Senin, 15 November 2010

Belum Terlambat bagi Indonesia untuk Bertindak

Gempa bumi hebat berkekuatan 7,7 skala Richter, 26 Oktober, yang diiringi tsunami memakan korban lebih dari 400 jiwa di Kepulauan Mentawai.Peristiwa ini menyadarkan Indonesia untuk bersiap diri dalam menghadapi gempa bumi dahsyat berikutnya. Akan tetapi, baik gempa bumi Mentawai maupun gempa bumi di Padang tahun 2009—dengan korban lebih dari 1.000 jiwa—bukanlah ”gempa bumi besar” yang ditunggu-tunggu para ahli bumi. Para seismolog sepakat bahwa gempa demikian akan terjadi di Indonesia, tetapi mereka tidak dapat meramalkan besaran gempa, ukuran tsunami, dan kapan terjadinya. Bisa hari ini atau 50 tahun mendatang.

Para ahli mengatakan, hanya satu hal yang bisa dipastikan, bahwa Padang dan Bengkulu berada dalam jalur bahaya. Suatu waktu gempa dengan kekuatan melebihi 8,5 skala Richter bisa menghantam daerah itu dan tsunami yang lebih merusak dibanding Aceh (2004) bisa terjadi.

Maka, Indonesia harus benar-benar mempersiapkan diri. Kota-kota di Indonesia yang berkembang dengan cepat umumnya berisi bangunan-bangunan tinggi yang bersebelahan dengan daerah kumuh dan permukiman liar yang berdiri di atas tanah yang tidak aman huni. Inilah jawabnya mengapa gempa ukuran menengah berkekuatan 6,3 skala Richter di dekat Padang tahun 2007 dapat memakan 66 korban jiwa, 500 luka-luka, dan runtuhnya hampir 15.000 bangunan dan kerusakan 44.000 lainnya.

Waspadai kota besar

Gempa pada kota-kota besar seperti Jakarta akan jadi suatu malapetaka. Jika letak pusat gempa berdekatan, gempa berkekuatan 8,5 skala Richter akan membunuh seperempat hingga satu juta jiwa, meratakan hingga 5 persen dari seluruh bangunan, dan merusak lebih dari 50 persen dari seluruh bangunan.

Kerusakan nonstruktural pada bangunan akan jauh lebih memakan biaya dari kerusakan struktural yang terjadi: bangunan berharga 50 juta dollar AS dapat menjadi rumah bagi peralatan rusak bernilai 2 miliar dollar AS. Seperti gempa bumi yang baru terjadi di Cile yang relatif tidak merusak bangunan bandara yang baru selesai, tetapi menghancurkan sebagian besar peralatan di dalamnya, sehingga bandara itu tidak berfungsi pada saat dibutuhkan. Hampir seluruh kejadian itu dapat dihindari dengan upaya yang relatif mudah dan murah, seperti peralatan pengunci dan pengikat yang sesuai, panil langit-langit, dan lain-lain.

Untungnya, sekarang belumlah terlambat untuk bertindak. Bank Dunia baru saja menerbitkan makalah kebijakan untuk mempersiapkan diri menghadapi gempa bumi besar berikutnya di Asia. Makalah itu mengusulkan agar negara-negara dengan aktivitas gempa tinggi seperti Indonesia segera bertindak, dengan menggunakan upaya-upaya yang sederhana, murah, dan telah banyak digunakan di negara-negara seperti Turki dan Romania, serta menyelamatkan ribuan jiwa.

Upaya-upaya itu termasuk menyusun skenario risiko kerusakan untuk daerah perkotaan. Setelah dua gempa yang merusak tahun 1999 di dekat Istanbul, Pemerintah Turki didukung Bank Dunia melaksanakan audit risiko sistemik yang dimulai dengan bangunan sekolah-sekolah. Sekolah diprioritaskan karena memiliki ruang-ruang berukuran besar dengan dinding dalam yang lebih sedikit sehingga rancang bangun lebih lemah.

Berikutnya memberi kode bangunan sesuai pembaruan zona dan pemetaan gempa bumi. Salah satu pelajaran utama dari gempa bumi Wenchuan tahun 2008 di China (70.000 korban jiwa, kerugian properti 122 miliar dollar AS) adalah betapa pentingnya pembaruan zona dan pemetaan gempa bumi secara terus-menerus agar memperoleh kode bangunan yang sesuai.

Kota L’Aquila, Italia, berada di daerah dengan risiko gempa yang cukup dikenal, tetapi spesifikasi bangunannya hanya memadai bagi skenario risiko yang jauh lebih rendah. Lainnya adalah menganalisis biaya-manfaat bangunan tahan gempa. Di Istanbul berlaku aturan: jika biaya memperkuat suatu bangunan melebihi 40 persen dari membangun gedung baru, maka akan lebih baik membongkar bangunan itu dan membangun bangunan baru yang lebih besar dan lebih kuat.

Efektif biaya

Program penguatan ternyata sangat efektif secara biaya. Di Istanbul, lima gedung sekolah dapat direnovasi dan diperkuat dengan biaya setara dengan membangun satu gedung baru.

Analisis disusul dengan menyusun program prioritasi renovasi dan penguat bangunan. Di Turki, bangunan-bangunan yang terletak paling dekat dengan pusat gempa didahulukan terlebih dahulu. Pendahuluan serupa di Jakarta dapat diberikan pada bangunan-bangunan di atas tanah yang buruk. Susun kriteria prestasi: antara gedung sekolah yang sungguh tahan gempa (mahal) atau gedung yang hanya menderita kerusakan susunan batu (lebih murah).

Dinding beton yang diperkuat memang memberikan perlindungan, tetapi perlindungan serupa juga dapat diberikan oleh dinding dengan susunan batu tertutup, seperti rumah-rumah tahun 1930-an yang tahan dihantam gempa Cile. Lebih baru tidak selalu berarti lebih baik.

Akan ada pertanyaan mengenai keterjangkauan program-program tersebut. Rangka bangunan umumnya merupakan 15 persen dari biaya bangunan dan tambahan biaya yang diperlukan untuk memperkuat bangunan terhadap gempa hanyalah satu hingga tiga persen dari biaya keseluruhan bangunan.

Pengalaman mengajarkan bahwa program yang menyelamatkan jiwa manusia akan mendapat dukungan. Maka belum terlambat bagi Indonesia untuk bertindak.

Abhas K Jha Kepala Program, Manajemen Risiko Bencana, Asia Timur dan Pasifik, Bank Dunia
sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/15/0438250/belum.terlambat.bagi.indonesia.untuk.bertindak

Read More..

Sabtu, 13 November 2010

Tertampar Pidato Obama

Di Universitas Indonesia, Depok, Presiden Amerika Serikat Barack Obama "menampar" kita. Pidatonya memang simpatik. Hadirin berkali-kali menyambut dengan tepuk tangan riuh. Seperti layaknya pidato tamu, dia banyak memuji Indonesia. Tapi pujian dan susunan kata-katanya sungguh seperti menjadi tamparan buat kita. Apa yang ia sampaikan justru membuat kita merasa telah kehilangan banyak hal mengenai nilai-nilai kebersamaan: toleransi beragama dan kebinekaan negara ini.

Membuka pidato dengan nostalgia masa kecilnya, Obama mengakui bahwa tinggal di negeri penuh keberagaman seperti Indonesia--dengan ribuan pulau, ratusan bahasa dan etnis, serta sejumlah agama--membantunya menjadi lebih humanis. Ia menekankan, semangat toleransi beragama merupakan karakter Indonesia yang menginspirasi negeri lain.

Ia mengulangi pujian itu beberapa kali. "Semangat toleransi yang termaktub di konstitusi Anda, dan tersimbolkan dalam masjid, gereja, pura, serta melekat di rakyat negeri ini, masih ada hingga kini. Bhinneka Tunggal Ika. Ini adalah asas Indonesia yang menjadi contoh bagi dunia, dan inilah sebabnya Indonesia akan memainkan peran penting di abad ke-21," katanya.

Pujian yang tentu saja membuat bangga. Tapi, pada saat yang sama, kita sadar betapa keberagaman dan toleransi yang ia elu-elukan itu belakangan makin terancam. Muncul kelompok-kelompok agama yang semakin militan. Penghancuran rumah ibadah, penganiayaan penganut aliran keagamaan, perusakan tempat hiburan, begitu sering terjadi. Di Yogyakarta, hanya sehari sebelum Obama datang, sekelompok orang tega mengusir pengungsi Merapi dari tempat penampungan di sebuah gereja. Alasannya sungguh absurd: gereja bisa digunakan untuk mengkristenkan para pengungsi.

Makin absurd karena pemerintah pura-pura tidak tahu. Penodaan telanjang terhadap konstitusi, yang mengamanatkan toleransi dan keberagaman, dibiarkan berlangsung. Ini membuat apa yang dikatakan Obama tentang toleransi terdengar seperti nostalgia--mirip ceritanya tentang sawah dan kerbau di Jakarta, empat dasawarsa lalu. Tapi Obama tidak sedang bicara tentang masa lalu. Dia menyatakan hal itu dalam kalimat present tense. Jadi, anggap saja dia sedang menyemangati kita untuk menjaga nilai-nilai mulia yang kita miliki agar tak benar-benar menjadi masa lalu.

Dan untuk bisa menjaga nilai-nilai yang sedang terancam itu, Obama tak sekadar beretorika. Dalam pidatonya, Obama mengakui gentingnya hubungan Amerika Serikat dengan umat Islam dalam beberapa tahun terakhir. Pengakuan seperti ini penting karena hanya dengan pengakuanlah perbaikan bisa dimulai. "Sebagai presiden, saya telah membuat prioritas untuk mulai memperbaiki hubungan ini," katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai kepala pemerintahan, harus membuat pengakuan terbuka bahwa radikalisme telah semakin kuat dan mengancam keberagaman negeri kita. Lalu, dia juga harus mengajak seluruh rakyat Indonesia mendukung langkah-langkah perbaikan. Diam dan pura-pura tidak ada masalah jelas bukan sikap seorang presiden yang diamanatkan untuk menjaga konstitusi.

Pemerintah sudah harus memulai kampanye dengan pesan seperti yang disampaikan Imam Masjid Istiqlal kepada Obama: "We are all God's followers, kita semua adalah hamba Tuhan."
Sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2010/11/11/krn.20101111.217728.id.html

Read More..

G-20 dan KM-35

Asal-usul dari G-20 sangat terkait dengan krisis finansial yang melanda Asia Timur pada 1997-1998. Ia merupakan anak dari krisis keuangan internasional.

Ketika dibentuk, G-20 didorong oleh adanya kesadaran bahwa pencegahan (prevention) krisis keuangan dan penyelesaiannya (resolution) tidak dapat diselesaikan oleh kelompok negara-negara maju (G-7), tetapi juga harus melibatkan negara berkembang.

Isu utamanya adalah bagaimana melakukan pembaruan terhadap arsitektur keuangan internasional sehingga krisis finansial tidak lagi berulang. Ada kesadaran bahwa krisis keuangan akan mengancam pertumbuhan ekonomi global, menurunkan besar PDB sekitar 30 persen, menciptakan pengangguran, dan menambah jumlah orang miskin di negara yang terlanda krisis kebangkrutan bagi seluruh negara.

G-20, jalan moderat

Namun, upaya untuk menciptakan arsitektur keuangan itu bukan dilakukan melalui institusi IMF. Juga tidak dengan menciptakan kerangka kelembagaan baru pengganti IMF. Upaya itu dilakukan dengan menciptakan forum intergovernmental network. Pilihan ini menggambarkan sikap jalan moderat.

Penciptaan institusi baru di luar kerangka IMF dianggap terlalu radikal karena dapat menciptakan keguncangan dalam institusi-institusi keuangan di seluruh dunia. Namun, pilihan melalui IMF juga dipandang terlalu konservatif. Lembaga ini memiliki legitimasi yang rendah di kalangan negara berkembang. Bagi negara berkembang, IMF merupakan institusi yang didominasi negara maju. Pembuatan keputusan tidak didasarkan pada satu negara satu suara, tetapi berdasarkan kontribusi pendanaan dan yang terbesar adalah kelompok negara maju.

Dalam pandangan sekilas, kelompok negara berkembang dalam G-20, yang juga dikategorikan sebagai emerging market, melebihi jumlah negara maju G-7. Rasionya adalah 11 berbanding delapan dan satu lainnya diberikan kepada organisasi regional Uni Eropa. Jika ini dijadikan tolak ukurnya, pengaruh negara berkembang seakan lebih kuat dibandingkan dengan negara maju.

Namun, watak pertemuan dari G-20 adalah forum dialog yang didasarkan pada konsensus. G-20 bukanlah suatu entitas pembuatan keputusan yang didasarkan pada pemberian suara. Karena itu, keunggulan numerik kelompok negara berkembang dalam G-20 tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar.

Bahkan jika dilihat dari sumber dayanya kelompok negara maju memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok negara berkembang. Kementerian keuangan dan bank-bank sentral yang ada di G-7 memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merancang agenda, melaksanakan penelitian, dan mengembangkan posisi-posisi mereka dalam setiap pertemuan.

Kelompok negara maju juga memiliki hubungan yang lebih baik dengan organisasi internasional lainnya. G-7 memiliki jaringan pengaruh yang lebih luas dan kuat dengan IMF dan Bank Dunia. Menteri Keuangan kelompok G-7 mengadakan pertemuan enam kali setahun. Karena itu, kelompok G-7 dalam G-20 lebih mudah untuk mendapatkan kesamaan dalam agenda setting dibandingkan dengan kelompok negara berkembang.

Studi yang dilakukan Leonardo Martinez Diaz (2009) bahkan menunjukkan, sikap G-20 tampak lebih memihak G-7 dibandingkan dengan sikap G-24 (kumpulan negara berkembang). Dari sembilan isu yang dijadikan rujukan, G-20 hanya tampak mengakomodasikan dua isu kebijakan yang disampaikan G-24, yaitu dalam isu restrukturisasi utang negara (sovereign debt) dan dalam isu pembaruan lembaga-lembaga Breeton Woods.

Dalam isu restrukturisasi utang negara, disepakati perlunya code-of conduct yang adil bagi negara berkembang. Dalam isu pembaruan, kelembagaan juga disepakati perlu adanya perubahan dalam voting power di dalam institusi IMF dan Bank Dunia.

Namun, dalam tiga isu lainnya, posisi G-20 tidak memihak usulan negara berkembang. Sebagai misal, G-20 menolak posisi G-24 yang mengusulkan agar tidak mengaitkan aturan pengawasan (surveillance) dan persyaratan pinjaman (conditionality) IMF. Juga G-20 tidak menyatakan kecemasan negara berkembang tentang isu keterwakilan (representativeness) negara berkembang dalam forum-forum pertemuan keuangan internasional baru. G-20 juga tidak menyuarakan kecemasan G-24 terhadap implikasi isu pengurangan utang bagi negara berkembang.

G-20 juga bersikap diam atau tidak menyatakan apa pun dalam isu kondisionalitas IMF, kontrol modal dan perdagangan. Posisi negara berkembang dalam tiga isu ini, seperti yang terlihat dari pertemuan G-24, biasanya sangat kritis. Sebagai contoh dalam isu conditionality, G-24 menuntut adanya perampingan persyaratan IMF. Dalam isu kontrol modal, G-24 menuntut pengendalian khususnya pada perdagangan derivatif (derivative trading).

Namun, G-20 tidak berbicara tegas tentang isu ini. Juga G-20 tidak berbicara tentang praktik-praktik perdagangan proteksionis yang dilakukan oleh negara-negara industri maju. Bahkan, dalam satu isu khusus, Diaz menyebutkan, posisi G-20 menggambarkan posisi lebih ”maju” dibandingkan dengan G-7, yaitu dalam isu pendanaan terorisme.

KM-35

Bobot diplomasi Indonesia tentu saja meningkat setelah menjadi anggota G-20. Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang ikut dalam G-20 itu. Namun, harapan tampaknya jangan terlalu tinggi. G-20 tampaknya masih merupakan jalan panjang untuk mengakomodasikan kepentingan negara berkembang. Upaya untuk melakukan pembaruan arsitektur keuangan internasional yang dapat disepakti oleh semua negara, yaitu penciptaan rezim keuangan internasional, juga masih jauh dari harapan.

Mengaitkan G-20 dengan isu pembangunan juga baik, seperti yang kini tengah dijadikan salah satu agenda dalam pertemuan G-20 di Seoul. Akan tetapi, jangan pula terlalu tinggi menggantung harapan. G-20 tidak akan serta-merta dapat memecahkan persoalan KM-35 (kelompok miskin 35 juta) yang ada di Indonesia.

Bagi penulis, substansi masalah pembangunan di Indonesia seharusnya dikaitkan dengan tersedianya lapangan kerja dengan pembayaran yang layak. Warga negara yang tidak bekerja tentu saja akan tidak memiliki pendapatan dan terlilit dengan kemiskinan. Demikian juga halnya, warga negara yang bekerja, tapi tidak mendapatkan upah yang wajar, yang kadang disebut dengan underemployment, juga akan sukar untuk meningkatkan hidupnya agar keluar dari garis kemiskinan. Terkait dengan ini kiranya pula ditambahkan beberapa fakta tentang angkatan kerja di Indonesia.

Data resmi yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2009 menunjukkan tingkat pengangguran (unemployment rate) di Indonesia diperkirakan sebesar 8,96 juta jiwa. Angka ini tampaknya kecil karena hanya sekitar 7,8 persen dari seluruh angkatan kerja (labor force) di Indonesia (169,93 juta jiwa). Namun harus ditambahkan beberapa catatan tentang pendefinisian.

Reformasi sosial

Definisi tentang angkatan kerja adalah orang yang berusia di atas 14 tahun. Yang tidak bekerja adalah antara nol dan 14 tahun yang jumlahnya diperkirakan sebesar 61,30 juta jiwa. Definisi tentang orang yang bekerja di Indonesia adalah jika ia bekerja lebih dari 35 jam seminggu. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 73,30 juta jiwa.

Kategori kedua adalah bekerja kurang dari 35 jam yang disebut dengan setengah penganggur (half unemployment). Jumlahnya diperkirakan 31,5 juta jiwa. Dari definisi ini kita bisa melihat bahwa definisi orang bekerja tidak terkait sama sekali dengan besaran pendapatan yang diterima. Kedua, seseorang dapat dikategorikan bekerja (walau dengan setengah pengangguran) jika dia bekerja walau hanya satu jam dalam seminggu.

Data lain lagi adalah sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja terbesar, yakni 41,46 juta (39,68 persen). Sektor keuangan hanya menyerap sekitar 1,49 juta jiwa (1,42 persen). Dalam kaitan ini perlu pula dicatat bahwa dari segi pendidikan, hanya sekitar 4,71 persen yang berpendidikan sarjana. Mayoritas terbesar adalah tidak tamat SD, yaitu sebesar 57,38 juta jiwa (50,41 persen).

Data-data ini juga menyampaikan pesan bahwa sektor pertanian paling tidak terdidik, sedangkan sektor keuangan mungkin adalah sektor yang paling banyak menyerap angkatan kerja yang sarjana.

Apa yang bisa disimpulkan? Persoalan KM-35 dan struktur kualitas angkatan kerja merupakan realitas duka yang kita hadapi. Ia merupakan ”pekerjaan rumah” yang tidak bisa diselesaikan dengan strategi reformasi keuangan di tataran internasional. Ia merupakan gambaran ketimpangan distribusi kesejahteraan di tingkat nasional. Pemecahannya bersifat jangka panjang dan barangkali membutuhkan reformasi sosial (social reform) yang sangat serius dan mustahil dapat dipecahkan di meja perundingan dan dengan dokumen KTT.

*Ditulis oleh:Makmur Keliat Pengajar di Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/13/03005873/g-20.dan.km-35

Read More..

Krupuk Usek Khas Pemalang

SEBENARNYA kerupuk usek tidak hanya diproduksi warga Pemalang, ada beberapa daerah lain yang juga memproduksinya. Namun demikian kebanyakan orang lebih mengenal kerupuk usek sebagai makanan khas Pemalang. Murah, renyah dan pada jenis tertentu dari salah satu produsen ada yang ditambahkan bumbu khas sehingga rasanya lebih mantap.

Sayangnya ketika pada Juli kemarin Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang mengambil sampel sejumlah makanan untuk diperiksa kandungannya di laboratorium, kerupuk usek ikut dijadikan sasaran. Dan ternyata kerupuk yang digoreng tanpa menggunakan minyak ini divonis mengandung bahan kimia berbahaya, yakni hodamin B yang merupakan pewarna tekstil.

Kerupuk Usek diproduksi di industri-industri rumah tangga bersama kerupuk-kerupuk jenis lainnya. Kerupuk ini hanya terdiri dari dua warna pilihan, putih dan merah. Kerupuk yang berwarna merah inilah yang ditengarai mengandung bahan kimia hodamin B. Namun demikian kerupuk produk turun-temurun ini masih menjadi primadona.

Pada Lebaran kemarin, terjadi peningkatan produksi kerupuk usek. Selain karena cuaca panas yang dimanfaatkan habis-habisan untuk memproduksi sekaligus memenuhi stok di gudang, peningkatan produksi juga untuk memenuhi permintaan yang melonjak karena banyak dicari para pemudik dari perantauan.

Sejatinya kerupuk usek bukanlah hidangan khas Lebaran, namun kudapan ini tetap disajikan sebagai pelengkap saat menikmati sambal atau pecel. Kerupuk usek juga sering dinikmati untuk melengkapi makanan lain seperti bakso, mie, grombyang, soto atau lontong dekem. Tak peduli mengandung hodamin B, warga tetap enjoy menikmatinya.

Hartinah (45), salah satu pedagang lesehan yang menyediakan kerupuk usek di salah satu pasar di Pemalang, mengaku ada imbauan untuk tidak menjual makanan berbahaya. "Tapi surat larangan pemerintah menyebut dilarang menjual kerupuk mie warna merah, bukan kerupuk usek," elak dia.

Memang ada jenis kerupuk mie yang oleh warga setempat disebut kerupuk mie. Kerupuk dimaksud biasanya berwarna kuning dan berbentuk bulat. Kerupuk usek yang berbahan tepung dan adonannya panjang-panjang seperti mie memang mirip kerupuk mie, namun bentuknya kotak bolong-bolong.

Salah satu penyuka kerupuk usek, Taufik Haryanto(40), mengatakan dirinya biasa mengonsumsi kerupuk usek sejak kecil. "Di Jakarta kerupuk seperti ini tidak ada, sehingga kesempatan mudik ini saya belanja kerupuk usek buat teman-teman di Jakarta sebagai oleh-oleh khas Pemalang," katanya. Untuk mendapatkan 10 kantong kerupuk usek, ia cukup merogoh kocek Rp15.000. Hmmm, harga yang cukup murah, bukan? (ali)

Sumber http://www.pemalangpost.com/2009/10/kerupuk-usek-asal-pemalang.html

Read More..

Kamis, 11 November 2010

Merokok: Kebiasaan atau Kebinasaan?*

Salah satu hal tersulit dalam kehidupan bermasyarakat adalah memberlakukan aturan bagi semua komunitas.
Lebih sulit lagi apabila masyarakat tidak paham sedikit pun dasar mengapa aturan diberlakukan. Maka, yang terjadi justru kontroversi pihak yang merasa ”hak”-nya dibatasi. Sebutlah aturan bahwa pengendara motor diwajibkan di lajur paling kiri dan menyalakan lampu kendaraan, yang sekarang hanya ditaati sebagian pengendara.

Tingkat kedewasaan komunitas dapat dibaca dari alasan dan bagaimana suatu aturan diberlakukan. Penguasa yang membiarkan rakyatnya tetap tumbuh di kematangan otak primitif reptilian (batang otak dan otak kecil) akan selalu berbenturan dengan masalah ”survival”. Siapa bertahan, mana lebih kuat, bagaimana caranya lolos dari pantauan, dan yang penting tetap bertahan (dengan kebiasaan dan kenikmatan saya). Aturan dan hukum yang diturunkan tanpa pemahaman akhirnya seperti mendidik balita karena melibatkan fungsi kontrol yang sangat melelahkan.

Kematangan otak mamalia manusia tampak begitu tingkat kesadaran bukan lagi tentang ”aku yang bertahan”, tetapi melibatkan ”kamu” sebagai orang kedua. Ini seperti nasib perokok pasif: tidak merokok tetapi terkena imbasnya.

Fungsi limbik otak mamalia manusia tumbuh pada usia 2-6 tahun, mencerminkan fungsi melindungi dan berbelas kasih. Penerapan peraturan persuasif lebih mengena di tahap ini.

Tingkat kesadaran

Peraturan berjalan baik apabila pematangan kesadaran dan tingkat pendewasaan berhasil baik pada masa pendidikan sekolah dasar dan menengah. Saatnya belah otak kiri dan kanan mengambil fungsi, membuat keputusan dan pilihan berdasarkan pemahaman ”baik-buruk”, ”benar-salah”. Lingkupnya bukan lagi tentang ”saya” dan ”kamu”, tetapi ”saya-kamu dan mereka”.

Merokok bukan hanya asapnya dihirup oleh perokok pasif. Sisa asap rokok yang menempel pada pelapis dinding, karpet lantai, perabot, bahkan baju dan rambut mengandung tobacco-specific nitrosamines yang tidak begitu saja menguap!

Peraturan dan perundangan yang tidak melelahkan aparat terjadi ketika fungsi ”saya mampu memilih” berjalan dalam masyarakat. Artinya, seseorang bertanggung jawab atas semua hasil perbuatannya dan tak ada lagi alasan perbuatan tanpa disadari.

Salah satu kontributor keberhasilan fungsi ”saya mampu memilih” adalah pemahaman. Namun, edukasi dan upaya promosi tentang hidup sehat bebas rokok masih sangat rendah, terkait dengan (lagi-lagi) dana proyek. Begitu pula dengan promosi dan prevensi bahaya merokok.

Setiap orang yang sadar, apabila mendapat informasi lengkap tentang sesuatu yang mengancam dirinya dan orang-orang yang dicintainya, tentu akan mengambil pilihan dan tindakan proaktif. Inilah yang bisa menjadi gerakan komunitas nasional, tanpa perlu larangan dan aturan.

Untuk itu, diperlukan kerja keras berkali lipat daripada, misalnya, upaya mengatasi flu burung. Ancaman instan flu burung membuat orang lebih cepat sadar ketimbang ancaman masa depan rokok yang muncul setelah timbul kanker dan jantung koroner sekian puluh tahun kemudian.

Kepublikan sensasi

Batu sandungan terletak pada tingkat kematangan otak. Tahapan pendewasaan ternyata terhenti di tingkat primitif yang hanya memikirkan diri sendiri. Ciri khas tingkat ini terjadi ketika manusia berhenti melanggar semata-mata karena takut dihukum dan dipermalukan.

Sebaliknya apabila kesadaran telah mencapai pencerahan tertinggi, hukum moral imperatif kategoris, seperti dikemukakan filsuf Immanuel Kant, baru bisa bekerja. Artinya, suatu aturan (bahkan kewajiban moral) dijalankan bukan karena saya menghindari hukuman atau mencari imbalan, melainkan karena diri saya mengharuskannya.

Sebagai penggagas sintesis antara rasionalisme dan empirisme, Kant sangat cermat dan cerdas. Gagasan Kant menutup lubang-lubang kemungkinan kesalahan dan kecurangan manusiawi—sebagaimana tampak pada kerangka berpikirnya dalam Kontribusi untuk Perdamaian Abadi, awal Oktober 1795—masih relevan dikaji oleh pengendali negara saat ini.

Kepublikan yang terpapar di negeri ini bukanlah kepublikan rasional sebagaimana dicita-citakan Kant, melainkan kepublikan sensasi—yang lebih mirip menelanjangi obyek pencetus nafsu dan gairah—tanpa akal.

Berhenti kebiasaan merokok bukan berarti petani tembakau dan buruh pabrik rokok berhenti makan. Alasan klasik pembenaran suatu kepentingan akan mencegat kemajuan dan kreativitas belah otak kiri dan kanan manusia. Itulah yang membinasakan manusia.

*Tan Shot Yen Dokter, Magister Filsafat Humaniora, Kandidat Doktor Ilmu Gizi Komunitas SEAMEO,Fakultas Kedokteran UI

Read More..

Rekonsolidasi Ekonomi Global*

Dalam kurun 11-12 November berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Seoul, Korea Selatan, dengan tema ”Shared Growth Beyond Crisis”.

Ini KTT G-20 kelima sejak kelompok ini meningkatkan kerja samanya pada tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan sebagai respons terhadap krisis ekonomi global 2008. Para analis umumnya memberikan apresiasi besar terhadap peran G-20 dalam mengoordinasikan kebijakan mengatasi krisis global 2008 untuk mencegah berulangnya peristiwa depresi besar dekade 1930-an.

Melihat pencapaian ini, KTT Pittsburgh (September 2009) memutuskan memfungsikan G-20 sebagai pengganti keberadaan G-8 sebagai premier forum bagi kerja sama ekonomi internasional. Menghadapi krisis global, fokus awal G-20 adalah mendorong stimulus fiskal untuk memulihkan ekonomi dan memperkuat regulasi serta pengawasan perbankan dan sektor keuangan.

Selanjutnya G-20 mengarahkan fokusnya pada upaya mengatasi ketidakseimbangan finansial global dengan memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal antarnegara. Ketidakseimbangan finansial global terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan terhadap dollar AS sejak krisis Asia 1997-1998, ketika banyak negara berkembang memperkuat cadangan devisanya sebagai bentuk perlindungan terhadap tekanan-tekanan ekonomi eksternal.

Dalam sistem internasional ketika dollar AS menjadi cadangan devisa utama setiap negara, fundamen ekonomi AS yang kuat merupakan faktor yang tak tergantikan bagi terwujudnya stabilitas finansial global. Meletusnya ekonomi gelembung AS pada tahun 2007 menunjukkan fakta bahwa ekonomi AS yang berbasis kredit dan spekulasi sangatlah rapuh sebagai penyangga stabilitas ekonomi global.

Fluktuasi nilai dollar AS sempat memunculkan wacana yang dicuatkan oleh China dan Perancis untuk mengganti dollar AS dengan satu mata uang internasional yang dikeluarkan oleh semacam bank sentral dunia sebagai alat transaksi internasional.

Ide ini tidak terwujud, tapi reformasi finansial global mendapatkan momentumnya di sini. IMF diperkuat sebagai institusi pengawas dan pengelola sistem finansial internasional dengan menambahkan alokasi 250 miliar dollar AS bagi surat berharga yang dikeluarkannya (SDR). Dengan memperbesar alokasi SDR, para pemimpin G-20 telah berupaya menyediakan alternatif sistem cadangan devisa yang tak lagi terlalu terpaut pada dollar AS.

Para pemimpin G-20 juga memberi mandat kepada lembaga Financial Stability Board (FSB) untuk mengupayakan terwujudnya stabilitas finansial dengan memperkuat standar prudensial internasional, menganalisis kerawanan yang mengancam stabilitas finansial global, dan mendorong koordinasi antara otoritas-otoritas finansial nasional, institusi keuangan internasional, dan pihak-pihak terkait.

Dalam kaitan itu, Menteri Keuangan AS Tim Geithner menyatakan bahwa keberadaan FSB akan menjadi ”pilar keempat” dalam arsitektur tata kelola global, melengkapi keberadaan IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Merkantilisme baru

Berbeda dengan KTT-KTT G-20 periode 2008-2009 yang difokuskan untuk mengatasi krisis global, KTT G-20 di Seoul (dan Toronto, Juni lalu) berupaya mengarah pada langkah ke depan setelah krisis global berlalu. Dalam konteks ini bisa dipahami keinginan Presiden Korsel Lee Myung-bak untuk mengedepankan persoalan pembangunan dalam KTT Seoul (Kompas, 8/11).

Meski demikian, isu pembangunan—termasuk perubahan iklim—tampaknya kian tertelan isu ”perang kurs” antara AS dan China yang semakin memanas. AS dan negara-negara Eropa tidak puas dengan perkembangan nilai tukar yuan yang hanya menguat dua persen setelah Bank Sentral China mengumumkan untuk membuat nilai kurs yuan lebih fleksibel Juni lalu. Di sisi lain, langkah AS untuk terus mencetak dollar AS dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mendekati nol persen telah meningkatkan nilai matang uang lain terhadap dollar AS sehingga menurunkan daya saing ekspor sejumlah negara. Seruan-seruan devaluasi tidak dihiraukan dan malah dibalas AS dengan menambah mata uang dollar AS ke pasar sebesar 600 miliar dollar AS (Kompas, 9/11).

Penambahan kuantitas dollar AS yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan memompa permintaan domestik melalui penurunan nilai mata uang dollar AS tampaknya menjadi bagian dari respons pemerintah Obama terhadap tekanan publik AS yang tidak sabar dengan lambatnya pemulihan ekonomi.

Kebijakan moneter AS yang merugikan negara lain ini menjadi jurus ”merkantilisme baru” untuk mengurangi defisit perdagangan dan membuka peluang ekspor yang diharapkan berkorelasi langsung dengan pengurangan jumlah penganggur di dalam negeri. Ini menambah panjang daftar kebijakan ”merkantilisme” AS sebelumnya, seperti kebijakan ”Buy American Product” dan pembatasan impor melalui aneka standardisasi produk.

Di sisi lain, tak mudah bagi China untuk demikian saja menuruti tekanan AS dan Eropa untuk menaikkan nilai tukar yuan. Melejitnya harga ekspor produk China karena apresiasi yuan terhadap dollar AS bisa menimbulkan dampak berantai berupa matinya usaha berbasis buruh murah yang jadi keunggulan komparatif China selama ini, yang berimplikasi pada meluasnya pengangguran dan pada gilirannya akan mengancam stabilitas sosial dan politik China.

Perang kurs AS-China yang berkelanjutan secara potensial dapat mengakibatkan ”pemandulan” G-20 sebagai lembaga koordinasi kebijakan multilateral yang utama. Kesepakatan G-20 membangun kebersamaan dalam mewujudkan world public goods berkaitan dengan perubahan iklim, keamanan pangan, dan kesehatan global dapat tergantikan oleh pertikaian ekonomi antarnegara yang tiada habisnya.

Inilah tantangan terbesar bagi G-20 di era pascakrisis global agar keberadaannya tak terjerumus menjadi sebatas forum talk shop yang kian kehilangan fokus seperti yang terjadi pada banyak forum internasional lainnya.

*Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03083994/rekonsolidasi.ekonomi.global

Read More..

Rabu, 10 November 2010

Menguak Kebenaran Baru Peran Perempuan Dalam Sejarah*

Banyak yang ’khilaf’ ketika seseorang membuat buku sejarah;mereka melupakan rakyat kecil dan perempuan.

Berbicara mengenai sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran politik perempuan. Diakui atau tidak, perempuan turut memberi warna dalam upaya mencapai (dan pasca) kemerdekaan. Sayangnya, meski andil perempuan cukup besar, tapi hingga kini masih banyak masyarakat yang belum tahu kebenaran akan hal itu. Nah, dalam konteks inliah, menjadi menarik membincangkan buku bertajuk Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45.
Membuka lembar demi lembar buku itu saya menemukan kebenaran baru. Kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah yang selama ini terdistorsi. Yakni peranan perempuan yang punya andil besar dalam usaha mewujudkan kemerdekaan, tapi apa mau dikata jasa perempuan itu tak banyak disebutkan dalam (literatur) sejarah nasional.

Seperti dijelaskan dalam buku itu, tanpa partisipasi aktif perempuan tidak akan mungkin terwujud kemerdekaan. Perempuan dalam praktiknya, mampu menciptakan dinamika politik yang berbuah manis. Kaum hawa yang tergabung dalam wadah, Pemuda Putri Indonesia (PPI), mampu membantu penduduk untuk mengungsi dan menyediakan makanan bagi pribumi.

Kesadaran kaum perempuan akan kemerdekaan bangsa Indonesia di zaman itu, bukanlah hal yang perlu diragukan lagi. Mereka berbondong-bondong terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajah baik perseorangan maupun perjuangan kelompok. Bersama rekan-rekannya, RA Kartini menanamkan kesadaran pendidikan pada penduduk jelata sebagai alat perjuangan untuk membuka kesadaran nasionalisme rakyat.

Selain itu peran strategis perempuan juga terlihat dalam komunitas yang terlahir pada masa itu. Demi menyokong perjuangan rekannya, mereka mendirikan dapur umum untuk memberikan makan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pemuda Putri Republik Indonesia). Selain misi di atas, organ ini juga menghidupkan pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah-daerah.
Di organ lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PRI (Pemuda Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah-rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah dan matang yang kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.

Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia/ petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.

Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.

Di tempat lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.

Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan tempat lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.

Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kadernya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).

Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api.
Dari sini, selayaknyalah penghargaan terhadap kaum perempuan perlu ditinggikan. Bukan justru mengebiri kebebasannya, misalnya, lewat Perda Keluar Malam yang membatasi hak-haknya untuk bekerja dan berkarya. Tapi jangan juga, penghargaan terhadap perempuan dengan mewajibkan perempuan berjilbab seperti di Padang dan kota lainnya.

Semua hal di atas hanya artifisial belaka, simbolis dan menelikung perjuangan atas kemerdekaan. Semua pembatasan di atas sama saja dengan politik penjajah yang membatasi kemerdekaan kaum perempuan. Jika hal itu terjadi, maka dialah penjajah kemerdekaan perempuan di masa kini. Pejuang ’45 menyebutnya dengan semut ireng (Belanda hitam).

Akhirnya, artikel ini sebagai arena perjuangan kaum perempuan yang tidak (boleh) berhenti karena masih adanya perampasan terhadap kemerdekaan perempuan. Hak atas kemerdekaan adalah hak semua warga negara termasuk hak terhadap perempuan Indonesia. Kalau sudah seperti itu, dengan demikian sejarah tentang perempuan menjadi tak lagi tereduksi, tapi menuju objektivitas.

*Penulis: Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS
http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=139%3Amenguak-kebenaran-baru-peran-perempuan-dalam-sejarah-&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111

Read More..

Om Bama, Pak Beye, dan Pemilih Mereka*

Dua tahun lalu Om Bama adalah tokoh yang menggemparkan dunia. Ia orang pertama kulit hitam yang berhasil menjadi presiden negara adikuasa, memiliki kualitas teknosof, terhormat, serta bijak bestari.

Harapan rakyat Amerika Serikat membubung tinggi. Dia diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka ekonomi negaranya dan mengembalikan pamor AS di mata masyarakat internasional. Namun, kini rakyat AS marah (”Angry America”, The Economist, 30 Oktober 2010).

Pemilih kecewa karena Om Bama dianggap gagal mengatasi problem pengangguran secara substansial. Reformasi finansial belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Birokrasi boros, kemampuan serta keterampilan Om Bama sebagai presiden terjebak perilaku retorik. Bahkan, keberhasilan Om Bama mengegolkan Rancangan Undang-undang tentang Asuransi Kesehatan, yang diperjuangkan lintas generasi, mulai dari Teddy Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, Lyndon B Johnson, hingga almarhum Ted Kennedy, dianggap terlalu besar kemungkinan gagal.

Namun, kemudaratan bukan semata-mata kesalahan Om Bama. Ia mewarisi banyak pekerjaan rumah pemerintah sebelumnya, seperti perang Irak dan Afganistan yang belum tuntas, perbankan yang harus diselamatkan karena ekonomi yang stagnan, serta pengangguran. Demikian juga persoalan yang tidak pernah diantisipasi, seperti tumpahan minyak mentah milik perusahaan minyak BP di Teluk Meksiko.

Kekecewaan pemilih dengan sigap melucuti dominasi Partai Demokrat. Pemilu sela yang adalah koreksi rakyat terhadap kebijakan Om Bama menghasilkan Partai Republik memperoleh 234 dari 435 kursi (54 persen) DPR. Sebelumnya Partai Demokrat menguasai 255 kursi DPR (59 persen). Sementara di Senat, meski turun, Partai Demokrat masih menang tipis, 51 kursi (sebelumnya 57 kursi) dan Partai Republik memiliki 46 kursi, sebelumnya 41 kursi.

Hasil itu sesuai dengan prediksi empat bulan lalu, antara lain dilakukan oleh Polster dari Partai Demokrat, Peter Hart, yang disebutkan sebagai gelombang pemilu yang akan menghanyutkan kemenangan Partai Demokrat. Sebab itu, Om Bama harus mengubah strategi dan pendekatan dua tahun sisa pemerintahannya. Harapan masih besar mengingat publik juga optimistis, karena Amerika Serikat tetap wilayah ekonomi yang paling inovatif di dunia, tenaga kerja yang selalu siap bekerja keras dan fleksibel, tempat investasi yang menjanjikan, serta mempunyai seorang presiden yang berbakat.

Sementara itu, tuan rumah, Pak Beye, juga didukung Partai Demokrat versi Indonesia. Dukungan politik Om Bama di parlemen bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatan politik Pak Beye yang mendominasi tiga perempat kekuatan di Parlemen. Namun, Pak Beye belum berhasil mewujudkan janji debottlenekcing, yakni mengurai kekusutan struktur kekuasaan yang tidak jelas, jalur komando pemerintahan yang ruwet, serta rimba raya hukum yang tumpang tindih secara vertikal dan horizontal.

Selain itu, berbagai masalah akut belum juga dapat diatasi: politik uang, politisasi birokrasi, korupsi politik, dan sebagainya. Persoalan menjadi lebih parah karena sekitar Pak Beye bertaburan politisi yang kebal jeritan rakyat. Kritik tajam, satire, dan sindiran sinikal masyarakat, tidak mereka peka terhadap aspirasi rakyat. Dalam pasemon dan legenda yang masih hidup di lereng Gunung Merapi, asal-muasal perilaku bebal disebabkan kebiasaan mereka sejak kecil mengonsumsi rebung (bambu muda). Setelah dewasa, sosoknya seperti anyaman bambu (dalam bahasa Jawa disebut gedhek) sehingga orang yang dogol dan tidak punya malu disebut rai gedhek.

Bahkan, dalam suasana yang banjir air mata dan derita di pengungsian, mereka masih tega mengibarkan spanduk partai politik. Nafsu ketamakan kekuasaan tega memanfaatkan penderitaan rakyat dengan kamuflase bantuan ala kadarnya. Jauh berbeda dengan masyarakat biasa yang tulus dan ikhlas berbagi tanpa pamrih, kecuali berniat meringankan penderitaan sesama. Dalam tataran masyarakat, kemurkaan Merapi justru membangkitkan solidaritas sosial dan memperkuat modal sosial bangsa. Semoga kekayaan spiritual bangsa tidak lekang tergerus oleh perilaku oportunistik dari elite politik.

Kalau di Indonesia mempunyai tradisi pemilu sela, rakyat dapat melakukan koreksi strategi dan pendekatan Pak Beye dalam mengelola pemerintahan. Namun, karena sistem yang berbeda, rakyat harus sabar menunggu lima tahun, meskipun tingkat kegerahan masyarakat sudah hampir melampaui batas kesabaran rakyat. Mungkin kemurkaan alam dapat mewakili kemarahan rakyat yang masih tetap bersabar dipimpin oleh koalisi yang kolusif. Akibatnya, collusive democracy (The Economist, 23 Oktober, 2010), hanya menjadi medan saling mengooptasi, mengamankan, dan sekaligus menyandera kepentingan masing-masing. Kekuatan dahsyat yang seharusnya dapat melakukan terobosan yang sangat diperlukan dalam negara yang institusinya masih lemah menjadi mubazir.

Pertemuan Om Bama dan Pak Beye mungkin dapat dimanfaatkan untuk saling menukar pengalaman. Om Bama dapat memberikan nasihat bagaimana memanfaatkan dukungan yang terbatas di parlemen untuk melakukan terobosan politik. Sementara itu, Pak Beye berbagi keprihatinan bagaimana koalisi yang besar tetapi tersendat-sendat dalam menjalankan pemerintahan.

*J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/02570189/om.bama.pak.beye.dan.pemilih.mereka

Read More..

Semiotika Bencana*

Hidup di ”negeri bencana”, ada elemen masyarakat yang cerdas ”membaca” tanda-tanda alam (natural signs) sehingga mampu terhindar dari bahaya: masyarakat Simeulue (Aceh) yang menggunakan sandi smong; sebagian masyarakat sekitar Gunung Merapi yang membaca tanda-tanda mendung, anomali awan, suara gemuruh, kepanikan binatang, bahkan tanda mistis titen; masyarakat kota Padang yang mengikuti peta, rute dan jalur evakuasi; sebagian masyarakat Mentawai yang menghayati perilaku guncangan tanah.

Akan tetapi, amat disayangkan, sebagian besar masyarakat justru gagal ”membaca” tanda-tanda alam itu karena aneka alasan sehingga menjadi korban bencana memilukan: masyarakat yang tak peka lagi bahasa pasir laut, sinyal pasang surut, pesan gelombang, tanda awan atau gestur binatang; alat mitigasi tsunami tak bekerja, pelampung mitigasi dicuri, sirene bahaya tak berbunyi, peta, rute, dan jalur evakuasi tak jelas; informasi simpang siur, ucapan pejabat tidak karuan, dan arahan aparat membingungkan.

Ironisnya, rentetan bencana yang datang silih berganti nyatanya tak mampu memberikan pelajaran kepada anak bangsa dalam menghadapinya. Setiap bencana datang, setiap itu pula jatuh korban sia-sia. Anak bangsa ini tak mampu mengembangkan semacam ”semiotika bencana”, yaitu sistem-sistem tanda yang komprehensif, yang meliputi sistem-sistem tanda sebelum (tanda prediksi), sewaktu (tanda peringatan dini, tanda evakuasi), dan setelah bencana (tanda komunikasi dan koordinasi)—the semiotics of disaster.

Kecerdasan semiotik

Bencana alam—seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, semburan lumpur, atau angin puting beliung—adalah fenomena alam yang bukannya tanpa tanda-tanda alam. Seperti setiap penyakit mesti ada obatnya, setiap fenomena alam mesti ada tanda-tanda kehadirannya. Alam sebenarnya ”berbicara” kepada manusia, hanya saja manusia tak mampu membacanya, karena keterbatasan kognitif, afektif, dan pengindraan yang dimilikinya.

Seperti dikatakan Wendy Wheeler, di dalam The Whole Creature: Complexity, Biosemiotics and the Evolution of Culture (2006), alam sarat ”informasi” untuk diproses dan dimaknai oleh indra manusia: suara, bunyi, bau, pergerakan, warna, bentuk, medan listrik, getaran, gelombang, sinyal kimiawi, sentuhan, yang semuanya adalah tanda-tanda semiotik. Perubahan atau anomali pada tanda-tanda alam menandai perubahan atau anomali pada perilaku alam sendiri: awan, angin, sungai, laut, lempengan, dapur magma.

Akan tetapi, tanda-tanda alam hanya bermakna jika dapat ”ditranslasi” ke dalam bahasa manusia (semiotic translation). ”Dunia dalam diri” manusia (Innenwelt) harus mampu menjalin ”dialog” secara konstan dan intensif dengan ”dunia luar” (Umwelt), baik yang bersifat sosial maupun natural. Tanda-tanda di dalam diri manusia ”bertemu” dengan tanda-tanda alam sehingga pesan-pesan alam dapat dipahami dan dimaknai.

Umwelt sangat sentral dalam relasi informasi binatang, sebagai cara membangun ”komunikasi” dengan alam melalui aneka sistem tanda (sign systems): dengan spesies yang sama, pemangsa, mangsa, atau manusia; dengan tempat berlindung, cuaca, hutan dan padang; dengan bau, suara dan diamnya alam. Pesan-pesan dari lingkungan alam, seperti getaran, suara, bau, bentuk, dan cahaya, memberi tanda pada Umwelt di kalangan binatang, yang membangun kepekaan bertindak.

Binatang memiliki semacam ”kecerdasan semiotik”, yang memampukannya mengidentifikasi, mengenal, mengklasifikasikan, memolakan, mengingat tanda-tanda alam untuk memutuskan tindakan. Tubuh binatang ”mengingat” sesuatu yang pernah dilakukannya, sebagai informasi tindakan mendatang. Manusia modern tak bisa lagi menghadapi bencana alam seperti binatang, tetapi mereka dapat belajar banyak dari bahasa semiotika mereka (zoosemiotics).

Seperti dikatakan Mary Douglas, di dalam Natural Symbols (2002), tanda alam dan binatang diatur oleh sistem kode (natural code). Kode-kode alam dipahami binatang melalui pola, habit, regularitas atau kemunculan kembali (recurring), yang memproduksi ”makna” (meaning) dalam regularitas perilaku alam. Akan tetapi, seperti dijelaskan Umberto Eco di dalam A Theory of Semiotics (1978), manusia memiliki kecerdasan merelasikan Innenwelt dan Umwelt untuk menciptakan sistem tanda dan kode baru (overcoding).

Ironisnya, kecerdasan membangun ”semiotika bencana” itu nyatanya tak dimiliki oleh komponen bangsa ini. Sejarah panjang bencana gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor di negara cincin api ini nyatanya tak mampu menghasilkan ”inovasi” penanganan bencana. Kita tak mampu belajar dari tanda alam, tanda binatang, bahkan tanda-tanda di dalam diri kita sendiri. Bencana seakan-akan sudah menjadi sebuah ”rutinitas”, tanpa meninggalkan jejak pengetahuan.

Ironi bencana

Bencana alam tidak hanya perkara tanda (alam, binatang, manusia), tetapi juga perkara komunikasi. Di dalam setiap bencana diperlukan tidak saja tanda-tanda yang jelas, tetapi juga sistem komunikasi yang efektif, baik sebelum, sewaktu, maupun sesudah bencana. Sistem-sistem tanda bencana (mitigasi, informasi, peta, koordinasi) hanya dapat berfungsi apabila dipraktikkan di dalam sebuah medan komunikasi yang sehat.

Ironisnya, kegagalan komponen bangsa membangun sistem ”semiotika bencana” yang komprehensif diperparah oleh kegagalan membangun ”sistem komunikasi bencana” dan discourse tentang bencana. Situasi bencana seharusnya menghasilkan sebuah sistem komunikasi dan discourse yang sehat. Komunikasi tidak saja mempunyai fungsi kognitif: pengetahuan, informasi, dan kebenaran, tetapi juga fungsi afektif: persuasi, menghibur, menenangkan atau mendamaikan.

Di dalam situasi bencana diperlukan relasi timbal balik komunikasi (kognisi, afeksi), di mana korban tidak hanya diberi informasi, tetapi juga ditenteramkan. Di sinilah fungsi figur publik, yang mampu menjadi simbol, panutan, patron, dan rujukan. Akan tetapi, meminjam TJ Taylor, di dalam Mutual Misunderstanding (1992), figur publik di atas tubuh bangsa ini justru menciptakan ”ironi semiotik”: bicara tanpa kendali, arahan membingungkan, informasi salah, opini keliru—semiticos ironia.

Situasi pertandaan dan komunikasi bencana diperburuk oleh tumbuhnya bentuk-bentuk ”budaya populer” di seputar bencana. Dunia bencana kini bercampur aduk dengan dunia media, iklan, promosi, dan ”hiburan”. Kepedihan dan ratap tangis berbaur dengan promosi dan tepuk tangan. Dalam kegagalan anak bangsa membangun ”semiotika bencana”, yang tumbuh adalah ”estetisme bencana”: spanduk, poster, foto, dan umbul-umbul ucapan; panggung hiburan dan amal, lagu kepedihan, dan iklan-iklan ucapan di televisi.

Setiap datang bencana kita secara rutin mendendangkan lagu kepedihan, musik keperihan, iklan belasungkawa, dan spanduk-spanduk keprihatinan (meskipun ini tidak salah). Tanda-tanda bencana memang mampu melarutkan kita dalam suasana duka, membangun solidaritas sosial, memperhalus rasa kemanusiaan, bahkan memperteguh keimanan. Namun, bencana tak pernah memberi kita pelajaran tentang bagaimana ”melawan” bencana itu sendiri, karena kita tak mampu mengerahkan kecerdasan sebagai manusia.

Agar mampu ”melawan” bencana di masa depan, pemerintah—didukung seluruh elemen bangsa—harus mampu memimpin proyek besar riset dan pengembangan ”Sistem Semiotika Bencana Nasional” (SSBN), yang melibatkan aneka disiplin sains, teknologi, sosial, budaya, psikologi, komunikasi, bahasa, semiotika, dan seni. Melalui sistem semiotika komprehensif, diharapkan anak bangsa ke depan mampu ”membaca” aneka tanda alam dan pesan bencana, agar korban manusia tak lagi berjatuhan akibat kelalaian, kebodohan, dan ketidakpedulian manusia.

*Yasraf Amir Piliang( Dosen pada Program Magister Desain, FSRD dan Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung)

Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/03113146/semiotika.bencana

Read More..

Tamu Agung yang Merepotkan*

Orang-orang di sini dulu pakai becak. Kalau tidak naik bemo. Sekarang sebagai Presiden, saya bahkan tidak bisa melihat lalu lintas karena jalan-jalan diblokir, padahal setahu saya lalu lintas Jakarta lumayan padat juga.” (Kompas, Rabu 10 November 2010).

Pernyataan Presiden AS Barack Hussein Obama yang dikutip Kompas tersebut sangat manusiawi dan bijak. Bisa saja diartikan betapa tuan rumah Indonesia terlalu berlebihan dalam mengatur lalu lintas Jakarta saat tamu agung dari negara adidaya itu berkunjung ke Indonesia, Selasa dan Rabu lalu.

Bayangkan, semua jalan yang akan dilalui ditutup 15 menit sampai berjam-jam, pengguna jalan berdesak dalam kemacetan menunggu sampai rombongan tamu agung lewat.
Pertanyaannya, adakah manfaat untuk rakyat dan bangsa Indonesia dari kunjungan Presiden Obama itu?

Pancasila

Satu hal penting dan amat positif yang diungkapkan Obama di Jakarta ialah Indonesia masih memiliki Pancasila sebagai pegangan hidup warga negara Indonesia. Ini tentunya sentilan keras bagi kita semua sebagai pemilik ideologi Pancasila.

Tengoklah apakah ideologi negara itu menjadi pegangan bagi para pembuat, pengambil keputusan, dan pelaksana keputusan di negeri ini? Apakah dalam pembuatan undang-undang seperti undang-undang penanaman modal, undang-undang mengenai air, juga undang-undang mengenai energi, ideologi negara itu digunakan sebagai pegangan?

Di mana pula ideologi Pancasila di mata para elite politik dalam memperlakukan warga negara Indonesia yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan? Di mana sikap kegotongroyongan kita? Di mana sikap para wakil rakyat kita dalam memaknai sila keempat Pancasila di dalam pengambilan keputusan di sidang-sidang parlemen?

Pelajaran penting lain dari Barack Obama ialah bagaimana sikap dan tindakan politiknya dalam menghadapi pluralisme masyarakat Amerika. Presiden Obama amat memegang teguh keputusannya untuk mendukung pembangunan Islamic Center di tanah dekat reruntuhan gedung kembar World Trade Center di New York walau kritik dan caci maki ditujukan kepadanya dari warga Amerika sendiri.

Obama juga berani untuk tetap mengunjungi Mesjid Istiqlal. Ini melambangkan bahwa AS bukanlah musuh Islam dan Islam bukanlah musuh AS. Sikap dan tindakan Obama melawan arus yang berkembang di AS.

Ia juga menyadari bahwa upayanya untuk menghormati Islam dan hidup damai serta bekerja sama dengan negara-negara Islam adalah kebijakan yang tidak populer dan dapat meruntuhkan legitimasi politiknya pada tingkat domestik. Namun, Obama tetap menunjukkan kenegarawanannya sebagai pemimpin AS dan tidak memedulikan citra politik yang merosot. Meletakkan batu sendi kebijakan yang positif terhadap Islam dan negara-negara Islam jauh lebih mulia ketimbang popularitas politik sesaat.

Lepas dari hal positif itu, kita masih bertanya, bagaimana kelanjutan dari politik luar negeri AS terhadap Timur Tengah, khususnya persoalan Palestina-Israel. AS memang memiliki kendala untuk memainkan pengaruh positif terhadap Israel karena kuatnya lobi Israel di AS, yang sebagian masih mendukung dibangunnya permukiman Yahudi di tanah Palestina.

Kita juga masih menunggu apakah AS akan mendukung Palestina yang merdeka dan berdaulat sebagai salah satu prasyarat perdamaian di Timur Tengah. Meski persoalan Palestina bukanlah masalah agama, dukungan AS terhadap Palestina akan mendapatkan penghormatan positif dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Kemitraan komprehensif

Salah satu tujuan kunjungan Presiden Obama ke Jakarta adalah membangun kemitraan komprehensif antara AS-Indonesia di bidang politik, keamanan, pertahanan, ekonomi dan sosial budaya, termasuk pendidikan.

Indonesia telah memiliki kerja sama semacam itu, termasuk juga kemitraan strategis dengan China, India, Australia, dan Rusia. Dari berbagai kerja sama itu, Kemitraan komprehensif dengan Rusia termasuk yang konkret karena ada kerja sama di bidang teknologi militer Rusia-Indonesia. Kerja sama ekonomi Indonesia-AS masih belum konkret bentuknya, baik untuk investasi maupun perdagangan.

Di bidang perdagangan, kita masih mengalami betapa negara-negara Barat, termasuk AS, masih menerapkan halangan nontarif terhadap ekspor barang-barang dari Indonesia seperti produk furnitur. Investasi AS di Indonesia juga masih terfokus pada bidang minyak dan gas demi menjaga keamanan energi AS.

Sampai kini, Pemerintah Indonesia juga masih takut melakukan negosiasi agar kontrak karya dengan PT Freeport McMoran diperbarui agar lebih menguntungkan Indonesia. Investasi AS di Indonesia juga terkait dengan sektor jasa, perbankan, atau segala yang membutuhkan tenaga terampil.

Bidang pertahanan juga masih belum jelas, apakah kerja sama militer AS-Indonesia juga akan mengikutsertakan pasukan elite TNI-AD, Kopassus. Di sini perlu keseimbangan antara pelatihan militer dan persoalan akuntabilitas politik, terutama terkait pelanggaran HAM oleh oknum-oknum militer Indonesia.

Apa pula yang dimaksud dengan kerja sama saling tukar mahasiswa? Apakah ini sekadar beasiswa bagi anak-anak elite politik Indonesia untuk kuliah lanjutan ke universitas-universitas ternama di AS, ataukah beasiswa atas dasar penilaian obyektif kepada semua anak Indonesia?

Tidak sedikit dugaan bahwa kemitraan strategis atau komprehensif yang dibangun AS dengan negara-negara di Asia seperti India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia adalah bagian dari politik AS untuk membendung dan mengikat China (co-engagement policy) karena China akan menjadi salah satu negara kekuatan ekonomi baru bersama Brasil, Rusia, dan India.

Kekuatan ekonomi China yang sudah melampaui Jepang, bukan mustahil juga dapat mengambil alih posisi AS sebagai kekuatan ekonomi dunia. Melalui kerja sama ekonomi dengan India, Indonesia, dan negara-negara Asia Timur Laut, AS ingin tetap mempertahankan diri sebagai kekuatan utama ekonomi dunia.

Kerja sama militer dengan berbagai negara Asia tampaknya juga untuk membendung China. Dipilihnya India, bukan Pakistan, sebagai mitra strategis di Asia Selatan menunjukkan betapa AS serius mengurangi ketakutannya pada merosotnya hegemoni AS di Asia. Biar bagaimana pun India lebih kuat daripada Pakistan dan India masih punya persoalan perbatasan dengan China.

Kita tunggu saja adakah follow-up dari kunjungan Obama ke Indonesia terkait dengan membangun kemitraan komprehensif ini. Jika tidak, maka kunjungan ini hanya akan menjadi acara kangen-kangenan dengan mudiknya si anak Menteng ke kota tempat ia menghabiskan masa kecilnya dulu!

*Ikrar Nusa Bhakti(Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta)
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/03060423/tamu.agung.yang.merepotkan

Read More..

Merawat Islam Indonesia

Dalam Annual Conference on Islamic Studies X, 1-4 November 2010 di Banjarmasin, tema ”Reinventing Indonesian Islam” diusung untuk meneguhkan kembali wajah Islam Indonesia.

Sumbangsih masyarakat Muslim dalam melawan penjajah, membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI merupakan realitas yang tak terbantahkan. Dalam memainkan peran itu, mereka tak bisa dilepaskan dari motivasi agama. Islam jadi dasar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Islam pula yang mengantar mereka kepada komitmen meneguhkan kemerdekaan dalam bingkai NKRI.

Dalam perspektif Muslim Indonesia, agama tidak dibaca dan dihadirkan sebagai ideologi teistik yang dipertentangkan dengan nasionalisme dan sejenisnya. Agama lebih bersifat rujukan moral luhur transformatif yang menjadi pijakan kokoh dalam menyapa realitas kehidupan secara arif, dewasa, dan kreatif.

Islam Indonesia

Keberagamaan dalam keislaman Indonesia merujuk pada ajaran dan nilai Islam universal. Namun, berbeda dengan Islam di sebagian dunia, ajaran dan nilai Islam dikontekstualisasikan dalam waktu dan ruang kesejarahan Indonesia. Pesan ilahi dalam Al Quran yang bersifat metahistoris dan absolut, serta risalah agama dalam Sunah Rasul, ditangkap makna, visi, dan misinya, kemudian didialogkan dengan kehidupan konkret masyarakat.

Sejalan dengan itu, intelektual Muslim hadir dalam dialog sehingga keagamaan yang dianut masyarakat lekat dengan nuansa yang kaya perspektif, bertumbuh, mencerahkan, apresiatif tetapi tetap kritis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dan kemanusiaan.

Nuansa semacam itu merupakan karakter Islam Indonesia dan mengantarkan masyarakat Muslim Indonesia pada kemampuan untuk membedakan, sekaligus mengaitkan Islam normatif (dalam bentuk ajaran Al Quran dan Sunah Nabi) dengan realitas historis melalui pemaknaan interpretatif yang otoritatif.

Kapabilitas keagamaan ini meletakkan mereka dalam posisi strategis sebagai khalifah Allah yang harus menerjemahkan pesan-pesan agama ke dalam realitas kehidupan yang terus berubah. Muslim Indonesia mampu berdialog dengan keragaman tradisi dan budaya di sekitarnya.

Dalam perspektif Islam Indonesia yang mengacu kepada sumber autentik, Al Quran, adanya keragaman merupakan sunnatullah, hukum alam yang telah ditentukan Allah. Oleh karena itu, tidak ada satu orang atau satu kelompok pun yang dapat menolak, mengabaikan, apalagi menghancurkan sunnatullah. Melalui keragaman tekad membangun kehidupan ditegakkan.

Sejarah menunjukkan mayoritas Muslim Indonesia selalu berada di garda depan membangun kemaslahatan bersama dalam bingkai nasionalisme.

Merawat keindonesiaan

Akhir-akhir ini Islam Indonesia yang menyejukkan mulai tercemar. Masuknya Islam transnasional yang menolak lokalitas menorehkan noda hitam di atas kearifan Islam Indonesia. Jika dibiarkan, militansi Islam transnasional bisa menghancurkan karakteristik Islam Indonesia.

Pada akhir konferensi, peserta sepakat mengapresiasi Islam lokal. Untuk itu, perguruan-perguruan tinggi Islam mengingatkan kembali agar kajian Islam lokal masuk kurikulum. Dari sini Islam Indonesia dapat berperan signifikan menyapa keragaman dan menautkannya untuk menyongsong tantangan secara bertanggung jawab.

Oleh: Abda A'la

Sumber Url://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/0302510/merawat.islam.indonesia

Read More..

Senin, 08 November 2010

Bermain Mata dengan Bencana

FLIRTING,menggoda atau bermain mata, dengan bencana tampaknya menjadi masalah serius bangsa ini. Bencana,sama seperti lalu lintas di perkotaan, tak pernah tuntas terselesaikan.Ia hanya baru bisa ditangani dengan baik bila manajemen, termasuk manajemen bencana, berada di tangan bangsa ini. Tanpa manajemen bencana Anda hanya akan menyaksikan hal yang sama datang berulang-ulang. Bencana seakan-akan selalu datang tiba-tiba dengan korban ratusan tewas tak dapat diselamatkan. Early warning system tidak bekerja dengan baik dan kalaupun ada selalu diabaikan. Seperti apakah manajemen bencana itu?

Before–During–After

Manajemen bencana terdiri atas tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.Bangsabangsa yang produktif,maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya. Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pascabencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal,rekonstruksi, dan rehabilitasi.

Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management. Mereka mempelajari tandatanda alam,perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba. Berkebalikan dengan itu, bangsabangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi. Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana, sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia.

Selama bangsa ini hanya fokus pascabencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang. Jumlah korban akan tetap sama besarnya.Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.Jangankan respek, bantuan pun lamalama enggan datang.Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja. Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga.

Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning, dan rapid response. Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya. Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat. Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana.

Penanganan ini harus bisa bersifat real-time. Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba. Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi, awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai. Ayo, berpikirlah lebih maju.

Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern. Payung undangundang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat. Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.Ia bisa digeser menjadi prioritas utama. Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi. Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat. Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serbacepat.

Persoalan Masyarakat

Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia. Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi. Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana. Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts. The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan. The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan.

Anda lihat sendiri,para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.Padahal kalau Anda kaji lebih rasional, Anda akan menemukan sebaliknya. Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya. Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance.

Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan. Manusia cenderung berlebihan (overestimate) terhadap bencanabencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (underestimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan.

Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah ”warning system” yang diberikan alam demi kelestarian manusia. Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas. Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak.

Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih, lalu airnya surut. Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel, dan turis-turis asing.

Seminggu sebelumnya,di kelas geografinya, Tilly Smith, gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami. Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar,para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan. Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos. Human biases. Dan terjadilah bencana.Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.

Aturan Prabencana

Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama,jauhkan sikap ”menggoda bencana” dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi.

Meski datangnya bencanabencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindahpindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%. Kedua, jangan biasakan menyangkal. Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalanramalan akademik harus segera dijauhkan.Ketiga, bangun pusatpusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata.

Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik. Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah, sekalipun jarang terjadi. Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun. Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan. Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.

Oleh:Rhenald Kasali

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361905/

Read More..

Makna Kunjungan Obama

Barack Husein Obama adalah Presiden Amerika Serikat pertama yang sempat tinggal di Indonesia pada masa kecilnya. Ketika beliau dilantik hampir dua tahun silam, kepeduliannya kepada Indonesia diharapkan lebih besar ketimbang pendahulu-pendahulunya di Gedung Putih.

Sebagai pengamat yang sudah manula, yang sempat menilai kebijakan semua presiden AS kepada Indonesia sejak John F Kennedy, saya sendiri pada awalnya tidak meragukan keistimewaan Obama dalam hal ini.

Namun, kepedulian seseorang secara pribadi dan perhatiannya sebagai presiden adalah dua hal yang bisa berbeda jauh. Dalam hubungan Indonesia-Amerika, ada alasan kuat untuk bersikap skeptis terhadap dampak jangka panjang kunjungan Obama, yang telah tertunda berkali-kali dan kini dijadwalkan hanya satu atau dua hari saja.

Singkat saja: posisi Indonesia terletak jauh di bawah posisi Amerika dalam percaturan politik global masa kini. Di panggung dunia, Indonesia belum menjadi pemain sedang, apalagi besar. Lebih terperinci, sumber daya politik yang dimiliki Indonesia dan bisa dimanfaatkan untuk membantu atau melawan Amerika, tentu demi mengajukan kepentingan Indonesia sendiri, masih sangat sedikit dibandingkan dengan negara-negara lain. Kenyataan itu berarti bahwa Indonesia gampang dilupakan atau dikesampingkan pemain lain.

Reputasi melonjak

Contoh penting adalah bidang ekonomi. Salah satu keperluan utama Amerika kini adalah pemulihan laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri setelah keguncangan krisis perbankan tiga tahun lalu. Terus terang saja, di Asia hanya China yang bisa membantu kami. Ekonominya bertumbuh pesat setelah pergeseran kebijakan ekonomi dari komunis ke kapitalis tiga dasawarsa lalu. Jadi, tidak sulit dipahami kalau Obama memprioritaskan China dalam perjalanan pertamanya ke Asia tahun lalu. Seandainya bank-bank Indonesia berlimpah dollar, Obama pasti sudah lama mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma.

Contoh penting kedua adalah konflik Amerika dengan gerakan-gerakan Islam radikal yang mengancam keamanan nasional kami. Negara saya sedang berperang di Irak dan Afganistan yang bisa dirunut pada serangan Al Qaeda di New York dan Washington pada 11 September 2001. Sejak itu, masyarakat Amerika merasa amat terancam oleh kelompok Islam radikal. Perlawatan Obama ke India kini harus dilihat sebagian dalam rangka itu sebab kerja sama Pakistan, musuh bebuyutan India selama puluhan tahun, sangat diperlukan dalam perang Amerika di Afganistan. Harapan Obama, obsesi Pakistan dengan ancaman India bisa diredakan sedikit demi sedikit kalau Amerika menjadi perantara di belakang layar.

Sejauh mana Indonesia bisa membantu Amerika, sekali lagi dalam rangka mengajukan kepentingannya sendiri? Selama ini, khususnya sejak awal masa pemerintahan Presiden Yudhoyono tahun 2004, usaha-usaha dua pemerintahan kita terjalin rapat, khususnya terhadap kelompok Islam radikal. Banyak gembong Jemaah Islamiyah yang terlibat tindakan teroris dibunuh atau ditangkap dan diadili. Reputasi Indonesia melonjak sebagai negara bermayoritas Muslim yang paling berhasil melenyapkan jaringan teroris.

Namun, kerja sama dalam bidang ini terbatas. Indonesia adalah masyarakat Muslim terbesar di dunia serta negara demokratis terbesar ketiga, setelah India dan Amerika. Namun, hal itu tidak berimplikasi bahwa Indonesia berpengaruh di Timur Tengah, Asia Tengah dan Selatan, tempat tinggal sebagian besar umat Islam di dunia. Klaim banyak pengamat dan pejabat bahwa Indonesia adalah semacam role model, suri teladan, bagi kekuatan prodemokrasi di dunia Muslim sama sekali tidak bergema di negara-negara bersangkutan. Pidato pertama Obama yang dialamatkan kepada umat Islam diucapkan di Kairo, bukan di Jakarta. Mesir diakui umum sebagai salah satu pusat peradaban Islam meskipun kini dikuasai diktator kejam yang tidak disukai di Washington.

Lebih sabar

Pembaca Indonesia, harap jangan salah sangka. Saya tidak bermaksud menyepelekan Indonesia atau kunjungan presiden saya. Justru sebaliknya: saya ingin menaruh kunjungan tersebut dalam kerangka realistis agar orang Indonesia menjadi lebih sabar sekaligus lebih gesit dalam pendekatannya kepada pemerintahan Obama.

Setelah jatuhnya Orde Baru, Indonesia sudah masuk sepenuhnya dalam sebuah proses modernisasi bersejarah yang akan menentukan masa depannya selaku negara kebangsaan dan pemain internasional yang berbobot. Proses itu mengandung dua dimensi utama: pendirian lembaga-lembaga politik yang demokratis serta lembaga-lembaga ekonomi yang ramah kepada pasar domestik dan global.

Pemerintah Amerika, di bawah seorang presiden yang bersimpati secara pribadi, bisa membantu banyak, misalnya melalui proyek-proyek bersama yang sedang ditingkatkan atau dirumuskan baru di bidang-bidang pendidikan, perlindungan lingkungan alam, perubahan iklim, perdagangan, dan penanaman modal.

Namun, hasil maksimal akan bergantung kepada kesadaran orang Indonesia bahwa Amerika, termasuk presidennya, gampang terdistraksi. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat Indonesia sebaiknya bersikap eling dan waspada, bersiap-siap terus untuk mengelola dan mengarahkan kebijakan Amerika demi pencapaian tujuan-tujuan Indonesia.

Oleh: R William Liddle

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/03/03185790/makna.kunjungan.obama

Read More..

Anak dan Remaja dalam Bencana*

Sebagaimana biasanya, setelah bencana terjadi, simpati masyarakat luas menghambur keluar. Para politisi juga selalu memanfaatkan saat-saat pascabencana sebagai ajang meningkatkan popularitas mereka. Para pejabat, mulai dari Presiden, menteri, sampai gubernur, bupati, dan sebagainya, semuanya berduyun mengunjungi daerah bencana. Di sana mereka menyatakan simpati, sejenak menjamah rakyat yang menjadi korban, mengucurkan bantuan material, membuat pernyataan-pernyataan, serta menjawab pertanyaan para wartawan.

Mungkin semua itu tidak jelek. Mungkin berbagai aksi itu positif. Namun, tiadanya perhatian khusus terhadap anak-anak (mereka yang berusia bayi hingga usia 12 tahun) dan para remaja (mereka yang berusia 12 tahun hingga 21 tahun) yang menjadi korban bencana mencerminkan betapa simpati yang berhamburan itu lebih bersifat emosional, kurang disertai pemahaman mendalam tentang hakikat penderitaan manusiawi yang dialami para korban bencana.

Rentan trauma

Berderet penelitian, mulai dari penelitian-penelitian yang berlandaskan teori psikoanalitik klasik hingga penelitian-penelitian mutakhir berbasis model neuro-psikoanalitik, menegaskan simpulan, betapa kerentanan terbesar terhadap trauma justru disandang oleh anak-anak dan remaja (Stortelder & Ploegmakers-Burg, 2010). Orang-orang dewasa bisa juga terkena dampak buruk trauma dalam bencana, tapi pada umumnya anak-anak dan para remaja dapat terkena dampak yang lebih buruk lagi oleh trauma dalam bencana itu.

Oleh karena itu, luapan simpati pascabencana terasa begitu tidak utuh, bahkan kurang mendalam, jika tidak ternyatakan secara jelas dan efektif dalam tindakan-tindakan khusus yang ditujukan untuk menyelamatkan anak-anak dan para remaja dari trauma dalam bencana.

Otak dan jiwa anak-anak, terutama dalam lima tahun pertama kehidupan mereka, begitu plastis, dalam artian sangat rentan untuk mengalami perubahan positif maupun negatif. Plastisitas dan peluang terjadinya perubahan-perubahan besar, baik yang positif maupun yang negatif, berulang ketika anak-anak itu memasuki usia 12 tahun. Kondisi ini terus berlangsung hingga saat mereka berusia 21 tahun. Trauma yang tidak ditindaklanjuti dengan terapi yang sungguh membantu penghilangan efek negatif trauma itu pada anak-anak dan para remaja dapat meneguhkan psikopatologi (kondisi otak dan jiwa bermasalah yang menyatakan dirinya dalam berbagai gangguan pikiran, gangguan perasaan, dan gangguan perilaku personal maupun sosial).

Psikopatologi yang terteguhkan pada masa kanak-kanak dan remaja akan terus berpengaruh negatif terhadap kehidupan individu di masa-masa kehidupan selanjutnya. Maka kerugian kemanusiaan terbesar justru terjadi karena efek trauma bencana pada anak-anak dan kaum remaja. Efek negatif trauma pada anak- anak dan kaum remaja bisa begitu luas, berupa efek negatif terhadap perkembangan otak, efek buruk terhadap perkembangan neurokimiawi, pengaruh negatif terhadap perkembangan psikoseksual, perkembangan emosional, perkembangan kognitif, perkembangan konsep diri, bahkan pula terhadap perkembangan ”keyakinan atas kemampuan diri”.

Pengasuh utama

Hal traumatik paling mendasar yang dialami oleh anak-anak dan para remaja dalam bencana adalah kehilangan pengasuh utama, termasuk kehilangan ibu, ayah, bibi, paman, guru, dan orang-orang dekat lain yang biasanya berfungsi sebagai pemberi asuhan utama. Peran pengasuh utama itu begitu penting dan mendasar dalam perkembangan otak dan jiwa anak-anak dan remaja.

Melalui hubungan-hubungan yang bersifat empatetik, diresapi pengertian, penerimaan hangat, dan kejujuran, serta ditandai teladan-teladan yang baik, otak dan jiwa anak dan remaja bertumbuh kembang sehat meniti suatu perjalanan perubahan dahsyat, baik pada struktur otak maupun pada fungsi-fungsi kejiwaan dan sosial, yang kemudian melandasi dan menjadi modal kuat bagi perwujudan kehidupan yang secara biopsikososial sehat dan baik di masa-masa selanjutnya. Namun, dalam bencana, anak-anak dan para remaja mungkin kehilangan pengasuh utama. Jika para pelawat mereka tidak secara khusus memprogramkan upaya menyubstitusi peran pengasuh utama, bisa jadi anak-anak dan para remaja itu kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kehidupan yang secara biopsikososial sehat dan baik untuk selamanya.

Peristiwa traumatik lain yang juga sangat mendasar adalah kehilangan rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah. Rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah adalah tempat hidup utama bagi anak-anak dan para remaja. Di tempat hidup utama itu mereka meniti perkembangan neuropsikososial menuju perwujudan kemampuan-kemampuan untuk hidup sehat dan baik secara biopsikososial. Ketika bencana menghilangkan rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah dari kehidupan mereka, mereka pun kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan neuropsikososial yang sehat dan baik.

Kehilangan-kehilangan itu sekarang harus dipulihkan seoptimal mungkin. Simpati niscaya lebih diwujudnyatakan sebagai program-program dan aksi-aksi nyata menghadirkan pengganti dari fungsi pengasuh utama yang hilang, juga rumah, kampung halaman, keluarga, dan sekolah yang hilang dari anak-anak dan para remaja dalam bencana.

Limas Sutanto Psikiater, Konsultan psikoterapi di Malang; Ketua Seksi Psikoterapi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia

Read More..

Ironi Merapi*

Letusan Gunung Merapi kali ini tidak hanya memberikan banyak pelajaran berharga, tetapi juga bahan berkaca. Selain faktor kehidupan dan kematian, juga aspek relawan dan pengungsi, serta berkah dan ironi. Ironi Merapi apa yang dapat kita jadikan bahan renungan?

Banyaknya kain spanduk promosi yang dipasang di sekitar barak pengungsian bertolak belakang dengan minimnya selimut yang diperlukan para pengungsi. Gencarnya liputan media dan aliran bantuan di Kabupaten Sleman tidak seimbang dengan hal sejenis di Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali karena berbeda provinsi.

Meskipun spanduk yang dipasang telah dibersihkan oleh petugas Satpol PP karena dipandang kurang etis, liputan media dan aliran bantuan, pada akhirnya juga sudah relatif seimbang di kedua provinsi yang bertetangga tersebut, telah menjadi awal ironi. Hal ini terjadi sangat mungkin karena pertimbangan siasat, ego, dan kapital semata.

Unjuk diri

Spanduk partai politik dan industri yang berkibar di barak pengungsian adalah unjuk diri karena siasat kampanye politik sempit dan kapital sedikit. Para pengungsi dan relawan sangat mungkin bukanlah pemberi suara untuk partai tersebut di pemilu yang lalu-lalu ataupun mendatang, dan bukan pembeli atau penikmat produk industri itu. Pada kondisi ini mereka adalah para korban bencana yang sedang ditimpa musibah sehingga tidak akan sempat berpikir ke banyak arah secara simultan.

Prioritas mereka adalah kehidupan dan kebutuhan primer saja, apalagi masih terus-menerus dihadang oleh rasa jenuh, putus asa, depresi, dan mungkin duka mendalam. Relawan sejati bekerja dengan hati yang tergerak sehingga tidak terkait, apalagi melirik kampanye dan promosi. Meskipun demikian, adanya banyak ”relawan kiriman” dalam ajang tersebut dapat saja menjadi ironi dan mendegradasi motivasi.

Dari sisi lain, para pengurus partai politik dan pihak manajemen industri justru memandang para pengungsi dan saudaranya, termasuk para relawan sejati, adalah pangsa pasar mereka, dalam aspek suara pemilih maupun calon pembeli produk mereka. Dalam setiap kesempatan, kampanye dan promosi mereka harus hadir nyata, tidak peduli meski situasi duka dan panik. Partai politik saat ini adalah institusi ”abstrak” yang sangat berpengaruh dalam kehidupan negara meski manfaat ”riil” bagi rakyat layak dipertanyakan.

Salah seorang pengurus pusat partai politik yang anggota DPR, dan dituntut jaksa delapan tahun karena tindakan tercela di Bank Century, ternyata hanya divonis satu tahun oleh majelis hakim. Dari segi tuntutan dan vonis saja sudah ironi, tapi yang lebih ironi adalah alasan hakim dalam memandang ”hal yang meringankan” pada vonis, yaitu karena selama persidangan sikapnya ”sopan”. Bukankah jabatan publik, apalagi anggota DPR yang disandang pelaku kejahatan, adalah hal yang memberatkan?

Selayaknya hakim memutuskan bahwa kejahatan yang terbukti dilakukan oleh oknum pejabat mendapat hukuman yang lebih berat, dibandingkan kejahatan serupa yang dilakukan rakyat biasa. Hal tersebut justru berefek jera dan perlu diprioritaskan dibandingkan aspek sopan santun selama persidangan berlangsung yang subyektif dan seharusnya hanya sekadar sebuah catatan, tidak memengaruhi vonis. Apalagi, vonis ironis tersebut dibacakan hakim pada saat para pengungsi Merapi sedang memerlukan figur panutan dari pejabat negara dalam dunia politik yang ”abstrak”.

Tetap terbengkalai

Status Awas dan letusan Gunung Merapi tidak terjadi mendadak sebab hal itu melalui tahap Siaga dan Waspada. Artinya, ada waktu yang dapat dimanfaatkan untuk persiapan di barak pengungsian warga. Selama ini, kalau ada pejabat lokal, regional, apalagi nasional yang akan datang berkunjung, rakyat menyiapkan segala sesuatunya dengan sigap, ikhlas, dan gembira agar tidak terjadi kekecewaan dan ”murka” pejabat. Namun, ironi selalu terjadi saat rakyat ”berkunjung” atau warga mengungsi ke barak, tidak ada persiapan sigap dan memadai, apalagi ikhlas dan gembira dari pejabat dan bawahannya.

Barak pengungsian dan logistik yang seharusnya dapat disiapkan secara sigap dalam periode Siaga dan Waspada tetap terbengkalai, bahkan sampai pada periode Awas dan hari-hari awal kehidupan di barak sekalipun. Rakyat dan para pengungsi memang hanya bisa mengalami ”kekecewaan” meskipun tak boleh ”murka”.

Muntahan pasir dan lahar dingin dari letusan Gunung Merapi diperkirakan mencapai 11 juta meter kubik. Material vulkanik yang sebelumnya meluluhlantakkan lingkungan dan warga di sekitar puncak gunung itu tidak lama lagi akan dikuras habis oleh pemodal dari kota dalam penambangan batu dan pasir. Pengalaman sebelum meletus, masyarakat kecil di sekitar punggung Gunung Merapi hanyalah buruh kasar penambang pasir dan pengungsi di kala gunung berstatus Awas. Sebaliknya, pemodal dari kota adalah peraih keuntungan kapital terbesar dari material vulkanik setelah letusan, namun sangat mungkin bukanlah penderma yang baik atau relawan yang sigap saat gunung erupsi.

Letusan Gunung Merapi seharusnya menyadarkan kita bahwa pola berpikir dan bertindak kita perlu pendewasaan. Tidak hanya pengungsi yang perlu ditolong, pola pikir kolektif kita juga perlu diperbaiki agar ironi Merapi tidak terulang di lain waktu dan di lain tempat.

*FX Wikan Indrarto,Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/04422743/ironi.merapi

Read More..

Minggu, 07 November 2010

Aku Bermimpi Jadi Presiden

Setiap kali media massa secara bertubi-tubi dan gaduh memberitakan dan mengulas sesuatu, aku terkena mimpi. Dahulu aku pernah bermimpi menjadi konglomerat.
Sejak kita memasuki era Reformasi, media massa gaduh sekali memberitakan dan mengulas apa saja dengan cara yang bagaimana saja tentang kehidupan bernegara dan berbangsa. Aku terkena mimpi lagi. Kali ini aku bermimpi jadi presiden. Dalam mimpi itu, sudah lama aku jadi presiden dengan dukungan yang besar dan luas. Namun, belakangan ini reputasi dan popularitasku merosot tajam.

Punya waktu
Namun, aku masih punya cukup waktu melakukan gebrakan yang akan mengabadikan namaku dengan tinta emas dalam sejarah. Kalau tak aku lakukan, sudah jelas namaku akan ditulis dalam sejarah dengan lumpur Lapindo. Maka, aku dihadapkan pada kondisi nothing to loose. Jadi, aku akan memberlakukan pemerintahan tangan besi. Untuk itu, aku telah dapat dukungan dari tentara. Aku sudah sabar, mati-matian mencoba berdemokrasi seperti yang dianjurkan Abang Sam, tetapi ketika citraku merosot sangat tajam, aku dihina rakyat dan tetanggaku sendiri, Abang Sam menghilang.

Dengan tangan besi, akan kulakukan tindakan berikut.

Melalui dekrit, aku bubarkan parlemen dan senat. Strukturnya kukembalikan jadi parlemen saja, yang kalau ditambah dengan wakil dari golongan fungsional dan daerah, jadi badan pertimbanganku yang aku anggap mewakili aspirasi seluruh rakyat. Dengan demikian, partai politik masih penting karena berfungsi mengisi sebagian dari parlemen melalui pemilu. Namun, partainya kusederhanakan hanya jadi dua. Kalau mau meniru AS, juga termasuk sistem dua partainya. Kabinet kujadikan sangat ramping: hanya 18 menteri. Yang jelas, lebih mudah mengendalikannya karena aku akan mengendalikannya dengan tangan besi juga.

KKN kuberantas dengan tangan besi. Kasus besar tetap diproses melalui hukum, tetapi aku tak mau buang banyak waktu dan tenaga untuk itu, apalagi kasus kecil. Sekaligus akan kubenahi seluruh lingkungan birokrasinya. Pertama kurampingkan kabinet. Setelah itu, semua jajaran di bawah kabinet kurampingkan. Jumlah jajaran setiap menteri sesuai dengan kebutuhannya. Masa badan kurus dan badan gemuk berbaju sama semua?

Birokrasi yang sudah ramping dan optimal aku tingkatkan pendapatannya sampai benar-benar cukup. Kalau masih berani korupsi, aku tembak mati.

Tanah dari siapa saja yang digarap oleh buruh tani dengan perolehannya hanya sebesar 2/5 dalam natura, kubeli paksa dengan harga yang kutentukan. Kalau menolak, kupenjarakan seumur hidup atau kutembak mati. Tanah milik negara kubagikan kepada para petani secukupnya supaya optimal, tak sekadar 0,3 hektar. Transmigrasi dan KB kugalakkan lagi.

Kementerian Keuangan, Bank Sentral, Percetakan Uang, dan Petral di Singapura kukuasai sepenuhnya. Dengan KKN yang luar biasa, penumpukan uang terjadi di sana selama dana belum dirampok habis. Dengan jumlah kementerian yang sudah sedikit, semua rekening kubekukan dan segera kucairkan kembali dalam rekening bank yang jumlahnya sedikit hingga lebih jelas dan sederhana pengelolaannya.

Kekayaan bangsa ini terdiri dari dua kelompok besar. Yang satu kekayaan yang dibentuk manusia, yaitu berproduksi dan berdistribusi dengan mengombinasikan berbagai faktor produksi yang penuh risiko kerugian. Para manusia entrepreneur ini boleh sebebas-bebasnya memupuk kekayaan melalui kegiatannya asal dalam rangka semua hukum yang berlaku.

Diberikan secara adil

Kelompok kekayaan bangsa yang lainnya adalah yang sudah ada di dalam perut bumi, dalam perairan, dan di atas tanah berbentuk hutan. Kesemuanya ini pemberian Tuhan Yang Maha-Adil kepada warga negaraku. Kekayaan alam ini tentunya diberikan kepada setiap manusia Indonesia secara adil. Maka, semuanya kukuasai untuk selanjutnya dikuasai sepenuhnya oleh BUMN yang harus menggunakan hasilnya bagi semua rakyat seadil-adilnya. Siapa yang menyuarakan dogma bahwa BUMN mesti korup, kuhukum seumur hidup.

Semua kontrak dalam bidang ekstraktif dengan swasta, baik asing maupun domestik untuk sementara dan parsial dihormati dalam arti, boleh melakukan pekerjaannya. Namun, semua hasil penjualannya harus dimasukkan ke dalam escrow account bank yang aku tunjuk. Ini tak berarti disita, tetapi penggunaannya harus dengan persetujuan bersama. Pajak saya naikkan tajam dan masa berlakunya semua kontrak ekstraktif aku persingkat.

Berbarengan dengan itu, segera kumulai berunding dengan mereka bagaimana cara terbaik untuk semua pihak menyerahkanya kepada negara melalui BUMN. Semua rencana BUMN untuk diswastakan kuhentikan. Semua persiapan untuk IPO kubatalkan. Otonomi daerah kubatalkan. Semua peraturan yang berlaku sebelum UUD 1945 diamandemen kuberlakukan lagi. Semuanya dilakukan dengan persuasi yang kuat atas dukungan angkatan bersenjata.

Utang pemerintah, baik luar negeri maupun dalam negeri, ditinjau kembali. Tidak dikemplang. Namun, dilakukan rescheduling dan haircut. Beban utang dan bunganya sudah merupakan 25% dari APBN. Bunga akumulatifnya yang dibayarkan sudah lebih besar daripada utang pokoknya. Ditambah dengan anggaran rutin, tak ada ruang gerak lagi untuk pembangunan barang, jasa publik, serta pelayanan pendidikan dan kesehatan buat golongan yang paling tak mampu. Akan kujelaskan kepada negara pemberi utang bahwa para pemberi utang selalu harus ikut bertanggung jawab kalau ada kredit yang macet. Mereka harus jujur bahwa mereka sebenarnya adalah rentenir atau lintah darat yang sudah cukup dari lebih mengisap darah rakyatku.

Pembangunan barang dan jasa publik, termasuk infrastruktur, dipergiat. Aku akan menentukan apa yang harus dianggap sebagai barang dan jasa publik dan penggunaannya gratis untuk siapa saja karena pembangunan maupun pemeliharaannya oleh hasil pajak dan hasil eksploitasi kekayaan alam yang milik rakyat seluruhnya.

Jalan raya bebas hambatan, air bersih, puskesmas, sekolah milik negara boleh dinikmati gratis karena pembiayaan oleh pajak, retribusi, royalti, premi asuransi jaminan sosial, dan pendapatan negara lainnya. UUD 1945 dikembalikan. Semua perundang-undangan yang ada ditinjau kembali, diselaraskan dengan maksud segala sesuatunya, dibuat optimal dan cocok untuk kondisi bangsa kita dewasa ini. Dari sana setahap demi setahap kita sempurnakan sesuai dengan perkembangan pendidikan, pengetahuan, dan kematangan rakyat kita dalam menjalankan demokrasi ala Indonesia.

Kulakukan semua ini agar lumpur Lapindo yang mulai menulis sejarahku bisa dihapus dan mulai ditulis kembali dengan tinta emas. Setidaknya tinta perak.

Oleh:Kwiek kian gie(Ekonom Senior)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/03/03195491/aku.bermimpi.jadi.presiden

Read More..
Start Ranking - Free Link Directory to increase Website Rankings