“Harmony bukanlah sesuatu yang turun dari langit, ibarat sebuah lukisan, setiap guratan akan sangat menentukan harmonisasi karya. Begitupun hidup, harmony adalah sesuatu yang harus diperjuangkan disetiap pijakan langkah”. (Piyu)
Sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan cinta damai, setidaknya itulah dogma yang mengendap lekat dibenak kita sebagaimana kita dijejalinya semenjak SD. komitmen cinta damai ini secara formal diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 dalam frasa ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…’. Dalam perspektif Havel, jika kita sungguh mendambakan perdamaian semesta bumi, maka terlebih dahulu harus kita upayakan perdamaian ditanah nusantara ini sebagaimana frasa reflektifnya, “tak ada perdamaian eksternal tanpa didasari perdamaian internal”. Namun harapan havel itu agaknya masih jauh menggantung tinggi di langit mimpi. Betapa tidak, alih-alih perdamaian, rentetan kekerasan justru bertubi-tubi mengoyak anyaman ke-bhineka-an, mengebiri cita-cita luhur para pendiri bangsa, dan menelantarkan amanah konstitusi.
Miris memang melihat aksi kekerasan dalam berbagai bentuknya, dari tawuran pelajar, rusuh demo mahasiswa, konflik etnik, sampai kekerasan dengan balutan agama silih berganti melanda negeri ini. Terkait kekerasan dengan sentiment agama ini, pada tahun 2009 SETARA Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Ironisnya dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission).
Tragika realitas actual ini menggetar jantung kesadaaran kita, kira-kira apa yang sebenarnya sedang melanda negeri ini?kenapa begitu mudah aksi kekerasan berkobar di tanah merah putih ini?adakah yang salah dengan cara Negara dalam manajemen kemultiragaman budaya ini? Kenyataan pahit ini menyudutkan kita pada preseden bahwa maraknya kekerasan belakangan ini terkait erat dengan struktur dan system politik bernegara dan berbangsa kita dewasa ini. Kemulti-ragaman bangsa Indonesia yang senantiasa memang membawa konsekuensi ancaman persinggungan bahkan benturan-benturan perbedaan dari segenap anasir-anasirnya. Namun hal itu bisa disiasati jika Negara sigap dan bijak dalam mengelola potensi-potensi konflik yang muncul sehingga tak perlu terjadi konflik yang berdarah-darah.
Dalam masyarakat multikultur semacam Indonesia dibutuhkan strategi tepat dan bijak dalam manajemen sumber-sumber ekonomi,social, dan budaya untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmony. Dalam hal ini, Negara sebagai otoritas pemegang kekuasaan dituntut untuk bisa menggunakan secara bijak hak monopoli represifnya untuk mengelola anasir-anasir ini menjadi semen perekat rajutan unsure masyarakat yang saling berbeda dalam anyaman yang harmoni. Namun realita dilapangan menunjukkan Negara seringkali gagap dalam mengelola potensi konflik yang terkandung dalam masyarakat multikultur ini. Akibatnya, riak-riak konflik komunal yang muncul begitu cepat dan mudahnya mengalami eskalasi hingga berdampak luas. Data SETARA Institute membuktikan, Negara bukan hanya tak mampu mengelola potensi konflik dengan bijak, namun bahkan Negara seringkali ikut terlibat dalam aksi kekerasan yang tak perlu.
Sabtu, 19 Februari 2011
Kekerasan dan Kegamangan Politik Multikultur Negara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar