Rasanya ingin meledak saja barak batinku, ingin rasanya ku muntahkan setumpuk kecewa, miris, bercampur ironi yang kian melumut ini. Diiringi lantunan "di udara" yang mengalun pilu di benakku, hanya diruang sempit didalam tengkorak kepalaku, tak lebih dari itu. Ga ada yang lain selain aku dan sebongkah es yang makin menyesak diruang batin, yang perlahan mengalir-cair membanjiri tiap lorong sukma, membuat gigil segenap jiwa dan batin. Ga da yang bisa mendengarnya, senandung jiwa ini hanya kunikmati sendiri. Ga ada satu pun makhluk bumi yang bisa mengupingnya, meski makin parau teriakan ini. Ga ada yang bisa mendengarnya diluar benak dan batin, tidak itu dinding, nyamuk, bahkan kaki, pun jemari ini tak tahu selain sebatas apa yang mesti ia tuangkan melalui rangkaian guratan aksara ini, itupun atas perintah otak dan persetujuan batin tentunya. Aku hanya mendendangnya sendiri, menikmati lantunan setiap lirik dan nada yang dilagukan dengan gaya berontak ERK yang khas itu. Tapi sekali lagi "hanya di benakku", tak lebih dari itu.
"Hanya di benakku", sebagaimana segudang penat yang makin membuncah, mengeruhkan setiap tetes darah, beriring seirama dengan semua muak yang makin menggunung tinggi, menjulang ke langit, bahkan hampir-hampir saja mencapai sidratul muntaha, hampir-hampir saja pecah langit karenanya. Tapi sekali lagi hanya di benak dan batinku, tak lebih dari itu, tak dapat menembus dunia luar, di luar batas ruang sempit itu. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan mulutku, kenapa ia tak jua bersuara, kenapa tak jua ia mengungkap-muntahkanyya. Pernah suatu ketika hampir-hampir saja muntah, tapi terhenti hanya sebatas di rongga dada, baru sebatas rongga dada terus kembali lagi bersemayam di lubuk hati, jauh di dasar batin yang paling dalam. Aku jadi bertanya sendiri, sebenarnya seberapa luas semesta batinku itu, kenapa masih saja cukup dan sudi menampungnya??? Terus terang saja sebenarnya aku ini juga bukan seorang yang punya kedalaman dan keluasan batin layaknya Begawan, terlebih nayataka. Kalopun selama ini masih tertampung dan terbendung, itu hanya karena aku luas-luaskan saja atau mungkin justru karena ketidakberdayaanku untuk sekedar mengungkapnya. Entahlah!
Sesekali aku curiga, jangan-jangan selama ini ada sabotase dari hatiku, dengan pertimbangan moral-etiknyanya yang khas itu. Bagaimana mungkin aku tidak menaruh curiga padanya, selama ini setiap kali aku hendak berucap, mengungkap segala kegetiran yang selama ini kekal, dan segunung muak yang selama ini betah mendiami benak dan batin, ia selalu saja berbisik, lirih sih, tapi ia masih cukup didengar dan punya pengaruh yang cukup kuat dengan karismanya yang khas itu. Sempat otak ini ingin berontak, "persetan dengan tatanan etis itu", tapi ketika ia siap melancarkan amunisi dengan segudang argumentasi-rasionya itu, lagi-lagi luruh juga pada akhirnya.
Jujur saja sebenarnya aku sendiri lelah dengan semua ini, atas segunung penat, dan beribu penat yang kian sesak memenuhi benak dan batin. Tapi ntah apalagi yang kutunggu, aku sendiri tak sungguh tahu. Pagi??? Mungkin kah pagi yang kudamba datang dengan harapan baru, atau justru pagi yang kembali dengan regularitas sebagaimana kemarin, dan dulu. Aku ingin tak sekadar menunggu, duduk berpangku menyaksikan setiap detak waktu yang berlalu dan kian menjauh. Jika bisa, ingin ku boyong matahari, biar ku pajang dibumi agar membakar-lenyapkan semua tabir ini......
Rabu, 01 Desember 2010
Hanya di benakku, tak lebih dari itu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar