Dalam hati yang gigil diguyur rindu
Seharian penuh kulagukan namamu
Di antara bising lalu lalang
Di tengah gaduh belantara kumbang
Dalam hati yang kelu tertimbun rindu
Ku tapaki setiap jengkal jejak lakumu
Kulukiskan indahmu di lembaran biru gemawan
Biar tak jemu terus kupandang
Dalam hati yang gersang, kering kerontang
Jiwaku lebam dihantam kecamasan
Jika saja wajahmu tak dapat kutatap
Jika saja cahayamu tak dapat kudekap
Wahai tuan muara cinta semesta
Aku tahu cintaku ini begitu ala kadarnya
Tak sebanding dengan keagunganmu, tentu saja
Suryamu memancar ke seisi jagad raya
Entah mereka kufur atau percaya
Aku tahu ibadahku hanya pas-pasan
Akhlaku juga masih belepotan
Tapi aku mencintaimu, sungguh
Aku mencintaimu, sebisaku tentu
Wahai tuan telaga keagungan
Ditengah himpitan para budak nafsu yang diperhamba harta dan kekayaan
Saat kemasygulan menjadi semacam kebiasaan
Aku membayangkan jika saja engkau kembali datang
Sebagaimana dulu saat kebiadaban jahiliah kau padamkan
Dengan kekuatan cintamu yang menyejukkan
Rasanya Cuma engkaulah yang sanggup meruntuhkan tirani setan
Ah…Tapi engkau telah terbatasi ketetapan Tuhan, sayang
Wahai Gusti mata air kemuliaan
Ijinkanlah jiwa yang kumuh ini datang
Untuk membersihkan diri ditepi telagamu
Mengusap dahaga kerinduanku
Dari hati yang kuyup tergenang rindu, aku haturkan shalawat untukmu….
Selasa, 01 November 2011
Rinduku…
Jumat, 28 Oktober 2011
Sumpah Pemuda dan Potret Pemuda Dalam Dunia Fantasi
Hari ini, 28 Oktober, kita merayakan salah satu momen penting dalam sejarah perjalanan bangsa, momen yang menjadi titik tolak bagi masyarakat dibumi nusantara ini dalam mengarungi babak baru kehidupannya sebagai sebuah bangsa, ‘Bangsa Indonesia’. Sebagaimana yang kita tahu, 83 tahun silam pada tanggal tersebut para pemuda berhasil menyatukan berbagai elemen bangsa –yang sebelumnya tercecer dalam identitas kedaerahan- melalui trilogi yang kemudian dikenal dengan sumpah pemuda. Ironisnya, setelah hampir satu abad momen prestisius tersebut, kini mayoritas golongan yang membidani tonggak persatuan bangsa itu justru terperangkap dalam buaian ‘dunia fantasi’ yang memabukkan, serba semu, dan nir-prestasi.
Pemuda Dalam Dunia Fantasi
Tak bisa dipungkiri, pemuda merupakan determinan utama bagi gelap terangnya masa depan sebuah bangsa. Dalam sejarah Indonesia sendiri, kaum muda hampir tak pernah absen dalam setiap lembar catatan perjalanan bangsa. Dari momen deklarasi persatuan bangsa(sumpah pemuda), proklamasi kemerdekaan, sampai penggulingan orde baru yang sekaligus menandai kelahiran reformasi, pemuda selalu tampil dengan penuh gairah digaris depan untuk menggulirkan perubahan.
Tanpa pemuda, sejarah akan lain ceritanya. tanpa pemuda, bangsa ini kehilangan vitalitasnya. Berbagai persoalan pelik yang datang bertubi-tubi dan terus terakumulasi tanpa titik akhir (penyelesaian) yang memuaskan, bisa jadi berjalin kelindan dengan realitas miris pada sektor muda. Karena kaum muda yang senantiasa memberikan daya hidup bagi perjalanan bangsa ini, kini seakan kehilangan gairah, mabuk dalam buaian berbagai ‘ekstase’ dunia fantasi.
Pemuda yang senantiasa menjadi subjek dari perubahan, kini justru menjadi objek jajahan para kapitalis yang, sebagaimana dikatakan Lyotard dalam Libidinal Economy, dengan segala trik tak henti mengeksploitasi rangsangan ‘libido’ demi nilai tambah(1993:64).
Tempat tumbuh pemuda dipenuhi dengan beraneka rupa komoditas yang disajikan begitu memikat, membuai pemuda lewat rayuan fantasi yang serba semu, memabukkan, dan mempunyai ciri utama: terus meminta lebih, bagai candu. Beraneka rupa rangsangan fantasi itu menenggelamkan pemuda dalam gemerlap gairah kesenangan citraan dan tontonan (musik industri, game, film, dll), sehingga lenyaplah batas antara realitas, dan fantasi(Piliang, 1998)
Sebagaimana kita saksikan, misalnya, TV nasional kita saat ini dipenuhi dengan berbagai ekstase yang disajikan sepanjang pagi hingga petang, mulai dari sinetron, gossip, dan –yang tengah menjadi trend- sajian musik industri yang ditayangkan dengan durasi yang hampir tak masuk diakal.
Dengan ruang hidup yang penuh rayuan-fantasi seperti ini, pada titik ekstrimnya pemuda akan kehilangan ruang perenungan, pencerahan spiritual, dan penemuan kedirian. Hal ini, tentu saja merupakan bencana luar biasa bagi kaum muda sendiri dan juga bangsa ini, karena sejatinya masa muda adalah masa pencarian dan pembelajaran, yang idealnya bisa dicapai melalui aktivitas perenungan, bukan keriuhan.
Proses tumbuh yang hampir tak menyisakan ruang perenungan dalam sekala cukup ini hanya akan melahirkan kaum muda yang berpandangan sempit, berpengetahuan dangkal dan miskin jiwa spiritual. Produk pemuda seperti ini mempunyai kecenderungan sikap yang dangkal, miskin kecerdasan sosial, dan rentan frustasi. Akibatnya bisa kita saksikan bersama, sebagaimana yang senantiasa menghiasi pemberitaan di media massa, tak sedikit kaum muda yang terjerat obat-obatan terlarang, kekerasan dalam aneka rupa bentuknya, hubungan seks pra-nikah, sampai bunuh diri. Bisa dibayangkan bagaimana masa depan bangsa jika tipe pemuda seperti ini yang menjadi tumpuan harapanya.
Demi masa depan bangsa, upaya pembenahan sektor muda mutlak harus dilakukan. Sayangnya, institusi yang mestinya tampil sebagai avant garde dalam proyek(pembenahan) ini justru terjerat dalam penyakit laten korupsi yang memuakkan, sementara pemimpin kita terlalu sibuk dengan ambisi pragmatik politik-parsialnya. Kondisi ini diperparah dengan fakta institusi pendidikan formal kita yang masih mandul untuk melahirkan pemuda yang berkarakter.
Namun, semua itu tak sepatutnya membuat kita ciut harap, karena (mengutip Buya Syafii Maarif), bukankah ditengah gulita malam sekalipun selalu saja ada kerlip bintang, meski nampak remang dikejauhan?
Harapan itu ada dipundak pemuda sendiri, karena sejarah membuktikan selama ini pemuda selalu menemukan caranya sendiri untuk mengkreasi perubahan yang mencerahkan, perubahan yang tak sekadar mengobati dirinya sendiri, melainkan juga fajar bagi kegelapan negeri yang tengah dicengkram hypocrisy dan pragmatisme-politik yang memuakkan. Bangkitlah kaum muda, tunjukkan baktimu, untuk mewujudkan kemilau masa depan bangsa yang dulu kau bangun lewat sumpahmu.
Oleh: Ahmad Fanani
Senin, 24 Oktober 2011
Keroyokan Mempermalukan Negara
Menghadirkan para penyelenggara Negara di kedalaman perenungan, yang akan tersimpul adalah kemasygulan. Mengapa republik yang didirikan para pelopor mulia bisa jatuh ke tangan-tangan yang "hina"?
Perhatian para negarawan yang mulia adalah apa yang dapat diberikan untuk Negara. Kebesaran jiwa membuat mereka tak mencari jabatan dan tak takut kehilangan jabatan. Adapun perhatian para politikus terhina adalah apa yang dapat diambil dari Negara. Kekerdilan jiwa membuat mereka berlomba mengejar jabatan dan dengan segala cara manipulatif berusaha mempertahankannya.
Benar juga kata Goerge Bernard Shaw bahwa "titel/jabatan memberikan kehormatan kepada orang-orang medioker, memberikan rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior". Gemuruh petaruh di bursa pencari jabatan pertanda bahwa pos-pos kenegaraan diisi orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik kepada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin orang-orang inferior.
Kombinasi dari orang-orang medioker dan onferior membua para penyelenggara Negara saling sikut berebut jabatan dan secara keroyokan mempermalukan Negara. Situasi ini dipertontonkansecara telanjang, tanpa rasa malu, di depan publik, yang mestinya melahirkan keheranan, bagaimana bisa orang hina-dina seperti itu menjadi penyelenggara Negara.
Nahkhoda Negara hanya sibuk mematut-matut diri meski biduk republik terancam karam. Ambisi mengejar jabatan dan takut kehilangan jabatan membuatnya menempuh segala cara, sampai-sampai memperhinakan otoritas institusi kepresidenan di bawah tekanan para broker politik. Harga diri pencitraan dan ketakutannya itu sebegitu mahal yang harus dibayar oleh berbagai irasionalitas kebijakan publik.
Rencana perombakan kabinet seperti membuka kotak pandora yang membuat dirinya makin sulit menahan berbagai asupan kepentingan. Takut kehilangan dukungan politik kepartaian, saat yang sama takut kehilangan muka di depan publik, yang terlanjur diberi janji bahwa pilihan perombakan demi efektifitas pemerintahan. Maka, pilihan yang diambil adalah strategi "penggemukan" jabatan. Menteri-menteri medioker-inferior dari partai politik ditambal oleh wakil-wakil medioker dari lingkungan pegawai negeri sipil.
Efektivitas pemerintahan pun dikorbankan. Komplikasi susulan yang bisa ditimbulkan oleh ketidakjelasan hubungan antara menteri, wakil menteri dan direktur jenderal dilupakan. Dilupakan pula bahwa waktu yang tersedia untuk pemerintahan ini tidak lama, yang mestinya tidak diinterupsi oleh tuntutan penyesuaian tata hubungan kelembagaan di lingkungan kementerian.
Dilupakan pula proses perombakan yang berlarut membuat kebijakan strategis yang harus segera diambil oleh menteri-menteri menjadi tertunda. Bahwa akan menggelembungkan biaya rutin yang sudah terlampau tambun juga dilupakan. Ketika Presiden sibuk dengan keselamatan dirinya, keselamatan buruh migran Indonesia dan tumpah darah kita di wilayah perbatasan dibiarkan terancam.
Namun bukan Presiden yang mempermalukan Negara ini. DPR kita juga disesaki orang-orang medioker-inferior. Tidak menyadari kehormatannya sebagai wakil rakyat, perilaku anggota DPR banyak yang memperhinakan otoritas lembaga itu. Badan Anggaran lebih disinyalir sebagai sarang mafia anggaran. Komisi-komisi kerjanya sering memeras "komisi" (rent seeking).
Kunjungan dan studi banding menjadikan dalih untuk penyerapan dana. Produk legislasi tidak menunjukan bobot penalaran dan penghayatan yang dalam atas falsafah Negara dan konstitusi. Sebagai perpanjangan kepentingan partai politik, anggota DPR juga kerap ingin mengambil terlalu banyak, melampaui batas-batas kewenangan dan kepantasan, yang menimbulkan komplikasi dalam hubungan antarlembaga kenegaraan.
Lembaga-lembaga yustisia juga disesaki orang-orang medioker-inferior yang menjadikan aparatur penegak hukum menjadi perusak hukum. Polisi menjadi pelindung jejaring kejahatan, Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi alat menekan kepentingan kekuasaan, kejaksaan menjadi sarang penyamun, dan hakim menjadi pemutus akhir untuk menjadikan yang hitam menjadi putih.
Belum lagi kita membahas 88 lembaga nonstruktural dan 28 non-kementerian yang adem-adem ayem tak jelas nilai gunanya, tetapi jelas nilai pengeluarannya yang menyedot puluhan triliun biaya rutin.
Kita harus menjadi konsepsi baru sebagaimana watak Negara ini benar-benar sesuai dengan impian para pendiri bangsa yang menghendaki perwujudan "Negara keadilan" dan "Negara kekeluargaan". Para pendiri bangsa mendefinisikan Negara sebagai organisasi kemasyarakatan yang bertujuan menyelenggarakan keadilan sosial.
Untuk menghadirkan konsepsi kenegaraan seperti itu, tumpuan utamanya adalah moral penyelenggara Negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan, "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur".
Marilah berhenti bergotong royong mempermalukan Negara, dengan mulai bergotong royong memuliakannya. Karena para penyelenggara Negara tidak bisa bangkit sendiri, mereka harus dibangkitkan.
Yudi Latif, Ph.D
Kamis, 12 Mei 2011
Teori Hegemoni Gramsci(Bag.2)
Gramsci tidak sepakat dengan kaum Marxisme klasik yang cenderung ekonomi deterministic dan mengabaikan elemen-elemen struktural semacam politik, ideologi, dan kebudayaan. Meskipun tetap menganggap penting peran substruktur, Gramsci menolak gagasan bahwa unsur-unsur dalam suprastuktur hanya merupakan epifenomena belaka dari mode produksi. Gramsci berpendapat bahwa unsur-unsur tersebut juga berperan penting dalam menentukan proses perubahan.
Gramsci meyakini doktrin determinisme mekanis dan kecenderungan ekonomistis merupakan salah satu sebab utama kegagalan revolusi Eropa barat karena kepercayaan pada kemutlakan sejarah dan keniscayaan revolusi ini telah mengebiri aktivisme politik para pemimpin dan massa. Mereka tak menduga bahwa revolusi muncul dari pergeseran berbagai ingsutan instrumen-instrumen social yang diakibatkan oleh inisiatif-inisiatif politik. Hal inilah yang menjadi penyebab kegagalan revolusi Marxisme sehingga kapitalisme tetap mampu bertahan meski diterpa badai krisis di tahun 30-an(Simon, 2004: 6).
Catatan-catatan kritis atas celah teoretis yang ditinggalkan Marxisme klasik ini ia tuangkan dalam kerangka teori yang kemudian menjadi pondasi awal dari gagasannya tentang hegemon. Melalui teorinya ini Gramsci memberikan tempat yang lebih bagi elemen super struktur dalam proses penentuan sejarah, cirri inilah yang menjadi penanda yang membedakan Gramsci dengan Marxisme klasik (Ismail, 2007: 4; Sugiono, 1999: 26-29; Femia, 1987: 27 ).
Dalam catatannya(the prison notebooks) pada bab pertama, Gramsci membedakan antara hegemoni) dengan dominasi. Dominasi berbasis pada paksaan(coersion), sedangkan hegemoni berbasis pada persetujuan (consent). Sementara dominasi diperoleh melalui penggunaan alat pemaksa berupa negara, atau lebih tepatnya masyarakat politik, hegemoni diperoleh melalui masyarakat sipil berupa pendidikan, agama, dan lembaga-lembaga sosial.
Sebuah tatanan yang hegemonik, dalam perspektif Gramscian, adalah suatu kondisi di mana hubungan antar klas dan antara negara dan masyarakat sipil dicirikan oleh persetujuan (consent) alih-alih paksaan (coercion) (Gill dan Law dalam Gill, ed., 1993: 93). Sedangkan kelas hegemonic adalah kelas yang memperoleh persetujuan dan kekuatan dari kelas social lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan system aliansi melalui internalisasi nilai-nilai serta norma-norma yang diusung agar mereka memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Karenanya, Hegemoni mensyaratkan “kepemimpinan moral dan kultural” (moral and cultural leadership) (Gramsci, 1971: 57; Femia, 1987: 24;Sugiono, 1999: 31).
berlanjut
Sabtu, 02 April 2011
Teori Hegemoni Gramsci(Bag.1)
Teori hegemoni merupakan salah satu karya monumental seorang pemikir Marxis terkemuka, Antonio Gramsci(1891-1937). Sejatinya Gramsci bukanlah orang pertama yang menggunakan istilah hegemoni. Sebelumnya istilah ini pertama kali digunakan oleh Plekhanov dan para pengikut Marxisme Rusia lainnya pada tahun 1880an untuk menunjukkan perlunya menggalang aliansi dengan kaum petani dalam upaya meruntuhkan gerakan Tsarisme. Gagasan hegemoni lebih jauh lagi dikembangkan oleh Lenin yang menjadikannya sebagai strategi revolusi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan para anggotanya untuk tampil sebagai kelas hegemonic dalam rangka meraih dukungan mayoritas.
Sebagai produk intelektual yang lahir dari rahim seorang pemikir bertradisi Marxis, teori hegemoni Gramsci tidak bisa dilepaskan dari orientasi politik Marxisme yang mengarahkan semua aktivitasnya untuk menggulirkan perubahan revolusioner. Oleh karenanya, teori hegemoni Gramsci berbeda dengan teori hegemoni yang diusung para teoritisi realis. Jika teoritisi realis mencurahkan perhatiannya pada upaya untuk mempertahankan struktur lama - sebagaimana diusung oleh Kenneth Waltz(1979) dan Keohane(1984), teori hegemoni Gramsci justru menaruh curiga pada tatanan lama, memperanyakan bagaimana tatanan tersebut muncul dan bagaimana peluang perubahannya dimungkinkan (Bieler dan Marton, 2004: 86).
Teori hegemoni Gramsci lahir dari pengalamannya pribadi menyaksikan sekaligus merasakan kegagalan Partai Komunis Italia yang dipimpinnya dalam upaya revolusi untuk menggulingkan tahta fasisme pimpinan Musollini. Realita getir ini mengantarkan Gramsci pada temuan awalnya –yang kemudian menjadi landasan pijak teori hegemoni- bahwa ada celah teoritis dalam Marxisme klasik (Ismail, 2007: 3-4). Marxisme klasik meyakini, sebagaimana diramalkan Karl Marx, bahwa di negara-negara kapitalis, revolusi secara tak terelakkan akan terjadi dengan sendirinya, sealamiah bayi yang keluar dari kandungan ibunya. Sementara di Rusia –yang nota bene merupakan negara dengan sistem kapitalisme yang kalah matang dibanding Eropa Barat- revolusi telah berlangsung, mengapa justru di Italia yang kapitalismenya lebih maju revolusi tidak kunjung terjadi? Mengapa setiap percobaan revolusi di Eropa Barat dan Tengah selalu menemui kegagalan?
Kritik Gramsci ditujukan pada dua premis yang menjadi pilar utama Marxisme klasik, yaitu apa yang disebutnya sebagai determinisme mekanis dan ekonomisme primitif. Determinisme mekanis adalah apa yang diyakini kaum Marxisme klasik bahwa terdapat kontradiksi inhern dalam mode produksi kapitalisme yang dapat dianalisis secara ilmiah, diprediksikan dan dikuantifikasikan. Sejarah manusia hanya dipandang sebagai implikasi dari pertumbuhan kekuatan-kekuatan produksi yang terus berlangsung, otonomi individu sebagai agen sejarah tidak diakui karena manusia hanya dilihat semata-mata sebagai agen pasif yang tujuannya didominasi oleh reaksinya terhadap lingkungan. Meraka juga meyakini bahwa Kapitalisme ditakdirkan akan melalui garis sejarah yang niscaya menuju krisis dan kehancuran ekonomi karena pertentangan antara berbagai kekuatan dan hubungan produksi semakin besar(Simon, 2004: 5).
Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomisme primitive adalah keyakinan bahwa instrumen ekonomi dan teknologi merupakan determinan utama sekaligus penentu perubahan sejarah. Bagi kaum Marxisme klasik, perkembangan politik hanyalah wujud dari perkembangan-perkembangan ekonomi. Hal ini tercermin dalam penggunaan metaphor ‘struktur dasar’ dan ‘struktur atas’ (base and super structure). Perkembangan yang berarti signifikan dipahami sebagai perkembangan yang berlangsung dalam struktur dasar ekonomi saja, sementara dinamika struktur atas semacam politik, ideology dan kebudayaan hanyalah merupakan epifenomena belaka dari elemen struktur dasar, yakni mode ekonomi produksi. Jadi, sejarah bisa direduksi hanya sebagai manifestasi dari mode produksi yang tunduk pada hukum-hukum yang tak terelakkan (Sugiono, 1999: 21-23).
Gramsci tidak sepakat dengan kaum Marxisme klasik yang cenderung ekonomi deterministic dan mengabaikan elemen-elemen struktural semacam politik, ideologi, dan kebudayaan. Meskipun tetap menganggap penting peran substruktur, Gramsci menolak gagasan bahwa unsur-unsur dalam suprastuktur hanya merupakan epifenomena belaka dari mode produksi. Gramsci berpendapat bahwa unsur-unsur tersebut juga berperan penting dalam menentukan proses perubahan.
Gramsci meyakini doktrin determinisme mekanis dan kecenderungan ekonomistis merupakan salah satu sebab utama kegagalan revolusi Eropa barat karena kepercayaan pada kemutlakan sejarah dan keniscayaan revolusi ini telah mengebiri aktivisme politik para pemimpin dan massa. Mereka tak menduga bahwa revolusi muncul dari pergeseran berbagai ingsutan instrumen-instrumen social yang diakibatkan oleh inisiatif-inisiatif politik. Hal inilah yang menjadi penyebab kegagalan revolusi Marxisme sehingga kapitalisme tetap mampu bertahan meski diterpa badai krisis di tahun 30-an(Simon, 2004: 6).
Catatan-catatan kritis atas celah teoretis yang ditinggalkan Marxisme klasik ini ia tuangkan dalam kerangka teori yang kemudian menjadi pondasi awal dari gagasannya tentang hegemon. Melalui teorinya ini Gramsci memberikan tempat yang lebih bagi elemen super struktur dalam proses penentuan sejarah, cirri inilah yang menjadi penanda yang membedakan Gramsci dengan Marxisme klasik (Ismail, 2007: 4; Sugiono, 1999: 26-29; Femia, 1987: 27 ).
Dalam catatannya(the prison notebooks) pada bab pertama, Gramsci membedakan antara hegemoni) dengan dominasi. Dominasi berbasis pada paksaan(coersion), sedangkan hegemoni berbasis pada persetujuan (consent). Sementara dominasi diperoleh melalui penggunaan alat pemaksa berupa negara, atau lebih tepatnya masyarakat politik, hegemoni diperoleh melalui masyarakat sipil berupa pendidikan, agama, dan lembaga-lembaga sosial.
Sebuah tatanan yang hegemonik, dalam perspektif Gramscian, adalah suatu kondisi di mana hubungan antar klas dan antara negara dan masyarakat sipil dicirikan oleh persetujuan (consent) alih-alih paksaan (coercion) (Gill dan Law dalam Gill, ed., 1993: 93). Sedangkan kelas hegemonic adalah kelas yang memperoleh persetujuan dan kekuatan dari kelas social lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan system aliansi melalui internalisasi nilai-nilai serta norma-norma yang diusung agar mereka memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Karenanya, Hegemoni mensyaratkan “kepemimpinan moral dan kultural” (moral and cultural leadership) (Gramsci, 1971: 57; Femia, 1987: 24;Sugiono, 1999: 31).
berlanjut
Kamis, 31 Maret 2011
Perang baru ala WikilLeaks
Akhir 2010, WikiLeaks menjadi hot topic berbagai media didunia menyusul aksinya yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia dari berbagai negara. Melalui situs resminya, WikiLeaks mengunggah dokumen-dokumen berisi kawat diplomasi Negara-negara didunia ini -khususnya Amerika Serikat- ke ruang publik. John Perry Barlow, salah satu pendiri Electronic Frontier Foundation dan penulis lirik band Grateful Dead menyebut aksi Wikileaks ini sebagai awal perang model baru yang dinamainya sebagai perang informasi. Sebagaimana tergambar dari statemennya:
”Perang informasi yang sesungguhnya baru saja dimulai. WikiLeaks medan tempurnya. Kalian semua tentaranya.”
Wikileaks memang dahsyat, situs pembocor dokumen rahasia pimpinan Julian Assange ini mengklaim telah mempublikasikan lebih dari 1,2 juta kawat diplomatik, dokumen rahasia, terutama dokumen milik AS. Tak heran jika para pemimpin dunia marah dan bahkan menyatakan perang melawannya. Para pemimpin dunia marah karena dokumen rahasia Negara yang mereka pimpin, yang berisi informasi, analisis, dan beberapa hasil percakapan soal kondisi setiap negara dibeberkan ke muka umum. Aksi menghebohkan WikiLeaks ini bahkan sempat mempengaruhi stabilitas hubungan diplomatik antar Negara.
Di kawasan Teluk Arab, beberapa Negara sempat saling mencurigai satu dengan lainnya. Sebab, WikiLeaks terus mempublikasikan rahasia hubungan diplomatik antara negara-negara di kawasan Teluk Arab, Israel, dan Amerika Serikat yang menyebut Iran sebagai musuh. Sebagai respon publikasi kawat diplomatik ini, Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr buru-buru menjelaskan bahwa Iran bukanlah ancaman.
Tidak hanya negara-negara kawasan Teluk Arab, Negara-negara Eropa hingga Asia pun ikut geram. China adalah Negara yang geram menyusul publikasi kawat tertanggal 23 Februari 2010, tentang pernyataan asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Afrika Johnnie Carson yang menyebut China sebagai kompetitor ekonomi yang sangat agresif, jahat, dan tak bermoral dalam sebuah pertemuan dengan para eksekutif perusahaan minyak di Nigeria.
Namun, negara yang paling geram dengan sepak terjang WikiLeaks ini adalah Amerika Serikat. Setelah merilis dokumen rahasia terkait perang Afghanistan pada Juli 2010, situs yang berdiri sejak 2007 ini kembali membongkar sekitar 250.000 dokumen berisi kawat - kawat diplomatik antara kedutaan besar Amerika Serikat di sejumlah negara dan Washington pada akhir November 2010 .
Aksi nekat WikiLeaks ini kontan membuat Pemerintah Negeri Paman Sam itu kelabakan. Menanggapi hal ini, melalui menlu Hillary Clinton, Pemerintah Amerika Serikat langsung mengontak pemimpin Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Afganistan, China, Jerman, Inggris, Perancis, Kanada, Denmark, Israel, Norwegia, dan Polandia. Clinton meminta kepada para pemimpin tersebut agar tidak terpengaruh dengan dokumen rahasia itu .
Wakil Presiden AS, Joe Biden, juga melontarkan kecaman yang menyebut pendiri sekaligus pemimpin WikiLeaks, Julian Assange sebagai ”teroris teknologi tinggi”(19/12) . Tuduhan serupa juga disampaikan pembawa acara talkshow sekaligus komentator politik terkenal AS, Glenn Beck. Beck menilai pembocoran rahasia Negara oleh Wikileaks bertujuan untuk menciptakan kekacauan di seluruh dunia dan juga mendestabilkan pemerintahan-pemerintahan yang ada. Beck juga membandingkan Assange dengan George Soros, yang sama-sama mencintai dan menginginkan adanya sebuah masyarakat terbuka. Beck juga menilai, skandal pembocoran dokumen rahasia AS sebagai upaya untuk menciptakan badai besar kekacauan. Dia bahkan membandingkan kehebohan yang diciptakan Wikileaks setara dengan kehebohan yang pernah diciptakan jaringan Al Qaeda. Keduanya, baik Wikileaks maupun Al Qaeda, menurut Beck, sama-sama ingin menghancurkan AS.
Kecaman lain datang dari politisi Partai Republik, Sarah Palin. Palin menyebut Assange bukanlah seorang jurnalis. Dia menggambarkan Assange sebagai seorang anti-AS. Tuduhan tersebut dilontarkannya karena pembocoran dokumen rahasia negara sama artinya membuka lebih dari 100 orang sumber AS di Afganistan untuk kemudian dibunuh oleh kelompok Taliban.
Di dalam negeri, badan-badan pemerintah federal AS ikut menyatakan perang melawan WikiLeaks. Peringatan diberikan kepada setiap pegawai negeri di negara itu yang membaca bocoran dokumen kawat diplomatik rahasia di WikiLeaks bisa dipecat dari pekerjaannya. Belakangan beredar surat elektronik yang berisi peringatan, pelajar dan mahasiswa yang ketahuan membaca dokumen rahasia di WikiLeaks, sekadar memasang link menuju dokumen itu atau mengomentari isinya di situs jejaring sosial bisa terancam tak akan diterima bekerja sebagai pegawai negeri di AS. Pemerintah AS berpendapat, dokumen-dokumen tersebut masih berstatus rahasia meski sudah beredar luas di internet maupun dimuat di media massa.
Tak hanya itu, sejak merilis kawat diplomasi Amerika Serikat pada akhir November lalu, WikiLeaks terus diserang dan diganggu. Salah satunya dengan menutup jalur-jalur keuangan untuk menyalurkan donasi kepada WikiLeaks. Pertama-tama, situs transaksi keuangan di internet PayPal menutup saluran donasi untuk WikiLeaks dan membekukan uang organisasi tersebut sebesar 80.000 dollar AS (Rp 720,4 juta). Selanjutnya, bank milik Kantor Pos Swiss, Postfinance, menutup rekening Julian Assange yang berisi uang 41.000 dollar AS (Rp 369,2 juta) . Menyusul kemudian blokir transaksi keuangan oleh MasterCard dan Visa, dan yang terbaru adalah diputusnya semua transaksi keuangan oleh Bank of America (BoA) .
Namun, tidak semuanya menanggapi secara negative aksi WikiLeaks. Di Australia, sekitar 50.000 warga berdemo menentang penahanan pendiri WikiLeaks yang merupakan warga Negara Australia, Julian Assange. Aksi tersebut diikuti dengan penggalangan dana yang dilakukan sebuah kelompok activist yang tergabung dalam wadah GetUp!. Aksi penggalangan dana ini bahkan dilaporkan hingga mencapai angka 250.000 dollar US(2,25 miliar rupiah) .
Dukungan juga datang dari beberapa pemimpin dunia. Mereka yang mendukung WikiLeaks menyandarkan aksi yang dilakukan organisasi pimpinan Assange ini sebagai ekspresi kebebasan berpendapat. Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, bahkan mengatakan upaya penahanan Julian Assange merupakan ikonsistensi barat atas kredo demokrasi yang dijunjungnya. Senada dengan Putin, Presiden Brasil Lula da Silva mengatakan penahanan Assange di London merupakan bentuk perang terhadap kebebasan berpendapat.
Rabu, 23 Maret 2011
Tafsiran Islam Mana yang Mendekati Kebenaran?
Terus terang saja, saya tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat krusial ini, tetapi batin saya tetap saja bergolak mencari jawabannya. Alquran dalam surat al-Baqarah ayat 201 telah menjadi doa harian umat Islam, yang artinya: "Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami hasanah (kebaikan) di dunia dan kebaikan di akhirat dan bebaskan kami dari siksa api neraka." Ayat lain dalam surat al-Isra' ayat 72, maknanya terbaca sebagai berikut: "Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan yang benar."
Menurut hemat saya, perkataan hasanah mengandung makna yang luas dan dalam sekali. Di dalamnya termuat kualitas kebahagiaan, kemenangan, kemerdekaan, kesehatan, bebas dari kehinaan dan kemiskinan, punya kedaulatan di negeri sendiri, dan kualitas lain yang relevan dengan semuanya itu. Pada ayat kedua, kita diberi tahu bahwa kebutaan di dunia akan bermuara pada kebutaan di akhirat, bahkan akan tersesat sangat jauh dari kebenaran. Mohon saya dikoreksi jika tafsiran saya melenceng dari jalan lurus.
Sekarang mari kita hadapkan substansi dan roh dua ayat itu, di samping masih banyak yang lain, kepada realitas empiris dunia Islam sekarang ini. Apakah kondisi kita sudah mendekati kehendak ayat itu bila diukur dengan parameter apa pun? Apakah kita bahagia dan menang sekarang ini? Apakah kita kaya, terhormat, merdeka, berdaulat, dan bermartabat sekarang ini? Apalagi jika dikaitkan dengan surat al-Taubah ayat 33 yang artinya: "Dialah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk diunggulkan atas agama lain seluruhnya sekalipun orang-orang musyrik membencinya."
Secara teologis, bisa saja kita mengklaim bahwa Islam itu unggul, dan memang unggul, tetapi bagaimana umatnya? Rasanya teramat jauh jarak antara keunggulan teologis dan peta sejarah kita yang buram sejak ratusan tahun yang lalu.
Apa yang dapat kita banggakan sekarang? Sebagian bangsa Muslim kini sedang mengalami pergolakan dan transformasi kultural yang sangat dahsyat, tidak jarang dengan menumpahkan darah sesama Muslim. Korupsi juga merajalela di mana-mana, di bumi Muslim. Maka pertanyaan sentralnya: "Di mana Islam yang benar dan unggul itu?" Jawaban yang dapat saya berikan: di dalam teks, tetapi tidak dalam kenyataan. Maka, tugas dan kewajiban kita yang mendesak adalah mempertautkan teks dan kenyataan. Pecahnya kongsi antara teks dan kenyataan adalah karena kelalaian mendasar yang belum juga kita sadari sepenuhnya.
Kaum Sunni, Syiah, Khawarij, dan anak keturunannya yang berkeliaran di muka bumi masih saja berbangga dengan puaknya masing-masing, kecuali sedikit yang sadar. Bukankah puak-puak itu tidak muncul di zaman nabi, tetapi mengapa kita bersitegang dengan atribut-atribut itu? Mengapa semua atribut itu tidak dibuang saja ke dalam limbo sejarah? Kehadiran puak-puak itu berasal dari sengketa politik sesama Muslim, tetapi mengapa diberhalakan?
Tanpa kejujuran sejarah dalam meneropong firkah-firkah itu, akan amat sulit kita menemukan tafsiran Islam mana yang mendekati kebenaran. Mengapa kita terus saja berbangga dengan puak-puak itu, sedangkan Alquran memerintahkan kita untuk membangun persaudaraan di atas pilar iman yang tulus, bukan karena pertalian darah atau aliran politik yang sarat dengan kepentingan duniawi.
Saya tidak patah harap. Pukulan sejarah yang datang bertubi-tubi menimpa umat Islam, tentu pada saatnya akan meniupkan kesadaran bahwa kita telah terlalu jauh melenceng dari petunjuk dan agama yang benar. Kesadaran semacam itulah yang perlu disiarkan terus-menerus kepada sesama Muslim agar berpindah ke jalan yang lurus dan benar.
Bagi saya, menjadi Muslim sama maknanya menjadi manusia unggul dan menang. Unggul dan menang untuk apa? Tidak lain selain untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta, juga sebagai pelanjut misi kenabian. (Lihat surat al-Anbiya' ayat 107). Ke dermaga inilah bola sejarah wajib kita gulirkan bersama secara jujur dan tulus. Allah hanya berpihak kepada kejujuran dan ketulusan. Dia amat berang dan murka kepada segala bentuk kecurangan dan kepalsuan!
Oleh:Buya Syafii(Resonansi Republika)
Selasa, 08 Maret 2011
GERAKAN FILANTROPI PELAJAR
Sudah genap 50 tahun Ikatan Pelajar Muhammadiyah mewarnai jagad gerakan pelajar dinegeri ini. Dalam rentang waktu setengah abad itu, tentunya telah banyak manis getir yang hadir di setiap pijakan langkah organisasi ini. Sejarah telah mencatat sejak berdirinya (tahun 1961) sampai sekarang, IPM secara konsisten ikut mengawal upaya mencerdaskan bangsa melalui jalan pendidikan melalui berbagai aktivitasnya mulai dari dakwah hingga pembelaan(advokasi). Hal ini disatu sisi merupakan prestasi dan pencapaian yang luar biasa, namun disisi lain menjadi tantangan yang meniscayakan IPM untuk senantiasa berbenah diri agar tetap mampu menjaga eksistensinya. Karenanya, refleksi gerakan adalah sebuah keharusan yang mesti terus-menerus dilakukan untuk menjaga kontekstualitas gerakan agar keberadaan IPM benar-benar bisa menjawab tantangan dan kebutuhan aktual zaman.
Dalam rangka itu, PP IPM melalui muktamar XVII Yogyakarta telah mencoba menjawab kebutuhan reflektif tersebut dalam formulasi Gerakan Pelajar Kreatif ( GPK ), namun dalam perjalanannya GPK juga tidak terlepas dari kritik baik yang datang dari internal maupun kritik dari luaran. Salah satu kritik yang muncul adalah adanya beberapa contradictio terminologi dalam formulasi yang diusung GPK. Selain itu, ketidaktuntasan pemaknaan terma ”Kreatif” berimplikasi pada pembiasan arah sehingga gerakan IPM kedepan dirasa tidak fokus.
Dalam konteks inilah IPM jateng mencoba untuk melakukan tajdid gerakan dan mendapati Gerakan Filantropi Pelajar ( GFP ) sebagai Strategi Gerakan yang tepat untuk menjawab problematika dan peluang di Jawa Tengah yang ada saat ini. Kelahiran Gerakan Filantropi Pelajar tidak lantas sama sekali menafikan keberadaan Gerakan Pelajar Kreatif yang telah di deklarasikan Pimpinan Pusat pada Muktamar Yogyakarta 2010. Gerakan Filantropi lebih tepat dimaknai sebagai upaya kontekstualisasi sepirit kritis transformatif atas permasalahan dan peluang aktual yang dihadapi dalam ruang Jawa Tengah.
Kelahiran GFP tidak didasarkan pada egosentris belaka, GFP merupakan produk yang dihasilkan dari tajdid gerakan atas permasalahan kotemporer yang sedang kita hadapi baik didunia pelajar, persyarikatan, bangsa, maupun global.
Faktor Kemunculan Gerakan Filantropi Pelajar :
Terdapat dua faktor yang menyebabkan GFP Muncul, yaitu faktor Intern IPM dan Faktor Ekstern.
1.Faktor Interen IPM
Faktor Interen melingkupi faktor yang secara langsung dialami dan dirasakan dalam lingkungan pelajar maupun IPM saat ini.
Faktor Pelajar:
- Tingkat keabaian yang akut dikalangan pelajar
- Dehumanisasi
- Menumpulnya kecerdasan social dikalangan pelajar
- Kedermawanan pelajar yang terkikis oleh sikap hedonisme dan Materialisme
- Makin akutnya ekses budaya POP dikalangan pelajar
Faktor IPM:
- mulai tergerusnya prinsip voluntarisme(keikhlasan)
- Kontinum GKT ( Gerakan Kritis Transformatif )
- Terdapat celah dalam GPK ( Gerakan Pelajar Kreatif )
2.Faktor Eksteren IPM
Faktor Eksteren melingkupi fenomena aktual diluar IPM yang yang mempengaruhi GFP muncul,seperti
Nasional:
- Kesenjangan social yang tajam antara simiskin dan sikaya
- Sistem yang kurang memihak
- Pendidikan yang bersifat pragmatisme ( Lahan mencari keuntungan )
- Korupsi yang mentradisi
- Fenomena bencana alam yang seolah menjadi rutinitas
Faktor Global:
- Fenomena Global Warming
- Globalisasi yang diikuti merajanya kapitalisme
- Trend gerakan filantropi yang makin meningkat
Definisi Gerakan Filantropi Pelajar
Gerakan Filantropi Pelajar merupakan usaha manifestasi spirit amar ma’ruf, nahy munkar melalui gerakan keberpihakan yang didasari atas cinta-kasih(kepedulian) terhadap sesama. Cita-cita Gerakan Filantropi Pelajar(GFP) ditujukan pada pembentukan karakter pelajar yang senantiasa bermanfaat bagi kehidupan bersama, pelajar yang senantiasa mampu mendahulukan kepentingan umum/orang lain(altruisme) dari kepentingan pribadinya. Fenomena aktual dewasa ini menampakkan panorama makin menipisnya ketersediaan manusia yang mempunyai komitmen untuk senantiasa mendahulukan kepentingan umum. Pemandangan dunia saat ini menampakkan parodi orang saling sikut demi memperkaya diri sendiri. Tentunya hal ini sangat jauh dari cita-cita seorang muslim ideal yang salah satu cirinya adalah bermanfaat bagi manusia lain.
Lebih jauh, GFP menekankan keberimbangan/keutuhan karakter manusia yang mempunyai kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual,dan kecerdasan Estetikal, serta kecerdasan sosial. Atau dengan kata lain mempunyai kesalehan personal dan kesalehan sosial. Pertama, Kecerdasan intelektual merupakan identitas utama yang mesti dimiliki seorang pelajar sebagai pencari ilmu. Dalam masyarakat kapitalis yang mana dicirikan dengan kompetisi ketat disegala bidang, kepemilikan atas ilmu menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki jika tak ingin hanya jadi penonton ditengah kemajuan teknologi. Kedua, kekayaan batin seakan menjadi barang langka dewasa ini. Dunia modern yang mendewakan logika menempatkan manusia pada kemarau batin yang menyudutkan manusia pada kehampaan jiwa tanpa sandaran religiusitas. Pendewaan atas kecerdasan intelektual tanpa diimbangi embun spiritual akan menempatkan manusia pada kebuasan yang jahili.
Ketiga, Kecerdasan estetikal menjadi hal yang urgen untuk membangun harmoni didunia ini. Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan nilai keindahan, kebutuhan ini bisa dipenuhi dengan karya seni yang mengandung nilai estetikal. Sebagai Puncak, kristalisasi dari ketiga kecerdasan ini(intelektual,spiritual, dan estetikal) harus mampu mewujud dalam aksi nyata yang berorientasi pada perubahan untuk kemajuan peradaban/transformasi sosial(Kecerdasan Sosial)
Prinsip Gerakan
Adapun GFP ini didasarkan atas prinsip: Voluntarisme (Kerelaan), Altruisme(mendahulukan orang lain), Equality (Kesetaraan), Partnership(Kemitraan), Kritis-Transformatif dan Kreatif.
Penjelasan
1. Voluntarisme/kerelaan
Gerakan Filantropi Pelajar dapat dikatakan berhasil apabila niat utama pelaku adalah Kerelaan/Ikhlas, Nilai kerelaan tidak dapat diganti atau dirubah dengan nilai yang lain,seperti : materi,pujian,jabatan dll, karena pada hakekatnya rela adalah sikap yang tidak berprinsip untuk mendapatkan sesuatu dari perorangan atau organisasi tapi apa yang sudah diberikan kepada seseorang atau organisasi.
Dasar : Q.S :
2. Altruisme(Mendahulukan Kepentingan Umum)
Individualism Nampaknya makin akut menjangkiti jiwa manusia-manusia modern. Patologi social yang makin marak, salah satunya korupsi, seolah menegaskan makin akutnya individualism manusia kebanyakan. Orang berlomba-lomba mempertebal kantong pribadi tanpa peduli dengan sesamanya yang kekurangan. Semangat rela berkorban dan mendahulukan orang lain makin langka kita jumpai. IPM Jateng berupaya untuk merevitalisasi semangat altruism ini melalui gerakan filantropi pelajar
3. Equality/kesetaraan
Tentu sebagai Pelajar Islam kita sepakat dan yakin bahwa Label yang siap dinilai dan dibeli Alloh SWT bukanlah label Kekayaan, Jabatan,Kecantikan/Ketampanan,miskin,kaya,orang desa,orang kota, Melainkan Label Ketaqwaan yang akan senantiasa dirundu Oleh Pembuat Rindu ( Alloh SWT )
Manusia hidup didunia sama dipandangan Alloh SWT. Sehingga tidak layak kita untuk sombong dan melampaui batas, Karena Alloh Tidak menyukai Orang-orang yang berlebih-lebihan dan melampaui batas.
Sedangkan dihadapan manusia sudah selayaknya kita saling tolong menolong,sikay membantu simiskin, yang bisa membantu yang tidak bisa, sehingga Nilai Filantropi yang berlandaskan semangat cinta kasih haruslah ditumbuhkan mulai sekarang.
4. Partnership/kemitraan
Gerakan Filantropi membutuhkan mitra dalam bergerak, artinya kemitraan disini adalah bahwa manusia baik yang kaya atau yang miskin punya tanggungjawab yang sama untuk mewujudkan peradaban utama ( Masyarakat Madani ), untuk itu aksi filantropi merupakan manifestasi kerjasama dari keduanya untuk mencapai cita-cita luhur tersebut.
5. Kreatif
Gerakan filantropi sekali lagi jangan ditafsirkan kepada gerakan-gerakan yang sempit seperti, infaq,shodakoh, zakat, akan tetapi filantropi harus masuk dalam ruang yang lebih luas,melalui jalur pendidikan ( intelektual ),lingkungan, birokrasi,social,kemasyarakatan,budaya dll, sehinggan Gerakan Filantropi Harus Kreatif, Luwes, Inofatif yang tidak keluar dari semangat Filantropi itu sendiri terhadap Gerakan-gerakan yang ditawarkan diberbagai Lini.
6. Kritis
Sikap Kritis harus senantiasa bersanding dalam Gerakan Filantropi, Gerakan filantropi berasumsi bahwa Kemiskinan, kebodohan tidak hanya disesabkan karena malas atau karena sudah nasibnya bodoh/miskin, tetapi ada faktor luar yang lebih dominan untuk dikritisi bersama, sehingga Gerakan filantropi harus mengambil peran dalam Advokasi pelajar pada Khususnya dan Masyarakat pada Umumnya.
7. Transformatif
Gerakan Filantropi bertujuan untuk menciptakan transformasi sosial artinya GFP bercita-cita terjadinya perubahan kehidupan yang lebih baik tetntunya melalui usaha yang konsisten secara berkelanjutan yang didasarkan atas kesadaran bersama(konsensual).
Sabtu, 19 Februari 2011
Kekerasan dan Kegamangan Politik Multikultur Negara
“Harmony bukanlah sesuatu yang turun dari langit, ibarat sebuah lukisan, setiap guratan akan sangat menentukan harmonisasi karya. Begitupun hidup, harmony adalah sesuatu yang harus diperjuangkan disetiap pijakan langkah”. (Piyu)
Sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan cinta damai, setidaknya itulah dogma yang mengendap lekat dibenak kita sebagaimana kita dijejalinya semenjak SD. komitmen cinta damai ini secara formal diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 dalam frasa ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…’. Dalam perspektif Havel, jika kita sungguh mendambakan perdamaian semesta bumi, maka terlebih dahulu harus kita upayakan perdamaian ditanah nusantara ini sebagaimana frasa reflektifnya, “tak ada perdamaian eksternal tanpa didasari perdamaian internal”. Namun harapan havel itu agaknya masih jauh menggantung tinggi di langit mimpi. Betapa tidak, alih-alih perdamaian, rentetan kekerasan justru bertubi-tubi mengoyak anyaman ke-bhineka-an, mengebiri cita-cita luhur para pendiri bangsa, dan menelantarkan amanah konstitusi.
Miris memang melihat aksi kekerasan dalam berbagai bentuknya, dari tawuran pelajar, rusuh demo mahasiswa, konflik etnik, sampai kekerasan dengan balutan agama silih berganti melanda negeri ini. Terkait kekerasan dengan sentiment agama ini, pada tahun 2009 SETARA Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Ironisnya dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission).
Tragika realitas actual ini menggetar jantung kesadaaran kita, kira-kira apa yang sebenarnya sedang melanda negeri ini?kenapa begitu mudah aksi kekerasan berkobar di tanah merah putih ini?adakah yang salah dengan cara Negara dalam manajemen kemultiragaman budaya ini? Kenyataan pahit ini menyudutkan kita pada preseden bahwa maraknya kekerasan belakangan ini terkait erat dengan struktur dan system politik bernegara dan berbangsa kita dewasa ini. Kemulti-ragaman bangsa Indonesia yang senantiasa memang membawa konsekuensi ancaman persinggungan bahkan benturan-benturan perbedaan dari segenap anasir-anasirnya. Namun hal itu bisa disiasati jika Negara sigap dan bijak dalam mengelola potensi-potensi konflik yang muncul sehingga tak perlu terjadi konflik yang berdarah-darah.
Dalam masyarakat multikultur semacam Indonesia dibutuhkan strategi tepat dan bijak dalam manajemen sumber-sumber ekonomi,social, dan budaya untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmony. Dalam hal ini, Negara sebagai otoritas pemegang kekuasaan dituntut untuk bisa menggunakan secara bijak hak monopoli represifnya untuk mengelola anasir-anasir ini menjadi semen perekat rajutan unsure masyarakat yang saling berbeda dalam anyaman yang harmoni. Namun realita dilapangan menunjukkan Negara seringkali gagap dalam mengelola potensi konflik yang terkandung dalam masyarakat multikultur ini. Akibatnya, riak-riak konflik komunal yang muncul begitu cepat dan mudahnya mengalami eskalasi hingga berdampak luas. Data SETARA Institute membuktikan, Negara bukan hanya tak mampu mengelola potensi konflik dengan bijak, namun bahkan Negara seringkali ikut terlibat dalam aksi kekerasan yang tak perlu.