Menghadirkan para penyelenggara Negara di kedalaman perenungan, yang akan tersimpul adalah kemasygulan. Mengapa republik yang didirikan para pelopor mulia bisa jatuh ke tangan-tangan yang "hina"?
Perhatian para negarawan yang mulia adalah apa yang dapat diberikan untuk Negara. Kebesaran jiwa membuat mereka tak mencari jabatan dan tak takut kehilangan jabatan. Adapun perhatian para politikus terhina adalah apa yang dapat diambil dari Negara. Kekerdilan jiwa membuat mereka berlomba mengejar jabatan dan dengan segala cara manipulatif berusaha mempertahankannya.
Benar juga kata Goerge Bernard Shaw bahwa "titel/jabatan memberikan kehormatan kepada orang-orang medioker, memberikan rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior". Gemuruh petaruh di bursa pencari jabatan pertanda bahwa pos-pos kenegaraan diisi orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik kepada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin orang-orang inferior.
Kombinasi dari orang-orang medioker dan onferior membua para penyelenggara Negara saling sikut berebut jabatan dan secara keroyokan mempermalukan Negara. Situasi ini dipertontonkansecara telanjang, tanpa rasa malu, di depan publik, yang mestinya melahirkan keheranan, bagaimana bisa orang hina-dina seperti itu menjadi penyelenggara Negara.
Nahkhoda Negara hanya sibuk mematut-matut diri meski biduk republik terancam karam. Ambisi mengejar jabatan dan takut kehilangan jabatan membuatnya menempuh segala cara, sampai-sampai memperhinakan otoritas institusi kepresidenan di bawah tekanan para broker politik. Harga diri pencitraan dan ketakutannya itu sebegitu mahal yang harus dibayar oleh berbagai irasionalitas kebijakan publik.
Rencana perombakan kabinet seperti membuka kotak pandora yang membuat dirinya makin sulit menahan berbagai asupan kepentingan. Takut kehilangan dukungan politik kepartaian, saat yang sama takut kehilangan muka di depan publik, yang terlanjur diberi janji bahwa pilihan perombakan demi efektifitas pemerintahan. Maka, pilihan yang diambil adalah strategi "penggemukan" jabatan. Menteri-menteri medioker-inferior dari partai politik ditambal oleh wakil-wakil medioker dari lingkungan pegawai negeri sipil.
Efektivitas pemerintahan pun dikorbankan. Komplikasi susulan yang bisa ditimbulkan oleh ketidakjelasan hubungan antara menteri, wakil menteri dan direktur jenderal dilupakan. Dilupakan pula bahwa waktu yang tersedia untuk pemerintahan ini tidak lama, yang mestinya tidak diinterupsi oleh tuntutan penyesuaian tata hubungan kelembagaan di lingkungan kementerian.
Dilupakan pula proses perombakan yang berlarut membuat kebijakan strategis yang harus segera diambil oleh menteri-menteri menjadi tertunda. Bahwa akan menggelembungkan biaya rutin yang sudah terlampau tambun juga dilupakan. Ketika Presiden sibuk dengan keselamatan dirinya, keselamatan buruh migran Indonesia dan tumpah darah kita di wilayah perbatasan dibiarkan terancam.
Namun bukan Presiden yang mempermalukan Negara ini. DPR kita juga disesaki orang-orang medioker-inferior. Tidak menyadari kehormatannya sebagai wakil rakyat, perilaku anggota DPR banyak yang memperhinakan otoritas lembaga itu. Badan Anggaran lebih disinyalir sebagai sarang mafia anggaran. Komisi-komisi kerjanya sering memeras "komisi" (rent seeking).
Kunjungan dan studi banding menjadikan dalih untuk penyerapan dana. Produk legislasi tidak menunjukan bobot penalaran dan penghayatan yang dalam atas falsafah Negara dan konstitusi. Sebagai perpanjangan kepentingan partai politik, anggota DPR juga kerap ingin mengambil terlalu banyak, melampaui batas-batas kewenangan dan kepantasan, yang menimbulkan komplikasi dalam hubungan antarlembaga kenegaraan.
Lembaga-lembaga yustisia juga disesaki orang-orang medioker-inferior yang menjadikan aparatur penegak hukum menjadi perusak hukum. Polisi menjadi pelindung jejaring kejahatan, Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi alat menekan kepentingan kekuasaan, kejaksaan menjadi sarang penyamun, dan hakim menjadi pemutus akhir untuk menjadikan yang hitam menjadi putih.
Belum lagi kita membahas 88 lembaga nonstruktural dan 28 non-kementerian yang adem-adem ayem tak jelas nilai gunanya, tetapi jelas nilai pengeluarannya yang menyedot puluhan triliun biaya rutin.
Kita harus menjadi konsepsi baru sebagaimana watak Negara ini benar-benar sesuai dengan impian para pendiri bangsa yang menghendaki perwujudan "Negara keadilan" dan "Negara kekeluargaan". Para pendiri bangsa mendefinisikan Negara sebagai organisasi kemasyarakatan yang bertujuan menyelenggarakan keadilan sosial.
Untuk menghadirkan konsepsi kenegaraan seperti itu, tumpuan utamanya adalah moral penyelenggara Negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan, "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur".
Marilah berhenti bergotong royong mempermalukan Negara, dengan mulai bergotong royong memuliakannya. Karena para penyelenggara Negara tidak bisa bangkit sendiri, mereka harus dibangkitkan.
Yudi Latif, Ph.D
Senin, 24 Oktober 2011
Keroyokan Mempermalukan Negara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar