Dua tahun lalu Om Bama adalah tokoh yang menggemparkan dunia. Ia orang pertama kulit hitam yang berhasil menjadi presiden negara adikuasa, memiliki kualitas teknosof, terhormat, serta bijak bestari.
Harapan rakyat Amerika Serikat membubung tinggi. Dia diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka ekonomi negaranya dan mengembalikan pamor AS di mata masyarakat internasional. Namun, kini rakyat AS marah (”Angry America”, The Economist, 30 Oktober 2010).
Pemilih kecewa karena Om Bama dianggap gagal mengatasi problem pengangguran secara substansial. Reformasi finansial belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Birokrasi boros, kemampuan serta keterampilan Om Bama sebagai presiden terjebak perilaku retorik. Bahkan, keberhasilan Om Bama mengegolkan Rancangan Undang-undang tentang Asuransi Kesehatan, yang diperjuangkan lintas generasi, mulai dari Teddy Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, Lyndon B Johnson, hingga almarhum Ted Kennedy, dianggap terlalu besar kemungkinan gagal.
Namun, kemudaratan bukan semata-mata kesalahan Om Bama. Ia mewarisi banyak pekerjaan rumah pemerintah sebelumnya, seperti perang Irak dan Afganistan yang belum tuntas, perbankan yang harus diselamatkan karena ekonomi yang stagnan, serta pengangguran. Demikian juga persoalan yang tidak pernah diantisipasi, seperti tumpahan minyak mentah milik perusahaan minyak BP di Teluk Meksiko.
Kekecewaan pemilih dengan sigap melucuti dominasi Partai Demokrat. Pemilu sela yang adalah koreksi rakyat terhadap kebijakan Om Bama menghasilkan Partai Republik memperoleh 234 dari 435 kursi (54 persen) DPR. Sebelumnya Partai Demokrat menguasai 255 kursi DPR (59 persen). Sementara di Senat, meski turun, Partai Demokrat masih menang tipis, 51 kursi (sebelumnya 57 kursi) dan Partai Republik memiliki 46 kursi, sebelumnya 41 kursi.
Hasil itu sesuai dengan prediksi empat bulan lalu, antara lain dilakukan oleh Polster dari Partai Demokrat, Peter Hart, yang disebutkan sebagai gelombang pemilu yang akan menghanyutkan kemenangan Partai Demokrat. Sebab itu, Om Bama harus mengubah strategi dan pendekatan dua tahun sisa pemerintahannya. Harapan masih besar mengingat publik juga optimistis, karena Amerika Serikat tetap wilayah ekonomi yang paling inovatif di dunia, tenaga kerja yang selalu siap bekerja keras dan fleksibel, tempat investasi yang menjanjikan, serta mempunyai seorang presiden yang berbakat.
Sementara itu, tuan rumah, Pak Beye, juga didukung Partai Demokrat versi Indonesia. Dukungan politik Om Bama di parlemen bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatan politik Pak Beye yang mendominasi tiga perempat kekuatan di Parlemen. Namun, Pak Beye belum berhasil mewujudkan janji debottlenekcing, yakni mengurai kekusutan struktur kekuasaan yang tidak jelas, jalur komando pemerintahan yang ruwet, serta rimba raya hukum yang tumpang tindih secara vertikal dan horizontal.
Selain itu, berbagai masalah akut belum juga dapat diatasi: politik uang, politisasi birokrasi, korupsi politik, dan sebagainya. Persoalan menjadi lebih parah karena sekitar Pak Beye bertaburan politisi yang kebal jeritan rakyat. Kritik tajam, satire, dan sindiran sinikal masyarakat, tidak mereka peka terhadap aspirasi rakyat. Dalam pasemon dan legenda yang masih hidup di lereng Gunung Merapi, asal-muasal perilaku bebal disebabkan kebiasaan mereka sejak kecil mengonsumsi rebung (bambu muda). Setelah dewasa, sosoknya seperti anyaman bambu (dalam bahasa Jawa disebut gedhek) sehingga orang yang dogol dan tidak punya malu disebut rai gedhek.
Bahkan, dalam suasana yang banjir air mata dan derita di pengungsian, mereka masih tega mengibarkan spanduk partai politik. Nafsu ketamakan kekuasaan tega memanfaatkan penderitaan rakyat dengan kamuflase bantuan ala kadarnya. Jauh berbeda dengan masyarakat biasa yang tulus dan ikhlas berbagi tanpa pamrih, kecuali berniat meringankan penderitaan sesama. Dalam tataran masyarakat, kemurkaan Merapi justru membangkitkan solidaritas sosial dan memperkuat modal sosial bangsa. Semoga kekayaan spiritual bangsa tidak lekang tergerus oleh perilaku oportunistik dari elite politik.
Kalau di Indonesia mempunyai tradisi pemilu sela, rakyat dapat melakukan koreksi strategi dan pendekatan Pak Beye dalam mengelola pemerintahan. Namun, karena sistem yang berbeda, rakyat harus sabar menunggu lima tahun, meskipun tingkat kegerahan masyarakat sudah hampir melampaui batas kesabaran rakyat. Mungkin kemurkaan alam dapat mewakili kemarahan rakyat yang masih tetap bersabar dipimpin oleh koalisi yang kolusif. Akibatnya, collusive democracy (The Economist, 23 Oktober, 2010), hanya menjadi medan saling mengooptasi, mengamankan, dan sekaligus menyandera kepentingan masing-masing. Kekuatan dahsyat yang seharusnya dapat melakukan terobosan yang sangat diperlukan dalam negara yang institusinya masih lemah menjadi mubazir.
Pertemuan Om Bama dan Pak Beye mungkin dapat dimanfaatkan untuk saling menukar pengalaman. Om Bama dapat memberikan nasihat bagaimana memanfaatkan dukungan yang terbatas di parlemen untuk melakukan terobosan politik. Sementara itu, Pak Beye berbagi keprihatinan bagaimana koalisi yang besar tetapi tersendat-sendat dalam menjalankan pemerintahan.
*J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/02570189/om.bama.pak.beye.dan.pemilih.mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar