Akhir 2010, WikiLeaks menjadi hot topic berbagai media didunia menyusul aksinya yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia dari berbagai negara. Melalui situs resminya, WikiLeaks mengunggah dokumen-dokumen berisi kawat diplomasi Negara-negara didunia ini -khususnya Amerika Serikat- ke ruang publik. John Perry Barlow, salah satu pendiri Electronic Frontier Foundation dan penulis lirik band Grateful Dead menyebut aksi Wikileaks ini sebagai awal perang model baru yang dinamainya sebagai perang informasi. Sebagaimana tergambar dari statemennya:
”Perang informasi yang sesungguhnya baru saja dimulai. WikiLeaks medan tempurnya. Kalian semua tentaranya.”
Wikileaks memang dahsyat, situs pembocor dokumen rahasia pimpinan Julian Assange ini mengklaim telah mempublikasikan lebih dari 1,2 juta kawat diplomatik, dokumen rahasia, terutama dokumen milik AS. Tak heran jika para pemimpin dunia marah dan bahkan menyatakan perang melawannya. Para pemimpin dunia marah karena dokumen rahasia Negara yang mereka pimpin, yang berisi informasi, analisis, dan beberapa hasil percakapan soal kondisi setiap negara dibeberkan ke muka umum. Aksi menghebohkan WikiLeaks ini bahkan sempat mempengaruhi stabilitas hubungan diplomatik antar Negara.
Di kawasan Teluk Arab, beberapa Negara sempat saling mencurigai satu dengan lainnya. Sebab, WikiLeaks terus mempublikasikan rahasia hubungan diplomatik antara negara-negara di kawasan Teluk Arab, Israel, dan Amerika Serikat yang menyebut Iran sebagai musuh. Sebagai respon publikasi kawat diplomatik ini, Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr buru-buru menjelaskan bahwa Iran bukanlah ancaman.
Tidak hanya negara-negara kawasan Teluk Arab, Negara-negara Eropa hingga Asia pun ikut geram. China adalah Negara yang geram menyusul publikasi kawat tertanggal 23 Februari 2010, tentang pernyataan asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Afrika Johnnie Carson yang menyebut China sebagai kompetitor ekonomi yang sangat agresif, jahat, dan tak bermoral dalam sebuah pertemuan dengan para eksekutif perusahaan minyak di Nigeria.
Namun, negara yang paling geram dengan sepak terjang WikiLeaks ini adalah Amerika Serikat. Setelah merilis dokumen rahasia terkait perang Afghanistan pada Juli 2010, situs yang berdiri sejak 2007 ini kembali membongkar sekitar 250.000 dokumen berisi kawat - kawat diplomatik antara kedutaan besar Amerika Serikat di sejumlah negara dan Washington pada akhir November 2010 .
Aksi nekat WikiLeaks ini kontan membuat Pemerintah Negeri Paman Sam itu kelabakan. Menanggapi hal ini, melalui menlu Hillary Clinton, Pemerintah Amerika Serikat langsung mengontak pemimpin Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Afganistan, China, Jerman, Inggris, Perancis, Kanada, Denmark, Israel, Norwegia, dan Polandia. Clinton meminta kepada para pemimpin tersebut agar tidak terpengaruh dengan dokumen rahasia itu .
Wakil Presiden AS, Joe Biden, juga melontarkan kecaman yang menyebut pendiri sekaligus pemimpin WikiLeaks, Julian Assange sebagai ”teroris teknologi tinggi”(19/12) . Tuduhan serupa juga disampaikan pembawa acara talkshow sekaligus komentator politik terkenal AS, Glenn Beck. Beck menilai pembocoran rahasia Negara oleh Wikileaks bertujuan untuk menciptakan kekacauan di seluruh dunia dan juga mendestabilkan pemerintahan-pemerintahan yang ada. Beck juga membandingkan Assange dengan George Soros, yang sama-sama mencintai dan menginginkan adanya sebuah masyarakat terbuka. Beck juga menilai, skandal pembocoran dokumen rahasia AS sebagai upaya untuk menciptakan badai besar kekacauan. Dia bahkan membandingkan kehebohan yang diciptakan Wikileaks setara dengan kehebohan yang pernah diciptakan jaringan Al Qaeda. Keduanya, baik Wikileaks maupun Al Qaeda, menurut Beck, sama-sama ingin menghancurkan AS.
Kecaman lain datang dari politisi Partai Republik, Sarah Palin. Palin menyebut Assange bukanlah seorang jurnalis. Dia menggambarkan Assange sebagai seorang anti-AS. Tuduhan tersebut dilontarkannya karena pembocoran dokumen rahasia negara sama artinya membuka lebih dari 100 orang sumber AS di Afganistan untuk kemudian dibunuh oleh kelompok Taliban.
Di dalam negeri, badan-badan pemerintah federal AS ikut menyatakan perang melawan WikiLeaks. Peringatan diberikan kepada setiap pegawai negeri di negara itu yang membaca bocoran dokumen kawat diplomatik rahasia di WikiLeaks bisa dipecat dari pekerjaannya. Belakangan beredar surat elektronik yang berisi peringatan, pelajar dan mahasiswa yang ketahuan membaca dokumen rahasia di WikiLeaks, sekadar memasang link menuju dokumen itu atau mengomentari isinya di situs jejaring sosial bisa terancam tak akan diterima bekerja sebagai pegawai negeri di AS. Pemerintah AS berpendapat, dokumen-dokumen tersebut masih berstatus rahasia meski sudah beredar luas di internet maupun dimuat di media massa.
Tak hanya itu, sejak merilis kawat diplomasi Amerika Serikat pada akhir November lalu, WikiLeaks terus diserang dan diganggu. Salah satunya dengan menutup jalur-jalur keuangan untuk menyalurkan donasi kepada WikiLeaks. Pertama-tama, situs transaksi keuangan di internet PayPal menutup saluran donasi untuk WikiLeaks dan membekukan uang organisasi tersebut sebesar 80.000 dollar AS (Rp 720,4 juta). Selanjutnya, bank milik Kantor Pos Swiss, Postfinance, menutup rekening Julian Assange yang berisi uang 41.000 dollar AS (Rp 369,2 juta) . Menyusul kemudian blokir transaksi keuangan oleh MasterCard dan Visa, dan yang terbaru adalah diputusnya semua transaksi keuangan oleh Bank of America (BoA) .
Namun, tidak semuanya menanggapi secara negative aksi WikiLeaks. Di Australia, sekitar 50.000 warga berdemo menentang penahanan pendiri WikiLeaks yang merupakan warga Negara Australia, Julian Assange. Aksi tersebut diikuti dengan penggalangan dana yang dilakukan sebuah kelompok activist yang tergabung dalam wadah GetUp!. Aksi penggalangan dana ini bahkan dilaporkan hingga mencapai angka 250.000 dollar US(2,25 miliar rupiah) .
Dukungan juga datang dari beberapa pemimpin dunia. Mereka yang mendukung WikiLeaks menyandarkan aksi yang dilakukan organisasi pimpinan Assange ini sebagai ekspresi kebebasan berpendapat. Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, bahkan mengatakan upaya penahanan Julian Assange merupakan ikonsistensi barat atas kredo demokrasi yang dijunjungnya. Senada dengan Putin, Presiden Brasil Lula da Silva mengatakan penahanan Assange di London merupakan bentuk perang terhadap kebebasan berpendapat.
Tampilkan postingan dengan label analisa politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label analisa politik. Tampilkan semua postingan
Kamis, 31 Maret 2011
Perang baru ala WikilLeaks
Kamis, 11 November 2010
Rekonsolidasi Ekonomi Global*
Dalam kurun 11-12 November berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Seoul, Korea Selatan, dengan tema ”Shared Growth Beyond Crisis”.
Ini KTT G-20 kelima sejak kelompok ini meningkatkan kerja samanya pada tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan sebagai respons terhadap krisis ekonomi global 2008. Para analis umumnya memberikan apresiasi besar terhadap peran G-20 dalam mengoordinasikan kebijakan mengatasi krisis global 2008 untuk mencegah berulangnya peristiwa depresi besar dekade 1930-an.
Melihat pencapaian ini, KTT Pittsburgh (September 2009) memutuskan memfungsikan G-20 sebagai pengganti keberadaan G-8 sebagai premier forum bagi kerja sama ekonomi internasional. Menghadapi krisis global, fokus awal G-20 adalah mendorong stimulus fiskal untuk memulihkan ekonomi dan memperkuat regulasi serta pengawasan perbankan dan sektor keuangan.
Selanjutnya G-20 mengarahkan fokusnya pada upaya mengatasi ketidakseimbangan finansial global dengan memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal antarnegara. Ketidakseimbangan finansial global terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan terhadap dollar AS sejak krisis Asia 1997-1998, ketika banyak negara berkembang memperkuat cadangan devisanya sebagai bentuk perlindungan terhadap tekanan-tekanan ekonomi eksternal.
Dalam sistem internasional ketika dollar AS menjadi cadangan devisa utama setiap negara, fundamen ekonomi AS yang kuat merupakan faktor yang tak tergantikan bagi terwujudnya stabilitas finansial global. Meletusnya ekonomi gelembung AS pada tahun 2007 menunjukkan fakta bahwa ekonomi AS yang berbasis kredit dan spekulasi sangatlah rapuh sebagai penyangga stabilitas ekonomi global.
Fluktuasi nilai dollar AS sempat memunculkan wacana yang dicuatkan oleh China dan Perancis untuk mengganti dollar AS dengan satu mata uang internasional yang dikeluarkan oleh semacam bank sentral dunia sebagai alat transaksi internasional.
Ide ini tidak terwujud, tapi reformasi finansial global mendapatkan momentumnya di sini. IMF diperkuat sebagai institusi pengawas dan pengelola sistem finansial internasional dengan menambahkan alokasi 250 miliar dollar AS bagi surat berharga yang dikeluarkannya (SDR). Dengan memperbesar alokasi SDR, para pemimpin G-20 telah berupaya menyediakan alternatif sistem cadangan devisa yang tak lagi terlalu terpaut pada dollar AS.
Para pemimpin G-20 juga memberi mandat kepada lembaga Financial Stability Board (FSB) untuk mengupayakan terwujudnya stabilitas finansial dengan memperkuat standar prudensial internasional, menganalisis kerawanan yang mengancam stabilitas finansial global, dan mendorong koordinasi antara otoritas-otoritas finansial nasional, institusi keuangan internasional, dan pihak-pihak terkait.
Dalam kaitan itu, Menteri Keuangan AS Tim Geithner menyatakan bahwa keberadaan FSB akan menjadi ”pilar keempat” dalam arsitektur tata kelola global, melengkapi keberadaan IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Merkantilisme baru
Berbeda dengan KTT-KTT G-20 periode 2008-2009 yang difokuskan untuk mengatasi krisis global, KTT G-20 di Seoul (dan Toronto, Juni lalu) berupaya mengarah pada langkah ke depan setelah krisis global berlalu. Dalam konteks ini bisa dipahami keinginan Presiden Korsel Lee Myung-bak untuk mengedepankan persoalan pembangunan dalam KTT Seoul (Kompas, 8/11).
Meski demikian, isu pembangunan—termasuk perubahan iklim—tampaknya kian tertelan isu ”perang kurs” antara AS dan China yang semakin memanas. AS dan negara-negara Eropa tidak puas dengan perkembangan nilai tukar yuan yang hanya menguat dua persen setelah Bank Sentral China mengumumkan untuk membuat nilai kurs yuan lebih fleksibel Juni lalu. Di sisi lain, langkah AS untuk terus mencetak dollar AS dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mendekati nol persen telah meningkatkan nilai matang uang lain terhadap dollar AS sehingga menurunkan daya saing ekspor sejumlah negara. Seruan-seruan devaluasi tidak dihiraukan dan malah dibalas AS dengan menambah mata uang dollar AS ke pasar sebesar 600 miliar dollar AS (Kompas, 9/11).
Penambahan kuantitas dollar AS yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan memompa permintaan domestik melalui penurunan nilai mata uang dollar AS tampaknya menjadi bagian dari respons pemerintah Obama terhadap tekanan publik AS yang tidak sabar dengan lambatnya pemulihan ekonomi.
Kebijakan moneter AS yang merugikan negara lain ini menjadi jurus ”merkantilisme baru” untuk mengurangi defisit perdagangan dan membuka peluang ekspor yang diharapkan berkorelasi langsung dengan pengurangan jumlah penganggur di dalam negeri. Ini menambah panjang daftar kebijakan ”merkantilisme” AS sebelumnya, seperti kebijakan ”Buy American Product” dan pembatasan impor melalui aneka standardisasi produk.
Di sisi lain, tak mudah bagi China untuk demikian saja menuruti tekanan AS dan Eropa untuk menaikkan nilai tukar yuan. Melejitnya harga ekspor produk China karena apresiasi yuan terhadap dollar AS bisa menimbulkan dampak berantai berupa matinya usaha berbasis buruh murah yang jadi keunggulan komparatif China selama ini, yang berimplikasi pada meluasnya pengangguran dan pada gilirannya akan mengancam stabilitas sosial dan politik China.
Perang kurs AS-China yang berkelanjutan secara potensial dapat mengakibatkan ”pemandulan” G-20 sebagai lembaga koordinasi kebijakan multilateral yang utama. Kesepakatan G-20 membangun kebersamaan dalam mewujudkan world public goods berkaitan dengan perubahan iklim, keamanan pangan, dan kesehatan global dapat tergantikan oleh pertikaian ekonomi antarnegara yang tiada habisnya.
Inilah tantangan terbesar bagi G-20 di era pascakrisis global agar keberadaannya tak terjerumus menjadi sebatas forum talk shop yang kian kehilangan fokus seperti yang terjadi pada banyak forum internasional lainnya.
*Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03083994/rekonsolidasi.ekonomi.global
Read More..
Ini KTT G-20 kelima sejak kelompok ini meningkatkan kerja samanya pada tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan sebagai respons terhadap krisis ekonomi global 2008. Para analis umumnya memberikan apresiasi besar terhadap peran G-20 dalam mengoordinasikan kebijakan mengatasi krisis global 2008 untuk mencegah berulangnya peristiwa depresi besar dekade 1930-an.
Melihat pencapaian ini, KTT Pittsburgh (September 2009) memutuskan memfungsikan G-20 sebagai pengganti keberadaan G-8 sebagai premier forum bagi kerja sama ekonomi internasional. Menghadapi krisis global, fokus awal G-20 adalah mendorong stimulus fiskal untuk memulihkan ekonomi dan memperkuat regulasi serta pengawasan perbankan dan sektor keuangan.
Selanjutnya G-20 mengarahkan fokusnya pada upaya mengatasi ketidakseimbangan finansial global dengan memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal antarnegara. Ketidakseimbangan finansial global terutama disebabkan oleh menguatnya permintaan terhadap dollar AS sejak krisis Asia 1997-1998, ketika banyak negara berkembang memperkuat cadangan devisanya sebagai bentuk perlindungan terhadap tekanan-tekanan ekonomi eksternal.
Dalam sistem internasional ketika dollar AS menjadi cadangan devisa utama setiap negara, fundamen ekonomi AS yang kuat merupakan faktor yang tak tergantikan bagi terwujudnya stabilitas finansial global. Meletusnya ekonomi gelembung AS pada tahun 2007 menunjukkan fakta bahwa ekonomi AS yang berbasis kredit dan spekulasi sangatlah rapuh sebagai penyangga stabilitas ekonomi global.
Fluktuasi nilai dollar AS sempat memunculkan wacana yang dicuatkan oleh China dan Perancis untuk mengganti dollar AS dengan satu mata uang internasional yang dikeluarkan oleh semacam bank sentral dunia sebagai alat transaksi internasional.
Ide ini tidak terwujud, tapi reformasi finansial global mendapatkan momentumnya di sini. IMF diperkuat sebagai institusi pengawas dan pengelola sistem finansial internasional dengan menambahkan alokasi 250 miliar dollar AS bagi surat berharga yang dikeluarkannya (SDR). Dengan memperbesar alokasi SDR, para pemimpin G-20 telah berupaya menyediakan alternatif sistem cadangan devisa yang tak lagi terlalu terpaut pada dollar AS.
Para pemimpin G-20 juga memberi mandat kepada lembaga Financial Stability Board (FSB) untuk mengupayakan terwujudnya stabilitas finansial dengan memperkuat standar prudensial internasional, menganalisis kerawanan yang mengancam stabilitas finansial global, dan mendorong koordinasi antara otoritas-otoritas finansial nasional, institusi keuangan internasional, dan pihak-pihak terkait.
Dalam kaitan itu, Menteri Keuangan AS Tim Geithner menyatakan bahwa keberadaan FSB akan menjadi ”pilar keempat” dalam arsitektur tata kelola global, melengkapi keberadaan IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Merkantilisme baru
Berbeda dengan KTT-KTT G-20 periode 2008-2009 yang difokuskan untuk mengatasi krisis global, KTT G-20 di Seoul (dan Toronto, Juni lalu) berupaya mengarah pada langkah ke depan setelah krisis global berlalu. Dalam konteks ini bisa dipahami keinginan Presiden Korsel Lee Myung-bak untuk mengedepankan persoalan pembangunan dalam KTT Seoul (Kompas, 8/11).
Meski demikian, isu pembangunan—termasuk perubahan iklim—tampaknya kian tertelan isu ”perang kurs” antara AS dan China yang semakin memanas. AS dan negara-negara Eropa tidak puas dengan perkembangan nilai tukar yuan yang hanya menguat dua persen setelah Bank Sentral China mengumumkan untuk membuat nilai kurs yuan lebih fleksibel Juni lalu. Di sisi lain, langkah AS untuk terus mencetak dollar AS dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mendekati nol persen telah meningkatkan nilai matang uang lain terhadap dollar AS sehingga menurunkan daya saing ekspor sejumlah negara. Seruan-seruan devaluasi tidak dihiraukan dan malah dibalas AS dengan menambah mata uang dollar AS ke pasar sebesar 600 miliar dollar AS (Kompas, 9/11).
Penambahan kuantitas dollar AS yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor dan memompa permintaan domestik melalui penurunan nilai mata uang dollar AS tampaknya menjadi bagian dari respons pemerintah Obama terhadap tekanan publik AS yang tidak sabar dengan lambatnya pemulihan ekonomi.
Kebijakan moneter AS yang merugikan negara lain ini menjadi jurus ”merkantilisme baru” untuk mengurangi defisit perdagangan dan membuka peluang ekspor yang diharapkan berkorelasi langsung dengan pengurangan jumlah penganggur di dalam negeri. Ini menambah panjang daftar kebijakan ”merkantilisme” AS sebelumnya, seperti kebijakan ”Buy American Product” dan pembatasan impor melalui aneka standardisasi produk.
Di sisi lain, tak mudah bagi China untuk demikian saja menuruti tekanan AS dan Eropa untuk menaikkan nilai tukar yuan. Melejitnya harga ekspor produk China karena apresiasi yuan terhadap dollar AS bisa menimbulkan dampak berantai berupa matinya usaha berbasis buruh murah yang jadi keunggulan komparatif China selama ini, yang berimplikasi pada meluasnya pengangguran dan pada gilirannya akan mengancam stabilitas sosial dan politik China.
Perang kurs AS-China yang berkelanjutan secara potensial dapat mengakibatkan ”pemandulan” G-20 sebagai lembaga koordinasi kebijakan multilateral yang utama. Kesepakatan G-20 membangun kebersamaan dalam mewujudkan world public goods berkaitan dengan perubahan iklim, keamanan pangan, dan kesehatan global dapat tergantikan oleh pertikaian ekonomi antarnegara yang tiada habisnya.
Inilah tantangan terbesar bagi G-20 di era pascakrisis global agar keberadaannya tak terjerumus menjadi sebatas forum talk shop yang kian kehilangan fokus seperti yang terjadi pada banyak forum internasional lainnya.
*Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03083994/rekonsolidasi.ekonomi.global
Read More..
Label:
analisa politik,
internasional,
Tajuk Kompas,
Wacana
Rabu, 10 November 2010
Menguak Kebenaran Baru Peran Perempuan Dalam Sejarah*
Banyak yang ’khilaf’ ketika seseorang membuat buku sejarah;mereka melupakan rakyat kecil dan perempuan.
Berbicara mengenai sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran politik perempuan. Diakui atau tidak, perempuan turut memberi warna dalam upaya mencapai (dan pasca) kemerdekaan. Sayangnya, meski andil perempuan cukup besar, tapi hingga kini masih banyak masyarakat yang belum tahu kebenaran akan hal itu. Nah, dalam konteks inliah, menjadi menarik membincangkan buku bertajuk Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45.
Membuka lembar demi lembar buku itu saya menemukan kebenaran baru. Kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah yang selama ini terdistorsi. Yakni peranan perempuan yang punya andil besar dalam usaha mewujudkan kemerdekaan, tapi apa mau dikata jasa perempuan itu tak banyak disebutkan dalam (literatur) sejarah nasional.
Seperti dijelaskan dalam buku itu, tanpa partisipasi aktif perempuan tidak akan mungkin terwujud kemerdekaan. Perempuan dalam praktiknya, mampu menciptakan dinamika politik yang berbuah manis. Kaum hawa yang tergabung dalam wadah, Pemuda Putri Indonesia (PPI), mampu membantu penduduk untuk mengungsi dan menyediakan makanan bagi pribumi.
Kesadaran kaum perempuan akan kemerdekaan bangsa Indonesia di zaman itu, bukanlah hal yang perlu diragukan lagi. Mereka berbondong-bondong terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajah baik perseorangan maupun perjuangan kelompok. Bersama rekan-rekannya, RA Kartini menanamkan kesadaran pendidikan pada penduduk jelata sebagai alat perjuangan untuk membuka kesadaran nasionalisme rakyat.
Selain itu peran strategis perempuan juga terlihat dalam komunitas yang terlahir pada masa itu. Demi menyokong perjuangan rekannya, mereka mendirikan dapur umum untuk memberikan makan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pemuda Putri Republik Indonesia). Selain misi di atas, organ ini juga menghidupkan pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah-daerah.
Di organ lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PRI (Pemuda Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah-rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah dan matang yang kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.
Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia/ petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.
Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.
Di tempat lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.
Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan tempat lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.
Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kadernya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).
Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api.
Dari sini, selayaknyalah penghargaan terhadap kaum perempuan perlu ditinggikan. Bukan justru mengebiri kebebasannya, misalnya, lewat Perda Keluar Malam yang membatasi hak-haknya untuk bekerja dan berkarya. Tapi jangan juga, penghargaan terhadap perempuan dengan mewajibkan perempuan berjilbab seperti di Padang dan kota lainnya.
Semua hal di atas hanya artifisial belaka, simbolis dan menelikung perjuangan atas kemerdekaan. Semua pembatasan di atas sama saja dengan politik penjajah yang membatasi kemerdekaan kaum perempuan. Jika hal itu terjadi, maka dialah penjajah kemerdekaan perempuan di masa kini. Pejuang ’45 menyebutnya dengan semut ireng (Belanda hitam).
Akhirnya, artikel ini sebagai arena perjuangan kaum perempuan yang tidak (boleh) berhenti karena masih adanya perampasan terhadap kemerdekaan perempuan. Hak atas kemerdekaan adalah hak semua warga negara termasuk hak terhadap perempuan Indonesia. Kalau sudah seperti itu, dengan demikian sejarah tentang perempuan menjadi tak lagi tereduksi, tapi menuju objektivitas.
*Penulis: Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS
http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=139%3Amenguak-kebenaran-baru-peran-perempuan-dalam-sejarah-&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111
Read More..
Berbicara mengenai sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran politik perempuan. Diakui atau tidak, perempuan turut memberi warna dalam upaya mencapai (dan pasca) kemerdekaan. Sayangnya, meski andil perempuan cukup besar, tapi hingga kini masih banyak masyarakat yang belum tahu kebenaran akan hal itu. Nah, dalam konteks inliah, menjadi menarik membincangkan buku bertajuk Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45.
Membuka lembar demi lembar buku itu saya menemukan kebenaran baru. Kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah yang selama ini terdistorsi. Yakni peranan perempuan yang punya andil besar dalam usaha mewujudkan kemerdekaan, tapi apa mau dikata jasa perempuan itu tak banyak disebutkan dalam (literatur) sejarah nasional.
Seperti dijelaskan dalam buku itu, tanpa partisipasi aktif perempuan tidak akan mungkin terwujud kemerdekaan. Perempuan dalam praktiknya, mampu menciptakan dinamika politik yang berbuah manis. Kaum hawa yang tergabung dalam wadah, Pemuda Putri Indonesia (PPI), mampu membantu penduduk untuk mengungsi dan menyediakan makanan bagi pribumi.
Kesadaran kaum perempuan akan kemerdekaan bangsa Indonesia di zaman itu, bukanlah hal yang perlu diragukan lagi. Mereka berbondong-bondong terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajah baik perseorangan maupun perjuangan kelompok. Bersama rekan-rekannya, RA Kartini menanamkan kesadaran pendidikan pada penduduk jelata sebagai alat perjuangan untuk membuka kesadaran nasionalisme rakyat.
Selain itu peran strategis perempuan juga terlihat dalam komunitas yang terlahir pada masa itu. Demi menyokong perjuangan rekannya, mereka mendirikan dapur umum untuk memberikan makan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pemuda Putri Republik Indonesia). Selain misi di atas, organ ini juga menghidupkan pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah-daerah.
Di organ lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PRI (Pemuda Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah-rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah dan matang yang kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.
Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia/ petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.
Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.
Di tempat lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.
Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan tempat lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.
Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kadernya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).
Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api.
Dari sini, selayaknyalah penghargaan terhadap kaum perempuan perlu ditinggikan. Bukan justru mengebiri kebebasannya, misalnya, lewat Perda Keluar Malam yang membatasi hak-haknya untuk bekerja dan berkarya. Tapi jangan juga, penghargaan terhadap perempuan dengan mewajibkan perempuan berjilbab seperti di Padang dan kota lainnya.
Semua hal di atas hanya artifisial belaka, simbolis dan menelikung perjuangan atas kemerdekaan. Semua pembatasan di atas sama saja dengan politik penjajah yang membatasi kemerdekaan kaum perempuan. Jika hal itu terjadi, maka dialah penjajah kemerdekaan perempuan di masa kini. Pejuang ’45 menyebutnya dengan semut ireng (Belanda hitam).
Akhirnya, artikel ini sebagai arena perjuangan kaum perempuan yang tidak (boleh) berhenti karena masih adanya perampasan terhadap kemerdekaan perempuan. Hak atas kemerdekaan adalah hak semua warga negara termasuk hak terhadap perempuan Indonesia. Kalau sudah seperti itu, dengan demikian sejarah tentang perempuan menjadi tak lagi tereduksi, tapi menuju objektivitas.
*Penulis: Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS
http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=139%3Amenguak-kebenaran-baru-peran-perempuan-dalam-sejarah-&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111
Read More..
Label:
analisa politik,
Demokrasi,
Pangarusutamaan Gender,
Wacana
Om Bama, Pak Beye, dan Pemilih Mereka*
Dua tahun lalu Om Bama adalah tokoh yang menggemparkan dunia. Ia orang pertama kulit hitam yang berhasil menjadi presiden negara adikuasa, memiliki kualitas teknosof, terhormat, serta bijak bestari.
Harapan rakyat Amerika Serikat membubung tinggi. Dia diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka ekonomi negaranya dan mengembalikan pamor AS di mata masyarakat internasional. Namun, kini rakyat AS marah (”Angry America”, The Economist, 30 Oktober 2010).
Pemilih kecewa karena Om Bama dianggap gagal mengatasi problem pengangguran secara substansial. Reformasi finansial belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Birokrasi boros, kemampuan serta keterampilan Om Bama sebagai presiden terjebak perilaku retorik. Bahkan, keberhasilan Om Bama mengegolkan Rancangan Undang-undang tentang Asuransi Kesehatan, yang diperjuangkan lintas generasi, mulai dari Teddy Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, Lyndon B Johnson, hingga almarhum Ted Kennedy, dianggap terlalu besar kemungkinan gagal.
Namun, kemudaratan bukan semata-mata kesalahan Om Bama. Ia mewarisi banyak pekerjaan rumah pemerintah sebelumnya, seperti perang Irak dan Afganistan yang belum tuntas, perbankan yang harus diselamatkan karena ekonomi yang stagnan, serta pengangguran. Demikian juga persoalan yang tidak pernah diantisipasi, seperti tumpahan minyak mentah milik perusahaan minyak BP di Teluk Meksiko.
Kekecewaan pemilih dengan sigap melucuti dominasi Partai Demokrat. Pemilu sela yang adalah koreksi rakyat terhadap kebijakan Om Bama menghasilkan Partai Republik memperoleh 234 dari 435 kursi (54 persen) DPR. Sebelumnya Partai Demokrat menguasai 255 kursi DPR (59 persen). Sementara di Senat, meski turun, Partai Demokrat masih menang tipis, 51 kursi (sebelumnya 57 kursi) dan Partai Republik memiliki 46 kursi, sebelumnya 41 kursi.
Hasil itu sesuai dengan prediksi empat bulan lalu, antara lain dilakukan oleh Polster dari Partai Demokrat, Peter Hart, yang disebutkan sebagai gelombang pemilu yang akan menghanyutkan kemenangan Partai Demokrat. Sebab itu, Om Bama harus mengubah strategi dan pendekatan dua tahun sisa pemerintahannya. Harapan masih besar mengingat publik juga optimistis, karena Amerika Serikat tetap wilayah ekonomi yang paling inovatif di dunia, tenaga kerja yang selalu siap bekerja keras dan fleksibel, tempat investasi yang menjanjikan, serta mempunyai seorang presiden yang berbakat.
Sementara itu, tuan rumah, Pak Beye, juga didukung Partai Demokrat versi Indonesia. Dukungan politik Om Bama di parlemen bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatan politik Pak Beye yang mendominasi tiga perempat kekuatan di Parlemen. Namun, Pak Beye belum berhasil mewujudkan janji debottlenekcing, yakni mengurai kekusutan struktur kekuasaan yang tidak jelas, jalur komando pemerintahan yang ruwet, serta rimba raya hukum yang tumpang tindih secara vertikal dan horizontal.
Selain itu, berbagai masalah akut belum juga dapat diatasi: politik uang, politisasi birokrasi, korupsi politik, dan sebagainya. Persoalan menjadi lebih parah karena sekitar Pak Beye bertaburan politisi yang kebal jeritan rakyat. Kritik tajam, satire, dan sindiran sinikal masyarakat, tidak mereka peka terhadap aspirasi rakyat. Dalam pasemon dan legenda yang masih hidup di lereng Gunung Merapi, asal-muasal perilaku bebal disebabkan kebiasaan mereka sejak kecil mengonsumsi rebung (bambu muda). Setelah dewasa, sosoknya seperti anyaman bambu (dalam bahasa Jawa disebut gedhek) sehingga orang yang dogol dan tidak punya malu disebut rai gedhek.
Bahkan, dalam suasana yang banjir air mata dan derita di pengungsian, mereka masih tega mengibarkan spanduk partai politik. Nafsu ketamakan kekuasaan tega memanfaatkan penderitaan rakyat dengan kamuflase bantuan ala kadarnya. Jauh berbeda dengan masyarakat biasa yang tulus dan ikhlas berbagi tanpa pamrih, kecuali berniat meringankan penderitaan sesama. Dalam tataran masyarakat, kemurkaan Merapi justru membangkitkan solidaritas sosial dan memperkuat modal sosial bangsa. Semoga kekayaan spiritual bangsa tidak lekang tergerus oleh perilaku oportunistik dari elite politik.
Kalau di Indonesia mempunyai tradisi pemilu sela, rakyat dapat melakukan koreksi strategi dan pendekatan Pak Beye dalam mengelola pemerintahan. Namun, karena sistem yang berbeda, rakyat harus sabar menunggu lima tahun, meskipun tingkat kegerahan masyarakat sudah hampir melampaui batas kesabaran rakyat. Mungkin kemurkaan alam dapat mewakili kemarahan rakyat yang masih tetap bersabar dipimpin oleh koalisi yang kolusif. Akibatnya, collusive democracy (The Economist, 23 Oktober, 2010), hanya menjadi medan saling mengooptasi, mengamankan, dan sekaligus menyandera kepentingan masing-masing. Kekuatan dahsyat yang seharusnya dapat melakukan terobosan yang sangat diperlukan dalam negara yang institusinya masih lemah menjadi mubazir.
Pertemuan Om Bama dan Pak Beye mungkin dapat dimanfaatkan untuk saling menukar pengalaman. Om Bama dapat memberikan nasihat bagaimana memanfaatkan dukungan yang terbatas di parlemen untuk melakukan terobosan politik. Sementara itu, Pak Beye berbagi keprihatinan bagaimana koalisi yang besar tetapi tersendat-sendat dalam menjalankan pemerintahan.
*J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/02570189/om.bama.pak.beye.dan.pemilih.mereka
Read More..
Harapan rakyat Amerika Serikat membubung tinggi. Dia diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka ekonomi negaranya dan mengembalikan pamor AS di mata masyarakat internasional. Namun, kini rakyat AS marah (”Angry America”, The Economist, 30 Oktober 2010).
Pemilih kecewa karena Om Bama dianggap gagal mengatasi problem pengangguran secara substansial. Reformasi finansial belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Birokrasi boros, kemampuan serta keterampilan Om Bama sebagai presiden terjebak perilaku retorik. Bahkan, keberhasilan Om Bama mengegolkan Rancangan Undang-undang tentang Asuransi Kesehatan, yang diperjuangkan lintas generasi, mulai dari Teddy Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, Lyndon B Johnson, hingga almarhum Ted Kennedy, dianggap terlalu besar kemungkinan gagal.
Namun, kemudaratan bukan semata-mata kesalahan Om Bama. Ia mewarisi banyak pekerjaan rumah pemerintah sebelumnya, seperti perang Irak dan Afganistan yang belum tuntas, perbankan yang harus diselamatkan karena ekonomi yang stagnan, serta pengangguran. Demikian juga persoalan yang tidak pernah diantisipasi, seperti tumpahan minyak mentah milik perusahaan minyak BP di Teluk Meksiko.
Kekecewaan pemilih dengan sigap melucuti dominasi Partai Demokrat. Pemilu sela yang adalah koreksi rakyat terhadap kebijakan Om Bama menghasilkan Partai Republik memperoleh 234 dari 435 kursi (54 persen) DPR. Sebelumnya Partai Demokrat menguasai 255 kursi DPR (59 persen). Sementara di Senat, meski turun, Partai Demokrat masih menang tipis, 51 kursi (sebelumnya 57 kursi) dan Partai Republik memiliki 46 kursi, sebelumnya 41 kursi.
Hasil itu sesuai dengan prediksi empat bulan lalu, antara lain dilakukan oleh Polster dari Partai Demokrat, Peter Hart, yang disebutkan sebagai gelombang pemilu yang akan menghanyutkan kemenangan Partai Demokrat. Sebab itu, Om Bama harus mengubah strategi dan pendekatan dua tahun sisa pemerintahannya. Harapan masih besar mengingat publik juga optimistis, karena Amerika Serikat tetap wilayah ekonomi yang paling inovatif di dunia, tenaga kerja yang selalu siap bekerja keras dan fleksibel, tempat investasi yang menjanjikan, serta mempunyai seorang presiden yang berbakat.
Sementara itu, tuan rumah, Pak Beye, juga didukung Partai Demokrat versi Indonesia. Dukungan politik Om Bama di parlemen bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatan politik Pak Beye yang mendominasi tiga perempat kekuatan di Parlemen. Namun, Pak Beye belum berhasil mewujudkan janji debottlenekcing, yakni mengurai kekusutan struktur kekuasaan yang tidak jelas, jalur komando pemerintahan yang ruwet, serta rimba raya hukum yang tumpang tindih secara vertikal dan horizontal.
Selain itu, berbagai masalah akut belum juga dapat diatasi: politik uang, politisasi birokrasi, korupsi politik, dan sebagainya. Persoalan menjadi lebih parah karena sekitar Pak Beye bertaburan politisi yang kebal jeritan rakyat. Kritik tajam, satire, dan sindiran sinikal masyarakat, tidak mereka peka terhadap aspirasi rakyat. Dalam pasemon dan legenda yang masih hidup di lereng Gunung Merapi, asal-muasal perilaku bebal disebabkan kebiasaan mereka sejak kecil mengonsumsi rebung (bambu muda). Setelah dewasa, sosoknya seperti anyaman bambu (dalam bahasa Jawa disebut gedhek) sehingga orang yang dogol dan tidak punya malu disebut rai gedhek.
Bahkan, dalam suasana yang banjir air mata dan derita di pengungsian, mereka masih tega mengibarkan spanduk partai politik. Nafsu ketamakan kekuasaan tega memanfaatkan penderitaan rakyat dengan kamuflase bantuan ala kadarnya. Jauh berbeda dengan masyarakat biasa yang tulus dan ikhlas berbagi tanpa pamrih, kecuali berniat meringankan penderitaan sesama. Dalam tataran masyarakat, kemurkaan Merapi justru membangkitkan solidaritas sosial dan memperkuat modal sosial bangsa. Semoga kekayaan spiritual bangsa tidak lekang tergerus oleh perilaku oportunistik dari elite politik.
Kalau di Indonesia mempunyai tradisi pemilu sela, rakyat dapat melakukan koreksi strategi dan pendekatan Pak Beye dalam mengelola pemerintahan. Namun, karena sistem yang berbeda, rakyat harus sabar menunggu lima tahun, meskipun tingkat kegerahan masyarakat sudah hampir melampaui batas kesabaran rakyat. Mungkin kemurkaan alam dapat mewakili kemarahan rakyat yang masih tetap bersabar dipimpin oleh koalisi yang kolusif. Akibatnya, collusive democracy (The Economist, 23 Oktober, 2010), hanya menjadi medan saling mengooptasi, mengamankan, dan sekaligus menyandera kepentingan masing-masing. Kekuatan dahsyat yang seharusnya dapat melakukan terobosan yang sangat diperlukan dalam negara yang institusinya masih lemah menjadi mubazir.
Pertemuan Om Bama dan Pak Beye mungkin dapat dimanfaatkan untuk saling menukar pengalaman. Om Bama dapat memberikan nasihat bagaimana memanfaatkan dukungan yang terbatas di parlemen untuk melakukan terobosan politik. Sementara itu, Pak Beye berbagi keprihatinan bagaimana koalisi yang besar tetapi tersendat-sendat dalam menjalankan pemerintahan.
*J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/02570189/om.bama.pak.beye.dan.pemilih.mereka
Read More..
Kamis, 28 Oktober 2010
DPR Pemburu Etika*
Di tengah gencarnya protes publik terhadap kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk belajar etika demokrasi ke Yunani, 23-26 Oktober, terngiang juga kritik Gus Dur yang menyamakan DPR dengan TK, taman kanak-kanak.
Dari sisi mana pun orang menilai kunjungan itu tak bermanfaat. Yunani kini merupakan negara yang nyaris gagal di Eropa. Budaya korupsi dan upeti telah lama menyandera negara itu hingga tak dapat bangkit sebagai bangsa yang patut dicontoh.
Memang pada abad-abad sebelum Masehi bumi Yunani telah melahirkan nama-nama besar: Protagoras (490-420 SM), Hippokrates (460-370 SM), Sokrates (469-399 SM), Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Epikurus (341-270 SM), dan masih ada yang lain.
Namun, di abad modern hampir tak ada yang layak dipelajari di sana. Jika publik menilai kunjungan itu sia-sia, memang demikianlah adanya, kecuali jika anggota DPR ingin membandingkan teknik korupsi dan manipulasi rencana pembuatan anggaran belanja di Indonesia dan di Yunani. Itu baru klop! Kedua negara sama-sama rapuh dalam hal etika politik.
Di antara nama-nama di atas, adalah Aristoteles yang banyak bicara tentang etika dan pemikiran politik berdasarkan prinsip teleologis: ada tujuan yang hendak dicapai dalam bernegara. Namun, bagi Aristoteles, sistem kerajaan adalah bentuk pemerintahan terbaik, bukan demokrasi. Apakah anggota DPR itu ingin mengubah demokrasi menjadi kerajaan?
Jika di Athena kuno ada demokrasi, itu hanya untuk segelintir warga negara yang berstatus merdeka dan kaya. Selain itu budak. Tanpa sistem perbudakan sebagai penyanggah kekuasaan, tidak akan pernah ada demokrasi di Athena. Rakyat Indonesia adalah manusia merdeka, bukan budak yang dapat diperlakukan semau gue. Mohon DPR mempertimbangkan fakta sosiologis ini dengan sungguh-sungguh!
Rakyat marah? Sangat masuk akal karena perilaku sebagian anggota DPR memang tidak senonoh dan memuakkan. Saya tidak tahu virus macam apa yang bekerja dalam otak mereka yang membuat publik terluka.
Buka Google saja
Jika hanya urusan seperti di atas itu yang ingin dipelajari, mengapa harus pergi ke Yunani dengan memboroskan uang negara? Buka saja internet dan tanya Mbah Google, semua jawaban akan ke luar dalam hitungan detik, hampir tanpa ongkos. Namun, jika yang ingin dilihat adalah bumi yang pernah melahirkan pemikir-pemikir besar, apa urgensinya bagi Indonesia yang kini sedang sarat dengan berbagai masalah yang belum terpecahkan?
Jawabannya adalah bahwa sebagian anggota DPR kita memang telah kehilangan kepekaan tentang tugas mereka di Senayan. Bukan karena mereka murid TK, tetapi jangkauan visinya tidak melebihi halaman rumah dan tuturan atapnya.
Sistem demokrasi Indonesia yang berlaku sekarang telah melahirkan manusia-manusia pendek akal dan sangat pragmatis. Semua partai memiliki manusia-manusia tipe ini, sering menjual kepalsuan meraih tujuan-tujuan rendah. Manusia tipe inilah rupanya yang ingin memburu etika ke Yunani.
Dalam artikel ”Tersesat di Muenchen” (Kompas, 14 Agustus 2010, saya menyebut seorang sopir Yunani yang mengantar saya ke hotel di saat senja. Ketika saya menyebut nama-nama besar di atas, sopir ini dengan santai mengatakan, ”Dulu memang hebat, sekarang rakyat Yunani itu bodoh.”
Ternyata sopir yang mencari nafkah di Muenchen ini sudah tidak lagi bangga dengan negerinya, sementara anggota DPR kita masih bersikukuh bahwa kunjungan ke Yunani mempunyai manfaat yang besar. Lain sopir, lain pula anggota DPR kita.
Patah harap
Ada apa sebenarnya di balik kemarahan publik ini? Bukan karena mereka tak percaya kepada sistem demokrasi lalu ingin kembali ke sistem politik otoritarian yang menggusur kebebasan. Sama sekali bukan! Mereka marah dan hampir patah harap karena elite bangsa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) berlindung di balik selimut demokrasi menyalahgunakan sistem ini demi sesuatu yang mengingkari tujuan demokrasi: keadilan dan kesejahteraan umum.
Inilah inti masalah yang sangat serius, tetapi sering dipandang enteng para elite yang tak sadar diri itu. Rakyat sudah lelah dengan pertunjukan berbagai kepalsuan atas nama demokrasi. Sebagai warga tua, saya sangat gerah menonton perilaku politik yang tunamoral itu. Agama mengajarkan agar saya jangan putus asa sebab saatnya pasti akan datang ketika elite bangsa ini melepaskan segala atribut kepalsuan dan kembali kepada otentisitas manusia Indonesia yang bersikap adil dan beradab, sebagaimana diminta oleh sila kedua Pancasila.
Lawan adil adalah zalim, lawan beradab adalah biadab. Kezaliman dan kebiadaban adalah di antara musuh utama yang harus dihalau dari bumi Indonesia merdeka.
*Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/27/04340598/dpr.pemburu.etika
Read More..
Dari sisi mana pun orang menilai kunjungan itu tak bermanfaat. Yunani kini merupakan negara yang nyaris gagal di Eropa. Budaya korupsi dan upeti telah lama menyandera negara itu hingga tak dapat bangkit sebagai bangsa yang patut dicontoh.
Memang pada abad-abad sebelum Masehi bumi Yunani telah melahirkan nama-nama besar: Protagoras (490-420 SM), Hippokrates (460-370 SM), Sokrates (469-399 SM), Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Epikurus (341-270 SM), dan masih ada yang lain.
Namun, di abad modern hampir tak ada yang layak dipelajari di sana. Jika publik menilai kunjungan itu sia-sia, memang demikianlah adanya, kecuali jika anggota DPR ingin membandingkan teknik korupsi dan manipulasi rencana pembuatan anggaran belanja di Indonesia dan di Yunani. Itu baru klop! Kedua negara sama-sama rapuh dalam hal etika politik.
Di antara nama-nama di atas, adalah Aristoteles yang banyak bicara tentang etika dan pemikiran politik berdasarkan prinsip teleologis: ada tujuan yang hendak dicapai dalam bernegara. Namun, bagi Aristoteles, sistem kerajaan adalah bentuk pemerintahan terbaik, bukan demokrasi. Apakah anggota DPR itu ingin mengubah demokrasi menjadi kerajaan?
Jika di Athena kuno ada demokrasi, itu hanya untuk segelintir warga negara yang berstatus merdeka dan kaya. Selain itu budak. Tanpa sistem perbudakan sebagai penyanggah kekuasaan, tidak akan pernah ada demokrasi di Athena. Rakyat Indonesia adalah manusia merdeka, bukan budak yang dapat diperlakukan semau gue. Mohon DPR mempertimbangkan fakta sosiologis ini dengan sungguh-sungguh!
Rakyat marah? Sangat masuk akal karena perilaku sebagian anggota DPR memang tidak senonoh dan memuakkan. Saya tidak tahu virus macam apa yang bekerja dalam otak mereka yang membuat publik terluka.
Buka Google saja
Jika hanya urusan seperti di atas itu yang ingin dipelajari, mengapa harus pergi ke Yunani dengan memboroskan uang negara? Buka saja internet dan tanya Mbah Google, semua jawaban akan ke luar dalam hitungan detik, hampir tanpa ongkos. Namun, jika yang ingin dilihat adalah bumi yang pernah melahirkan pemikir-pemikir besar, apa urgensinya bagi Indonesia yang kini sedang sarat dengan berbagai masalah yang belum terpecahkan?
Jawabannya adalah bahwa sebagian anggota DPR kita memang telah kehilangan kepekaan tentang tugas mereka di Senayan. Bukan karena mereka murid TK, tetapi jangkauan visinya tidak melebihi halaman rumah dan tuturan atapnya.
Sistem demokrasi Indonesia yang berlaku sekarang telah melahirkan manusia-manusia pendek akal dan sangat pragmatis. Semua partai memiliki manusia-manusia tipe ini, sering menjual kepalsuan meraih tujuan-tujuan rendah. Manusia tipe inilah rupanya yang ingin memburu etika ke Yunani.
Dalam artikel ”Tersesat di Muenchen” (Kompas, 14 Agustus 2010, saya menyebut seorang sopir Yunani yang mengantar saya ke hotel di saat senja. Ketika saya menyebut nama-nama besar di atas, sopir ini dengan santai mengatakan, ”Dulu memang hebat, sekarang rakyat Yunani itu bodoh.”
Ternyata sopir yang mencari nafkah di Muenchen ini sudah tidak lagi bangga dengan negerinya, sementara anggota DPR kita masih bersikukuh bahwa kunjungan ke Yunani mempunyai manfaat yang besar. Lain sopir, lain pula anggota DPR kita.
Patah harap
Ada apa sebenarnya di balik kemarahan publik ini? Bukan karena mereka tak percaya kepada sistem demokrasi lalu ingin kembali ke sistem politik otoritarian yang menggusur kebebasan. Sama sekali bukan! Mereka marah dan hampir patah harap karena elite bangsa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) berlindung di balik selimut demokrasi menyalahgunakan sistem ini demi sesuatu yang mengingkari tujuan demokrasi: keadilan dan kesejahteraan umum.
Inilah inti masalah yang sangat serius, tetapi sering dipandang enteng para elite yang tak sadar diri itu. Rakyat sudah lelah dengan pertunjukan berbagai kepalsuan atas nama demokrasi. Sebagai warga tua, saya sangat gerah menonton perilaku politik yang tunamoral itu. Agama mengajarkan agar saya jangan putus asa sebab saatnya pasti akan datang ketika elite bangsa ini melepaskan segala atribut kepalsuan dan kembali kepada otentisitas manusia Indonesia yang bersikap adil dan beradab, sebagaimana diminta oleh sila kedua Pancasila.
Lawan adil adalah zalim, lawan beradab adalah biadab. Kezaliman dan kebiadaban adalah di antara musuh utama yang harus dihalau dari bumi Indonesia merdeka.
*Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/27/04340598/dpr.pemburu.etika
Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)