Pengantar
Berbicara tentang analisis sosial sesungguhnya bukan merupakan hal yang asing dalam keseharian kita. Dari seorang anggota dewan yang sedang membahas RUU, hingga lingkungan keluarga yang membicarakan problem dan solusi keluarganya pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan yang memakai analisis sosial. Jadi Ansos bukanlah sesuatu yang aneh dan baru (sebagai bentukan).
Dalam satu definisi yang sederhana, analisis sosial menunjuk pada usaha untuk mendapatkan pemahaman tentang situasi sosial dengan menelaah kondisi serta kaitan antara fakta historis dan struktural. Melalui analisis sosial kita akan mampu menangkap realitas sosial yang kita gumuli. Sehingga dalam banyak kalangan analisis sosial memiliki manfaat: (1) Mendapatkan pemahaman tentang masalah-masalah kunci yang ada di masyarakat (2) Mendapat informasi kelompok mana dalam masyarakat yang mendapatkan akses pada sumber daya (3) Kait-mengkait antar berbagai sistem dalam masyarakat (4) Mengetahui segala potensi yang ada dalam masyarakat (5) Mampu mengambil tindakan-tindakan yang mengubah situasi dan yang memperkuat situasi. Tentu untuk mengetahuinya, sekali lagi, model pendidikan partisipatoris dapat dikerjakan untuk memulainya.
Sedangkan dalam terminologi sosial terdapat beraneka ragam aliran dalam melakukan analisis sosial. Diantara aliran-aliran ini memiliki berbagai keunggulan sekaligus kelemahan masing-masing. Untuk sekedar referensi penulis kutip disini beberapa aliran dalam melakukan analisis sosial yang meliputi:
1. Aliran fungsionalis
Aliran ini cenderung melihat fungsi dari pelaku sebagai tanggapan logis atas munculnya sebuah fenomena sosial. Implikasi dari pendekatan ini pemecahan yang dikedepankan lebih bersifat pragmatis.
Kelemahan: Walaupun mengarah ke kondisi yang baik dan berusaha membuat suasana kembali harmonis namun aliran ini tidak mempertanyakan adil atau tidaknya kondisi, serta tidak mendorong ke arah perubahan
Pendekatan ini lebih cenderung ke arah pemecahan edukasi
2. Aliran strukturalis
Perubahan yang dikedepankan pada aliran ini lebih pada perombakan seluruh struktur-struktur yang menindas, yang telah mengakibatkan penindasan.
Kelemahan: pendekatan ini melihat hal-hal yang makro seperti Bank Dunia, IMF dan cenderung melupakan hal-hal yang kecil, seperti bagaimana buruh bisa tetap makan.
Pendekatan ini lebih cenderung mengarah pada proses revolusi
3. Aliran Fenomenologis
Ciri analisisnya sangat mikro, detail dan selalu mengaitkan dengan teori-teori besar. Memang tidak ada saran atau aksi yang bisa mengubah kondisi.
Kelemahan: Yang dilakukan pada aliran ini hanya mengamati saja dan menuliskan realitas yang ada tanpa keberpihakan
Pendekatan ini kerapkali memanfaatkan perangkat visualisasi
4. Aliran Humanis
Ciri analisisnya melihat pada budaya dan kesadaran manusia sebagai sebab dari masalah yang muncul
Kelemahan aliran ini: Terlalu lokal dan pemecahannya sangat bersifat jangka pendek
Pendekatan ini misalnya dengan menggunakan sarana advokasi
Dari berbagai aliran ini kita bisa melakukan ‘pilihan’ bebas sesuai dengan kebutuhan di tingkatan lokal masyarakat. Dalam pelatihan berbagai aliran ini sekedar untuk ‘referensi’ teoritis sehingga memudahkan dalam mengkaji tipologi gerakan sosial macam apa yang bisa diterapkan pada masyarakat. Analisis sosial ini tugas pertama yang memang mutlak dilakukan jika terjun ke masyarakat, mengingat melalui analisis sosial yang cermat akan dihasilkan sejumlah data akurat dan rekomendasi tindakan yang bermanfaat di masa depan. Alhasil sebuah gerakan sosial kuncinya yang utama adalah memahami gerak-gerik pertumbuhan masyarakat sebab dari sana akan diketahui kemana perubahan itu akan berujung dan hasil seperti apa yang akan didapatkan.
Langkah-langkah untuk melakukan ansos sebagai berikut:
A. Orientasi Dasar
Tak ada analisis sosial yang “bebas Nilai”.
• Apakah keyakinan dan nilai dasar kita?
• Apakah dasar yang memberi ciri khusus pada tindakan kita?
Dua pertanyaan tersebut berbicara tentang orientasi kita atau visi dan misi kita. Langkah ini dapat juga sebagai “pembongkaran”, karena disini kita mengarahkan diri pada penegasan nilai-nilai sebagai titik tolak. Orientasi inilah yang akan menjadi penuntun kita dalam melakukan analisis sosial. Penegasan nilai-nilai inilah yang kemudian menuntut adanya pemihakan ketika seseorang melakukan analisis sosial.
B. Deskripsi
Langkah berikutnya yaitu membuat deskripsi umum dari situasi yang sedang kita pahami, misalnya:
a. Permasalahan sosial (Pengangguran, perumahan yang tidak layak, kurangnya pengembangan sektor usaha kecil, dan lain-lain)
b. Institusi (sekolah, perusahaan, dan lain-lain)
c. Kesatuan wilayah geografis (RT, RW, desa, bangsa, dan lain-lain)
Untuk menyususnnya kita bisa saja menggunakan pendekatan impresionistik dengan mengumpulkan fakta dan kecenderungan melalui brainstorming dan cerita-cerita yang bersentuhan dengan masyarakat
• Apa yang sedang terjadi pada situasi sekarang?
• Apa yang diungkapkan oleh foto-foto tersebut?
• Bagaimana kita membahas masalah-masalah yang paling mencolok dalam situasi sekarang ini?
Yang perlu diingat bahwa dalam tahap ini target kita hanyalah untuk menyusun deskripsi. Kita belum mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang situasi sosial, atau belum mencoba memahami hubungannya dengan situasi sosial yang lebih luas dan lebih umum. Dalam artian kita sampai disini belum melakukan analisis.
C. Analisis
Analisis sosial merupakan sebuah “usaha untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi sosial dengan menggali huungan-hubungan historis dan strukturalnya”. Kita dapat mengerjakan ini dengan menjawab empat pertanyaan mengenai sejarah, struktur-struktur, nilai-nilai, tanggapan, dan arah situasi yang sedang kita analisis.
SEJARAH
Manakah garis utama dari sejarah situasi ini?
Kita memandang situasi dengan mata kesadaran historis dan mulai mengenali pengaruh masa lalu yang melatarbelakangi keadaan sekarang.
a. Manakah periode utama yang merupakan perkembangan situasi ini?
b. Pola-pola gerak perkembangan mana yang dapat diamati?
c. Manakah penentu utama dalam perkembangan situasi ini?
d. Apakah kita dapat menamai peristiwa-peristiwa besar yang telah mempengaruhi perjalanan sejarah situasi ini? Seperti misalnya peristiwaperistiwa nasional, tindakan-tindakan yang diambil pemerintah, dan lain-lain
STRUKTUR
Manakah struktur utama yang mempengaruhi situasi ini?
Berbagai struktur membentuk situasi dengan bermacam-macam cara. Itulah lembaga-lembaga, proses-proses dan pola-pola yang merupakan faktor-faktor penentu wujud realitas sosial. Beberapa struktur cukup jelas, sedang lainnya tersembunyi, tetapi semuanya saling berkait.
Struktur-struktur ekonomi utama yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur sumber-sumber daya, seperti:
• Produksi, distribusi, transaksi, dan konsumsi;
• Modal, tanaga kerja, dan teknologi;
• Pemusatan-pemusatan dan gabungan-gabungan perusahaan;
• Kebijakan-kebijakan pajak, sukubunga, dan sebagainya.
Struktur-struktur politik utama yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur kekuasaan, seperti:
• Prosedur-prosedur pembuatan keputusan;
• Gaya hidup dan kepemimpinan;
• Akses terhadap pengaruh politik;
• Institusi politik resmi: konstitusi, partai, pengadilan, militer;
• Tak resmi: klik-klik, lobbying;
• Pola-pola partisipasi
Struktur-struktur sosial utama yang menentukan bagaiman masyarakat mengatur hubungan-hubungan (selain relasi ekonomi dan politik), seperti:
• Keluarga, marga, suku;
• Lingkungan sekitar;
• Pendidikan, rekreasi;
• Jaringan-jaringan komunikasi, media;
• Pola-pola bahasa.
Struktur-struktur budaya utama yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur makna dan nilai, seperti:
• Agama;
• Simbol-simbol, mitos dan impian;
• Kesenian, musik dan cerita rakyat;
• Gaya hidup, tradisi-tradisi
NILAI-NILAI KUNCI
Manakah nilai-nilai kunci yang bekerja dalam struktur tersebut?
Berikut ini kita berbicara mengenai nilai-nilai sebagai cita-cita yang menggerakkan masyarakat, ideologi-ideologi dan norma-norma moral yang menuntun, aspirasi-aspirasi dan harapan-harapan yang ada dalam masyarakat, nilai-nilai sosial yang dapat diterima dan telah diterima. Tentu saja semua itu berkaitan dengan struktur-struktur budaya.
• Nilai-nilai apa yang sungguh hidup?
• Siapakah yang pertama-tama membawa nilai-nilai itu, orang, lembaga atau yang lain?
TANGGAPAN
Bagaimana tanggapan berbagai pihak atas situasi ini?
Persoalan atau situasi yang menjadi fokus perhatian dalam analisis ini barangkali sudah mendapat perhatian atau tanggapan dari berbagai pihak seperti pemerintah, organisasi non pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan, dan pihak-pihak lain. Tanggapan-tanggapan itu perlu dipetakan.
• Tanggapan apa saja yang telah diberikan pemerintah?
• Tanggapan apa saja yang telah diberikan oleh organisasi non pemerintah?
• Tanggapan apa saja yang telah diberikan oleh lembaga-lembaga keagamaan?
• Apa saja tanggapan dari pihak lain?
ARAH MASA DEPAN
Bagaimanakah arah masa depan dari situasi ini?
Memandang masa depan sebenarnya bisa lebih menyingkapkan situasi masa kini ketimbang masa depan itu sendiri. Ini berarti imajinasi skenario-skenario masa depan memberikan kepada kita wawasan tentang dinamika dari apa saja yang sebenarnya terjadi sekarang.
• Kecenderungan (trend) terpenting yang terungkap dalam situasi sekarang ini?
• Apakah kita dapat meramalkan kemungkinan-kemungkinan atas dasar keadaan yang berlangsung dewasa ini?
• Jika masa depan segala hal berlangsung seperti sekarang, situasi seperti apakah yang akan terjadi dalam 5 tahun kedepan? (tergantung jangka waktu yang mau dilihat!)
• Manakah sumber-sumber kreatifitas dan harapan yang ada sekarang bagi masa depan?
MATRIKS ANALISIS
Analisis sosial pada dasarnya merupakan upaya kita untuk menempatkan suatu masalah tertentu dalam konteks realitas sosial lebih luas yang mencakup konteks historis, struktur (ekonomi, politik, sosial, budaya), nilai, dan konteks tingkat atau aras (lokal sampai global). Untuk menolong pemetaan tersebut kita bisa gunakan matriks berikut agar lebih mudah dalam membedah suatu masalah sosial.
Unsur-Unsur Komunitas Kabupaten Propinsi Nasional Regional Global
Sejarah
Struktur Ekonomi
Struktur Politik
Struktur Sosial
Struktur Budaya
Nilai yang hidup
Tanggapan
Trend masa depan
D. Kesimpulan
Analisis yang telah kita lakukan akan mengungkapkan bermacam-macam segi yang berpengaruh pada situasi yang sedang kita coba pahami. Sekarang tugas dan langkah terakhir adalah menarik beberapa kesimpulan agar kita dapat melihat dengan tajam unsur-unsur terpenting dalam situasi kini.
Unsur-unsur tersebut merupakan penyebab paling mendasar dalam sebuah situasi yang berbeda dengan gejala-gejala. Dalam pendekatan analisis yang diajukan Paulo Freire unsur-unsur akar itu disebut generative themes. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk menemukan unsur-unsur akar:
• Satu atau dua peristiwa sejarah manakah yang membentuk keadaan dewasa ini?
• Faktor-faktor ekonomi, sosial, dan kultural manakah yang paling menentukan cara kerja sistem yang ada?
• Manakah nilai-nilai yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap perilaku masyarakat?
• Tanggapan manakah yang paling berpengaruh pada situasi ini?
• Manakah kecenderungan yang nampaknya paling mungkin dimasa depan?
Jika berbagai unsur pokok sudah diprioritaskan, kita perlu melakukan usaha berikutnya yaitu pengelompokan atau penggolongan tingkat, kemudian menarik beberapa kesimpulan:
• Manakah dua atau tiga unsur pokok yang paling bertanggungjawab terhadap situasi yang sedang terjadi dewasa ini?
• Atas kepentingan siapa unsur-unsur pokok itu bekerja?
Rabu, 22 Desember 2010
Beberapa Langkah dalam Melakukan Analisis Sosial Kerangka Perumusan Strategi Pemberdayaan Masyarakat
PARADIGMA-PARADIGMA SOSIOLOGI dan ANALISIS SOSIAL
PENGANTAR
Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL
Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Fildsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.
ASUMSI ONTOLOGIS
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah relaitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.
ASUMSI EPISTEMOLOGIS
Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasdarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.
ASUMSI HAKEKAT MANUSIA
Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dsengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.
ASUMSI METODOLOGIS
Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukuim-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “ tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.
Bagan Asumsi-Asumsi Dasar ilmu Sosial
(Dimensi Subyektif-Obyektif)
Nominalisme – Realisme : Debat Ontologis
Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap merupakan sesuatu yang berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label yang digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, emberi pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.
Realisme beranggapan bawa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilii penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.
Anti-positivisme – Positivisme: Debat Epistemologis
Sebutan “kaum positivis” sama seperti “kaum Borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan tertentu. Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atua pendirian epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampuradukkan dengan “empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.
Pendirian epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental; tetapi sering juga jipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan falsisikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang tatanan sosial sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif dimana pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa salah yang pernah ada.
Pendirian epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah atau menegasdkan tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang-perorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui kerangka berpikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengaetahuan tentang apa saja.
Volunterisme – Determinisme : Debat Hakekat Manusia
Kaum determinis menganggap bahwea manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitar dimana ia berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan berkemauan bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori ilmu sosial.
Ideografis – Nomotetis: Debat Metodologis
Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan langsung sedelkat mungkan dengan memahami sejarah hidup dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang diteliti dibirkan muncul apa adanya.
Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian hipotesa dengan dalil-dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk menganalisis data. Survei, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.
ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL
Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih duaratus tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial atau kemanusia. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam ontologinya, kaum positivis dalam epistemologinya, pandangan deterministik mengenai sifat manusia dan nomotetis dalam metodologinya.
Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi “ruh” atau “gagasan”. Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologinya anti-positivis damana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan volunteris terhadap fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisis sosialnya.
Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial. Jalan tangan dari kedua kutub memunculkan bebrapa pemikiran baru seperti fenomenologis, etnometodologi dan terori-teori aksi. Aliran tengah ini sealin menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengna baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.
ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
TENTANG HAKEKAT
MASYARAKAT
Semua pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir, pandangan dan anggapan-anggapan dasar tertentu.
Debat Ketertiban – Pertentangan (Order-Conflict Debate)
Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi dalam dua pandangan: pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan mengenai perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat. Yang pertama penganutnya jauh lebih banyak dari kedua. Menurut Dawe, yanhg pertama merupaka teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970), Van den Bergh (1969) mwnganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya. Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk mnenjelaskan ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.
Cohen (1968), berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion), kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), imbal balik (reciprocity), kerjasama (coorperation), keterpaduan (integration), ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak pertentangan sosial ditandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan (hostility), ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan (malintegration) dan perubahan (change).
Bagan Teori Masyarakat:
Ketertiban dan Pertentangan
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara ketertiban dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur kedua corak masyarakat, sehingga tidk perlu diperdebatkan.
Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.
Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan. Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya “penguasaan” (domination).
Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat secara radikal.
Banyak analisis tentang ketertiban dan pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak dan membuat pengertian menjadi suram tentang perbedaan mendadsar keduanya. Oleh karena diusulkan adanya perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan radikal dalam menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain sama sekali yakni: keteraturan (regul;ation) dan perubahan radikal (radical change).
KETERATURAN VS
PERUBAHAN RADIKAL
Istilah ini diusulkan karena telah terjadi banyak ketidakjelasan dalam embedakan corak ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang menekankan pentingnya kesatuan (unity) dan kerapatan (cohesiveness). Teori ini mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan radikal sarat dengnan keinginan menjelaskan tentang perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan yang mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai struktur (tatanan) masyarakat yang membatasi dan menghalangi potensinya untuk berkembang. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa yang mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari sekadar kemapanan.
Skema Keteraturan Perubahan Radikal
DUA DIMENSI, EMPAT
PARADIGMA
Sejak 1960-an telah terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam perkembangannya berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal 1970-1n telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi baik mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-1n. Untuk menembus kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur penting dari perdebatan yang terjadi pada 11960-an dan cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: humanis, radikal, strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.
Paradigma Teori Sosial
Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.
Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma
Paradigma diartiokan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengetian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.
Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.
Paradigma Fungsionalis
Paling banyak di anut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan penyingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.
Paradigma Fungsionalis
Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.
Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.
Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai pewrsentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis. Interaksi antar paradigma digambarkan sebagai berikut :
Pengaruh Pemikiran yang Membentuk Paradigms Fungsionalis
Paradigma Interpretatif
Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang beradsal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.
Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.
Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru
Falsafah dan Genealogi Perkaderan IPM
Oleh : Subhan Purno Aji
Pertama-tama yang akan saya sampaikan merupakan sikap pemikiran saya atas menulis teks-teks Sistem Perkaderan IRM/IPM, Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepribadian IPM, sehingga yang akan saya sampaikan adalah lebih sebagai tafsir atas teks-teks tersebut. Tentu, sebagai seorang penafsir, saya tidak dapat melepaskan diri dari konteks sejarah dan psikologis. Pertama, konteks sejarah karena saya adalah alumni IRM, setidaknya pernah hidup pada saat teks tersebut ditulis sampai kemudian teks tersebut ditanfidzkan. Dan, kedua, konteks psikologis karena pasti saya tidak lepas dari dimensi kejiwaan yang pasti subyektif. Jadi pasti hasilnya relatif dan barangkali tidak sesuai dengan ”tafsir resmi” IPM.
Perkaderan bagi IPM adalah hal mutlak. Bahkan saking pentingnya, perkaderan sama dengan eksistensi IPM itu sendiri. Jadi, singkatnya tidak disebut IPM kalau tidak ada perkaderan. Sama halnya dengan permainan sepakbola tanpa ada bola tidak dapat disebut sebagai sepakbola. Karena memang sejatinya IPM adalah gerakan kaderisasi, yang semestinya seluruh aktivitas organisasional dan personal bermuara pada kaderisasi.
Tulisan ini diawali dari elaborasi dasar-dasar gerakan IPM dan implikasinya terhadap perkaderan IPM. Selanjutnya akan dijelaskan genealogi gerakan IPM yang tidak mungkin dilepaskan dari penjelasan genealogi perkaderan IPM. Dan tulisan ini diakhiri dengan semacam ”curhat” saya atas perkembangan IPM saat ini.
Dasar-dasar Gerakan IPM
Pada dasarnya, dasar-dasar gerakan IPM sesuai dengan faham keagamaan Muhammadiyah. Hal tersebut dapat dilacak dalam pemikiran Muhammadiyah generasi awal. Dalam buku Ideologi Kaum Reformis (2002), Ahmad Jaunuri melacak formasi ideologi Muhammadiyah generasi awal. Menurutnya, ada dua hal yang penting. Pertama, revitalisasi dasar-dasar keyakinan keagamaan dengan slogan al ruju’ ila al-qur’an wa as-shunnah, kembalikan permasalahan kepada sumbernya (Al Qur’an dan Asshunnah) dan perluasaan paham agama melalaui filsafat keterbukaan, toleransi dan pluralitas. Kedua, penafsiran doktrin Islam untuk pembaruan sosial. Dari dua dasar ini sesungguhnya Muhammadiyah tidak hanya mementingkan orthodoksi (ajaran) tetapi juga ortho-praksis (praktik hidup beragama). Oleh karena itu, pada hemat saya, secara singkat yang menjadi dasar sekaligus kredo gerakan IPM adalah Tauhid Sosial yang Transformatif (TST). TST lebih sebagai sikap teologis, sebagai sikap untuk mengaitkan (bahkan mengkonfrontasikan) iman dengan realitas sosial. Sebab, akhir-akhir banyak pertanyaan bahkan keraguan agama dalam menjawab permasalahan-permasalahan sosial kekinian, seperti korupsi, ketidakadilan dan kemiskinan. Sikap teologis ini adalah mencoba menghimpun kekuatan simbolik yang dimiliki oleh setiap muslim yang meyakini tujuan risalat al-islamiyyahadalah bagaimana membawa ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk menegakan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita ketakwaan (Abdurrahman, 2003:vi).
Pada dasarnya, Islam merupakan agama yang sangat humanistik, yakni agama yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Namun, cita humanisme Islam bukanlah humanisme sekuleristik-agnostik, tetapi humanisme yang dibingkai oleh nilai-nilai ketuhanan, yakni Tauhid. Sebab, tauhid merupakan inti dari seluruh misi kenabian. Dengan pemahaman seperti itu, Islam memiliki ciri ajaran yang humanistik-teosentrik, yakni bagaimana nilai-nilai ketuhanan harus diterjemahkan bagi kepentingan umat manusia. Bahkan, secara ekstrim, mengikuti pendapat Munir Mulkhan (2001), bahwa Tuhan menurunkan agama bukan untuk Tuhan sendiri tetapi untuk kepentingan manusia. Pengejawantahan dari nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan dalam tiga pondasi khairu ummat (QS. 3:110), yaitu ta’muruna bi al ma’ruf (humanisasi), tanhauna ’ani al-munkar (liberasi) dan tu’minuna bi allah (transendensi) (Kuntowijoyo, 1991: 198-289).
Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Lebih lanjut, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Liberasi adalah pemaknaan kreatif atas konsep nahyi al-munkar. Secara lebih mendasar liberasi bertujuan membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Sedangkan transendensi merupakan pemaknaan elaboratif dari konsep tu’minuna al-billah, yang memabntali dua unsur di atas. Transendesi sekaligus sebagai kritik. Melalui kritik transendensi tidak hanya dimaksudkan memberi makna pada tujuan hidup manusia tetapi juga menjadi katalisator terhadap perkembangan teknis yang seharusnya diarahkan kepada pengabdian kemanusiaan dan kebudayaan (Muttaqin, 2008).
Tauhid sosial transformatif ini memiliki tiga elemen, yaitu utopia, kritis dan praksis pembebasan (Nuhamara, 2004: 326-43). Utopia mengandaikan bahwa perjuangan IPM adalah lahan ibadah, perjuangan untuk menolong agama Alloh (QS. ;7) dan ladang berjihad (QS. 9:38-41). Dari dasar ini, perjuangan IRM merupakan sarana menuju mardhatillah (QS. :154), dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Sementara itu, kritis disini dimaknai sebagai cara pandang terhadap realitas sosial. Cara pandang ini mengandaikan realitas sosial, pertama, merupakan jalinan dari hubungan yang dominatif dan timpang. Kedua, mengaitkan pengetahun dengan perubahan sosial. Sementara, praksis pembebasan merupakan penjabaran keyakinan ontologis wahyu (tauhid) untuk transformasi sosial dengan “mendaratkan” keyakinan langit pada bumi realitas. Praksis pembebasan dilandasi dengan keberpihakan. Keberpihakan kepada golongan yang lemah (dhu’afa) atau dilemahkan (mustadl’afin).
Bagan 1. Unsur-unsur dalam Tauhid Sosial Transformatif
Utopia
Kritis Praksis
Pada dasarnya sebagai sebuah gerakan, IPM wajib bertumpu pada tiga momen. Pertama, refleksi adalah merupakan proses perenungan dengan menyandingkan antara yang seharusnya dengan apa yang terjadi. Momen ini sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai dan dunia objektifdalam dunia subyektif. Hasil dari proses ini pada dasarnya adalah kesadaran akan adanya masalah. Seperti kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan diawali dari refleksi tentang pesan Al Qur’an (QS. 3: 103) terhadap kondisi umat Islam di Hindia-Belanda yang masih didera kebodohan dan keterbelakangan dalam cengakraman kolonial. Kedua, aksi adalah implementasi dari hasil refleksi. Aksi ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut. Momen ini sekaligus eksternalisasi penyesuaian diri subyektif dan pencurahan nilai-nilai yang disandang individu pada dunia yang objektif. Ketiga, evaluasi merupakan hasil balikan dari aksi yang telah dilakukan. Momen ini merupakan hasil dari momen elsternalisasi dan merupakan hasil dari interaksi yang telah terjadi. Ketiga momen ini berjalan secara kontinyu dan merupakan satu kesatuan, sebagai sebuah siklus. Berikut ini penyerdehanaannya.
Bagan 2. Siklus Gerakan IPM
Aksi
Refleksi Evaluasi
Jika momen refleksi-aksi-evaluasi merupakan penerapan apada level makro (gerakan), maka pada level mikro (individu kader) memiliki skema terilogi pembaruan IPM. Secara mikro, penggambaran ideal gerakan IPM harus termanifestasi dalam trilogi pembaruan IPM. Pembaruan gerakan IPM merupakan proses yang terus menerus sebagai konsekuensi klaim never ending movement. Maka, sejatinya seorang kader wajib memiliki karakter trilogi jihad, ijtihad, mujahadah. Jihad dalam Al-qur’an disebutkan sebanyak 41 kali, merupakan derivasi dari kata jahada, yujahidu, jihadan yang berarti kesungguh-sungguhan dalam melakukan sesuatu (all out). Konsepsi jihad dekat dengan konsep ijtihad dan mujahadah. Menurut Siroj (2006), makna jihad berarti berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik maupun non-fisik. Tetapi pada perkembangannya makna jihad biasaya ditekankan pada sesuatu yang bersifat fisik dan material. Sedang ijtihad merupakan membangun sisi intelektualitas manusia dengan memaksimalkan potensi akal dan rasio. Mujahadah berarti upaya bersungguh-sungguh untuk membangun spiritualitas manusia. Singkatnya, jihad-ijtihad-mujahadah merupakan cermin dari etos kerja-etos intelektual-etos spiritual. Ketiga trilogi pembaruan dapat disederhanakan dalam bagan di bawah ini.
Bagan 3. Trilogi Pembaruan IPM
Jihad
Ijtihad Mujahadah
Falsafah Perkaderan IPM
Falsafah perkaderan adalah dimensi terdalam dari seluruh proses kaderisasi. Falsafah perkaderan IPM dikerucutkan pada tiga masalah dalam filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Masalah ontologi berusaha menguak apa yang terdalam dalam suatu kenyataan. Sementara masalah epistemologis berusaha mencari bagaimana dan dengan cara apa dalam memperoleh pengetahuan. Dan masalah aksiologis berusaha mempertanyakan apa yang seharusnya dari suatau entitas tertentu.
Dalam konteks perkaderan IPM, menurut El Hujjaj (2003), ontologi perkaderan adalah tarbiyah (education). Pendidikan adalah awal dari kehidupan dan unsur mutlak dalam proses perubahan, sebagaimana Adam diajarkan nama-nama oleh Alloh SWT (QS. 2:28-31). Pendidikan menuntut adanya transformasi kesadaran kader secara manusiawi. Artinya, pendidikan pada dasarnya harus diarahkan pada pemanusiaan (humanizing).
Sementara itu, aspek epistemologi perkaderan adalah menumbuhkan kesadaran kaderisasi seorang kader, yaitu kesadaran keislaman, keilmuan, kemandirian, kemanusiaan dan kebudayaan. Terakhir, aspek aksiologis perkaderan IPM adalah perubahan kader dari sikap pribadi, pemikiran sampai tindakan.
Maksud dan Tujuan Perkaderan IPM
Tujuan perkaderan IPM adalah terbentuknya kader-kader IPM yang memiliki sikap pemikiran, pengetahuan, perilaku dan kecakapann, sehingga menumbuhkan kegemaran berdakwah Islamiyah sesuai dengan kepribadian IPM dalam rangka mencapai tujuan IPM. Secara umum, tujuan perkaderan IPM merupakan bentuk penerjemahan tujuan perkaderan Muhammadiyah. Tujuan perkaderan Muhammadiyah sendiri adalah terbentuknya kader Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta mempunyai integritas dan kompetensi untuk berperan dalam persyarikatan dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks global (SPM, 2008: 50).
Genealogi dan Rekonstruksi Sistem Perkaderan IPM
Genealogi sistem perkaderan tidak dapat dilepaskan dari dinamika pemikiran dalam IRM/IPM. Oleh karena itu penting untuk merekonstruksi formasi ideologis IRM/IPM pada periode tertentu untuk memahami konteks lahirnya sebuah kodifikasi sistem perkaderan. Untuk melakukannya tentu bukan pekerjaan mudah, sebab diperlukan ketekunan dalam melakukan penelitian terhadap teks-teks dan serpihan-serpihan pemikian yang dihasilkan IRM/IPM (baik personal maupun intitusional) pada periode tertentu. Hemat saya sejauh ini baik IRM/IPM secara institusional belum ada penelitian yang tuntas dalam mengungkapkan hal tersebut.
Pada hemat saya, kodifikasi sistem perkaderan IRM/IPM pada masa tertentu tidak dapat dilepaskan dari episteme, yaitu sistem pengetahuan mencakup asumsi, prinsip maupun pendekatan yang membentuk satu sistem yang mapan yang berlaku pada masa tertentu. Pendekatan ini lazim disebut dengan pendekatan arkeologis. Tulisan ini sedikit ingin menyibak epsteme tersebut. Dengan memahami epsiteme tersebut diharapkan bisa diketahui formasi diskursif yang membentuk ”wajah” sistem perkaderan IRM/IPM.
Genealogi sistem perkaderan IPM/IRM, sejauh pengetahuan saya, dapat dilacak mulai paruh akhir dekade 1980-an. Pada periode ini lahir kodifikasi sistem perkaderan IPM yang pertama,atau yang dikenal kemudian sebagai ”SPI Merah”. Sebelum periode itu bukan berarti tidak ada pengkaderan, tetapi dasar yang digunakan masih bersifat berupa serpihan-serpihan konsep perkaderan dan belum disusun sebagai suatu sistem yang komprehensif.
”SPI Merah” secara umum memiliki muatan yang cenderung dogmatis, kurang dialogis, eksklusif dan kurang mencerminkan sebuah sistem pemikiran seorang kader (El Hujjaj, 2003). Sistem perkaderan pada periode ini sangat ditentukan oleh konteks zaman pada saat itu. Pada aras nasional, represi negara orde baru terhadap organisasi masyarakat Islam pada khususnya dan umat Islam pada umumnya sedang mencapai puncaknya. Represi ini ditandai oleh kebijakan monoloyalitas. Kebijakan ini mengharuskan setiap orsospol, termasuk Muhammadiyah dan seluruh ortomnya, mengubah asasnya menjadi Pancasila, sebab saat itu hampir sebagian besar orsospol berbasis Islam masih menggunakan Islam sebagai asasnya. Skema kebijakan seperti ini merupakan bagian dari depolitisasi massa dan kebijakan massa mengambang (floating mass) yang dilakukan oleh rezim orde baru. Kebijakan ini yang paling merasakan adalah umat Islam, sebab sejak orde baru berkuasa, politik Islam nyaris diberangus dari pentas politik nasional. ”Derita” politik inilah yang, setidaknya secara psikologis, dirasakan oleh aktivis IPM pada masa itu. Represi ideologis negara membuat sebagian orientasi gerakan pelajar Islam pada masa itu, termasuk IPM, menjadi semakin ideologis. Oleh karena itu, tak mengherankan jika sistem perkaderan IPM pada masa itu bercorak doktriner. Tetapi di atas itu semua, sistem perkaderan IPM pada masa itu menjadi penanda kematangan gerakan IPM sebagai organisasi kader. Sebab, menurut saya, sistem perkaderan merupakan institusionalisasi pemikiran gerakan IPM pada zamannya.
Memasuki era 1990-an, perlakuan negara orde baru terhadap umat Islam mulai memasuki tahap yang lebih akomodatif, setidaknya tidak serepresif pada era sebelumnya. Selain karena faktor dukungan politik rezim terhadap umat Islam, tetapi juga sapuan gelombang demokratisasi yang melanda dunia sejak runtuhnya Uni Soviet. Di samping itu, nampaknya kecenderungan sikap politik umat Islam lebih cenderung mengurangi sikap ”ideologis”-nya dan lebih memilih berkompromi terhadap negara. Kecenderungan ini juga berimbas terhadap diskursus sistem perkaderan IPM. ”SPI Merah” mendapat serangan dari sebagian kalangan di IRM/IPM dikarenakan sifat eksklusif, doktriner dan kurang dialogisnya serta tidak relevan lagi dengan perkembangan keilmuan dalam dunia pendidikan. Alhasil, sekitar tahun 1993-an gerakan perubahan ”SPI Merah” menuai hasil dengan ditanfidzkannya sistem prkaderan baru atau yang lebih dikenal kemudian dengan sebutan ”SPI Biru”.
Secara umum SPI ini banyak menonjolkan hal yang baru dari SPI sebelumnya. Dan, menurut saya, SPI merupakan yang terbaik pada masanya jika dibandingkan dengan gerakan pelajar yang lain. Keunggulan SPI ini antara lain, komprehensif, terukur dan banyak mengadopsi perkembangan dalam ilmu pendidikan. Akan tetapi, SPI ini bukan tanpa celah. Sifatnya yang mencakup semua itulah yang membuatnya sangat gemuk, menggelembung dan kurang sistematis. Selain itu juga setelah dievaluasi dalam even TMU di Tawangmangu terdapat celah empiris danteoretis, seperti antara terget, tujuan, materi dan metode pengkaderan banyak ditemuai inkonsistensi. Kurang menerapkan model pendidikan orang dewasa dan partisipatoris (El Hujjaj, 2006). Oleh karena itu, SPI ini pun segera diminta untuk dievaluasi dan menjadi amanat PP IRM periode 2000-2002 untuk menyempurnakannya. Akhirnya, SPI barupun akhirnya lahir yang kemudian disebut sebagai ”SPI Hijau”, yang sejauh pengetahuan saya, masih berlaku hingga saat ini.
”SPI Hijau” secara umum sangat berbeda dengan SPI sebelumnya. Bahkan, hemat saya, perubahan itu sangat revolusioner. Tidak hanya seolah ada diskontinuitas dari SPI sebelumnya, tetapi juga ”kafir” dari kecenderungan umum sistem perkaderan Muhammadiyah. Bagaimana tidak, baik dari segi mode of thought, target, metode materi dan pasca pengkaderan sangat berbeda, atau malah tidak ada kelanjutan dari SPI sebelumnya. Sebagai contoh, materi Ansos dimasukan dalam materi TM III. Materi ini tidak familiar di lingkungan Muahammadiyah/IPM. Materi ini banyak digunakan oleh kawan-kawan di LSM yang bergerak di kegiatan advokasi.
Secara kasar, SPI ini dipengaruhi oleh perkembangan nasional pasca reformasi 1998, sehingga SPI ini lebih mencerminkan situasi lebih demokratis, terbuka dan partisipatif. SPI Hijau merupakan titik kulminasi dari perubahan paradigma gerakan IRM dari paradigma ”gerakan panggung” menjadi ”gerakan sosial” yang dibantali oleh perspektif kritis (transformatif).
SPI Hijau banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti pemikiran Paulo Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin. Secara metodologis, SPI Hijau mempunyai kedekatan dengan gagasan dan praktik pendidikan/pelatihan yang digagas oleh Insist, yakni lembaga kajian dan pendidikan yang digawangi oleh (Alm.) Mansour Fakih di Jogjakarta. Maka, tak mengherankan jika kita membaca SPI Hijau serasa kita membaca buku Pendidikan Popular-nya Insist, atau dalam kalimat yang lebih halus, tidak lengkap membaca SPI Hijau jika belum membaca Pendidikan Popular. Singkatnya, jika SPI Hijau itu ”tafsir Al Azhar”-nya Hamka, maka Pendidikan Popular itu seperti ”Al Qur’annya”.
Sejak ditanfidzkannya pada 2004, SPI Hijau telah menjadi rujukan perkaderan IRM. Kendati begitu, masih ada cabang, daerah atau bahkan wilayah yang belum sepenuhnya menerima kehadiran SPI ini. Berdasarkan pengalaman saya selama kurang lima tahun lebih berinteraksi dengan SPI ini, level ranting sampai daerah belum sepenuhnya memahami SPI ini, kalau tidak bisa dibilang SPI ini susah untuk dipahami. Sebab, SPI ini tidak praktis, tidak bisa langsung pakai. Dibandingkan dengan SPI Biru, SPI Hijau kurang bisa di terima di level bawah. Jangankan untuk melakukan need assessement, untuk mencerna istilah-istilah yang ada di SPI saja teman-teman di cabang masih sering mengalami kesusahan. Hal ini wajar karena penyusunan SPI ini memang dilakukan oleh elit di tingkat pusat dan wilayah dan seolah keluar dari ”tradisi” perkaderan SPI Merah dan SPI Biru yang sudah mendarah daging di level bawah.
Menurut saya, dari segi substansi SPI Hijau masih sesuai dengan semangat zaman yang ada. Setidaknya ada beberapa yang perlu dibenahi. Pertama, sisi aktor atau pelaksana SPI. SPI Hijau menuntut banyak kemampuan fasilitator dalam melakukan pengkaderan/pelatihan, tetapi sisi aktornya atau fasilitatornya sangat minim untuk diperhatikan. Meski di SPI sudah ada PFP I sampai III, tetapi level pusat sampai daerah sangat jarang menitik beratkan pada pelatihan fasilitator (sesuai SPI). Menjadi lucu TM I sampai TM U-nya sudah memakai SPI Hijau, tetapi pelatihan pengelolanya masih menggunakan SPI Biru, malah ada beberapa daerah yang saya temu, TM-nya sudah banyak mengadopsi model SPI Hijau, PFP-nya masih menggunakan model pelatihan instruktur lengkap dengan materi-materi dan model-model indoktrinatifnya. Menurut saya, yang segera dibenahi adalah penguatan aktor pelaksana SPI-nya, bukan merubah SPI-nya.
Kedua, pada sisi materi dan target perlu disesuaikan dengan stratak (strategi dan taktik) IPM saat ini. Sebab SPI hijau dilahirkan oleh IRM, yang tentu mempunyai basis yang berbeda dengan IPM. Basis menentukan struktur dan stratak gerakan. Yang saya lihat, sejauh ini, teman-teman IPM tidak terlalu mengutak-atik paradigma gerakan tetapi hanya merubah strategi dan taktik gerakan.
Ketiga, perlu penataan ulang tugas setiap level pimpinan terkait dengan penerjemahan SPI Hijau. Saat ini daerah/cabang/ranting dibiarkan membaca mentah-mentah SPI tanpa ada penjelasan dari level pimpinan di atasnya dikarenakan memang level diatasnya juga kurang paham dengan SPI atau memang pimpinannya sibuk mengurusi dirinya sendiri. Yang saya bayangkan, setiap wilayah mengeluarkan ”panduan” atau buku pendamping yang sasarannya bagi pimpinan di bawahnya sesuai dengan level pengkaderannya. Misalnya, panduan pelaksanaan TM I bagi ranting dan cabang, panduanTM II dan PFP I bagi daerah dan seterusnya.
Keempat, secara umum, sejauh yang saya amati maklum mungkin karena sudah menjadi alumni, IPM mengalami disorientasi gerakan: 1) IPM kehilangan perspektif dalam melihat realitas disekitarnya. Perubahan dari GKT ke GPK kalau tidak hati-hati akan berdampak pada; 2) positioning gerakan IPM. Positioning gerakan terkait dengan relasi masyarakat-negara pada sisi makro, dan karakter pimpinan di sisi mikro. Jika IPM kurang paham konstelasi relasi negara-masyarakat, maka yang terjadi IPM larut dalam dinamika kartel politik yang saat ini marak dibicarakan sebagai kecenderungan sistem politik Indonesia. Pada level pimpinan, jika pimpinan secara personal kurang paham dengan ideologi, paradigma dan stratak gerakan, maka bisa jadi IPM ngomong-nya anti hegemoni pemerintah (lihat tanfidz IPM terbaru) tetapi masih saja menengadahkan tangan ke kementerian-kementerian sembari mengamini kebijakan yang tidak pro-poor, pro-sustainablity, and pro-student. Kondisi tersebut mencerminkan tertukarnya antara strategi dan tujuan, strategi menjadi tujuan dan tujuan menjadi strategi. Sebagai contoh, kedekatan aktivis IPM dengan pemangku kepentingan (Presiden, Menteri, Anggota DPR/D,Bupati, WaliKota,dll) idealnya merupakan bagian dari strategi gerakan, bukan sebagai tujuan. Sementara adanya perubahan yang berpihak kepada golongan lemah/dilemahkan harusnya menjadi tujuan, malah menjadi strategi untuk mencaru, maaf uang, dan kedekatan dengan para pemangku kepentingan. Ini kan gawat!!. 3) Terkait dengan GPK, saya melihat banyak kontrakdiksi di dalam dirinya sendiri, banyak istilah yang bertabrakan satu sama lain (contradictio in terminis). Sebagaimana pendapat David Effendi dalam milist remaja-kritis tanggal , ada ketidaksinkronan antara tujuan GPK dengan agenda aksinya. Yang saya lihat, tujuannya menjadi generasi Qur’ani, tetapi ada tujuan pengarus utamaan gender. Bukannya PAG tidak qur’ani tetapi ada kerangka metodologisnya agar semuanya menjadi logis dan jelas. Wallahua’lam Bishawab.
Referensi
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Erlangga: Jakarta.
El-Hujjaj, Saud. (2006). SP IRM: Memilih Mitos Atau Realitas. Makalah disampaikan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama di Bandung. Tidak Diterbitkan.
Jainuri, Ahmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. LPAM: Surabaya.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung.
MPK PP Muhammadiyah. 2008. Sistem Perkaderan Muhammaddiyah. Cet. II. MPK PPM: Yogyakarta
Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Beragamalah Untuk Manusia, Bukan Untuk Tuhan. http://islamlib.com/id/artikel/beragamalah-untuk-manusia-bukan-untuk-tuhan/ .
Diakses tanggal 20 desember 2010.
Muttaqin, Husnul. 2008. Menuju Sosiologi Profetik. Dalam http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/. Diakses tanggal 22 Desember 2010.
Nuhamara, Daniel. 2004. Kritik, Utopia dan Praksis Pembebasan: Unsur-uunsur Dalam Berteologi Sosial Transformatif. Dalam Jurnal KRITIS vol. XVI No. 3. 2004 hlm. 326-343. UKSW: Salatiga.
Pimpinan Pusat IRM. 1993. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM : Yogyakarta
Pimpinan Pusat IRM. 2004. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM: Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IRM. 2004. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XIV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IRM. 2006. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IPM. 2008. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVI. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IPM. 2010. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVII. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.
Siroj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Mizan: Bandung.
Rabu, 01 Desember 2010
Hanya di benakku, tak lebih dari itu
Rasanya ingin meledak saja barak batinku, ingin rasanya ku muntahkan setumpuk kecewa, miris, bercampur ironi yang kian melumut ini. Diiringi lantunan "di udara" yang mengalun pilu di benakku, hanya diruang sempit didalam tengkorak kepalaku, tak lebih dari itu. Ga ada yang lain selain aku dan sebongkah es yang makin menyesak diruang batin, yang perlahan mengalir-cair membanjiri tiap lorong sukma, membuat gigil segenap jiwa dan batin. Ga da yang bisa mendengarnya, senandung jiwa ini hanya kunikmati sendiri. Ga ada satu pun makhluk bumi yang bisa mengupingnya, meski makin parau teriakan ini. Ga ada yang bisa mendengarnya diluar benak dan batin, tidak itu dinding, nyamuk, bahkan kaki, pun jemari ini tak tahu selain sebatas apa yang mesti ia tuangkan melalui rangkaian guratan aksara ini, itupun atas perintah otak dan persetujuan batin tentunya. Aku hanya mendendangnya sendiri, menikmati lantunan setiap lirik dan nada yang dilagukan dengan gaya berontak ERK yang khas itu. Tapi sekali lagi "hanya di benakku", tak lebih dari itu.
"Hanya di benakku", sebagaimana segudang penat yang makin membuncah, mengeruhkan setiap tetes darah, beriring seirama dengan semua muak yang makin menggunung tinggi, menjulang ke langit, bahkan hampir-hampir saja mencapai sidratul muntaha, hampir-hampir saja pecah langit karenanya. Tapi sekali lagi hanya di benak dan batinku, tak lebih dari itu, tak dapat menembus dunia luar, di luar batas ruang sempit itu. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan mulutku, kenapa ia tak jua bersuara, kenapa tak jua ia mengungkap-muntahkanyya. Pernah suatu ketika hampir-hampir saja muntah, tapi terhenti hanya sebatas di rongga dada, baru sebatas rongga dada terus kembali lagi bersemayam di lubuk hati, jauh di dasar batin yang paling dalam. Aku jadi bertanya sendiri, sebenarnya seberapa luas semesta batinku itu, kenapa masih saja cukup dan sudi menampungnya??? Terus terang saja sebenarnya aku ini juga bukan seorang yang punya kedalaman dan keluasan batin layaknya Begawan, terlebih nayataka. Kalopun selama ini masih tertampung dan terbendung, itu hanya karena aku luas-luaskan saja atau mungkin justru karena ketidakberdayaanku untuk sekedar mengungkapnya. Entahlah!
Sesekali aku curiga, jangan-jangan selama ini ada sabotase dari hatiku, dengan pertimbangan moral-etiknyanya yang khas itu. Bagaimana mungkin aku tidak menaruh curiga padanya, selama ini setiap kali aku hendak berucap, mengungkap segala kegetiran yang selama ini kekal, dan segunung muak yang selama ini betah mendiami benak dan batin, ia selalu saja berbisik, lirih sih, tapi ia masih cukup didengar dan punya pengaruh yang cukup kuat dengan karismanya yang khas itu. Sempat otak ini ingin berontak, "persetan dengan tatanan etis itu", tapi ketika ia siap melancarkan amunisi dengan segudang argumentasi-rasionya itu, lagi-lagi luruh juga pada akhirnya.
Jujur saja sebenarnya aku sendiri lelah dengan semua ini, atas segunung penat, dan beribu penat yang kian sesak memenuhi benak dan batin. Tapi ntah apalagi yang kutunggu, aku sendiri tak sungguh tahu. Pagi??? Mungkin kah pagi yang kudamba datang dengan harapan baru, atau justru pagi yang kembali dengan regularitas sebagaimana kemarin, dan dulu. Aku ingin tak sekadar menunggu, duduk berpangku menyaksikan setiap detak waktu yang berlalu dan kian menjauh. Jika bisa, ingin ku boyong matahari, biar ku pajang dibumi agar membakar-lenyapkan semua tabir ini......