Hari ini, 28 Oktober, kita merayakan salah satu momen penting dalam sejarah perjalanan bangsa, momen yang menjadi titik tolak bagi masyarakat dibumi nusantara ini dalam mengarungi babak baru kehidupannya sebagai sebuah bangsa, ‘Bangsa Indonesia’. Sebagaimana yang kita tahu, 83 tahun silam pada tanggal tersebut para pemuda berhasil menyatukan berbagai elemen bangsa –yang sebelumnya tercecer dalam identitas kedaerahan- melalui trilogi yang kemudian dikenal dengan sumpah pemuda. Ironisnya, setelah hampir satu abad momen prestisius tersebut, kini mayoritas golongan yang membidani tonggak persatuan bangsa itu justru terperangkap dalam buaian ‘dunia fantasi’ yang memabukkan, serba semu, dan nir-prestasi.
Pemuda Dalam Dunia Fantasi
Tak bisa dipungkiri, pemuda merupakan determinan utama bagi gelap terangnya masa depan sebuah bangsa. Dalam sejarah Indonesia sendiri, kaum muda hampir tak pernah absen dalam setiap lembar catatan perjalanan bangsa. Dari momen deklarasi persatuan bangsa(sumpah pemuda), proklamasi kemerdekaan, sampai penggulingan orde baru yang sekaligus menandai kelahiran reformasi, pemuda selalu tampil dengan penuh gairah digaris depan untuk menggulirkan perubahan.
Tanpa pemuda, sejarah akan lain ceritanya. tanpa pemuda, bangsa ini kehilangan vitalitasnya. Berbagai persoalan pelik yang datang bertubi-tubi dan terus terakumulasi tanpa titik akhir (penyelesaian) yang memuaskan, bisa jadi berjalin kelindan dengan realitas miris pada sektor muda. Karena kaum muda yang senantiasa memberikan daya hidup bagi perjalanan bangsa ini, kini seakan kehilangan gairah, mabuk dalam buaian berbagai ‘ekstase’ dunia fantasi.
Pemuda yang senantiasa menjadi subjek dari perubahan, kini justru menjadi objek jajahan para kapitalis yang, sebagaimana dikatakan Lyotard dalam Libidinal Economy, dengan segala trik tak henti mengeksploitasi rangsangan ‘libido’ demi nilai tambah(1993:64).
Tempat tumbuh pemuda dipenuhi dengan beraneka rupa komoditas yang disajikan begitu memikat, membuai pemuda lewat rayuan fantasi yang serba semu, memabukkan, dan mempunyai ciri utama: terus meminta lebih, bagai candu. Beraneka rupa rangsangan fantasi itu menenggelamkan pemuda dalam gemerlap gairah kesenangan citraan dan tontonan (musik industri, game, film, dll), sehingga lenyaplah batas antara realitas, dan fantasi(Piliang, 1998)
Sebagaimana kita saksikan, misalnya, TV nasional kita saat ini dipenuhi dengan berbagai ekstase yang disajikan sepanjang pagi hingga petang, mulai dari sinetron, gossip, dan –yang tengah menjadi trend- sajian musik industri yang ditayangkan dengan durasi yang hampir tak masuk diakal.
Dengan ruang hidup yang penuh rayuan-fantasi seperti ini, pada titik ekstrimnya pemuda akan kehilangan ruang perenungan, pencerahan spiritual, dan penemuan kedirian. Hal ini, tentu saja merupakan bencana luar biasa bagi kaum muda sendiri dan juga bangsa ini, karena sejatinya masa muda adalah masa pencarian dan pembelajaran, yang idealnya bisa dicapai melalui aktivitas perenungan, bukan keriuhan.
Proses tumbuh yang hampir tak menyisakan ruang perenungan dalam sekala cukup ini hanya akan melahirkan kaum muda yang berpandangan sempit, berpengetahuan dangkal dan miskin jiwa spiritual. Produk pemuda seperti ini mempunyai kecenderungan sikap yang dangkal, miskin kecerdasan sosial, dan rentan frustasi. Akibatnya bisa kita saksikan bersama, sebagaimana yang senantiasa menghiasi pemberitaan di media massa, tak sedikit kaum muda yang terjerat obat-obatan terlarang, kekerasan dalam aneka rupa bentuknya, hubungan seks pra-nikah, sampai bunuh diri. Bisa dibayangkan bagaimana masa depan bangsa jika tipe pemuda seperti ini yang menjadi tumpuan harapanya.
Demi masa depan bangsa, upaya pembenahan sektor muda mutlak harus dilakukan. Sayangnya, institusi yang mestinya tampil sebagai avant garde dalam proyek(pembenahan) ini justru terjerat dalam penyakit laten korupsi yang memuakkan, sementara pemimpin kita terlalu sibuk dengan ambisi pragmatik politik-parsialnya. Kondisi ini diperparah dengan fakta institusi pendidikan formal kita yang masih mandul untuk melahirkan pemuda yang berkarakter.
Namun, semua itu tak sepatutnya membuat kita ciut harap, karena (mengutip Buya Syafii Maarif), bukankah ditengah gulita malam sekalipun selalu saja ada kerlip bintang, meski nampak remang dikejauhan?
Harapan itu ada dipundak pemuda sendiri, karena sejarah membuktikan selama ini pemuda selalu menemukan caranya sendiri untuk mengkreasi perubahan yang mencerahkan, perubahan yang tak sekadar mengobati dirinya sendiri, melainkan juga fajar bagi kegelapan negeri yang tengah dicengkram hypocrisy dan pragmatisme-politik yang memuakkan. Bangkitlah kaum muda, tunjukkan baktimu, untuk mewujudkan kemilau masa depan bangsa yang dulu kau bangun lewat sumpahmu.
Oleh: Ahmad Fanani
Jumat, 28 Oktober 2011
Sumpah Pemuda dan Potret Pemuda Dalam Dunia Fantasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar