarnya harus diarahkan pada pemanusiaan (humanizing).
Sementara itu, aspek epistemologi perkaderan adalah menumbuhkan kesadaran kaderisasi seorang kader, yaitu kesadaran keislaman, keilmuan, kemandirian, kemanusiaan dan kebudayaan. Terakhir, aspek aksiologis perkaderan IPM adalah perubahan kader dari sikap pribadi, pemikiran sampai tindakan.

Maksud dan Tujuan Perkaderan IPM
Tujuan perkaderan IPM adalah terbentuknya kader-kader IPM yang memiliki sikap pemikiran, pengetahuan, perilaku dan kecakapann, sehingga menumbuhkan kegemaran berdakwah Islamiyah sesuai dengan kepribadian IPM dalam rangka mencapai tujuan IPM. Secara umum, tujuan perkaderan IPM merupakan bentuk penerjemahan tujuan perkaderan Muhammadiyah. Tujuan perkaderan Muhammadiyah sendiri adalah terbentuknya kader Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta mempunyai integritas dan kompetensi untuk berperan dalam persyarikatan dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks global (SPM, 2008: 50).

Genealogi dan Rekonstruksi Sistem Perkaderan IPM
Genealogi sistem perkaderan tidak dapat dilepaskan dari dinamika pemikiran dalam IRM/IPM. Oleh karena itu penting untuk merekonstruksi formasi ideologis IRM/IPM pada periode tertentu untuk memahami konteks lahirnya sebuah kodifikasi sistem perkaderan. Untuk melakukannya tentu bukan pekerjaan mudah, sebab diperlukan ketekunan dalam melakukan penelitian terhadap teks-teks dan serpihan-serpihan pemikian yang dihasilkan IRM/IPM (baik personal maupun intitusional) pada periode tertentu. Hemat saya sejauh ini baik IRM/IPM secara institusional belum ada penelitian yang tuntas dalam mengungkapkan hal tersebut.
Pada hemat saya, kodifikasi sistem perkaderan IRM/IPM pada masa tertentu tidak dapat dilepaskan dari episteme, yaitu sistem pengetahuan mencakup asumsi, prinsip maupun pendekatan yang membentuk satu sistem yang mapan yang berlaku pada masa tertentu. Pendekatan ini lazim disebut dengan pendekatan arkeologis. Tulisan ini sedikit ingin menyibak epsteme tersebut. Dengan memahami epsiteme tersebut diharapkan bisa diketahui formasi diskursif yang membentuk ”wajah” sistem perkaderan IRM/IPM.
Genealogi sistem perkaderan IPM/IRM, sejauh pengetahuan saya, dapat dilacak mulai paruh akhir dekade 1980-an. Pada periode ini lahir kodifikasi sistem perkaderan IPM yang pertama,atau yang dikenal kemudian sebagai ”SPI Merah”. Sebelum periode itu bukan berarti tidak ada pengkaderan, tetapi dasar yang digunakan masih bersifat berupa serpihan-serpihan konsep perkaderan dan belum disusun sebagai suatu sistem yang komprehensif.
”SPI Merah” secara umum memiliki muatan yang cenderung dogmatis, kurang dialogis, eksklusif dan kurang mencerminkan sebuah sistem pemikiran seorang kader (El Hujjaj, 2003). Sistem perkaderan pada periode ini sangat ditentukan oleh konteks zaman pada saat itu. Pada aras nasional, represi negara orde baru terhadap organisasi masyarakat Islam pada khususnya dan umat Islam pada umumnya sedang mencapai puncaknya. Represi ini ditandai oleh kebijakan monoloyalitas. Kebijakan ini mengharuskan setiap orsospol, termasuk Muhammadiyah dan seluruh ortomnya, mengubah asasnya menjadi Pancasila, sebab saat itu hampir sebagian besar orsospol berbasis Islam masih menggunakan Islam sebagai asasnya. Skema kebijakan seperti ini merupakan bagian dari depolitisasi massa dan kebijakan massa mengambang (floating mass) yang dilakukan oleh rezim orde baru. Kebijakan ini yang paling merasakan adalah umat Islam, sebab sejak orde baru berkuasa, politik Islam nyaris diberangus dari pentas politik nasional. ”Derita” politik inilah yang, setidaknya secara psikologis, dirasakan oleh aktivis IPM pada masa itu. Represi ideologis negara membuat sebagian orientasi gerakan pelajar Islam pada masa itu, termasuk IPM, menjadi semakin ideologis. Oleh karena itu, tak mengherankan jika sistem perkaderan IPM pada masa itu bercorak doktriner. Tetapi di atas itu semua, sistem perkaderan IPM pada masa itu menjadi penanda kematangan gerakan IPM sebagai organisasi kader. Sebab, menurut saya, sistem perkaderan merupakan institusionalisasi pemikiran gerakan IPM pada zamannya.
Memasuki era 1990-an, perlakuan negara orde baru terhadap umat Islam mulai memasuki tahap yang lebih akomodatif, setidaknya tidak serepresif pada era sebelumnya. Selain karena faktor dukungan politik rezim terhadap umat Islam, tetapi juga sapuan gelombang demokratisasi yang melanda dunia sejak runtuhnya Uni Soviet. Di samping itu, nampaknya kecenderungan sikap politik umat Islam lebih cenderung mengurangi sikap ”ideologis”-nya dan lebih memilih berkompromi terhadap negara. Kecenderungan ini juga berimbas terhadap diskursus sistem perkaderan IPM. ”SPI Merah” mendapat serangan dari sebagian kalangan di IRM/IPM dikarenakan sifat eksklusif, doktriner dan kurang dialogisnya serta tidak relevan lagi dengan perkembangan keilmuan dalam dunia pendidikan. Alhasil, sekitar tahun 1993-an gerakan perubahan ”SPI Merah” menuai hasil dengan ditanfidzkannya sistem prkaderan baru atau yang lebih dikenal kemudian dengan sebutan ”SPI Biru”.
Secara umum SPI ini banyak menonjolkan hal yang baru dari SPI sebelumnya. Dan, menurut saya, SPI merupakan yang terbaik pada masanya jika dibandingkan dengan gerakan pelajar yang lain. Keunggulan SPI ini antara lain, komprehensif, terukur dan banyak mengadopsi perkembangan dalam ilmu pendidikan. Akan tetapi, SPI ini bukan tanpa celah. Sifatnya yang mencakup semua itulah yang membuatnya sangat gemuk, menggelembung dan kurang sistematis. Selain itu juga setelah dievaluasi dalam even TMU di Tawangmangu terdapat celah empiris danteoretis, seperti antara terget, tujuan, materi dan metode pengkaderan banyak ditemuai inkonsistensi. Kurang menerapkan model pendidikan orang dewasa dan partisipatoris (El Hujjaj, 2006). Oleh karena itu, SPI ini pun segera diminta untuk dievaluasi dan menjadi amanat PP IRM periode 2000-2002 untuk menyempurnakannya. Akhirnya, SPI barupun akhirnya lahir yang kemudian disebut sebagai ”SPI Hijau”, yang sejauh pengetahuan saya, masih berlaku hingga saat ini.
”SPI Hijau” secara umum sangat berbeda dengan SPI sebelumnya. Bahkan, hemat saya, perubahan itu sangat revolusioner. Tidak hanya seolah ada diskontinuitas dari SPI sebelumnya, tetapi juga ”kafir” dari kecenderungan umum sistem perkaderan Muhammadiyah. Bagaimana tidak, baik dari segi mode of thought, target, metode materi dan pasca pengkaderan sangat berbeda, atau malah tidak ada kelanjutan dari SPI sebelumnya. Sebagai contoh, materi Ansos dimasukan dalam materi TM III. Materi ini tidak familiar di lingkungan Muahammadiyah/IPM. Materi ini banyak digunakan oleh kawan-kawan di LSM yang bergerak di kegiatan advokasi.
Secara kasar, SPI ini dipengaruhi oleh perkembangan nasional pasca reformasi 1998, sehingga SPI ini lebih mencerminkan situasi lebih demokratis, terbuka dan partisipatif. SPI Hijau merupakan titik kulminasi dari perubahan paradigma gerakan IRM dari paradigma ”gerakan panggung” menjadi ”gerakan sosial” yang dibantali oleh perspektif kritis (transformatif).
SPI Hijau banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti pemikiran Paulo Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin. Secara metodologis, SPI Hijau mempunyai kedekatan dengan gagasan dan praktik pendidikan/pelatihan yang digagas oleh Insist, yakni lembaga kajian dan pendidikan yang digawangi oleh (Alm.) Mansour Fakih di Jogjakarta. Maka, tak mengherankan jika kita membaca SPI Hijau serasa kita membaca buku Pendidikan Popular-nya Insist, atau dalam kalimat yang lebih halus, tidak lengkap membaca SPI Hijau jika belum membaca Pendidikan Popular. Singkatnya, jika SPI Hijau itu ”tafsir Al Azhar”-nya Hamka, maka Pendidikan Popular itu seperti ”Al Qur’annya”.
Sejak ditanfidzkannya pada 2004, SPI Hijau telah menjadi rujukan perkaderan IRM. Kendati begitu, masih ada cabang, daerah atau bahkan wilayah yang belum sepenuhnya menerima kehadiran SPI ini. Berdasarkan pengalaman saya selama kurang lima tahun lebih berinteraksi dengan SPI ini, level ranting sampai daerah belum sepenuhnya memahami SPI ini, kalau tidak bisa dibilang SPI ini susah untuk dipahami. Sebab, SPI ini tidak praktis, tidak bisa langsung pakai. Dibandingkan dengan SPI Biru, SPI Hijau kurang bisa di terima di level bawah. Jangankan untuk melakukan need assessement, untuk mencerna istilah-istilah yang ada di SPI saja teman-teman di cabang masih sering mengalami kesusahan. Hal ini wajar karena penyusunan SPI ini memang dilakukan oleh elit di tingkat pusat dan wilayah dan seolah keluar dari ”tradisi” perkaderan SPI Merah dan SPI Biru yang sudah mendarah daging di level bawah.
Menurut saya, dari segi substansi SPI Hijau masih sesuai dengan semangat zaman yang ada. Setidaknya ada beberapa yang perlu dibenahi. Pertama, sisi aktor atau pelaksana SPI. SPI Hijau menuntut banyak kemampuan fasilitator dalam melakukan pengkaderan/pelatihan, tetapi sisi aktornya atau fasilitatornya sangat minim untuk diperhatikan. Meski di SPI sudah ada PFP I sampai III, tetapi level pusat sampai daerah sangat jarang menitik beratkan pada pelatihan fasilitator (sesuai SPI). Menjadi lucu TM I sampai TM U-nya sudah memakai SPI Hijau, tetapi pelatihan pengelolanya masih menggunakan SPI Biru, malah ada beberapa daerah yang saya temu, TM-nya sudah banyak mengadopsi model SPI Hijau, PFP-nya masih menggunakan model pelatihan instruktur lengkap dengan materi-materi dan model-model indoktrinatifnya. Menurut saya, yang segera dibenahi adalah penguatan aktor pelaksana SPI-nya, bukan merubah SPI-nya.
Kedua, pada sisi materi dan target perlu disesuaikan dengan stratak (strategi dan taktik) IPM saat ini. Sebab SPI hijau dilahirkan oleh IRM, yang tentu mempunyai basis yang berbeda dengan IPM. Basis menentukan struktur dan stratak gerakan. Yang saya lihat, sejauh ini, teman-teman IPM tidak terlalu mengutak-atik paradigma gerakan tetapi hanya merubah strategi dan taktik gerakan.
Ketiga, perlu penataan ulang tugas setiap level pimpinan terkait dengan penerjemahan SPI Hijau. Saat ini daerah/cabang/ranting dibiarkan membaca mentah-mentah SPI tanpa ada penjelasan dari level pimpinan di atasnya dikarenakan memang level diatasnya juga kurang paham dengan SPI atau memang pimpinannya sibuk mengurusi dirinya sendiri. Yang saya bayangkan, setiap wilayah mengeluarkan ”panduan” atau buku pendamping yang sasarannya bagi pimpinan di bawahnya sesuai dengan level pengkaderannya. Misalnya, panduan pelaksanaan TM I bagi ranting dan cabang, panduanTM II dan PFP I bagi daerah dan seterusnya.
Keempat, secara umum, sejauh yang saya amati maklum mungkin karena sudah menjadi alumni, IPM mengalami disorientasi gerakan: 1) IPM kehilangan perspektif dalam melihat realitas disekitarnya. Perubahan dari GKT ke GPK kalau tidak hati-hati akan berdampak pada; 2) positioning gerakan IPM. Positioning gerakan terkait dengan relasi masyarakat-negara pada sisi makro, dan karakter pimpinan di sisi mikro. Jika IPM kurang paham konstelasi relasi negara-masyarakat, maka yang terjadi IPM larut dalam dinamika kartel politik yang saat ini marak dibicarakan sebagai kecenderungan sistem politik Indonesia. Pada level pimpinan, jika pimpinan secara personal kurang paham dengan ideologi, paradigma dan stratak gerakan, maka bisa jadi IPM ngomong-nya anti hegemoni pemerintah (lihat tanfidz IPM terbaru) tetapi masih saja menengadahkan tangan ke kementerian-kementerian sembari mengamini kebijakan yang tidak pro-poor, pro-sustainablity, and pro-student. Kondisi tersebut mencerminkan tertukarnya antara strategi dan tujuan, strategi menjadi tujuan dan tujuan menjadi strategi. Sebagai contoh, kedekatan aktivis IPM dengan pemangku kepentingan (Presiden, Menteri, Anggota DPR/D,Bupati, WaliKota,dll) idealnya merupakan bagian dari strategi gerakan, bukan sebagai tujuan. Sementara adanya perubahan yang berpihak kepada golongan lemah/dilemahkan harusnya menjadi tujuan, malah menjadi strategi untuk mencaru, maaf uang, dan kedekatan dengan para pemangku kepentingan. Ini kan gawat!!. 3) Terkait dengan GPK, saya melihat banyak kontrakdiksi di dalam dirinya sendiri, banyak istilah yang bertabrakan satu sama lain (contradictio in terminis). Sebagaimana pendapat David Effendi dalam milist remaja-kritis tanggal , ada ketidaksinkronan antara tujuan GPK dengan agenda aksinya. Yang saya lihat, tujuannya menjadi generasi Qur’ani, tetapi ada tujuan pengarus utamaan gender. Bukannya PAG tidak qur’ani tetapi ada kerangka metodologisnya agar semuanya menjadi logis dan jelas. Wallahua’lam Bishawab.





Referensi
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Erlangga: Jakarta.

El-Hujjaj, Saud. (2006). SP IRM: Memilih Mitos Atau Realitas. Makalah disampaikan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama di Bandung. Tidak Diterbitkan.

Jainuri, Ahmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. LPAM: Surabaya.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung.

MPK PP Muhammadiyah. 2008. Sistem Perkaderan Muhammaddiyah. Cet. II. MPK PPM: Yogyakarta

Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Beragamalah Untuk Manusia, Bukan Untuk Tuhan. http://islamlib.com/id/artikel/beragamalah-untuk-manusia-bukan-untuk-tuhan/ .
Diakses tanggal 20 desember 2010.

Muttaqin, Husnul. 2008. Menuju Sosiologi Profetik. Dalam http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/. Diakses tanggal 22 Desember 2010.

Nuhamara, Daniel. 2004. Kritik, Utopia dan Praksis Pembebasan: Unsur-uunsur Dalam Berteologi Sosial Transformatif. Dalam Jurnal KRITIS vol. XVI No. 3. 2004 hlm. 326-343. UKSW: Salatiga.

Pimpinan Pusat IRM. 1993. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM : Yogyakarta

Pimpinan Pusat IRM. 2004. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM: Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IRM. 2004. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XIV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IRM. 2006. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IPM. 2008. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVI. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IPM. 2010. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVII. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.

Siroj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Mizan: Bandung.

Read More..

Rabu, 01 Desember 2010

Hanya di benakku, tak lebih dari itu

Rasanya ingin meledak saja barak batinku, ingin rasanya ku muntahkan setumpuk kecewa, miris, bercampur ironi yang kian melumut ini. Diiringi lantunan "di udara" yang mengalun pilu di benakku, hanya diruang sempit didalam tengkorak kepalaku, tak lebih dari itu. Ga ada yang lain selain aku dan sebongkah es yang makin menyesak diruang batin, yang perlahan mengalir-cair membanjiri tiap lorong sukma, membuat gigil segenap jiwa dan batin. Ga da yang bisa mendengarnya, senandung jiwa ini hanya kunikmati sendiri. Ga ada satu pun makhluk bumi yang bisa mengupingnya, meski makin parau teriakan ini. Ga ada yang bisa mendengarnya diluar benak dan batin, tidak itu dinding, nyamuk, bahkan kaki, pun jemari ini tak tahu selain sebatas apa yang mesti ia tuangkan melalui rangkaian guratan aksara ini, itupun atas perintah otak dan persetujuan batin tentunya. Aku hanya mendendangnya sendiri, menikmati lantunan setiap lirik dan nada yang dilagukan dengan gaya berontak ERK yang khas itu. Tapi sekali lagi "hanya di benakku", tak lebih dari itu.

"Hanya di benakku", sebagaimana segudang penat yang makin membuncah, mengeruhkan setiap tetes darah, beriring seirama dengan semua muak yang makin menggunung tinggi, menjulang ke langit, bahkan hampir-hampir saja mencapai sidratul muntaha, hampir-hampir saja pecah langit karenanya. Tapi sekali lagi hanya di benak dan batinku, tak lebih dari itu, tak dapat menembus dunia luar, di luar batas ruang sempit itu. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan mulutku, kenapa ia tak jua bersuara, kenapa tak jua ia mengungkap-muntahkanyya. Pernah suatu ketika hampir-hampir saja muntah, tapi terhenti hanya sebatas di rongga dada, baru sebatas rongga dada terus kembali lagi bersemayam di lubuk hati, jauh di dasar batin yang paling dalam. Aku jadi bertanya sendiri, sebenarnya seberapa luas semesta batinku itu, kenapa masih saja cukup dan sudi menampungnya??? Terus terang saja sebenarnya aku ini juga bukan seorang yang punya kedalaman dan keluasan batin layaknya Begawan, terlebih nayataka. Kalopun selama ini masih tertampung dan terbendung, itu hanya karena aku luas-luaskan saja atau mungkin justru karena ketidakberdayaanku untuk sekedar mengungkapnya. Entahlah!

Sesekali aku curiga, jangan-jangan selama ini ada sabotase dari hatiku, dengan pertimbangan moral-etiknyanya yang khas itu. Bagaimana mungkin aku tidak menaruh curiga padanya, selama ini setiap kali aku hendak berucap, mengungkap segala kegetiran yang selama ini kekal, dan segunung muak yang selama ini betah mendiami benak dan batin, ia selalu saja berbisik, lirih sih, tapi ia masih cukup didengar dan punya pengaruh yang cukup kuat dengan karismanya yang khas itu. Sempat otak ini ingin berontak, "persetan dengan tatanan etis itu", tapi ketika ia siap melancarkan amunisi dengan segudang argumentasi-rasionya itu, lagi-lagi luruh juga pada akhirnya.

Jujur saja sebenarnya aku sendiri lelah dengan semua ini, atas segunung penat, dan beribu penat yang kian sesak memenuhi benak dan batin. Tapi ntah apalagi yang kutunggu, aku sendiri tak sungguh tahu. Pagi??? Mungkin kah pagi yang kudamba datang dengan harapan baru, atau justru pagi yang kembali dengan regularitas sebagaimana kemarin, dan dulu. Aku ingin tak sekadar menunggu, duduk berpangku menyaksikan setiap detak waktu yang berlalu dan kian menjauh. Jika bisa, ingin ku boyong matahari, biar ku pajang dibumi agar membakar-lenyapkan semua tabir ini......

Read More..

Senin, 15 November 2010

Belum Terlambat bagi Indonesia untuk Bertindak

Gempa bumi hebat berkekuatan 7,7 skala Richter, 26 Oktober, yang diiringi tsunami memakan korban lebih dari 400 jiwa di Kepulauan Mentawai.Peristiwa ini menyadarkan Indonesia untuk bersiap diri dalam menghadapi gempa bumi dahsyat berikutnya. Akan tetapi, baik gempa bumi Mentawai maupun gempa bumi di Padang tahun 2009—dengan korban lebih dari 1.000 jiwa—bukanlah ”gempa bumi besar” yang ditunggu-tunggu para ahli bumi. Para seismolog sepakat bahwa gempa demikian akan terjadi di Indonesia, tetapi mereka tidak dapat meramalkan besaran gempa, ukuran tsunami, dan kapan terjadinya. Bisa hari ini atau 50 tahun mendatang.

Para ahli mengatakan, hanya satu hal yang bisa dipastikan, bahwa Padang dan Bengkulu berada dalam jalur bahaya. Suatu waktu gempa dengan kekuatan melebihi 8,5 skala Richter bisa menghantam daerah itu dan tsunami yang lebih merusak dibanding Aceh (2004) bisa terjadi.

Maka, Indonesia harus benar-benar mempersiapkan diri. Kota-kota di Indonesia yang berkembang dengan cepat umumnya berisi bangunan-bangunan tinggi yang bersebelahan dengan daerah kumuh dan permukiman liar yang berdiri di atas tanah yang tidak aman huni. Inilah jawabnya mengapa gempa ukuran menengah berkekuatan 6,3 skala Richter di dekat Padang tahun 2007 dapat memakan 66 korban jiwa, 500 luka-luka, dan runtuhnya hampir 15.000 bangunan dan kerusakan 44.000 lainnya.

Waspadai kota besar

Gempa pada kota-kota besar seperti Jakarta akan jadi suatu malapetaka. Jika letak pusat gempa berdekatan, gempa berkekuatan 8,5 skala Richter akan membunuh seperempat hingga satu juta jiwa, meratakan hingga 5 persen dari seluruh bangunan, dan merusak lebih dari 50 persen dari seluruh bangunan.

Kerusakan nonstruktural pada bangunan akan jauh lebih memakan biaya dari kerusakan struktural yang terjadi: bangunan berharga 50 juta dollar AS dapat menjadi rumah bagi peralatan rusak bernilai 2 miliar dollar AS. Seperti gempa bumi yang baru terjadi di Cile yang relatif tidak merusak bangunan bandara yang baru selesai, tetapi menghancurkan sebagian besar peralatan di dalamnya, sehingga bandara itu tidak berfungsi pada saat dibutuhkan. Hampir seluruh kejadian itu dapat dihindari dengan upaya yang relatif mudah dan murah, seperti peralatan pengunci dan pengikat yang sesuai, panil langit-langit, dan lain-lain.

Untungnya, sekarang belumlah terlambat untuk bertindak. Bank Dunia baru saja menerbitkan makalah kebijakan untuk mempersiapkan diri menghadapi gempa bumi besar berikutnya di Asia. Makalah itu mengusulkan agar negara-negara dengan aktivitas gempa tinggi seperti Indonesia segera bertindak, dengan menggunakan upaya-upaya yang sederhana, murah, dan telah banyak digunakan di negara-negara seperti Turki dan Romania, serta menyelamatkan ribuan jiwa.

Upaya-upaya itu termasuk menyusun skenario risiko kerusakan untuk daerah perkotaan. Setelah dua gempa yang merusak tahun 1999 di dekat Istanbul, Pemerintah Turki didukung Bank Dunia melaksanakan audit risiko sistemik yang dimulai dengan bangunan sekolah-sekolah. Sekolah diprioritaskan karena memiliki ruang-ruang berukuran besar dengan dinding dalam yang lebih sedikit sehingga rancang bangun lebih lemah.

Berikutnya memberi kode bangunan sesuai pembaruan zona dan pemetaan gempa bumi. Salah satu pelajaran utama dari gempa bumi Wenchuan tahun 2008 di China (70.000 korban jiwa, kerugian properti 122 miliar dollar AS) adalah betapa pentingnya pembaruan zona dan pemetaan gempa bumi secara terus-menerus agar memperoleh kode bangunan yang sesuai.

Kota L’Aquila, Italia, berada di daerah dengan risiko gempa yang cukup dikenal, tetapi spesifikasi bangunannya hanya memadai bagi skenario risiko yang jauh lebih rendah. Lainnya adalah menganalisis biaya-manfaat bangunan tahan gempa. Di Istanbul berlaku aturan: jika biaya memperkuat suatu bangunan melebihi 40 persen dari membangun gedung baru, maka akan lebih baik membongkar bangunan itu dan membangun bangunan baru yang lebih besar dan lebih kuat.

Efektif biaya

Program penguatan ternyata sangat efektif secara biaya. Di Istanbul, lima gedung sekolah dapat direnovasi dan diperkuat dengan biaya setara dengan membangun satu gedung baru.

Analisis disusul dengan menyusun program prioritasi renovasi dan penguat bangunan. Di Turki, bangunan-bangunan yang terletak paling dekat dengan pusat gempa didahulukan terlebih dahulu. Pendahuluan serupa di Jakarta dapat diberikan pada bangunan-bangunan di atas tanah yang buruk. Susun kriteria prestasi: antara gedung sekolah yang sungguh tahan gempa (mahal) atau gedung yang hanya menderita kerusakan susunan batu (lebih murah).

Dinding beton yang diperkuat memang memberikan perlindungan, tetapi perlindungan serupa juga dapat diberikan oleh dinding dengan susunan batu tertutup, seperti rumah-rumah tahun 1930-an yang tahan dihantam gempa Cile. Lebih baru tidak selalu berarti lebih baik.

Akan ada pertanyaan mengenai keterjangkauan program-program tersebut. Rangka bangunan umumnya merupakan 15 persen dari biaya bangunan dan tambahan biaya yang diperlukan untuk memperkuat bangunan terhadap gempa hanyalah satu hingga tiga persen dari biaya keseluruhan bangunan.

Pengalaman mengajarkan bahwa program yang menyelamatkan jiwa manusia akan mendapat dukungan. Maka belum terlambat bagi Indonesia untuk bertindak.

Abhas K Jha Kepala Program, Manajemen Risiko Bencana, Asia Timur dan Pasifik, Bank Dunia
sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/15/0438250/belum.terlambat.bagi.indonesia.untuk.bertindak

Read More..

Sabtu, 13 November 2010

Tertampar Pidato Obama

Di Universitas Indonesia, Depok, Presiden Amerika Serikat Barack Obama "menampar" kita. Pidatonya memang simpatik. Hadirin berkali-kali menyambut dengan tepuk tangan riuh. Seperti layaknya pidato tamu, dia banyak memuji Indonesia. Tapi pujian dan susunan kata-katanya sungguh seperti menjadi tamparan buat kita. Apa yang ia sampaikan justru membuat kita merasa telah kehilangan banyak hal mengenai nilai-nilai kebersamaan: toleransi beragama dan kebinekaan negara ini.

Membuka pidato dengan nostalgia masa kecilnya, Obama mengakui bahwa tinggal di negeri penuh keberagaman seperti Indonesia--dengan ribuan pulau, ratusan bahasa dan etnis, serta sejumlah agama--membantunya menjadi lebih humanis. Ia menekankan, semangat toleransi beragama merupakan karakter Indonesia yang menginspirasi negeri lain.

Ia mengulangi pujian itu beberapa kali. "Semangat toleransi yang termaktub di konstitusi Anda, dan tersimbolkan dalam masjid, gereja, pura, serta melekat di rakyat negeri ini, masih ada hingga kini. Bhinneka Tunggal Ika. Ini adalah asas Indonesia yang menjadi contoh bagi dunia, dan inilah sebabnya Indonesia akan memainkan peran penting di abad ke-21," katanya.

Pujian yang tentu saja membuat bangga. Tapi, pada saat yang sama, kita sadar betapa keberagaman dan toleransi yang ia elu-elukan itu belakangan makin terancam. Muncul kelompok-kelompok agama yang semakin militan. Penghancuran rumah ibadah, penganiayaan penganut aliran keagamaan, perusakan tempat hiburan, begitu sering terjadi. Di Yogyakarta, hanya sehari sebelum Obama datang, sekelompok orang tega mengusir pengungsi Merapi dari tempat penampungan di sebuah gereja. Alasannya sungguh absurd: gereja bisa digunakan untuk mengkristenkan para pengungsi.

Makin absurd karena pemerintah pura-pura tidak tahu. Penodaan telanjang terhadap konstitusi, yang mengamanatkan toleransi dan keberagaman, dibiarkan berlangsung. Ini membuat apa yang dikatakan Obama tentang toleransi terdengar seperti nostalgia--mirip ceritanya tentang sawah dan kerbau di Jakarta, empat dasawarsa lalu. Tapi Obama tidak sedang bicara tentang masa lalu. Dia menyatakan hal itu dalam kalimat present tense. Jadi, anggap saja dia sedang menyemangati kita untuk menjaga nilai-nilai mulia yang kita miliki agar tak benar-benar menjadi masa lalu.

Dan untuk bisa menjaga nilai-nilai yang sedang terancam itu, Obama tak sekadar beretorika. Dalam pidatonya, Obama mengakui gentingnya hubungan Amerika Serikat dengan umat Islam dalam beberapa tahun terakhir. Pengakuan seperti ini penting karena hanya dengan pengakuanlah perbaikan bisa dimulai. "Sebagai presiden, saya telah membuat prioritas untuk mulai memperbaiki hubungan ini," katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai kepala pemerintahan, harus membuat pengakuan terbuka bahwa radikalisme telah semakin kuat dan mengancam keberagaman negeri kita. Lalu, dia juga harus mengajak seluruh rakyat Indonesia mendukung langkah-langkah perbaikan. Diam dan pura-pura tidak ada masalah jelas bukan sikap seorang presiden yang diamanatkan untuk menjaga konstitusi.

Pemerintah sudah harus memulai kampanye dengan pesan seperti yang disampaikan Imam Masjid Istiqlal kepada Obama: "We are all God's followers, kita semua adalah hamba Tuhan."
Sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2010/11/11/krn.20101111.217728.id.html

Read More..

G-20 dan KM-35

Asal-usul dari G-20 sangat terkait dengan krisis finansial yang melanda Asia Timur pada 1997-1998. Ia merupakan anak dari krisis keuangan internasional.

Ketika dibentuk, G-20 didorong oleh adanya kesadaran bahwa pencegahan (prevention) krisis keuangan dan penyelesaiannya (resolution) tidak dapat diselesaikan oleh kelompok negara-negara maju (G-7), tetapi juga harus melibatkan negara berkembang.

Isu utamanya adalah bagaimana melakukan pembaruan terhadap arsitektur keuangan internasional sehingga krisis finansial tidak lagi berulang. Ada kesadaran bahwa krisis keuangan akan mengancam pertumbuhan ekonomi global, menurunkan besar PDB sekitar 30 persen, menciptakan pengangguran, dan menambah jumlah orang miskin di negara yang terlanda krisis kebangkrutan bagi seluruh negara.

G-20, jalan moderat

Namun, upaya untuk menciptakan arsitektur keuangan itu bukan dilakukan melalui institusi IMF. Juga tidak dengan menciptakan kerangka kelembagaan baru pengganti IMF. Upaya itu dilakukan dengan menciptakan forum intergovernmental network. Pilihan ini menggambarkan sikap jalan moderat.

Penciptaan institusi baru di luar kerangka IMF dianggap terlalu radikal karena dapat menciptakan keguncangan dalam institusi-institusi keuangan di seluruh dunia. Namun, pilihan melalui IMF juga dipandang terlalu konservatif. Lembaga ini memiliki legitimasi yang rendah di kalangan negara berkembang. Bagi negara berkembang, IMF merupakan institusi yang didominasi negara maju. Pembuatan keputusan tidak didasarkan pada satu negara satu suara, tetapi berdasarkan kontribusi pendanaan dan yang terbesar adalah kelompok negara maju.

Dalam pandangan sekilas, kelompok negara berkembang dalam G-20, yang juga dikategorikan sebagai emerging market, melebihi jumlah negara maju G-7. Rasionya adalah 11 berbanding delapan dan satu lainnya diberikan kepada organisasi regional Uni Eropa. Jika ini dijadikan tolak ukurnya, pengaruh negara berkembang seakan lebih kuat dibandingkan dengan negara maju.

Namun, watak pertemuan dari G-20 adalah forum dialog yang didasarkan pada konsensus. G-20 bukanlah suatu entitas pembuatan keputusan yang didasarkan pada pemberian suara. Karena itu, keunggulan numerik kelompok negara berkembang dalam G-20 tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar.

Bahkan jika dilihat dari sumber dayanya kelompok negara maju memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok negara berkembang. Kementerian keuangan dan bank-bank sentral yang ada di G-7 memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merancang agenda, melaksanakan penelitian, dan mengembangkan posisi-posisi mereka dalam setiap pertemuan.

Kelompok negara maju juga memiliki hubungan yang lebih baik dengan organisasi internasional lainnya. G-7 memiliki jaringan pengaruh yang lebih luas dan kuat dengan IMF dan Bank Dunia. Menteri Keuangan kelompok G-7 mengadakan pertemuan enam kali setahun. Karena itu, kelompok G-7 dalam G-20 lebih mudah untuk mendapatkan kesamaan dalam agenda setting dibandingkan dengan kelompok negara berkembang.

Studi yang dilakukan Leonardo Martinez Diaz (2009) bahkan menunjukkan, sikap G-20 tampak lebih memihak G-7 dibandingkan dengan sikap G-24 (kumpulan negara berkembang). Dari sembilan isu yang dijadikan rujukan, G-20 hanya tampak mengakomodasikan dua isu kebijakan yang disampaikan G-24, yaitu dalam isu restrukturisasi utang negara (sovereign debt) dan dalam isu pembaruan lembaga-lembaga Breeton Woods.

Dalam isu restrukturisasi utang negara, disepakati perlunya code-of conduct yang adil bagi negara berkembang. Dalam isu pembaruan, kelembagaan juga disepakati perlu adanya perubahan dalam voting power di dalam institusi IMF dan Bank Dunia.

Namun, dalam tiga isu lainnya, posisi G-20 tidak memihak usulan negara berkembang. Sebagai misal, G-20 menolak posisi G-24 yang mengusulkan agar tidak mengaitkan aturan pengawasan (surveillance) dan persyaratan pinjaman (conditionality) IMF. Juga G-20 tidak menyatakan kecemasan negara berkembang tentang isu keterwakilan (representativeness) negara berkembang dalam forum-forum pertemuan keuangan internasional baru. G-20 juga tidak menyuarakan kecemasan G-24 terhadap implikasi isu pengurangan utang bagi negara berkembang.

G-20 juga bersikap diam atau tidak menyatakan apa pun dalam isu kondisionalitas IMF, kontrol modal dan perdagangan. Posisi negara berkembang dalam tiga isu ini, seperti yang terlihat dari pertemuan G-24, biasanya sangat kritis. Sebagai contoh dalam isu conditionality, G-24 menuntut adanya perampingan persyaratan IMF. Dalam isu kontrol modal, G-24 menuntut pengendalian khususnya pada perdagangan derivatif (derivative trading).

Namun, G-20 tidak berbicara tegas tentang isu ini. Juga G-20 tidak berbicara tentang praktik-praktik perdagangan proteksionis yang dilakukan oleh negara-negara industri maju. Bahkan, dalam satu isu khusus, Diaz menyebutkan, posisi G-20 menggambarkan posisi lebih ”maju” dibandingkan dengan G-7, yaitu dalam isu pendanaan terorisme.

KM-35

Bobot diplomasi Indonesia tentu saja meningkat setelah menjadi anggota G-20. Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang ikut dalam G-20 itu. Namun, harapan tampaknya jangan terlalu tinggi. G-20 tampaknya masih merupakan jalan panjang untuk mengakomodasikan kepentingan negara berkembang. Upaya untuk melakukan pembaruan arsitektur keuangan internasional yang dapat disepakti oleh semua negara, yaitu penciptaan rezim keuangan internasional, juga masih jauh dari harapan.

Mengaitkan G-20 dengan isu pembangunan juga baik, seperti yang kini tengah dijadikan salah satu agenda dalam pertemuan G-20 di Seoul. Akan tetapi, jangan pula terlalu tinggi menggantung harapan. G-20 tidak akan serta-merta dapat memecahkan persoalan KM-35 (kelompok miskin 35 juta) yang ada di Indonesia.

Bagi penulis, substansi masalah pembangunan di Indonesia seharusnya dikaitkan dengan tersedianya lapangan kerja dengan pembayaran yang layak. Warga negara yang tidak bekerja tentu saja akan tidak memiliki pendapatan dan terlilit dengan kemiskinan. Demikian juga halnya, warga negara yang bekerja, tapi tidak mendapatkan upah yang wajar, yang kadang disebut dengan underemployment, juga akan sukar untuk meningkatkan hidupnya agar keluar dari garis kemiskinan. Terkait dengan ini kiranya pula ditambahkan beberapa fakta tentang angkatan kerja di Indonesia.

Data resmi yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2009 menunjukkan tingkat pengangguran (unemployment rate) di Indonesia diperkirakan sebesar 8,96 juta jiwa. Angka ini tampaknya kecil karena hanya sekitar 7,8 persen dari seluruh angkatan kerja (labor force) di Indonesia (169,93 juta jiwa). Namun harus ditambahkan beberapa catatan tentang pendefinisian.

Reformasi sosial

Definisi tentang angkatan kerja adalah orang yang berusia di atas 14 tahun. Yang tidak bekerja adalah antara nol dan 14 tahun yang jumlahnya diperkirakan sebesar 61,30 juta jiwa. Definisi tentang orang yang bekerja di Indonesia adalah jika ia bekerja lebih dari 35 jam seminggu. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 73,30 juta jiwa.

Kategori kedua adalah bekerja kurang dari 35 jam yang disebut dengan setengah penganggur (half unemployment). Jumlahnya diperkirakan 31,5 juta jiwa. Dari definisi ini kita bisa melihat bahwa definisi orang bekerja tidak terkait sama sekali dengan besaran pendapatan yang diterima. Kedua, seseorang dapat dikategorikan bekerja (walau dengan setengah pengangguran) jika dia bekerja walau hanya satu jam dalam seminggu.

Data lain lagi adalah sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja terbesar, yakni 41,46 juta (39,68 persen). Sektor keuangan hanya menyerap sekitar 1,49 juta jiwa (1,42 persen). Dalam kaitan ini perlu pula dicatat bahwa dari segi pendidikan, hanya sekitar 4,71 persen yang berpendidikan sarjana. Mayoritas terbesar adalah tidak tamat SD, yaitu sebesar 57,38 juta jiwa (50,41 persen).

Data-data ini juga menyampaikan pesan bahwa sektor pertanian paling tidak terdidik, sedangkan sektor keuangan mungkin adalah sektor yang paling banyak menyerap angkatan kerja yang sarjana.

Apa yang bisa disimpulkan? Persoalan KM-35 dan struktur kualitas angkatan kerja merupakan realitas duka yang kita hadapi. Ia merupakan ”pekerjaan rumah” yang tidak bisa diselesaikan dengan strategi reformasi keuangan di tataran internasional. Ia merupakan gambaran ketimpangan distribusi kesejahteraan di tingkat nasional. Pemecahannya bersifat jangka panjang dan barangkali membutuhkan reformasi sosial (social reform) yang sangat serius dan mustahil dapat dipecahkan di meja perundingan dan dengan dokumen KTT.

*Ditulis oleh:Makmur Keliat Pengajar di Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/13/03005873/g-20.dan.km-35

Read More..

Krupuk Usek Khas Pemalang

SEBENARNYA kerupuk usek tidak hanya diproduksi warga Pemalang, ada beberapa daerah lain yang juga memproduksinya. Namun demikian kebanyakan orang lebih mengenal kerupuk usek sebagai makanan khas Pemalang. Murah, renyah dan pada jenis tertentu dari salah satu produsen ada yang ditambahkan bumbu khas sehingga rasanya lebih mantap.

Sayangnya ketika pada Juli kemarin Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang mengambil sampel sejumlah makanan untuk diperiksa kandungannya di laboratorium, kerupuk usek ikut dijadikan sasaran. Dan ternyata kerupuk yang digoreng tanpa menggunakan minyak ini divonis mengandung bahan kimia berbahaya, yakni hodamin B yang merupakan pewarna tekstil.

Kerupuk Usek diproduksi di industri-industri rumah tangga bersama kerupuk-kerupuk jenis lainnya. Kerupuk ini hanya terdiri dari dua warna pilihan, putih dan merah. Kerupuk yang berwarna merah inilah yang ditengarai mengandung bahan kimia hodamin B. Namun demikian kerupuk produk turun-temurun ini masih menjadi primadona.

Pada Lebaran kemarin, terjadi peningkatan produksi kerupuk usek. Selain karena cuaca panas yang dimanfaatkan habis-habisan untuk memproduksi sekaligus memenuhi stok di gudang, peningkatan produksi juga untuk memenuhi permintaan yang melonjak karena banyak dicari para pemudik dari perantauan.

Sejatinya kerupuk usek bukanlah hidangan khas Lebaran, namun kudapan ini tetap disajikan sebagai pelengkap saat menikmati sambal atau pecel. Kerupuk usek juga sering dinikmati untuk melengkapi makanan lain seperti bakso, mie, grombyang, soto atau lontong dekem. Tak peduli mengandung hodamin B, warga tetap enjoy menikmatinya.

Hartinah (45), salah satu pedagang lesehan yang menyediakan kerupuk usek di salah satu pasar di Pemalang, mengaku ada imbauan untuk tidak menjual makanan berbahaya. "Tapi surat larangan pemerintah menyebut dilarang menjual kerupuk mie warna merah, bukan kerupuk usek," elak dia.

Memang ada jenis kerupuk mie yang oleh warga setempat disebut kerupuk mie. Kerupuk dimaksud biasanya berwarna kuning dan berbentuk bulat. Kerupuk usek yang berbahan tepung dan adonannya panjang-panjang seperti mie memang mirip kerupuk mie, namun bentuknya kotak bolong-bolong.

Salah satu penyuka kerupuk usek, Taufik Haryanto(40), mengatakan dirinya biasa mengonsumsi kerupuk usek sejak kecil. "Di Jakarta kerupuk seperti ini tidak ada, sehingga kesempatan mudik ini saya belanja kerupuk usek buat teman-teman di Jakarta sebagai oleh-oleh khas Pemalang," katanya. Untuk mendapatkan 10 kantong kerupuk usek, ia cukup merogoh kocek Rp15.000. Hmmm, harga yang cukup murah, bukan? (ali)

Sumber http://www.pemalangpost.com/2009/10/kerupuk-usek-asal-pemalang.html

Read More..

Kamis, 11 November 2010

Merokok: Kebiasaan atau Kebinasaan?*

Salah satu hal tersulit dalam kehidupan bermasyarakat adalah memberlakukan aturan bagi semua komunitas.
Lebih sulit lagi apabila masyarakat tidak paham sedikit pun dasar mengapa aturan diberlakukan. Maka, yang terjadi justru kontroversi pihak yang merasa ”hak”-nya dibatasi. Sebutlah aturan bahwa pengendara motor diwajibkan di lajur paling kiri dan menyalakan lampu kendaraan, yang sekarang hanya ditaati sebagian pengendara.

Tingkat kedewasaan komunitas dapat dibaca dari alasan dan bagaimana suatu aturan diberlakukan. Penguasa yang membiarkan rakyatnya tetap tumbuh di kematangan otak primitif reptilian (batang otak dan otak kecil) akan selalu berbenturan dengan masalah ”survival”. Siapa bertahan, mana lebih kuat, bagaimana caranya lolos dari pantauan, dan yang penting tetap bertahan (dengan kebiasaan dan kenikmatan saya). Aturan dan hukum yang diturunkan tanpa pemahaman akhirnya seperti mendidik balita karena melibatkan fungsi kontrol yang sangat melelahkan.

Kematangan otak mamalia manusia tampak begitu tingkat kesadaran bukan lagi tentang ”aku yang bertahan”, tetapi melibatkan ”kamu” sebagai orang kedua. Ini seperti nasib perokok pasif: tidak merokok tetapi terkena imbasnya.

Fungsi limbik otak mamalia manusia tumbuh pada usia 2-6 tahun, mencerminkan fungsi melindungi dan berbelas kasih. Penerapan peraturan persuasif lebih mengena di tahap ini.

Tingkat kesadaran

Peraturan berjalan baik apabila pematangan kesadaran dan tingkat pendewasaan berhasil baik pada masa pendidikan sekolah dasar dan menengah. Saatnya belah otak kiri dan kanan mengambil fungsi, membuat keputusan dan pilihan berdasarkan pemahaman ”baik-buruk”, ”benar-salah”. Lingkupnya bukan lagi tentang ”saya” dan ”kamu”, tetapi ”saya-kamu dan mereka”.

Merokok bukan hanya asapnya dihirup oleh perokok pasif. Sisa asap rokok yang menempel pada pelapis dinding, karpet lantai, perabot, bahkan baju dan rambut mengandung tobacco-specific nitrosamines yang tidak begitu saja menguap!

Peraturan dan perundangan yang tidak melelahkan aparat terjadi ketika fungsi ”saya mampu memilih” berjalan dalam masyarakat. Artinya, seseorang bertanggung jawab atas semua hasil perbuatannya dan tak ada lagi alasan perbuatan tanpa disadari.

Salah satu kontributor keberhasilan fungsi ”saya mampu memilih” adalah pemahaman. Namun, edukasi dan upaya promosi tentang hidup sehat bebas rokok masih sangat rendah, terkait dengan (lagi-lagi) dana proyek. Begitu pula dengan promosi dan prevensi bahaya merokok.

Setiap orang yang sadar, apabila mendapat informasi lengkap tentang sesuatu yang mengancam dirinya dan orang-orang yang dicintainya, tentu akan mengambil pilihan dan tindakan proaktif. Inilah yang bisa menjadi gerakan komunitas nasional, tanpa perlu larangan dan aturan.

Untuk itu, diperlukan kerja keras berkali lipat daripada, misalnya, upaya mengatasi flu burung. Ancaman instan flu burung membuat orang lebih cepat sadar ketimbang ancaman masa depan rokok yang muncul setelah timbul kanker dan jantung koroner sekian puluh tahun kemudian.

Kepublikan sensasi

Batu sandungan terletak pada tingkat kematangan otak. Tahapan pendewasaan ternyata terhenti di tingkat primitif yang hanya memikirkan diri sendiri. Ciri khas tingkat ini terjadi ketika manusia berhenti melanggar semata-mata karena takut dihukum dan dipermalukan.

Sebaliknya apabila kesadaran telah mencapai pencerahan tertinggi, hukum moral imperatif kategoris, seperti dikemukakan filsuf Immanuel Kant, baru bisa bekerja. Artinya, suatu aturan (bahkan kewajiban moral) dijalankan bukan karena saya menghindari hukuman atau mencari imbalan, melainkan karena diri saya mengharuskannya.

Sebagai penggagas sintesis antara rasionalisme dan empirisme, Kant sangat cermat dan cerdas. Gagasan Kant menutup lubang-lubang kemungkinan kesalahan dan kecurangan manusiawi—sebagaimana tampak pada kerangka berpikirnya dalam Kontribusi untuk Perdamaian Abadi, awal Oktober 1795—masih relevan dikaji oleh pengendali negara saat ini.

Kepublikan yang terpapar di negeri ini bukanlah kepublikan rasional sebagaimana dicita-citakan Kant, melainkan kepublikan sensasi—yang lebih mirip menelanjangi obyek pencetus nafsu dan gairah—tanpa akal.

Berhenti kebiasaan merokok bukan berarti petani tembakau dan buruh pabrik rokok berhenti makan. Alasan klasik pembenaran suatu kepentingan akan mencegat kemajuan dan kreativitas belah otak kiri dan kanan manusia. Itulah yang membinasakan manusia.

*Tan Shot Yen Dokter, Magister Filsafat Humaniora, Kandidat Doktor Ilmu Gizi Komunitas SEAMEO,Fakultas Kedokteran UI

Read More..

Rekonsolidasi Ekonomi Global*

Dalam kurun 11-12 November berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Seoul, Korea Selatan, dengan tema ”Shared Growth Beyond Crisis”.

Ini KTT G-20 kelima sejak kelompok ini meningkatkan kerja samanya pada tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan sebagai respons terhadap krisis ekonomi global 2008. Para analis umumnya memberikan apresiasi besar terhadap peran G-20 dalam mengoordinasikan kebijakan mengatasi krisis global 2008 untuk mencegah berulangnya peristiwa depresi besar dekade 1930-an.

Melihat pencapaian ini, KTT Pittsburgh (September 2009) memutuskan memfungsikan G-20 sebagai pengganti keberadaan G-8 sebagai premier forum bagi kerja sama ekonomi internasional. Menghadapi krisis global, fokus awal G-20 adalah mendorong stimulus fiskal untuk memulihkan ekonomi dan memperkuat regulasi serta pengawasan perbankan dan sektor keuangan.

Selanjutnya G-20 mengarahkan fokusnya pada upaya mengatasi ketidakseimbangan finansial global dengan memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal antarnegara. Ketidakseimbangan finansial global terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan terhadap dollar AS sejak krisis Asia 1997-1998, ketika banyak negara berkembang memperkuat cadangan devisanya sebagai bentuk perlindungan terhadap tekanan-tekanan ekonomi eksternal.

Dalam sistem internasional ketika dollar AS menjadi cadangan devisa utama setiap negara, fundamen ekonomi AS yang kuat merupakan faktor yang tak tergantikan bagi terwujudnya stabilitas finansial global. Meletusnya ekonomi gelembung AS pada tahun 2007 menunjukkan fakta bahwa ekonomi AS yang berbasis kredit dan spekulasi sangatlah rapuh sebagai penyangga stabilitas ekonomi global.

Fluktuasi nilai dollar AS sempat memunculkan wacana yang dicuatkan oleh China dan Perancis untuk mengganti dollar AS dengan satu mata uang internasional yang dikeluarkan oleh semacam bank sentral dunia sebagai alat transaksi internasional.

Ide ini tidak terwujud, tapi reformasi finansial global mendapatkan momentumnya di sini. IMF diperkuat sebagai institusi pengawas dan pengelola sistem finansial internasional dengan menambahkan alokasi 250 miliar dollar AS bagi surat berharga yang dikeluarkannya (SDR). Dengan memperbesar alokasi SDR, para pemimpin G-20 telah berupaya menyediakan alternatif sistem cadangan devisa yang tak lagi terlalu terpaut pada dollar AS.

Para pemimpin G-20 juga memberi mandat kepada lembaga Financial Stability Board (FSB) untuk mengupayakan terwujudnya stabilitas finansial dengan memperkuat standar prudensial internasional, menganalisis kerawanan yang mengancam stabilitas finansial global, dan mendorong koordinasi antara otoritas-otoritas finansial nasional, institusi keuangan internasional, dan pihak-pihak terkait.

Dalam kaitan itu, Menteri Keuangan AS Tim Geithner menyatakan bahwa keberadaan FSB akan menjadi ”pilar keempat” dalam arsitektur tata kelola global, melengkapi keberadaan IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Merkantilisme baru

Berbeda dengan KTT-KTT G-20 periode 2008-2009 yang difokuskan untuk mengatasi krisis global, KTT G-20 di Seoul (dan Toronto, Juni lalu) berupaya mengarah pada langkah ke depan setelah krisis global berlalu. Dalam konteks ini bisa dipahami keinginan Presiden Korsel Lee Myung-bak untuk mengedepankan persoalan pembangunan dalam KTT Seoul (Kompas, 8/11).

Meski demikian, isu pembangunan—termasuk perubahan iklim—tampaknya kian tertelan isu ”perang kurs” antara AS dan China yang semakin memanas. AS dan negara-negara Eropa tidak puas dengan perkembangan nilai tukar yuan yang hanya menguat dua persen setelah Bank Sentral China mengumumkan untuk membuat nilai kurs yuan lebih fleksibel Juni lalu. Di sisi lain, langkah AS untuk terus mencetak dollar AS dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mendekati nol persen telah meningkatkan nilai matang uang lain terhadap dollar AS sehingga menurunkan daya saing ekspor sejumlah negara. Seruan-seruan devaluasi tidak dihiraukan dan malah dibalas AS dengan menambah mata uang dollar AS ke pasar sebesar 600 miliar dollar AS (Kompas, 9/11).

Penambahan kuantitas dollar AS yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan memompa permintaan domestik melalui penurunan nilai mata uang dollar AS tampaknya menjadi bagian dari respons pemerintah Obama terhadap tekanan publik AS yang tidak sabar dengan lambatnya pemulihan ekonomi.

Kebijakan moneter AS yang merugikan negara lain ini menjadi jurus ”merkantilisme baru” untuk mengurangi defisit perdagangan dan membuka peluang ekspor yang diharapkan berkorelasi langsung dengan pengurangan jumlah penganggur di dalam negeri. Ini menambah panjang daftar kebijakan ”merkantilisme” AS sebelumnya, seperti kebijakan ”Buy American Product” dan pembatasan impor melalui aneka standardisasi produk.

Di sisi lain, tak mudah bagi China untuk demikian saja menuruti tekanan AS dan Eropa untuk menaikkan nilai tukar yuan. Melejitnya harga ekspor produk China karena apresiasi yuan terhadap dollar AS bisa menimbulkan dampak berantai berupa matinya usaha berbasis buruh murah yang jadi keunggulan komparatif China selama ini, yang berimplikasi pada meluasnya pengangguran dan pada gilirannya akan mengancam stabilitas sosial dan politik China.

Perang kurs AS-China yang berkelanjutan secara potensial dapat mengakibatkan ”pemandulan” G-20 sebagai lembaga koordinasi kebijakan multilateral yang utama. Kesepakatan G-20 membangun kebersamaan dalam mewujudkan world public goods berkaitan dengan perubahan iklim, keamanan pangan, dan kesehatan global dapat tergantikan oleh pertikaian ekonomi antarnegara yang tiada habisnya.

Inilah tantangan terbesar bagi G-20 di era pascakrisis global agar keberadaannya tak terjerumus menjadi sebatas forum talk shop yang kian kehilangan fokus seperti yang terjadi pada banyak forum internasional lainnya.

*Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03083994/rekonsolidasi.ekonomi.global

Read More..
Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings