Banyak yang ’khilaf’ ketika seseorang membuat buku sejarah;mereka melupakan rakyat kecil dan perempuan.
Berbicara mengenai sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran politik perempuan. Diakui atau tidak, perempuan turut memberi warna dalam upaya mencapai (dan pasca) kemerdekaan. Sayangnya, meski andil perempuan cukup besar, tapi hingga kini masih banyak masyarakat yang belum tahu kebenaran akan hal itu. Nah, dalam konteks inliah, menjadi menarik membincangkan buku bertajuk Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45.
Membuka lembar demi lembar buku itu saya menemukan kebenaran baru. Kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah yang selama ini terdistorsi. Yakni peranan perempuan yang punya andil besar dalam usaha mewujudkan kemerdekaan, tapi apa mau dikata jasa perempuan itu tak banyak disebutkan dalam (literatur) sejarah nasional.
Seperti dijelaskan dalam buku itu, tanpa partisipasi aktif perempuan tidak akan mungkin terwujud kemerdekaan. Perempuan dalam praktiknya, mampu menciptakan dinamika politik yang berbuah manis. Kaum hawa yang tergabung dalam wadah, Pemuda Putri Indonesia (PPI), mampu membantu penduduk untuk mengungsi dan menyediakan makanan bagi pribumi.
Kesadaran kaum perempuan akan kemerdekaan bangsa Indonesia di zaman itu, bukanlah hal yang perlu diragukan lagi. Mereka berbondong-bondong terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajah baik perseorangan maupun perjuangan kelompok. Bersama rekan-rekannya, RA Kartini menanamkan kesadaran pendidikan pada penduduk jelata sebagai alat perjuangan untuk membuka kesadaran nasionalisme rakyat.
Selain itu peran strategis perempuan juga terlihat dalam komunitas yang terlahir pada masa itu. Demi menyokong perjuangan rekannya, mereka mendirikan dapur umum untuk memberikan makan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pemuda Putri Republik Indonesia). Selain misi di atas, organ ini juga menghidupkan pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah-daerah.
Di organ lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PRI (Pemuda Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah-rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah dan matang yang kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.
Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia/ petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.
Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.
Di tempat lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.
Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan tempat lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.
Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kadernya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).
Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api.
Dari sini, selayaknyalah penghargaan terhadap kaum perempuan perlu ditinggikan. Bukan justru mengebiri kebebasannya, misalnya, lewat Perda Keluar Malam yang membatasi hak-haknya untuk bekerja dan berkarya. Tapi jangan juga, penghargaan terhadap perempuan dengan mewajibkan perempuan berjilbab seperti di Padang dan kota lainnya.
Semua hal di atas hanya artifisial belaka, simbolis dan menelikung perjuangan atas kemerdekaan. Semua pembatasan di atas sama saja dengan politik penjajah yang membatasi kemerdekaan kaum perempuan. Jika hal itu terjadi, maka dialah penjajah kemerdekaan perempuan di masa kini. Pejuang ’45 menyebutnya dengan semut ireng (Belanda hitam).
Akhirnya, artikel ini sebagai arena perjuangan kaum perempuan yang tidak (boleh) berhenti karena masih adanya perampasan terhadap kemerdekaan perempuan. Hak atas kemerdekaan adalah hak semua warga negara termasuk hak terhadap perempuan Indonesia. Kalau sudah seperti itu, dengan demikian sejarah tentang perempuan menjadi tak lagi tereduksi, tapi menuju objektivitas.
*Penulis: Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender Yayasan LKiS
http://www.lkis.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=139%3Amenguak-kebenaran-baru-peran-perempuan-dalam-sejarah-&catid=3%3Anewsflash&Itemid=111
Read More..
Rabu, 10 November 2010
Om Bama, Pak Beye, dan Pemilih Mereka*
Dua tahun lalu Om Bama adalah tokoh yang menggemparkan dunia. Ia orang pertama kulit hitam yang berhasil menjadi presiden negara adikuasa, memiliki kualitas teknosof, terhormat, serta bijak bestari.
Harapan rakyat Amerika Serikat membubung tinggi. Dia diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka ekonomi negaranya dan mengembalikan pamor AS di mata masyarakat internasional. Namun, kini rakyat AS marah (”Angry America”, The Economist, 30 Oktober 2010).
Pemilih kecewa karena Om Bama dianggap gagal mengatasi problem pengangguran secara substansial. Reformasi finansial belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Birokrasi boros, kemampuan serta keterampilan Om Bama sebagai presiden terjebak perilaku retorik. Bahkan, keberhasilan Om Bama mengegolkan Rancangan Undang-undang tentang Asuransi Kesehatan, yang diperjuangkan lintas generasi, mulai dari Teddy Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, Lyndon B Johnson, hingga almarhum Ted Kennedy, dianggap terlalu besar kemungkinan gagal.
Namun, kemudaratan bukan semata-mata kesalahan Om Bama. Ia mewarisi banyak pekerjaan rumah pemerintah sebelumnya, seperti perang Irak dan Afganistan yang belum tuntas, perbankan yang harus diselamatkan karena ekonomi yang stagnan, serta pengangguran. Demikian juga persoalan yang tidak pernah diantisipasi, seperti tumpahan minyak mentah milik perusahaan minyak BP di Teluk Meksiko.
Kekecewaan pemilih dengan sigap melucuti dominasi Partai Demokrat. Pemilu sela yang adalah koreksi rakyat terhadap kebijakan Om Bama menghasilkan Partai Republik memperoleh 234 dari 435 kursi (54 persen) DPR. Sebelumnya Partai Demokrat menguasai 255 kursi DPR (59 persen). Sementara di Senat, meski turun, Partai Demokrat masih menang tipis, 51 kursi (sebelumnya 57 kursi) dan Partai Republik memiliki 46 kursi, sebelumnya 41 kursi.
Hasil itu sesuai dengan prediksi empat bulan lalu, antara lain dilakukan oleh Polster dari Partai Demokrat, Peter Hart, yang disebutkan sebagai gelombang pemilu yang akan menghanyutkan kemenangan Partai Demokrat. Sebab itu, Om Bama harus mengubah strategi dan pendekatan dua tahun sisa pemerintahannya. Harapan masih besar mengingat publik juga optimistis, karena Amerika Serikat tetap wilayah ekonomi yang paling inovatif di dunia, tenaga kerja yang selalu siap bekerja keras dan fleksibel, tempat investasi yang menjanjikan, serta mempunyai seorang presiden yang berbakat.
Sementara itu, tuan rumah, Pak Beye, juga didukung Partai Demokrat versi Indonesia. Dukungan politik Om Bama di parlemen bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatan politik Pak Beye yang mendominasi tiga perempat kekuatan di Parlemen. Namun, Pak Beye belum berhasil mewujudkan janji debottlenekcing, yakni mengurai kekusutan struktur kekuasaan yang tidak jelas, jalur komando pemerintahan yang ruwet, serta rimba raya hukum yang tumpang tindih secara vertikal dan horizontal.
Selain itu, berbagai masalah akut belum juga dapat diatasi: politik uang, politisasi birokrasi, korupsi politik, dan sebagainya. Persoalan menjadi lebih parah karena sekitar Pak Beye bertaburan politisi yang kebal jeritan rakyat. Kritik tajam, satire, dan sindiran sinikal masyarakat, tidak mereka peka terhadap aspirasi rakyat. Dalam pasemon dan legenda yang masih hidup di lereng Gunung Merapi, asal-muasal perilaku bebal disebabkan kebiasaan mereka sejak kecil mengonsumsi rebung (bambu muda). Setelah dewasa, sosoknya seperti anyaman bambu (dalam bahasa Jawa disebut gedhek) sehingga orang yang dogol dan tidak punya malu disebut rai gedhek.
Bahkan, dalam suasana yang banjir air mata dan derita di pengungsian, mereka masih tega mengibarkan spanduk partai politik. Nafsu ketamakan kekuasaan tega memanfaatkan penderitaan rakyat dengan kamuflase bantuan ala kadarnya. Jauh berbeda dengan masyarakat biasa yang tulus dan ikhlas berbagi tanpa pamrih, kecuali berniat meringankan penderitaan sesama. Dalam tataran masyarakat, kemurkaan Merapi justru membangkitkan solidaritas sosial dan memperkuat modal sosial bangsa. Semoga kekayaan spiritual bangsa tidak lekang tergerus oleh perilaku oportunistik dari elite politik.
Kalau di Indonesia mempunyai tradisi pemilu sela, rakyat dapat melakukan koreksi strategi dan pendekatan Pak Beye dalam mengelola pemerintahan. Namun, karena sistem yang berbeda, rakyat harus sabar menunggu lima tahun, meskipun tingkat kegerahan masyarakat sudah hampir melampaui batas kesabaran rakyat. Mungkin kemurkaan alam dapat mewakili kemarahan rakyat yang masih tetap bersabar dipimpin oleh koalisi yang kolusif. Akibatnya, collusive democracy (The Economist, 23 Oktober, 2010), hanya menjadi medan saling mengooptasi, mengamankan, dan sekaligus menyandera kepentingan masing-masing. Kekuatan dahsyat yang seharusnya dapat melakukan terobosan yang sangat diperlukan dalam negara yang institusinya masih lemah menjadi mubazir.
Pertemuan Om Bama dan Pak Beye mungkin dapat dimanfaatkan untuk saling menukar pengalaman. Om Bama dapat memberikan nasihat bagaimana memanfaatkan dukungan yang terbatas di parlemen untuk melakukan terobosan politik. Sementara itu, Pak Beye berbagi keprihatinan bagaimana koalisi yang besar tetapi tersendat-sendat dalam menjalankan pemerintahan.
*J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/02570189/om.bama.pak.beye.dan.pemilih.mereka
Read More..
Harapan rakyat Amerika Serikat membubung tinggi. Dia diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka ekonomi negaranya dan mengembalikan pamor AS di mata masyarakat internasional. Namun, kini rakyat AS marah (”Angry America”, The Economist, 30 Oktober 2010).
Pemilih kecewa karena Om Bama dianggap gagal mengatasi problem pengangguran secara substansial. Reformasi finansial belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Birokrasi boros, kemampuan serta keterampilan Om Bama sebagai presiden terjebak perilaku retorik. Bahkan, keberhasilan Om Bama mengegolkan Rancangan Undang-undang tentang Asuransi Kesehatan, yang diperjuangkan lintas generasi, mulai dari Teddy Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, Lyndon B Johnson, hingga almarhum Ted Kennedy, dianggap terlalu besar kemungkinan gagal.
Namun, kemudaratan bukan semata-mata kesalahan Om Bama. Ia mewarisi banyak pekerjaan rumah pemerintah sebelumnya, seperti perang Irak dan Afganistan yang belum tuntas, perbankan yang harus diselamatkan karena ekonomi yang stagnan, serta pengangguran. Demikian juga persoalan yang tidak pernah diantisipasi, seperti tumpahan minyak mentah milik perusahaan minyak BP di Teluk Meksiko.
Kekecewaan pemilih dengan sigap melucuti dominasi Partai Demokrat. Pemilu sela yang adalah koreksi rakyat terhadap kebijakan Om Bama menghasilkan Partai Republik memperoleh 234 dari 435 kursi (54 persen) DPR. Sebelumnya Partai Demokrat menguasai 255 kursi DPR (59 persen). Sementara di Senat, meski turun, Partai Demokrat masih menang tipis, 51 kursi (sebelumnya 57 kursi) dan Partai Republik memiliki 46 kursi, sebelumnya 41 kursi.
Hasil itu sesuai dengan prediksi empat bulan lalu, antara lain dilakukan oleh Polster dari Partai Demokrat, Peter Hart, yang disebutkan sebagai gelombang pemilu yang akan menghanyutkan kemenangan Partai Demokrat. Sebab itu, Om Bama harus mengubah strategi dan pendekatan dua tahun sisa pemerintahannya. Harapan masih besar mengingat publik juga optimistis, karena Amerika Serikat tetap wilayah ekonomi yang paling inovatif di dunia, tenaga kerja yang selalu siap bekerja keras dan fleksibel, tempat investasi yang menjanjikan, serta mempunyai seorang presiden yang berbakat.
Sementara itu, tuan rumah, Pak Beye, juga didukung Partai Demokrat versi Indonesia. Dukungan politik Om Bama di parlemen bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatan politik Pak Beye yang mendominasi tiga perempat kekuatan di Parlemen. Namun, Pak Beye belum berhasil mewujudkan janji debottlenekcing, yakni mengurai kekusutan struktur kekuasaan yang tidak jelas, jalur komando pemerintahan yang ruwet, serta rimba raya hukum yang tumpang tindih secara vertikal dan horizontal.
Selain itu, berbagai masalah akut belum juga dapat diatasi: politik uang, politisasi birokrasi, korupsi politik, dan sebagainya. Persoalan menjadi lebih parah karena sekitar Pak Beye bertaburan politisi yang kebal jeritan rakyat. Kritik tajam, satire, dan sindiran sinikal masyarakat, tidak mereka peka terhadap aspirasi rakyat. Dalam pasemon dan legenda yang masih hidup di lereng Gunung Merapi, asal-muasal perilaku bebal disebabkan kebiasaan mereka sejak kecil mengonsumsi rebung (bambu muda). Setelah dewasa, sosoknya seperti anyaman bambu (dalam bahasa Jawa disebut gedhek) sehingga orang yang dogol dan tidak punya malu disebut rai gedhek.
Bahkan, dalam suasana yang banjir air mata dan derita di pengungsian, mereka masih tega mengibarkan spanduk partai politik. Nafsu ketamakan kekuasaan tega memanfaatkan penderitaan rakyat dengan kamuflase bantuan ala kadarnya. Jauh berbeda dengan masyarakat biasa yang tulus dan ikhlas berbagi tanpa pamrih, kecuali berniat meringankan penderitaan sesama. Dalam tataran masyarakat, kemurkaan Merapi justru membangkitkan solidaritas sosial dan memperkuat modal sosial bangsa. Semoga kekayaan spiritual bangsa tidak lekang tergerus oleh perilaku oportunistik dari elite politik.
Kalau di Indonesia mempunyai tradisi pemilu sela, rakyat dapat melakukan koreksi strategi dan pendekatan Pak Beye dalam mengelola pemerintahan. Namun, karena sistem yang berbeda, rakyat harus sabar menunggu lima tahun, meskipun tingkat kegerahan masyarakat sudah hampir melampaui batas kesabaran rakyat. Mungkin kemurkaan alam dapat mewakili kemarahan rakyat yang masih tetap bersabar dipimpin oleh koalisi yang kolusif. Akibatnya, collusive democracy (The Economist, 23 Oktober, 2010), hanya menjadi medan saling mengooptasi, mengamankan, dan sekaligus menyandera kepentingan masing-masing. Kekuatan dahsyat yang seharusnya dapat melakukan terobosan yang sangat diperlukan dalam negara yang institusinya masih lemah menjadi mubazir.
Pertemuan Om Bama dan Pak Beye mungkin dapat dimanfaatkan untuk saling menukar pengalaman. Om Bama dapat memberikan nasihat bagaimana memanfaatkan dukungan yang terbatas di parlemen untuk melakukan terobosan politik. Sementara itu, Pak Beye berbagi keprihatinan bagaimana koalisi yang besar tetapi tersendat-sendat dalam menjalankan pemerintahan.
*J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/02570189/om.bama.pak.beye.dan.pemilih.mereka
Read More..
Semiotika Bencana*
Hidup di ”negeri bencana”, ada elemen masyarakat yang cerdas ”membaca” tanda-tanda alam (natural signs) sehingga mampu terhindar dari bahaya: masyarakat Simeulue (Aceh) yang menggunakan sandi smong; sebagian masyarakat sekitar Gunung Merapi yang membaca tanda-tanda mendung, anomali awan, suara gemuruh, kepanikan binatang, bahkan tanda mistis titen; masyarakat kota Padang yang mengikuti peta, rute dan jalur evakuasi; sebagian masyarakat Mentawai yang menghayati perilaku guncangan tanah.
Akan tetapi, amat disayangkan, sebagian besar masyarakat justru gagal ”membaca” tanda-tanda alam itu karena aneka alasan sehingga menjadi korban bencana memilukan: masyarakat yang tak peka lagi bahasa pasir laut, sinyal pasang surut, pesan gelombang, tanda awan atau gestur binatang; alat mitigasi tsunami tak bekerja, pelampung mitigasi dicuri, sirene bahaya tak berbunyi, peta, rute, dan jalur evakuasi tak jelas; informasi simpang siur, ucapan pejabat tidak karuan, dan arahan aparat membingungkan.
Ironisnya, rentetan bencana yang datang silih berganti nyatanya tak mampu memberikan pelajaran kepada anak bangsa dalam menghadapinya. Setiap bencana datang, setiap itu pula jatuh korban sia-sia. Anak bangsa ini tak mampu mengembangkan semacam ”semiotika bencana”, yaitu sistem-sistem tanda yang komprehensif, yang meliputi sistem-sistem tanda sebelum (tanda prediksi), sewaktu (tanda peringatan dini, tanda evakuasi), dan setelah bencana (tanda komunikasi dan koordinasi)—the semiotics of disaster.
Kecerdasan semiotik
Bencana alam—seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, semburan lumpur, atau angin puting beliung—adalah fenomena alam yang bukannya tanpa tanda-tanda alam. Seperti setiap penyakit mesti ada obatnya, setiap fenomena alam mesti ada tanda-tanda kehadirannya. Alam sebenarnya ”berbicara” kepada manusia, hanya saja manusia tak mampu membacanya, karena keterbatasan kognitif, afektif, dan pengindraan yang dimilikinya.
Seperti dikatakan Wendy Wheeler, di dalam The Whole Creature: Complexity, Biosemiotics and the Evolution of Culture (2006), alam sarat ”informasi” untuk diproses dan dimaknai oleh indra manusia: suara, bunyi, bau, pergerakan, warna, bentuk, medan listrik, getaran, gelombang, sinyal kimiawi, sentuhan, yang semuanya adalah tanda-tanda semiotik. Perubahan atau anomali pada tanda-tanda alam menandai perubahan atau anomali pada perilaku alam sendiri: awan, angin, sungai, laut, lempengan, dapur magma.
Akan tetapi, tanda-tanda alam hanya bermakna jika dapat ”ditranslasi” ke dalam bahasa manusia (semiotic translation). ”Dunia dalam diri” manusia (Innenwelt) harus mampu menjalin ”dialog” secara konstan dan intensif dengan ”dunia luar” (Umwelt), baik yang bersifat sosial maupun natural. Tanda-tanda di dalam diri manusia ”bertemu” dengan tanda-tanda alam sehingga pesan-pesan alam dapat dipahami dan dimaknai.
Umwelt sangat sentral dalam relasi informasi binatang, sebagai cara membangun ”komunikasi” dengan alam melalui aneka sistem tanda (sign systems): dengan spesies yang sama, pemangsa, mangsa, atau manusia; dengan tempat berlindung, cuaca, hutan dan padang; dengan bau, suara dan diamnya alam. Pesan-pesan dari lingkungan alam, seperti getaran, suara, bau, bentuk, dan cahaya, memberi tanda pada Umwelt di kalangan binatang, yang membangun kepekaan bertindak.
Binatang memiliki semacam ”kecerdasan semiotik”, yang memampukannya mengidentifikasi, mengenal, mengklasifikasikan, memolakan, mengingat tanda-tanda alam untuk memutuskan tindakan. Tubuh binatang ”mengingat” sesuatu yang pernah dilakukannya, sebagai informasi tindakan mendatang. Manusia modern tak bisa lagi menghadapi bencana alam seperti binatang, tetapi mereka dapat belajar banyak dari bahasa semiotika mereka (zoosemiotics).
Seperti dikatakan Mary Douglas, di dalam Natural Symbols (2002), tanda alam dan binatang diatur oleh sistem kode (natural code). Kode-kode alam dipahami binatang melalui pola, habit, regularitas atau kemunculan kembali (recurring), yang memproduksi ”makna” (meaning) dalam regularitas perilaku alam. Akan tetapi, seperti dijelaskan Umberto Eco di dalam A Theory of Semiotics (1978), manusia memiliki kecerdasan merelasikan Innenwelt dan Umwelt untuk menciptakan sistem tanda dan kode baru (overcoding).
Ironisnya, kecerdasan membangun ”semiotika bencana” itu nyatanya tak dimiliki oleh komponen bangsa ini. Sejarah panjang bencana gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor di negara cincin api ini nyatanya tak mampu menghasilkan ”inovasi” penanganan bencana. Kita tak mampu belajar dari tanda alam, tanda binatang, bahkan tanda-tanda di dalam diri kita sendiri. Bencana seakan-akan sudah menjadi sebuah ”rutinitas”, tanpa meninggalkan jejak pengetahuan.
Ironi bencana
Bencana alam tidak hanya perkara tanda (alam, binatang, manusia), tetapi juga perkara komunikasi. Di dalam setiap bencana diperlukan tidak saja tanda-tanda yang jelas, tetapi juga sistem komunikasi yang efektif, baik sebelum, sewaktu, maupun sesudah bencana. Sistem-sistem tanda bencana (mitigasi, informasi, peta, koordinasi) hanya dapat berfungsi apabila dipraktikkan di dalam sebuah medan komunikasi yang sehat.
Ironisnya, kegagalan komponen bangsa membangun sistem ”semiotika bencana” yang komprehensif diperparah oleh kegagalan membangun ”sistem komunikasi bencana” dan discourse tentang bencana. Situasi bencana seharusnya menghasilkan sebuah sistem komunikasi dan discourse yang sehat. Komunikasi tidak saja mempunyai fungsi kognitif: pengetahuan, informasi, dan kebenaran, tetapi juga fungsi afektif: persuasi, menghibur, menenangkan atau mendamaikan.
Di dalam situasi bencana diperlukan relasi timbal balik komunikasi (kognisi, afeksi), di mana korban tidak hanya diberi informasi, tetapi juga ditenteramkan. Di sinilah fungsi figur publik, yang mampu menjadi simbol, panutan, patron, dan rujukan. Akan tetapi, meminjam TJ Taylor, di dalam Mutual Misunderstanding (1992), figur publik di atas tubuh bangsa ini justru menciptakan ”ironi semiotik”: bicara tanpa kendali, arahan membingungkan, informasi salah, opini keliru—semiticos ironia.
Situasi pertandaan dan komunikasi bencana diperburuk oleh tumbuhnya bentuk-bentuk ”budaya populer” di seputar bencana. Dunia bencana kini bercampur aduk dengan dunia media, iklan, promosi, dan ”hiburan”. Kepedihan dan ratap tangis berbaur dengan promosi dan tepuk tangan. Dalam kegagalan anak bangsa membangun ”semiotika bencana”, yang tumbuh adalah ”estetisme bencana”: spanduk, poster, foto, dan umbul-umbul ucapan; panggung hiburan dan amal, lagu kepedihan, dan iklan-iklan ucapan di televisi.
Setiap datang bencana kita secara rutin mendendangkan lagu kepedihan, musik keperihan, iklan belasungkawa, dan spanduk-spanduk keprihatinan (meskipun ini tidak salah). Tanda-tanda bencana memang mampu melarutkan kita dalam suasana duka, membangun solidaritas sosial, memperhalus rasa kemanusiaan, bahkan memperteguh keimanan. Namun, bencana tak pernah memberi kita pelajaran tentang bagaimana ”melawan” bencana itu sendiri, karena kita tak mampu mengerahkan kecerdasan sebagai manusia.
Agar mampu ”melawan” bencana di masa depan, pemerintah—didukung seluruh elemen bangsa—harus mampu memimpin proyek besar riset dan pengembangan ”Sistem Semiotika Bencana Nasional” (SSBN), yang melibatkan aneka disiplin sains, teknologi, sosial, budaya, psikologi, komunikasi, bahasa, semiotika, dan seni. Melalui sistem semiotika komprehensif, diharapkan anak bangsa ke depan mampu ”membaca” aneka tanda alam dan pesan bencana, agar korban manusia tak lagi berjatuhan akibat kelalaian, kebodohan, dan ketidakpedulian manusia.
*Yasraf Amir Piliang( Dosen pada Program Magister Desain, FSRD dan Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung)
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/03113146/semiotika.bencana
Read More..
Akan tetapi, amat disayangkan, sebagian besar masyarakat justru gagal ”membaca” tanda-tanda alam itu karena aneka alasan sehingga menjadi korban bencana memilukan: masyarakat yang tak peka lagi bahasa pasir laut, sinyal pasang surut, pesan gelombang, tanda awan atau gestur binatang; alat mitigasi tsunami tak bekerja, pelampung mitigasi dicuri, sirene bahaya tak berbunyi, peta, rute, dan jalur evakuasi tak jelas; informasi simpang siur, ucapan pejabat tidak karuan, dan arahan aparat membingungkan.
Ironisnya, rentetan bencana yang datang silih berganti nyatanya tak mampu memberikan pelajaran kepada anak bangsa dalam menghadapinya. Setiap bencana datang, setiap itu pula jatuh korban sia-sia. Anak bangsa ini tak mampu mengembangkan semacam ”semiotika bencana”, yaitu sistem-sistem tanda yang komprehensif, yang meliputi sistem-sistem tanda sebelum (tanda prediksi), sewaktu (tanda peringatan dini, tanda evakuasi), dan setelah bencana (tanda komunikasi dan koordinasi)—the semiotics of disaster.
Kecerdasan semiotik
Bencana alam—seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, semburan lumpur, atau angin puting beliung—adalah fenomena alam yang bukannya tanpa tanda-tanda alam. Seperti setiap penyakit mesti ada obatnya, setiap fenomena alam mesti ada tanda-tanda kehadirannya. Alam sebenarnya ”berbicara” kepada manusia, hanya saja manusia tak mampu membacanya, karena keterbatasan kognitif, afektif, dan pengindraan yang dimilikinya.
Seperti dikatakan Wendy Wheeler, di dalam The Whole Creature: Complexity, Biosemiotics and the Evolution of Culture (2006), alam sarat ”informasi” untuk diproses dan dimaknai oleh indra manusia: suara, bunyi, bau, pergerakan, warna, bentuk, medan listrik, getaran, gelombang, sinyal kimiawi, sentuhan, yang semuanya adalah tanda-tanda semiotik. Perubahan atau anomali pada tanda-tanda alam menandai perubahan atau anomali pada perilaku alam sendiri: awan, angin, sungai, laut, lempengan, dapur magma.
Akan tetapi, tanda-tanda alam hanya bermakna jika dapat ”ditranslasi” ke dalam bahasa manusia (semiotic translation). ”Dunia dalam diri” manusia (Innenwelt) harus mampu menjalin ”dialog” secara konstan dan intensif dengan ”dunia luar” (Umwelt), baik yang bersifat sosial maupun natural. Tanda-tanda di dalam diri manusia ”bertemu” dengan tanda-tanda alam sehingga pesan-pesan alam dapat dipahami dan dimaknai.
Umwelt sangat sentral dalam relasi informasi binatang, sebagai cara membangun ”komunikasi” dengan alam melalui aneka sistem tanda (sign systems): dengan spesies yang sama, pemangsa, mangsa, atau manusia; dengan tempat berlindung, cuaca, hutan dan padang; dengan bau, suara dan diamnya alam. Pesan-pesan dari lingkungan alam, seperti getaran, suara, bau, bentuk, dan cahaya, memberi tanda pada Umwelt di kalangan binatang, yang membangun kepekaan bertindak.
Binatang memiliki semacam ”kecerdasan semiotik”, yang memampukannya mengidentifikasi, mengenal, mengklasifikasikan, memolakan, mengingat tanda-tanda alam untuk memutuskan tindakan. Tubuh binatang ”mengingat” sesuatu yang pernah dilakukannya, sebagai informasi tindakan mendatang. Manusia modern tak bisa lagi menghadapi bencana alam seperti binatang, tetapi mereka dapat belajar banyak dari bahasa semiotika mereka (zoosemiotics).
Seperti dikatakan Mary Douglas, di dalam Natural Symbols (2002), tanda alam dan binatang diatur oleh sistem kode (natural code). Kode-kode alam dipahami binatang melalui pola, habit, regularitas atau kemunculan kembali (recurring), yang memproduksi ”makna” (meaning) dalam regularitas perilaku alam. Akan tetapi, seperti dijelaskan Umberto Eco di dalam A Theory of Semiotics (1978), manusia memiliki kecerdasan merelasikan Innenwelt dan Umwelt untuk menciptakan sistem tanda dan kode baru (overcoding).
Ironisnya, kecerdasan membangun ”semiotika bencana” itu nyatanya tak dimiliki oleh komponen bangsa ini. Sejarah panjang bencana gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor di negara cincin api ini nyatanya tak mampu menghasilkan ”inovasi” penanganan bencana. Kita tak mampu belajar dari tanda alam, tanda binatang, bahkan tanda-tanda di dalam diri kita sendiri. Bencana seakan-akan sudah menjadi sebuah ”rutinitas”, tanpa meninggalkan jejak pengetahuan.
Ironi bencana
Bencana alam tidak hanya perkara tanda (alam, binatang, manusia), tetapi juga perkara komunikasi. Di dalam setiap bencana diperlukan tidak saja tanda-tanda yang jelas, tetapi juga sistem komunikasi yang efektif, baik sebelum, sewaktu, maupun sesudah bencana. Sistem-sistem tanda bencana (mitigasi, informasi, peta, koordinasi) hanya dapat berfungsi apabila dipraktikkan di dalam sebuah medan komunikasi yang sehat.
Ironisnya, kegagalan komponen bangsa membangun sistem ”semiotika bencana” yang komprehensif diperparah oleh kegagalan membangun ”sistem komunikasi bencana” dan discourse tentang bencana. Situasi bencana seharusnya menghasilkan sebuah sistem komunikasi dan discourse yang sehat. Komunikasi tidak saja mempunyai fungsi kognitif: pengetahuan, informasi, dan kebenaran, tetapi juga fungsi afektif: persuasi, menghibur, menenangkan atau mendamaikan.
Di dalam situasi bencana diperlukan relasi timbal balik komunikasi (kognisi, afeksi), di mana korban tidak hanya diberi informasi, tetapi juga ditenteramkan. Di sinilah fungsi figur publik, yang mampu menjadi simbol, panutan, patron, dan rujukan. Akan tetapi, meminjam TJ Taylor, di dalam Mutual Misunderstanding (1992), figur publik di atas tubuh bangsa ini justru menciptakan ”ironi semiotik”: bicara tanpa kendali, arahan membingungkan, informasi salah, opini keliru—semiticos ironia.
Situasi pertandaan dan komunikasi bencana diperburuk oleh tumbuhnya bentuk-bentuk ”budaya populer” di seputar bencana. Dunia bencana kini bercampur aduk dengan dunia media, iklan, promosi, dan ”hiburan”. Kepedihan dan ratap tangis berbaur dengan promosi dan tepuk tangan. Dalam kegagalan anak bangsa membangun ”semiotika bencana”, yang tumbuh adalah ”estetisme bencana”: spanduk, poster, foto, dan umbul-umbul ucapan; panggung hiburan dan amal, lagu kepedihan, dan iklan-iklan ucapan di televisi.
Setiap datang bencana kita secara rutin mendendangkan lagu kepedihan, musik keperihan, iklan belasungkawa, dan spanduk-spanduk keprihatinan (meskipun ini tidak salah). Tanda-tanda bencana memang mampu melarutkan kita dalam suasana duka, membangun solidaritas sosial, memperhalus rasa kemanusiaan, bahkan memperteguh keimanan. Namun, bencana tak pernah memberi kita pelajaran tentang bagaimana ”melawan” bencana itu sendiri, karena kita tak mampu mengerahkan kecerdasan sebagai manusia.
Agar mampu ”melawan” bencana di masa depan, pemerintah—didukung seluruh elemen bangsa—harus mampu memimpin proyek besar riset dan pengembangan ”Sistem Semiotika Bencana Nasional” (SSBN), yang melibatkan aneka disiplin sains, teknologi, sosial, budaya, psikologi, komunikasi, bahasa, semiotika, dan seni. Melalui sistem semiotika komprehensif, diharapkan anak bangsa ke depan mampu ”membaca” aneka tanda alam dan pesan bencana, agar korban manusia tak lagi berjatuhan akibat kelalaian, kebodohan, dan ketidakpedulian manusia.
*Yasraf Amir Piliang( Dosen pada Program Magister Desain, FSRD dan Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung)
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/09/03113146/semiotika.bencana
Read More..
Tamu Agung yang Merepotkan*
Orang-orang di sini dulu pakai becak. Kalau tidak naik bemo. Sekarang sebagai Presiden, saya bahkan tidak bisa melihat lalu lintas karena jalan-jalan diblokir, padahal setahu saya lalu lintas Jakarta lumayan padat juga.” (Kompas, Rabu 10 November 2010).
Pernyataan Presiden AS Barack Hussein Obama yang dikutip Kompas tersebut sangat manusiawi dan bijak. Bisa saja diartikan betapa tuan rumah Indonesia terlalu berlebihan dalam mengatur lalu lintas Jakarta saat tamu agung dari negara adidaya itu berkunjung ke Indonesia, Selasa dan Rabu lalu.
Bayangkan, semua jalan yang akan dilalui ditutup 15 menit sampai berjam-jam, pengguna jalan berdesak dalam kemacetan menunggu sampai rombongan tamu agung lewat.
Pertanyaannya, adakah manfaat untuk rakyat dan bangsa Indonesia dari kunjungan Presiden Obama itu?
Pancasila
Satu hal penting dan amat positif yang diungkapkan Obama di Jakarta ialah Indonesia masih memiliki Pancasila sebagai pegangan hidup warga negara Indonesia. Ini tentunya sentilan keras bagi kita semua sebagai pemilik ideologi Pancasila.
Tengoklah apakah ideologi negara itu menjadi pegangan bagi para pembuat, pengambil keputusan, dan pelaksana keputusan di negeri ini? Apakah dalam pembuatan undang-undang seperti undang-undang penanaman modal, undang-undang mengenai air, juga undang-undang mengenai energi, ideologi negara itu digunakan sebagai pegangan?
Di mana pula ideologi Pancasila di mata para elite politik dalam memperlakukan warga negara Indonesia yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan? Di mana sikap kegotongroyongan kita? Di mana sikap para wakil rakyat kita dalam memaknai sila keempat Pancasila di dalam pengambilan keputusan di sidang-sidang parlemen?
Pelajaran penting lain dari Barack Obama ialah bagaimana sikap dan tindakan politiknya dalam menghadapi pluralisme masyarakat Amerika. Presiden Obama amat memegang teguh keputusannya untuk mendukung pembangunan Islamic Center di tanah dekat reruntuhan gedung kembar World Trade Center di New York walau kritik dan caci maki ditujukan kepadanya dari warga Amerika sendiri.
Obama juga berani untuk tetap mengunjungi Mesjid Istiqlal. Ini melambangkan bahwa AS bukanlah musuh Islam dan Islam bukanlah musuh AS. Sikap dan tindakan Obama melawan arus yang berkembang di AS.
Ia juga menyadari bahwa upayanya untuk menghormati Islam dan hidup damai serta bekerja sama dengan negara-negara Islam adalah kebijakan yang tidak populer dan dapat meruntuhkan legitimasi politiknya pada tingkat domestik. Namun, Obama tetap menunjukkan kenegarawanannya sebagai pemimpin AS dan tidak memedulikan citra politik yang merosot. Meletakkan batu sendi kebijakan yang positif terhadap Islam dan negara-negara Islam jauh lebih mulia ketimbang popularitas politik sesaat.
Lepas dari hal positif itu, kita masih bertanya, bagaimana kelanjutan dari politik luar negeri AS terhadap Timur Tengah, khususnya persoalan Palestina-Israel. AS memang memiliki kendala untuk memainkan pengaruh positif terhadap Israel karena kuatnya lobi Israel di AS, yang sebagian masih mendukung dibangunnya permukiman Yahudi di tanah Palestina.
Kita juga masih menunggu apakah AS akan mendukung Palestina yang merdeka dan berdaulat sebagai salah satu prasyarat perdamaian di Timur Tengah. Meski persoalan Palestina bukanlah masalah agama, dukungan AS terhadap Palestina akan mendapatkan penghormatan positif dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kemitraan komprehensif
Salah satu tujuan kunjungan Presiden Obama ke Jakarta adalah membangun kemitraan komprehensif antara AS-Indonesia di bidang politik, keamanan, pertahanan, ekonomi dan sosial budaya, termasuk pendidikan.
Indonesia telah memiliki kerja sama semacam itu, termasuk juga kemitraan strategis dengan China, India, Australia, dan Rusia. Dari berbagai kerja sama itu, Kemitraan komprehensif dengan Rusia termasuk yang konkret karena ada kerja sama di bidang teknologi militer Rusia-Indonesia. Kerja sama ekonomi Indonesia-AS masih belum konkret bentuknya, baik untuk investasi maupun perdagangan.
Di bidang perdagangan, kita masih mengalami betapa negara-negara Barat, termasuk AS, masih menerapkan halangan nontarif terhadap ekspor barang-barang dari Indonesia seperti produk furnitur. Investasi AS di Indonesia juga masih terfokus pada bidang minyak dan gas demi menjaga keamanan energi AS.
Sampai kini, Pemerintah Indonesia juga masih takut melakukan negosiasi agar kontrak karya dengan PT Freeport McMoran diperbarui agar lebih menguntungkan Indonesia. Investasi AS di Indonesia juga terkait dengan sektor jasa, perbankan, atau segala yang membutuhkan tenaga terampil.
Bidang pertahanan juga masih belum jelas, apakah kerja sama militer AS-Indonesia juga akan mengikutsertakan pasukan elite TNI-AD, Kopassus. Di sini perlu keseimbangan antara pelatihan militer dan persoalan akuntabilitas politik, terutama terkait pelanggaran HAM oleh oknum-oknum militer Indonesia.
Apa pula yang dimaksud dengan kerja sama saling tukar mahasiswa? Apakah ini sekadar beasiswa bagi anak-anak elite politik Indonesia untuk kuliah lanjutan ke universitas-universitas ternama di AS, ataukah beasiswa atas dasar penilaian obyektif kepada semua anak Indonesia?
Tidak sedikit dugaan bahwa kemitraan strategis atau komprehensif yang dibangun AS dengan negara-negara di Asia seperti India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia adalah bagian dari politik AS untuk membendung dan mengikat China (co-engagement policy) karena China akan menjadi salah satu negara kekuatan ekonomi baru bersama Brasil, Rusia, dan India.
Kekuatan ekonomi China yang sudah melampaui Jepang, bukan mustahil juga dapat mengambil alih posisi AS sebagai kekuatan ekonomi dunia. Melalui kerja sama ekonomi dengan India, Indonesia, dan negara-negara Asia Timur Laut, AS ingin tetap mempertahankan diri sebagai kekuatan utama ekonomi dunia.
Kerja sama militer dengan berbagai negara Asia tampaknya juga untuk membendung China. Dipilihnya India, bukan Pakistan, sebagai mitra strategis di Asia Selatan menunjukkan betapa AS serius mengurangi ketakutannya pada merosotnya hegemoni AS di Asia. Biar bagaimana pun India lebih kuat daripada Pakistan dan India masih punya persoalan perbatasan dengan China.
Kita tunggu saja adakah follow-up dari kunjungan Obama ke Indonesia terkait dengan membangun kemitraan komprehensif ini. Jika tidak, maka kunjungan ini hanya akan menjadi acara kangen-kangenan dengan mudiknya si anak Menteng ke kota tempat ia menghabiskan masa kecilnya dulu!
*Ikrar Nusa Bhakti(Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta)
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/03060423/tamu.agung.yang.merepotkan
Read More..
Pernyataan Presiden AS Barack Hussein Obama yang dikutip Kompas tersebut sangat manusiawi dan bijak. Bisa saja diartikan betapa tuan rumah Indonesia terlalu berlebihan dalam mengatur lalu lintas Jakarta saat tamu agung dari negara adidaya itu berkunjung ke Indonesia, Selasa dan Rabu lalu.
Bayangkan, semua jalan yang akan dilalui ditutup 15 menit sampai berjam-jam, pengguna jalan berdesak dalam kemacetan menunggu sampai rombongan tamu agung lewat.
Pertanyaannya, adakah manfaat untuk rakyat dan bangsa Indonesia dari kunjungan Presiden Obama itu?
Pancasila
Satu hal penting dan amat positif yang diungkapkan Obama di Jakarta ialah Indonesia masih memiliki Pancasila sebagai pegangan hidup warga negara Indonesia. Ini tentunya sentilan keras bagi kita semua sebagai pemilik ideologi Pancasila.
Tengoklah apakah ideologi negara itu menjadi pegangan bagi para pembuat, pengambil keputusan, dan pelaksana keputusan di negeri ini? Apakah dalam pembuatan undang-undang seperti undang-undang penanaman modal, undang-undang mengenai air, juga undang-undang mengenai energi, ideologi negara itu digunakan sebagai pegangan?
Di mana pula ideologi Pancasila di mata para elite politik dalam memperlakukan warga negara Indonesia yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan? Di mana sikap kegotongroyongan kita? Di mana sikap para wakil rakyat kita dalam memaknai sila keempat Pancasila di dalam pengambilan keputusan di sidang-sidang parlemen?
Pelajaran penting lain dari Barack Obama ialah bagaimana sikap dan tindakan politiknya dalam menghadapi pluralisme masyarakat Amerika. Presiden Obama amat memegang teguh keputusannya untuk mendukung pembangunan Islamic Center di tanah dekat reruntuhan gedung kembar World Trade Center di New York walau kritik dan caci maki ditujukan kepadanya dari warga Amerika sendiri.
Obama juga berani untuk tetap mengunjungi Mesjid Istiqlal. Ini melambangkan bahwa AS bukanlah musuh Islam dan Islam bukanlah musuh AS. Sikap dan tindakan Obama melawan arus yang berkembang di AS.
Ia juga menyadari bahwa upayanya untuk menghormati Islam dan hidup damai serta bekerja sama dengan negara-negara Islam adalah kebijakan yang tidak populer dan dapat meruntuhkan legitimasi politiknya pada tingkat domestik. Namun, Obama tetap menunjukkan kenegarawanannya sebagai pemimpin AS dan tidak memedulikan citra politik yang merosot. Meletakkan batu sendi kebijakan yang positif terhadap Islam dan negara-negara Islam jauh lebih mulia ketimbang popularitas politik sesaat.
Lepas dari hal positif itu, kita masih bertanya, bagaimana kelanjutan dari politik luar negeri AS terhadap Timur Tengah, khususnya persoalan Palestina-Israel. AS memang memiliki kendala untuk memainkan pengaruh positif terhadap Israel karena kuatnya lobi Israel di AS, yang sebagian masih mendukung dibangunnya permukiman Yahudi di tanah Palestina.
Kita juga masih menunggu apakah AS akan mendukung Palestina yang merdeka dan berdaulat sebagai salah satu prasyarat perdamaian di Timur Tengah. Meski persoalan Palestina bukanlah masalah agama, dukungan AS terhadap Palestina akan mendapatkan penghormatan positif dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kemitraan komprehensif
Salah satu tujuan kunjungan Presiden Obama ke Jakarta adalah membangun kemitraan komprehensif antara AS-Indonesia di bidang politik, keamanan, pertahanan, ekonomi dan sosial budaya, termasuk pendidikan.
Indonesia telah memiliki kerja sama semacam itu, termasuk juga kemitraan strategis dengan China, India, Australia, dan Rusia. Dari berbagai kerja sama itu, Kemitraan komprehensif dengan Rusia termasuk yang konkret karena ada kerja sama di bidang teknologi militer Rusia-Indonesia. Kerja sama ekonomi Indonesia-AS masih belum konkret bentuknya, baik untuk investasi maupun perdagangan.
Di bidang perdagangan, kita masih mengalami betapa negara-negara Barat, termasuk AS, masih menerapkan halangan nontarif terhadap ekspor barang-barang dari Indonesia seperti produk furnitur. Investasi AS di Indonesia juga masih terfokus pada bidang minyak dan gas demi menjaga keamanan energi AS.
Sampai kini, Pemerintah Indonesia juga masih takut melakukan negosiasi agar kontrak karya dengan PT Freeport McMoran diperbarui agar lebih menguntungkan Indonesia. Investasi AS di Indonesia juga terkait dengan sektor jasa, perbankan, atau segala yang membutuhkan tenaga terampil.
Bidang pertahanan juga masih belum jelas, apakah kerja sama militer AS-Indonesia juga akan mengikutsertakan pasukan elite TNI-AD, Kopassus. Di sini perlu keseimbangan antara pelatihan militer dan persoalan akuntabilitas politik, terutama terkait pelanggaran HAM oleh oknum-oknum militer Indonesia.
Apa pula yang dimaksud dengan kerja sama saling tukar mahasiswa? Apakah ini sekadar beasiswa bagi anak-anak elite politik Indonesia untuk kuliah lanjutan ke universitas-universitas ternama di AS, ataukah beasiswa atas dasar penilaian obyektif kepada semua anak Indonesia?
Tidak sedikit dugaan bahwa kemitraan strategis atau komprehensif yang dibangun AS dengan negara-negara di Asia seperti India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia adalah bagian dari politik AS untuk membendung dan mengikat China (co-engagement policy) karena China akan menjadi salah satu negara kekuatan ekonomi baru bersama Brasil, Rusia, dan India.
Kekuatan ekonomi China yang sudah melampaui Jepang, bukan mustahil juga dapat mengambil alih posisi AS sebagai kekuatan ekonomi dunia. Melalui kerja sama ekonomi dengan India, Indonesia, dan negara-negara Asia Timur Laut, AS ingin tetap mempertahankan diri sebagai kekuatan utama ekonomi dunia.
Kerja sama militer dengan berbagai negara Asia tampaknya juga untuk membendung China. Dipilihnya India, bukan Pakistan, sebagai mitra strategis di Asia Selatan menunjukkan betapa AS serius mengurangi ketakutannya pada merosotnya hegemoni AS di Asia. Biar bagaimana pun India lebih kuat daripada Pakistan dan India masih punya persoalan perbatasan dengan China.
Kita tunggu saja adakah follow-up dari kunjungan Obama ke Indonesia terkait dengan membangun kemitraan komprehensif ini. Jika tidak, maka kunjungan ini hanya akan menjadi acara kangen-kangenan dengan mudiknya si anak Menteng ke kota tempat ia menghabiskan masa kecilnya dulu!
*Ikrar Nusa Bhakti(Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta)
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/03060423/tamu.agung.yang.merepotkan
Read More..
Merawat Islam Indonesia
Dalam Annual Conference on Islamic Studies X, 1-4 November 2010 di Banjarmasin, tema ”Reinventing Indonesian Islam” diusung untuk meneguhkan kembali wajah Islam Indonesia.
Sumbangsih masyarakat Muslim dalam melawan penjajah, membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI merupakan realitas yang tak terbantahkan. Dalam memainkan peran itu, mereka tak bisa dilepaskan dari motivasi agama. Islam jadi dasar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Islam pula yang mengantar mereka kepada komitmen meneguhkan kemerdekaan dalam bingkai NKRI.
Dalam perspektif Muslim Indonesia, agama tidak dibaca dan dihadirkan sebagai ideologi teistik yang dipertentangkan dengan nasionalisme dan sejenisnya. Agama lebih bersifat rujukan moral luhur transformatif yang menjadi pijakan kokoh dalam menyapa realitas kehidupan secara arif, dewasa, dan kreatif.
Islam Indonesia
Keberagamaan dalam keislaman Indonesia merujuk pada ajaran dan nilai Islam universal. Namun, berbeda dengan Islam di sebagian dunia, ajaran dan nilai Islam dikontekstualisasikan dalam waktu dan ruang kesejarahan Indonesia. Pesan ilahi dalam Al Quran yang bersifat metahistoris dan absolut, serta risalah agama dalam Sunah Rasul, ditangkap makna, visi, dan misinya, kemudian didialogkan dengan kehidupan konkret masyarakat.
Sejalan dengan itu, intelektual Muslim hadir dalam dialog sehingga keagamaan yang dianut masyarakat lekat dengan nuansa yang kaya perspektif, bertumbuh, mencerahkan, apresiatif tetapi tetap kritis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dan kemanusiaan.
Nuansa semacam itu merupakan karakter Islam Indonesia dan mengantarkan masyarakat Muslim Indonesia pada kemampuan untuk membedakan, sekaligus mengaitkan Islam normatif (dalam bentuk ajaran Al Quran dan Sunah Nabi) dengan realitas historis melalui pemaknaan interpretatif yang otoritatif.
Kapabilitas keagamaan ini meletakkan mereka dalam posisi strategis sebagai khalifah Allah yang harus menerjemahkan pesan-pesan agama ke dalam realitas kehidupan yang terus berubah. Muslim Indonesia mampu berdialog dengan keragaman tradisi dan budaya di sekitarnya.
Dalam perspektif Islam Indonesia yang mengacu kepada sumber autentik, Al Quran, adanya keragaman merupakan sunnatullah, hukum alam yang telah ditentukan Allah. Oleh karena itu, tidak ada satu orang atau satu kelompok pun yang dapat menolak, mengabaikan, apalagi menghancurkan sunnatullah. Melalui keragaman tekad membangun kehidupan ditegakkan.
Sejarah menunjukkan mayoritas Muslim Indonesia selalu berada di garda depan membangun kemaslahatan bersama dalam bingkai nasionalisme.
Merawat keindonesiaan
Akhir-akhir ini Islam Indonesia yang menyejukkan mulai tercemar. Masuknya Islam transnasional yang menolak lokalitas menorehkan noda hitam di atas kearifan Islam Indonesia. Jika dibiarkan, militansi Islam transnasional bisa menghancurkan karakteristik Islam Indonesia.
Pada akhir konferensi, peserta sepakat mengapresiasi Islam lokal. Untuk itu, perguruan-perguruan tinggi Islam mengingatkan kembali agar kajian Islam lokal masuk kurikulum. Dari sini Islam Indonesia dapat berperan signifikan menyapa keragaman dan menautkannya untuk menyongsong tantangan secara bertanggung jawab.
Oleh: Abda A'la
Sumber Url://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/0302510/merawat.islam.indonesia
Read More..
Sumbangsih masyarakat Muslim dalam melawan penjajah, membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI merupakan realitas yang tak terbantahkan. Dalam memainkan peran itu, mereka tak bisa dilepaskan dari motivasi agama. Islam jadi dasar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Islam pula yang mengantar mereka kepada komitmen meneguhkan kemerdekaan dalam bingkai NKRI.
Dalam perspektif Muslim Indonesia, agama tidak dibaca dan dihadirkan sebagai ideologi teistik yang dipertentangkan dengan nasionalisme dan sejenisnya. Agama lebih bersifat rujukan moral luhur transformatif yang menjadi pijakan kokoh dalam menyapa realitas kehidupan secara arif, dewasa, dan kreatif.
Islam Indonesia
Keberagamaan dalam keislaman Indonesia merujuk pada ajaran dan nilai Islam universal. Namun, berbeda dengan Islam di sebagian dunia, ajaran dan nilai Islam dikontekstualisasikan dalam waktu dan ruang kesejarahan Indonesia. Pesan ilahi dalam Al Quran yang bersifat metahistoris dan absolut, serta risalah agama dalam Sunah Rasul, ditangkap makna, visi, dan misinya, kemudian didialogkan dengan kehidupan konkret masyarakat.
Sejalan dengan itu, intelektual Muslim hadir dalam dialog sehingga keagamaan yang dianut masyarakat lekat dengan nuansa yang kaya perspektif, bertumbuh, mencerahkan, apresiatif tetapi tetap kritis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dan kemanusiaan.
Nuansa semacam itu merupakan karakter Islam Indonesia dan mengantarkan masyarakat Muslim Indonesia pada kemampuan untuk membedakan, sekaligus mengaitkan Islam normatif (dalam bentuk ajaran Al Quran dan Sunah Nabi) dengan realitas historis melalui pemaknaan interpretatif yang otoritatif.
Kapabilitas keagamaan ini meletakkan mereka dalam posisi strategis sebagai khalifah Allah yang harus menerjemahkan pesan-pesan agama ke dalam realitas kehidupan yang terus berubah. Muslim Indonesia mampu berdialog dengan keragaman tradisi dan budaya di sekitarnya.
Dalam perspektif Islam Indonesia yang mengacu kepada sumber autentik, Al Quran, adanya keragaman merupakan sunnatullah, hukum alam yang telah ditentukan Allah. Oleh karena itu, tidak ada satu orang atau satu kelompok pun yang dapat menolak, mengabaikan, apalagi menghancurkan sunnatullah. Melalui keragaman tekad membangun kehidupan ditegakkan.
Sejarah menunjukkan mayoritas Muslim Indonesia selalu berada di garda depan membangun kemaslahatan bersama dalam bingkai nasionalisme.
Merawat keindonesiaan
Akhir-akhir ini Islam Indonesia yang menyejukkan mulai tercemar. Masuknya Islam transnasional yang menolak lokalitas menorehkan noda hitam di atas kearifan Islam Indonesia. Jika dibiarkan, militansi Islam transnasional bisa menghancurkan karakteristik Islam Indonesia.
Pada akhir konferensi, peserta sepakat mengapresiasi Islam lokal. Untuk itu, perguruan-perguruan tinggi Islam mengingatkan kembali agar kajian Islam lokal masuk kurikulum. Dari sini Islam Indonesia dapat berperan signifikan menyapa keragaman dan menautkannya untuk menyongsong tantangan secara bertanggung jawab.
Oleh: Abda A'la
Sumber Url://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/0302510/merawat.islam.indonesia
Read More..
Senin, 08 November 2010
Bermain Mata dengan Bencana
FLIRTING,menggoda atau bermain mata, dengan bencana tampaknya menjadi masalah serius bangsa ini. Bencana,sama seperti lalu lintas di perkotaan, tak pernah tuntas terselesaikan.Ia hanya baru bisa ditangani dengan baik bila manajemen, termasuk manajemen bencana, berada di tangan bangsa ini. Tanpa manajemen bencana Anda hanya akan menyaksikan hal yang sama datang berulang-ulang. Bencana seakan-akan selalu datang tiba-tiba dengan korban ratusan tewas tak dapat diselamatkan. Early warning system tidak bekerja dengan baik dan kalaupun ada selalu diabaikan. Seperti apakah manajemen bencana itu?
Before–During–After
Manajemen bencana terdiri atas tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.Bangsabangsa yang produktif,maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya. Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pascabencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal,rekonstruksi, dan rehabilitasi.
Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management. Mereka mempelajari tandatanda alam,perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba. Berkebalikan dengan itu, bangsabangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi. Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana, sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia.
Selama bangsa ini hanya fokus pascabencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang. Jumlah korban akan tetap sama besarnya.Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.Jangankan respek, bantuan pun lamalama enggan datang.Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja. Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga.
Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning, dan rapid response. Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya. Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat. Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana.
Penanganan ini harus bisa bersifat real-time. Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba. Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi, awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai. Ayo, berpikirlah lebih maju.
Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern. Payung undangundang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat. Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.Ia bisa digeser menjadi prioritas utama. Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi. Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat. Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serbacepat.
Persoalan Masyarakat
Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia. Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi. Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana. Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts. The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan. The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan.
Anda lihat sendiri,para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.Padahal kalau Anda kaji lebih rasional, Anda akan menemukan sebaliknya. Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya. Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance.
Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan. Manusia cenderung berlebihan (overestimate) terhadap bencanabencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (underestimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan.
Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah ”warning system” yang diberikan alam demi kelestarian manusia. Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas. Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak.
Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih, lalu airnya surut. Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel, dan turis-turis asing.
Seminggu sebelumnya,di kelas geografinya, Tilly Smith, gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami. Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar,para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan. Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos. Human biases. Dan terjadilah bencana.Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.
Aturan Prabencana
Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama,jauhkan sikap ”menggoda bencana” dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi.
Meski datangnya bencanabencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindahpindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%. Kedua, jangan biasakan menyangkal. Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalanramalan akademik harus segera dijauhkan.Ketiga, bangun pusatpusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata.
Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik. Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah, sekalipun jarang terjadi. Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun. Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan. Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.
Oleh:Rhenald Kasali
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361905/
Read More..
Before–During–After
Manajemen bencana terdiri atas tiga fase, yaitu sebelum, selama, dan setelah bencana.Bangsabangsa yang produktif,maju, dan peduli terhadap keselamatan warga negaranya akan fokus pada penanganan ketiganya. Sebaliknya, bangsa yang reaktif hanya fokus pada penanganan pascabencana, yaitu pemberian bantuan kesehatan dan makanan, pembersihan jenazah, penguburan massal,rekonstruksi, dan rehabilitasi.
Bangsa-bangsa yang produktif bertindak proaktif dan sangat menghargai knowledge management. Mereka mempelajari tandatanda alam,perubahan-perubahan karakter alam dan cara-cara pencegahan sebelum bencana itu tiba. Berkebalikan dengan itu, bangsabangsa yang reaktif cenderung terlambat bergerak, saling menyalahkan; bukan mengedepankan solusi, melainkan hanya bermain dengan justifikasi. Mereka ini hanya bermain mata dengan bencana, sehingga bencana pun tergoda mendatangi dan mengeruk harta benda dan nyawa manusia.
Selama bangsa ini hanya fokus pascabencana saja, hampir pasti hanya rasa frustrasi yang akan datang. Jumlah korban akan tetap sama besarnya.Citra sebagai bangsa yang maju sulit didapat.Jangankan respek, bantuan pun lamalama enggan datang.Nilai manusia yang rendah di mata negara sendiri akan juga diberlakukan rendah di dunia kerja. Lingkaran setan saling menyalahkan jelas harus dihapus hari ini juga.
Jumlah korban hanya bisa diatasi jika early warning system hadir dan bekerja dengan baik, konstruksi-konstruksi baru untuk penyelamatan (defence contruction), contingency planning, dan rapid response. Hal seperti ini bisa dengan mudah dilihat di Aceh, tak lama BRR menjalankan tugasnya. Menara-menara penyelamatan dibangun di sejumlah titik, sehingga rakyat dengan cepat dapat dievakuasi pada radius yang dekat. Yang belum kita lihat sampai saat ini adalah mekanisme kerja cepat penanganan bencana.
Penanganan ini harus bisa bersifat real-time. Saat bencana terjadi, saat itu juga bantuan tiba. Tidak boleh lagi ada alasan cuaca buruk, ombak tinggi, awan mendung, telekomunikasi terputus, kantor pemerintah daerah ikut terseret gelombang, keluarga aparat pemda ikut tertelan bencana atau alasan-alasan klasik seperti tidak adanya alat angkut yang memadai. Ayo, berpikirlah lebih maju.
Kita hidup di tengah-tengah peradaban modern. Payung undangundang penyerahan dana dan bantuan yang bersifat real-time harus segera dibuat. Dalam keadaan darurat, dana tak boleh dijadikan alasan.Ia bisa digeser menjadi prioritas utama. Sekarang yang masih menjadi masalah adalah birokrasi. Saya kira birokrasi Indonesia belum sempat bertobat. Birokrasi jelas harus segera dirampingkan kalau kita ingin bisa segalanya serbacepat.
Persoalan Masyarakat
Manajemen bencana berhubungan erat dengan perilaku manusia. Harap maklum, tanpa pengetahuan yang memadai, manusia lebih banyak mengandalkan intuisi. Rakyat juga sering bermain mata dengan bencana. Manusia punya kecenderungan mengedepankan logika-logika bencana berdasarkan the best story, bukan the best facts. The best story bersifat emosional dan bias sehingga menyulitkan penanganan ke depan. The best story tampak pada bagaimana media mengalungkan simbol keagungan dan leadership pada Mbah Maridjan.
Anda lihat sendiri,para pengamat politik dan scientist pun larut ke sana.Padahal kalau Anda kaji lebih rasional, Anda akan menemukan sebaliknya. Mbah Maridjan adalah simbol dari resistance to change dan kealpaan manusia membaca fakta karena latar belakang pendidikannya. Andaikan kearifan perubahan ada pada dirinya, dia tentu akan tetap eksis karena kata kuncinya adalah adaptif, bukan stay in resistance.
Apa pun yang dilakukan manusia, bila tanpa manajemen bencana, akan selalu hadir human biases and distortion.Manusia bias karena pengalaman masa lalunya, potensi emosi, serta kealpaannya menghubungkan antara referensi yang dimiliki dengan situasi aktual di lapangan. Manusia cenderung berlebihan (overestimate) terhadap bencanabencana besar yang jarang datang, tetapi mengabaikan (underestimate) insiden-insiden kecil yang datang dan mudah dilupakan.
Padahal, kejadian-kejadian kecil itu adalah sebuah ”warning system” yang diberikan alam demi kelestarian manusia. Anda mungkin masih ingat kejadian di Pantai Mai Khao,Thailand, yang dilanda bencana tsunami Desember 2004.Di pantai itu praktis tidak ada turis yang tewas. Padahal jumlah turis asing yang sedang berjemur di pantai sangat banyak.
Pasalnya, seorang anak kecil berusia 10 tahun berhasil menyampaikan fakta kepada petugas dan orang tuanya saat ia menyaksikan tiba-tiba air di sepanjang bibir pantai berbuih, lalu airnya surut. Berbeda dengan yang saya dengar di tempat lain, anak ini segera berteriak dan lari diikuti orang tuanya, petugas hotel, dan turis-turis asing.
Seminggu sebelumnya,di kelas geografinya, Tilly Smith, gadis berusia 10 tahun asal Inggris itu, baru saja belajar bahwa itulah pertanda tsunami. Di Aceh, ketika air laut tiba-tiba surut dan ratusan ikan menggelepar,para pelancong justru berlarian berebut mengejar ikan. Buat orang di Aceh dan Pukhet, tsunami tak pernah mereka lihat. Bagi mereka tsunami hanyalah mitos. Human biases. Dan terjadilah bencana.Mirip dengan apa yang mungkin ada di kepala Mbah Maridjan.
Aturan Prabencana
Akhirnya, hidup di lingkaran cincin api (ring of fire), mau tidak mau setiap anak Indonesia harus tahu bagaimana menyelamatkan bangsanya dari bencana dan membaca tanda-tanda bencana. Kendati demikian ada lima aturan yang perlu segera ditanamkan. Pertama,jauhkan sikap ”menggoda bencana” dengan kekuatan memahami risiko yang akan dihadapi.
Meski datangnya bencanabencana besar di satu titik agak jarang (karena titik itu berpindahpindah), tapi sekali bencana datang probabilitas kerusakannya adalah 100%. Kedua, jangan biasakan menyangkal. Kebiasaan mempertentangkan intuisi dengan ramalanramalan akademik harus segera dijauhkan.Ketiga, bangun pusatpusat penyelamatan dalam bentuk menara-menara pengungsian yang dekat dengan pengungsian, jalan-jalan tembus yang lebar serta pemantauan yang tertata.
Untuk daerah-daerah bencana, jelas akses masuk bantuan harus selalu ada dalam keadaan terawat baik. Keempat, beri perhatian pada sinyal-sinyal yang lemah, sekalipun jarang terjadi. Kelima, rampingkan birokrasi penyelamatan sekarang juga. Terakhir, jangan menunda-nunda kegiatan pemberian bantuan dengan alasan atau justifikasi apa pun. Terlepas dari itu semua, manajemen bencana bukanlah subject manajemen pencitraan. Ia murni merupakan anak dari manajemen kemanusiaan yang harus menjadi perhatian manusia dalam peradaban modern.
Oleh:Rhenald Kasali
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361905/
Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)